Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Salim
"Untuk dapat menjalankan fungsinya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebuah undang-undang tentu harus dirumuskan secara jelas, tidak mengandung kecacatan substansial, dan tidak menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Merupakan sebuah tanggung jawab bagi perancang peraturan perundang-undangan dan merupakan fungsi dari Ilmu perundang-undangan untuk mewujudkan hal tersebut. Rumusan sebuah pasal sangat menentukan dapat atau tidak dapatnya hukum memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi manusia. Tidak dirumuskannya sebuah undang-undang secara baik akan menimbulkan permasalahan yang pelik, contohnya adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh Mahkamah Agung. Ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peninjauan kembali menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sayangnya tidak sesuai dengan hakikat dari peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap rumusan pasal-pasal tersebut perlu diadakan perbaikan dan karena proses perubahan sebuah undang-undang memakan waktu, tentunya terhadap pasal-pasal yang masih berlaku tersebut perlu diterapkan sebuah metode penafsiran yang tepat.

In order to apply its function as has been mandated under the Constitution of the Republic of Indonesia, an act must be formulated clearly, doesn’t have a substantial defects, and doesn’t cause any incosistency in its implementation at the whole level. It is a duty for a legal drafter to make sure that it is done properly and it is the functions of the legislation theory to implement it. The drafting of each articles in an act is essential towards to ensure its impartiality and its certainty, also its benefit towards the people governed by it. Fraud of act’s legal drafting process will cause a huge consequences. Example given, the approval of a case review requestas has been appealed by Prosecutor to a legal and binding judgment in a criminal case by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The uncertainty in articles that governs about the rights to file a case review will cause a misinterpretation and distorting the basic philosophy of the case revie (herziening) itself. Hence, the drafting of an act’s article must be coordinated together with revision and in such a lengthy time-frame, especially to implement the interpretation of the articles properly."
Universitas Indonesia, 2014
S54028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gutami
"Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan mengenai tujuan necara kita sebagai berikut :
"Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilen sosial".
Disamping itu dalam penjelasan Undang-undang Dasar'45 ditetapkan pula mengenai sistem pemerintahan negara kita berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penjelasan ini menunjukkan bahwa Indonesia menjujung tinggi supremasi hukum yang bertujuan mewujudksn kesejahteraan umum agar teruujud masyarakat adil dan makmur.
Masyarakat sejahtera yang adil dan makmur ingin diwujudkan oleh pendiri negara kita dangan cara antara lain melalui jalur hukum. Hukum dipakai sebagai sarana untuk pengaturan masyarakat agar tujuan negara kita tercapai.
Pembentukan hukum itu sendiri merupakan suatu proses yang tidak singkat dan memerlukan pemikiran yang luas serta mendalam, disamping itu membutuhkan biaya yang mahal.
Hukum dalam tulisan ini yang dimaksud adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian maka peraturan tertulis yang oleh penguasa pusat yang sah dapet disebut dengan Undang-undang dan peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa daerah yang sah disebut dengan Perda (Peraturan Daerah).
Pengingat proses pembentukan baik Undang-undang mau pun Perda yang tidak singkat, memerlukan pemikiran yang luas serta mendalam, disamping membutuhkan biaya yang mahal tersebut maka merupakan dorongan bagi setiap pembentuk Undang-undang maupun Perda agar mempunyai informasi yang luas mengenai masyarakat serta peraturan itu sendiri.
Karena pada dasarnya setiap peraturan itu bekerjanya di dalam masyarakat melalui orang dan bukan bekerja dalam ruang yang hampa udara, sedangkan masyarakat atau kelompok orang merupakan subjek nilai dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang menyangkut baik pribadi, kelompok maupun.golongannya.
Oleh karena itu apabila penguasa negara kita baik yang di Pusat maupun di Daerah telah sepakat bahwa dengan pembentukan Undang-Undang maupun Perda merupakan suatu usaha yang sadar agar masyarakat dapat dipengaruhi bergerak kearah yang dikehendakinya maka penting sebagai patokan untuk diperhatikan mengenai empat prinsip yang dikemukakan oleh Sudarto yaitu :
1. Pembentuk Undang-undang harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang senyatanya.
2. Pembentuk Undang-Undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam, masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu, dengan cara-cara yang dilakukan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal ini tepat diperhitungkan dan agar dapat dihormati.
3. Pembentuk Undang-undang harus mengetahui hipotesa yang menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan dengan perkataan lain mempunyai pengetahuan tentang hubungan kausal antara sarana (Undang-undang dan misalnya sanksi yang ada didalamnya) dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
4. Pembetuk Undang-undang menguji hipotesis ini dengan perkataan lain melakukan penelitian tentang effek dari Undang-undang itu termasuk effek sampingan yang tidak diharapkannya.
Keempat prisip tersebut diatas yang harus mendapat perhatian bagi pembentuk Undang-undang baik yang di Pusat maupun di Daerah, mengingat Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dengan masyarakat yang benar-benar polyvalent artinya bahwa masyarakat Indonesia berlaku sistem nilai yang berbeda untuk seluruh penduduk di negara ini.
Begitu pula dengan keadaan geoorafi Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau menyababkan sifat kebhinekaan atau sifat heterogen sehingga menyulitkan pembentuk Undang-undang kerena pada dasarnya sifat Undang-undang itu umum dan harus dapat berlaku sama terhadap semua warga negara akan tetapi dengan adanya perbedaan sistem nilai tersebut menyebabkan persepsi terhadap suatu Undang-undang kemungkinan tidak sama, sehingga pembentuk Undang-undang harus dapat menghindari adanya deskrepensi (ketidaksesuaian) antara pandangan yang diwujudkan denoan kata-kata dalam Undang-undang serta pandangan yang hidup dalam mesyerakat. Keadaan ini harus disadari dan diperhitungkan sebelum Undang-undang terwujud.
Adanya sifat heterogen dan perbedaan sistem nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut maka gaya bahasa yang digunakan oleh pembentuk Undang-undang baik di Pusat maupun di Daerah hendaknya mendapat perhatian khusus seperti yang dikemukakan oleh Sudarto sebaoai berikut :
1) Gaya bahasanya singkat dan sederhana, kalimat muluk-muluk hanyalah membingungkan belaka.
2) Istilah-istilah yang digtnakan sedapatnya harus absolut dan tidak relatif, sehingga memberi sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan.
3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan menghindarkan kiasan-kiasan dan hal - hal hipotetis.
4) Undang-undang tidak boleh.jlimet, sebab ia diperuntukkan orang-orang yang daya tangkapnya biasa, ia harus bisa dipahami oleh orang pada umumnya.
5) la tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya denoan adanya pengecualian, pembatasan, atau perubahan kecuali apabila hal memang benar-benar diperlukan.
6) la tidak boleh terlalu banyak memberi alasan, adalah berbahaya untuk memberi alasan-alasan yang..."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T1959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Hamdani
"Proses penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan atau tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat adalah merupakan salah satu mata rantai dari fungsi Jaksa, dimana fungsi tersebut tidak dapat terlepas dan dipisahkan dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan dapat menentukan keberhasilan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan. Dalam sistem peradilan peranan kejaksaan sangat sentral karena kejaksaan merupakan oleh lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang tersangka akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Dengan demikian terlihat keterkaitan antara penyidikan dengan tugas penuntutan perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan Umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu peran Kejaksaan sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan masalah jaminan kepastian hukum, pelaksanaan hak asasi manusia, dan perlindungan hukum ini, maka perlu kiranya kita perhatikan dan telaah suatu kewenangan yang dipunyai oleh Kejaksaan yang pada saat era orde baru maupun sampai sekarang ini yang sempat menjadi bahan perbincangan dikalangan masyarakat dan menjadi perhatian di media massa, yaitu mengenai pencegahan dan penangkalan yang sering disingkat dengan pencekalan. Pencegahan dan penangkalan disini adalah suatu tindakan berupa pelarangan terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ataupun keluar wilayah Indonesia, hal yang demikian ini merupakan suatu pembatasan terhadap kebebasan bergerak seseorang.
Proses mencegah atau menangkal orang pun tidak bisa sembarangan. Instansi yang boleh meminta pencegahan dan penangkalan pun dibatasi. Permintaan pencegahan terhadap seseorang hanya bisa datang dari empat instansi, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Jaksa Agung dan Panglima TNI. Yang menjadi menarik disini ialah, masih terasa diingatan penulis para tersangka tindak pidana korupsi yang menurut Kejaksaan sudah dilakukan pencekalan untuk tidak bisa melarikan diri tetapi ternyata mereka kabur dengan mudah melalui jalur yang resmi ataupun jalur yang tidak resmi. Penelitian ini membahas permasalahan penerapan tindakan pencegahan dan penangkalan oleh Kejaksaan terhadap tersangka tindak pidana. Tindakan tersebut apakah bertentangan dengan hak asasi manusia. Upaya apa yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap tersangka tindak pidana yang sudah dikenakan pencekalan kemudian melarikan diri ke luar negeri. Berdasarkan hasil penelitian maka tindakan pencekalan merupakan bagian dari pelaksanaan wewenang penyelidik, penyidik dan penuntut umum serta tindakan tersebut tidak perlu mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tindakan pencekalan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, sebab ada dasar hukumnya. Upaya yang dilakukan oleh Kejaksaan adalah mengajukan permohonan ekstradisi melalui jalur diplomatik Jaksa Agung."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carter, Linda
St. Paul: West, A Thomson Reuters Business, 2011
345.05 CAR g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Jevi Surya
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis peranan ahli kedokteran forensik dalam memberikan keterangan ahli serta pengaruhnya terhadap keyakinan dan pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perkara pidana di Indonesia. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimanakah definisi dan kualitas alat bukti keterangan ahli dalam hukum acara pidana Indonesia; bagaimana perkembangan pengaturan, bentuk peranan, standar kriteria ahli kedokteran forensik dalam memberikan keterangan ahli dalam hukum acara pidana di Indonesia; dan bagaimanakah pengaruh keterangan ahli kedokteran forensik dalam putusan perkara pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-undangan Statue Approach Pendekatan Kasus Case Approach dan Pendekatan Perbandingan Comparative Approach . Data-data yang diperoleh akan dideskripsikan untuk kemudian dianalisa secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa definisi alat bukti keterangan ahli di Indonesia mengacu pada KUHAP, yang pada prakteknya terbagi atas tiga macam definisi dan kualitas antara lain mulai yang terkuat kualitasnya Getuige Deskundige ahli yang mengemukakan pendapat dengan melakukan pemeriksaan secara langsung , Deskundige ahli yang mengemukakan pendapat tanpa melakukan pemeriksaan secara langsung , Zaakkundige ahli yang menerangkan pendapatnya, namun sebenarnya dapat dipelajari sendiri oleh hakim, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum ; Perkembangan pengaturan peranan ahli kedokteran forensik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang namun tidak terkodifikasi dalam satu undang-undang khusus, Bentuk peranan yang dapat diberikan oleh dokter forensik antara lain Clinical Forensic Medicine peranan kedokteran forensik terhadap manusia hidup , dan Clinical Pathology peranan kedokteran forensik terhadap mayat , Standar kriteria ahli kedokteran forensik yaitu memiliki kemampuan dan keterampilan dengan level 4A mampu melakukan secara mandiri disertai dengan surat tanda registerasi dan surat izin praktek; Pendapat ahli kedokteran forensik berasal dari hasil pemeriksaan yang dilakukan secara langsung terhadap bukti-bukti yang ada dan disertai dengan visum et repertum memiliki pengaruh terhadap pertimbangan dan keyakinan hakim.
ABSTRACT
This thesis analize forensic medicine expert role in providing expert 39 s testimony and its influence on judge 39 s conviction and consideration in determining criminal judgment in Indonesia. The scopes of the discussion are, how are the definition and quality of expert rsquo s testimony evidence in criminal procedure law of Indonesia how are the development of regulation, the form of the role, standard criteria of the forensic medicine expert in providing expert rsquo s testimony in criminal procedure law of Indonesia and how is influence of forensic medicine expert rsquo s testimony in the criminal judgment in Indonesia. The research method used normative juridical method by using statute approach, case approach, and comparative approach The data obtained will be described for later analyzed qualitatively and described systematically. The result of the research concludes that the definition of expert rsquo s testimony evidence in Indonesia refers to the Indonesia Criminal Procedure Code, which in practice is divided into three kinds of definitions and qualities, among others from the strongest quality Getuige Deskundige experts who provide testimony by conducting direct examination , Deskundige experts who provide testimony without conducting a direct examination , Zaakkundige experts who provide testimony but it can actually be studied by judges, public prosecutor and legal advisor The development of regulation on the role of forensic medicine experts began in the Dutch colonial era up to now but not codified in one particular law, The forms of the role that can be provided by forensic doctor such as Clinical Forensic Medicine the role of forensic medicine to human life and Clinical Pathology the role of forensic medicine against corpses , Standard criteria of forensic medicine expert are the ability and skill with level 4A able to do independently accompanied by letter of registration and license of practice Testimony of the forensic medicine expert, which derived from the results of a direct examination of the available evidence accompanied by visum et repertum has an influence on judge 39 s consideration and conviction."
2018
T49443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rachman Uddin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Angga Bastian
"Salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah Pengadilan mengadili menurut hukum dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Asas yang juga dikenal sebagai asas presumption of innocence ini adalah paham yang menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan memutus bahwa terdakwa tersebut memang bersalah.
Berkaitan dengan asas tersebut; KUHAP juga menjamin adanya asas perlindungan terhadap tersangka dari tindakan penyidik yang sewenang-wenang dalam menjalankan upaya paksa; secara khusus masalah penangkapan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang dinamakan PRAPERADILAN. Praperadilan harus memastikan bahwa penangkapan yang dilakukan sudah sesuai dengan syarat dan tata cara penangkapan yang diatur didalam KUHAP. Ketentuan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 17 KUHAP memberikan gambaran bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang oleh penyidik. Skripsi ini akan membahas mengenai ketentuan syarat dan tata cara penangkapan, proses pemeriksaan praperadilan terhadap syarat dan tata cara penangkapan tersebut, serta penerapannya di dalam sebuah putusan praperadilan.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif yakni penelitian kepustakaan yang mengaitkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa ketentuan mengenai syarat penangkapan belum dirumuskan secara tegas oleh KUHAP dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses pemeriksaan praperadilan cenderung menggunakan mekanisme keperdataan yang sangat rigid secara formil namun kurang dalam mencari kebenaran materiil. Implikasi proses pemeriksaan yang demikian terlihat juga pada putusan praperadilan yang lebih banyak menekankan pertimbangannya pada ketentuan-ketentuan yang bersifat formil."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22412
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasry Noor
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
O`Sullivan, Aisling
Boca Raton: CRC Press, 2017
345 OSU u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>