Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachrul Kardiman
"ABSTRAK
Tindak pidana korupsi yang sudah semakin kompleks penegakan hukumnya, dengan semakin canggih cara pelaku dengan dibarengi oleh tindak pidana pencucian uang. Dengan begitu otomatis mengalami kesulitan pada tahap pembuktian di sidang pengadilan. Kebanyakan hanya dengan beban pembuktian biasa yang kebanyakan diatur pada undang-undang tindak pidana korupsi jarang bisa mendapatkan kembali aset-aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi kepada Negara. Pemecahan permasalahan tersebut dengan menggunakan rezim anti pencucian uang yang lebih mudah dalam tahap pembuktiannya dan terfokus kepada pengejaran aset. Oleh karena itu diharapkan pada setiap kasus tindak pidana korupsi apabila memungkinkan gunakan pula aturan pada undang-undang pencucian uang, untuk mempermudah

ABSTRACT
Current law enforcement for criminal acts of corruption are increasingly complex, with more ingenious ways of its perpetrators and coupled with a criminal offence of money laundering. So automatically, law enforcement agencies are having difficulty at the stage of proof in the Court of session. Mostly just with the usual burden of proof is often regulated in law the crime of corruption. and also it is very rare to be able to get back the assets allegedly derived from criminal acts of corruption to the country. Solving these problems by using the antimoney laundering regime more easily in his evidentiary stage and focused to the pursuit of the assets. Therefore expected in each case the crime of corruption if possible use also rules on money laundering legislation, to make it easier to prove relation to seizure of assets.
"
2014
S54438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustinus Indria Busana
"Kriminalisasi perbuatan memproses harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan berbagai macam cara semula bukan merupakan suatu kejahatan tetapi sekarang dianggap sebagai suatu kejahatan. Tidak adanya syarat penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal, mewajibkan terdakwa membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana yang disangkakan. Akibatnya penyidik maupun jaksa penuntut umum mudah lupa tidak melakukan kewajiban hukum untuk mencermati delik tindak pidana pencucian uang yang didakwakan. Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Tersangka atau Terdakwa dapat melakukan dua perbuatan yakni tindak pidana asal dan pencucian uang, atau satu perbuatan yakni tindak pidana asal atau pencucian uang. Untuk dapat melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, tetapi dugaan penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka tentang tindak pidana asal pencucian uang akan sangat menentukan berhasil tidaknya dakwaan. Sebaliknya tindak pidana asal yang tidak jelas akan membuat persidangan berlarut-larut, karena sulitnya menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian dalam ranah hukum berasaskan praduga tak bersalah di Indonesia. Sebagaimana maksud dan tujuan penelitian ini menghasilkan kesimpulan bagaimana dakwaan tindak pidana pencucian uang.

Abstract
Criminalization the undertaking process of generating assets from any kind proceeds of crimes formerly was not classified as a crime, but it was a crime at the moment. Since there was no obligation for investigator and prosecutor to prove the predicate offence in advance, the Act shall oblige the accused to prove his / her assets not derived from related criminal offence. As a result, whether investigator or prosecutor were easy not to clarify and qualify the delict of money laundering offence prosecuted. In the money laundering offence, the suspect could conduct two proceed of crimes, the first was predicate offence and the second was laundering the money; and the second alternative was just predicate offence or just laundering the money. Although to perform investigation, prosecution and examination in the court, they shall not require to proof predicate offence in advance, but their allegation of predicate offence conducted by the accused would be very significant for success or not of their accusation. In contrast, should the predicate offence was obscure, the proofing process would take long proceedings, caused by the difficulties of proofing within the presumption of innocence of law principle in Indonesia. As the purpose and objectives of this research to get conclusion how the prosecution of money laundering offence was."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S551
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fiki Novian Ardiansyah
"Fenomena globalisasi telah berdampak pada perubahan modus operandi dari para pelaku korupsi sehingga menjadi bersifat transnasional. Contoh kasusnya adalah perkara suap di PT. Garuda Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengulas proses kerja sama internasional KPK dalam penyidikan tindak pidana korupsi dan pencucian uang transnasional beserta tantangan dan hambatan yang dihadapi KPK ketika melakukan kerja sama internasional dalam penyidikan tindak pidana korupsi dan pencucian uang transnasional. Analisisnya menggunakan teori globalisasi, teori penegakan hukum, teori kerja sama internasional dalam penanganan tindak pidana korupsi, konsep faktor penghambat kerja sama internasional dalam penegakan hukum, konsep penyidikan, teori yurisdiksi, konsep kejahatan transnasional, serta pengertian tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Metode penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus yaitu perkara suap di PT. Garuda Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan di Direktorat Penyidikan KPK melalui teknik pengumpulan data berupa wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kerja sama internasional yang dilakukan KPK dengan agensi asing yaitu SFO dan CPIB menggunakan format parallel investigations. Dasar kerja sama internasional yang dilakukan KPK tersebut menggunakan MoU bilateral maupun multilateral serta perjanjian ASEAN MLAT dengan mengacu pada instrumen internasional yaitu United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Praktik kerja sama internasionalnya adalah melalui pertukaran informasi/data/dokumen secara intelijen basis. Media yang digunakan adalah email, teleconference call, telepon, dan pertemuan tatap muka. Ketika masing-masing agensi membutuhkannya dalam format barang bukti untuk persidangan, agensi tersebut perlu mengajukan permintaan melalui MLA. Walaupun sudah ada platform kerja sama internasional, KPK masih menghadapi tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan kerja sama internasional. Tantangan dan hambatan tersebut terkait dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum baik yang ada di Indonesia maupun di negara-negara yang diajak kerja sama dalam penanganan kasus ini.

Globalization has influenced changes in the methods of corruption actors, causing them to become transnational in nature. An example of a case is the bribery case at PT. Garuda Indonesia. The purpose of this research is to review the process of the KPK's international cooperation in investigating transnational corruption and money laundering crimes, as well as the challenges and obstacles faced by KPK when carrying out international cooperation in investigating transnational corruption and money laundering crimes. The analysis uses globalization theory, law enforcement theory, and international cooperation theory in dealing with corruption crimes, the concept of inhibiting factors of international cooperation in law enforcement, investigation concepts, jurisdiction theory, the concept of transnational crime, and the notion of corruption and money laundering. The method used is a qualitative one with a case study approach. The research was carried out at KPK’s Investigation Directorate through data collection techniques in the form of interviews and literature studies. The results show that the international cooperation carried out by KPK with foreign agencies, namely SFO and CPIB, uses a parallel investigation format. The basis for the KPK’s international cooperation uses bilateral and multilateral MoUs and the ASEAN MLAT agreement with reference to international instruments, namely the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). The practice of international cooperation is the exchange of information, data, and documents on an intelligence basis. The media used are e-mail, teleconference calls, telephone, and face-to-face meetings. When each agency requires it in evidencial format, the agency submits a MLA request. Even though there is already an international cooperation platform, KPK still faces challenges and obstacles in implementing international cooperation. The challenges and obstacles are related to the substance of the law, legal structure, and legal culture both in Indonesia and in the cooperating countries on handling this case."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hangkoso Satrio W
"ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi sekarang ini disertai dengan upaya-upaya
menyembunyikan aset hasil tindak pidana dengan menggunakan mekanisme
pencucian uang. Paradigma baru dalam memecahkan persoalan pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah dengan menggunakan rezim anti pencucian uang
yang lebih memfokuskan pada perampasan aset hasil kejahatan, karena aset hasil
kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana dan juga titik
terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Perampasan aset di
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih sempit
jangkauannya dibandingkan dengan Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih berfokus kepada asalusul
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Oleh karena itu
untuk memaksimalkan perampasan aset di dalam tindak pidana korupsi lebih baik
juga disertakan ketentuan tindak pidana pencucian uang

ABSTRACT
In corruption case at this time is also followed by the effort to hide proceeds of
crime with money laundering mechanisms. The new paradigm to eradicate
corruption is by using anti-money laundering regime which focuses to confiscate
proceeds of crime, because of the proceeds of crime is a lifeblood of the crime
and also the weakest point of a chain of crime which most easily to be detected.
Asset forfeiture in eradication corruption act is narrower than prevention and
combating money laundering act which more focus in the origin of the asset that
suspected as proceeds of crime. Therefore to maximize the asset forfeiture in
corruption case would be better to use the money laundering law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43852
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Samuel Paruhum
"

Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai  Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan  peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.

 


This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
364.132 3 PAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Karin Safira Putri
"Belakangan ini para koruptor kerap memanfaatkan bantuan dari pihak yang lebih mengerti teknik-teknik akses dana dan sistem yang bisa dimanipulasi guna memperlancar praktik pencucian uang mereka. Pihak ini umumnya disebut sebagai gatekeeper pencucian uang. Dari permasalahan ini, penulis selanjutnya berusaha untuk mencari tahu bagaimana peran gatekeeper dalam sudut pandang kriminologi serta apa saja kondisi yang melatarbelakangi gatekeeper terlibat dalam pencucian uang koruptor. Penulisan karya ilmiah ini memanfaatkan data-data sekunder yang didapat melalui studi literatur. Pembahasan akan dijelaskan dengan menggunakan konsep-konsep kejahatan kerah putih serta teori fraud triangle menurut Donald Cressey.

These days corruptors often use the assistance of those who more understand about access funds techniques and system that can be manipulated in order to facilitate their money laundering. They are generally called as the gatekeeper of money laundering. From these problems, the authors trying to figure out about the roles of gatekeepers in criminology standpoint and what are the conditions that causing gatekeeper engaged in corruptors money laundering. This scientific papers is utilizing secondary data obtained through the study of literatures technique. The discussion will be explained by using various concepts of white-collar crime as well as fraud triangle theory by Donald Cressey.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ng Toni Mulia
"Tesis ini membahas tanggung jawab Komisaris terhadap Tindak Pidana Korupsi. Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam pengurus PT. Muncul masalah pada saat Komisaris PT. MMJA yang dipidana sembilan tahun penjara dan denda serta uang pengganti yang jika tidak dibayar digantikan dengan empat tahun penjara karena tindak pidana korupsi. Melihat adanya polemik tersebut, dilakukan penelitian apakah Komisaris tersebut bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi atau tidak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Komisaris dapat bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi sepanjang Komisaris terbukti bersalah.

This thesis discusses Commissioner?s responsibility in Corruption Crime. In general a Commissioner has a duty of supervising and providing advice to Board of Directors in the management of a limited liability company (PT). There is a problem arising when a Commissioner of PT. MMJA who has been sentenced with nine years imprisonment and fine and also money in lieu of four years imprisonment if not paid, because of corruption crime. Knowing that there is a polemic, it is necessary to do a research to find out whether such Commissioner is responsible for the corruption crime or not. This research uses normative-juridical method namely through library research or secondary data. The result of research arrives at a conclusion that a Commissioner can be held responsible for corruption crime as long as he/she is proven guilty."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28994
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alvin Wiradinata
"Penulisan ini dilatarbelakangi dengan besarnya nominal kerugian akibat kasus pencucian uang hasil pidana korupsi. Metode penulisan ini adalah studi kepustakaan dengan data yang bersumber pada studi kasus pencucian uang hasil pidana korupsi yang dilakukan oleh ZH. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan teori Integrated Theori of White-Collar Crime untuk menjelaskan bagaimana kejahatan tersebut dapat terjadi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, tulisan ini menemukan bahwa terdapat pertemuan antara aspek motivasi dan peluang yang secara bersamaan dimungkinkan untuk melatarbelakangi pelaku dalam melakukan kejahatannya.

This writing is motivated by the substantial financial losses stemming from money laundering resulting from a corruption conviction case. The methodology employed in this paper is a literature review utilizing data derived from a case study on money laundering involving the proceeds of corruption committed by ZH. In conducting the analysis, the author utilizes the Integrated Theory of White-Collar Crime to elucidate how such criminal activities can occur. Based on the analysis conducted, this paper concludes that there is an integrated of motivational and opportunistic factors that concurrently contribute to the background of perpetrators engaging in criminal activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irvin Sianka Thedean
"Pencucian Uang (Money Laundering) merupakan suatu terminologi yang tidak asing dalam masyarakat dewasa ini. Pencucian Uang yang kita ketahui kerapkali dilakukan oleh pejabat negara lazimnya dengan tujuan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum. Salah satu Tindak Pidana Asal (predicate crime) yang dilakukan pejabat negara adalah tindak pidana korupsi, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 8/2010. Pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah negara dengan jumlah uang hingga puluhan milyar rupiah. Pada mulanya perbankan dipergunakan oleh pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang, dengan tahapan placement, layering, dan integration. Namun seiring dengan semakin ketatnya sistem perbankan di Indonesia, pelaku pencucian uang mencari sarana lain sebagai alat untuk melakukan pencucian uang.
Notaris merupakan profesi yang memiliki kedudukan sangat terhormat dengan tugas yang sangat mulia. Kewenangan Notaris yang diberikan oleh undang-undang adalah membuat akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan kewenangan notaris tersebut, pelaku pencucian uang memanfaatkan akta-akta notaris dalam transaksi jual beli sehingga uang haram dapat dirubah menjadi aset-aset tertentu. Notaris memiliki kewajiban untuk memahami dan mematuhi Kode Etik Notaris, Undang-undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dimana melakukan analisa terhadap norma-norma hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran atas permasalahan yang diteliti.

Money Laundering is a terminology which is quite familiar in the society recently. Money laundering that we have known is often done by state officials with a purpose to obscure the origin of the assets acquired unlawfully. One of the predicate crimes which is often done by state officials is corruption crime, in accordance with Article 2 paragraph (1) of Law No 8/2010. In this case, the damaged party is the State with the amount of money up to tens of billions rupiah. Formerly, bank is used by the money laundering doer to commit money laundering, with the stages of placement, layering, and integration. But, along with the banking system in Indonesia which is more stricted in regulations, money laundering doer looks for another way to commit money laundering.
Notary is a proffesion which has a very respectable with a noble duty. Notary`s authority granted by law, is making an authentic deed, as provided in Article 1870 Indonesia Civil Code and Law regarding Notary. In connection with such Notary`s authority, money laundering doer makes benefit of such notarial deed in some sale and purchase transactions so that illegal money could be converted into certain assets. Notary has an obligation to understand and comply with the Code Conduct of Notary, Law regarding Notary, and other related regulations. The method used in this research is yuridical-normative method, where we do an analysis of the applicable law with the purpose to obtain the subjects of the problem.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>