Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Aditya Ning Lestari
"Penelitian ini menguji relevansi Teori Balance of Power milik Kenneth Waltz dengan metode studi kasus. Fenomena yang diteliti adalah stabilnya kawasan Laut Cina Selatan yang dikelilingi Negara-negara bersengketa dengan besaran power yang tidak berimbang. Hasil penelitian ini adalah bahwa Teori Balance of Power relevan dalam menjelaskan perilaku Brunei dan Filipina yang melakukan external balancing dengan Britania Raya dan Amerika Serikat, sehingga tercipta bipolaritas ganda. Teori ini irelevan dalam menjelaskan perilaku Malaysia dan Vietnam, dimana keduanya tidak melakukan internal balancing maupun external balancing, namun stabilitas tetap terjaga diantara mereka. Malaysia tidak menganggap Cina sebagai ancaman utama, sedangkan Vietnam memiliki pengalaman memenangi perang melawan negara besar. Menjelaskan perilaku Vietnam, penulis ini menawarkan konsep asymmetric balancing, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut agar dapat mengembangkannya sebagai teori dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional.

This research tests the relevance of Kenneth Waltz's Balance of Power Theory using the case study method. It studies the currently stable South China Sea, which is surrounded by claimant states highly diverse in term of power magnitude. The result is that Balance of Power Theory is relevant in explaining Brunei's and Philippines external balancing with United States and United Kingdom, thus creating a dual bipolarity. The theory is irrelevant in explaining Malaysia and Vietnam's behavior where they did not do neither internal nor external balancing, yet the stability has been there. Malaysia did not perceive China as the main threat; meanwhile Vietnam has had an experience of winning asymmetric war against greater power. Explaining the behavior of Vietnam, this research proposes the concept of asymmetric balancing, which need further research in order to make it a theory in the field of International Relations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robitul Haq
"Tesis ini menganalisis persepsi ancaman Australia terhadap Tiongkok dalam kerjasama “Vanuatu Port Luganville Main Wharf Project” tahun 2018. Kajian terdahulu mengenai persepsi ancaman Australia telah dilakukan dan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa periode: era kolonial (1880-an), era Perang Dunia, era Perang Dingin, dan Era Modern (akhir 1980an). Penulis mengangkat era tahun 2010an karena pada era tersebut kehadiran Tiongkok di kawasan Pasifik Selatan meningkat, utamanya dari segi kerjasama ekonominya. Penelitian terdahulu telah menjelaskan tentang peningkatan kehadiran Tiongkok di Pasifik Selatan menggunakan paradigma realisme, neorealisme, dan liberal-institusional. Namun ketiganya tidak cukup menjelaskan intensi Tiongkok di Pasifik Selatan. Kerjasama Tiongkok dengan Vanuatu dipandang dengan great concern oleh Perdana Menteri Turnbull pada tahun 2018. Great concern adalah istilah yang digunakan sebuah negara ketika mulai mengakui adanya ancaman. Penulis menggunakan kerangka analisis teori persepsi ancaman oleh Raymond Cohen. Terdapat tiga variabel dalam teori persepsi ancaman yakni: wilayah, kecurigaan, dan kerentanan. Analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor pembentuk persepsi ancaman Australia yang diturunkan dari tiga variabel teori persepsi ancaman. Faktor pertama adalah Jarak wilayah Australia dan Vanuatu (Luganville Wharf). Faktor kedua adalah dampak peningkatan kehadiran Tiongkok di Pasifik Selatan dan berkurangnya pengaruh Australia. Faktor ketiga adalah dampak persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok terhadap Australia, serta adanya potensi militer dalam proyek antara Tiongkok dan Vanuatu (Luganville Wharf).

This thesis analyses Australia’s threat perceptions towards China in “Vanuatu Port Luganville Main Wharf Project” in 2018. Previous study about Australia’s threat perceptions has been carried out and divided into four eras: colonial era (1880s), World War era, Cold War era, and Modern era (late 1980s). The author chose the era of early 2010s because in this era there has been an increase in China’s presence in the South Pacific, especially in economic cooperation. Previous study about China’s increasing presence in the South Pacific has been carried out using the paradigm of realism, neorealism, and liberal-institutional. But none of them provided adequate explanation of China’s intentions in the South Pacific. In April 2018, Australia’s Prime Minister Malcolm Turnbull stated that Australia would view the particular China-Vanuatu project with great concern. Great concern is a term used by heads of state when they perceive the capability of other actors to inflict damage while its intentions are still unclear but somewhat hostile. Thus, the author used the framework of threat perception theory by Raymond Cohen. There are three variables in the threat perception theory: geographical, mistrust, and sense of vulnerability. The result in this thesis proved that there are three factors which shaped Australia’s threat perception, derived from three variables of threat perception theory. First, the distance between Australia and Vanuatu (Luganville Wharf). Second, the impact of China’s increasing presence in the South Pacific and the decline of Australia’s influence. Third, the impact of strategic rivalry between the United States and China to Australia, and the potential of military use in the Vanuatu Port Luganville Main Wharf Project."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valina Singka
"Tesis ini berjudul Hubungan Bisnis Cina dan Politik di Indonesia pada Masa Orde Baru: Studi Kasus Summa-Astra dan Barito Pacific Group (BPG). Sesuai dengan judulnya, tesis ini berusaha meneliti mengenai hubungan antara jatuh bangunnya bisnis pengusaha Cina, kaitannya dengan politik di Indonesia pada masa Orde Baru, khususnya dianalisis tentang kasus Summa-Astra dan perkembangan Barito Pacific Group.
Dua kasus ini dipilih dengan pertimbangan, kasus Summa Astra dapat memperlihatkan proses jatuhnya seorang konglomerat, sementara BPG dapat memperlihatkan pesatnya perkembangan sebuah konglomerasi dalam waktu singkat. Kedua kasus tersebut dengan jelas memperlihatkan masih besarnya peranan negara dalam menentukan jatuh bangunnya sebuah kelompok bisnis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, kebijakan ekonomi Orde Baru yang berorientasi pada pasar babas dan modal asing telah memberi kesempatan kepada kelompok pengusaha Cina Indonesia untuk berkembang secara pesat, suatu keadaan yang belum pernah dialami pada masa kolonial maupun masa Sukarno. Dalam kaitan ini, model negara otoriter birokratik dapat membantu memahami kaitan antara sistem ekonomi internasional dengan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi Orde Baru, dan kemunculan pengusaha Cina yang kemudian dominan dalam perekonomian Indonesia.
Kedua, bahwa networking, baik itu jaringan modal, distribusi dan perdagangan, berperan besar di dalam keberhasilan bisnis orang-orang Cina. Jaringan ini tidak hanya bekerja di tingkat lokal (Indonesia) Baja, tetapi juga di tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara), serta di tingkat global. Jaringan Chinese Overseas ini telah mendunia dan memberi dampak positif dalam ekspansi pengusaha Cina Indonesia.
Ketiga, bahwa network atau jaringan dengan penguasa juga terbukti berperan besar di dalam membesarkan dan menyurutkan suatu bisnis. Dalam kaitan ini terdapat koalisi politik domestik yang mencerminkan suatu hubungan yang saling menguntungkan antara aliansi utama Orde Baru yaitu militer, birokrat, dam kaum industrialis besar. Kolusi menjadi bagian penting yang mewarnai hubungan di antara koalisi politik domestik itu.
Melalui kasus Summa-Astra dan Barito Pacific Group ini nampak bahwa kelompok pengusaha Cina semakin sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungannya kepada negara kalau ingin tetap menjadi besar. Walau tidak dipungkiri adanya perbedaan kepentingan antara anggota kelompok pengusaha Cina tersebut dengan negara, tetapi di dalam struktur politik dan ekonomi Indonesia yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tidak demokratis, maka pengusaha harus tetap memperhatikan kepentingan negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indradjaja
"Adanya pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak berperan dalam proses pembuatan politik luar negeri, menjadi latar belakang dipilihnya topik ini. Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa DPR RI tidak ada peran ? Kalau benar, mengapa demikian ? Kalau ada, bagaimana peran DPR RI tersebut ? Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu merupakan hal-hal yang dikaji dalam tesis ini.
Sesuai dengan definisi politik luar negeri, yaitu tindakan-tindakan suata negara terhadap lingkungan luar dan kondisi-kondisi yang melingkupi pembuatan tindakan tersebut, make dipilihlah 2 (dua) kasus. Kasus itu adalah Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Intemasional Pasca Peristiwa Dili 1991.
Untuk memahami peran DPR RI tersebut, maka digunakan beberapa kerangka pemikiran. Partama, adalah tentang model hubungan legislatif dan eksekutif dalam suatu sistem politik dalam kaitan dengan pembuatan politik luar negeri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth N, Waltz. Kedua, adalah konsep-konsep tentang fungsi dan hak-hak lembaga legislatif secara umum dan DPR RI secara khusus.
Hasil temuan tesis ini menunjukkan bahwa politik luar negeri (kasus Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Internasional Pasca Peristiwa Dili 1991) sebagai output bukanlah berbentuk peraturan setingkat Undang-Undang (W). Konsekuensi logisnya adalah fungsi pembuatan W yang dimiliki DPR RI tidak digunakan. Yang digunakan oleh DPR RI adalah fungsi kontrol saja. Fungsi kontrol inipun digunakan secara terbatas oleh DPR RI, yang ditunjukkan oleh digunakannya wewenang bertanya di dalam Komisi saja. Selain itu penggunaan fungsi kontrol ditunjukkan juga oleh adanya berbagai masukan dan saran yang diberikan Komisi I DPR RI kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Tesis ini juga menemukan kenyataan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia adalah pelaksana politik luar negeri Indonesia). Demikian halnya dalam kasus Penyelesaian Masalah Timor Timm- pasca Peristiwa Dili 1991. Kebijakan Penyelesaian Masalah Timor Timur tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah secara serius di dalam rapat-rapat dengan DPR RI (Komisi I). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Presiden Republik Indonesia (Jenderal purnawirawan Suharto) adalah tokoh yang menentukan dan mendominasi pembuatan politik luar negeri Indonesia (dua kasus) tersebut. Salah satu sebab dominannya Presiden RI tersebut karena pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 belum dijelaskan dalam peraturan perundangan yang lebih operasional. Ketiadaan perturan perundangan yang lebih opersional tersebut menyebabkan kedudukan DPR dalam pembuatan politik luar negeri RI menjadi tidak terlalu jelas. Akibatnya DPR RI tidak berdaya, ketika lembaga tersebut diabai.kan oleh eksekutif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulana Putra
"Penelitian ini berfokus pada dampak kebijakan luar negeri terhadap identitas kolektif suatu negara dengan menggunakan disain penelitian studi kasus dimana kasus yang digunakan adalah hubungan internasional di Semenanjung Korea. Analisis dilakukan melalui dua tahap: (1) analisis pada kebijakan luar negeri yang berfokus pada hasil kebijakan luar negeri, (2) analisis yang menjelaskan hasil kebijakan luar negeri pada empat aspek identitas kolektif: ketergantungan, kesenasiban, keseragaman, dan ketahanan diri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kebijakan Trust Building Process Korea Selatan dan kebijakan denuklirisasi Amerika Serikat serta Tiongkok terhadap Korea Utara mempunyai pengaruh pada identitas kolektif Korea Selatan.

This study focuses on the impact of foreign policies toward a state?s collective identity. The study was conducted by implementing a case study design which used international relation in Korea peninsula as the main case. The data of the study was analyzed in two phases: first, analysis focused on the outcomes of South Korea's, China?s, and the U.S.? foreign policies and, second, analysis on the results of the foreign policies in four aspects of collective identity, which are interdependence, common fate, homogeneity, and self-restrain. Eventually, the study concludes that South Korea's Trust Building Process policy, as well as the U.S.? and China?s denuclearization policy toward North Korea had an influence on South Korea?s collective identity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Couloumbis, Theodore A.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1990
327 COU i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Muslimin Ikbal
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai efektivitas bantuan Pemerintah Jerman kepada Pemerintah Indonesia dalam program Reformasi Birokrasi dengan studi kasus di Kementerian Dalam Negeri periode 2010 - 2014. Dalam analisis, tesis ini menggunakan sudut pandang Paris Declaration beserta lima prinsip dasar dan dua belas indikator untuk menentukan efektif-tidaknya bantuan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan sumber data dari literatur, hasil penelitian, laporan, dokumen, dan wawancara. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bantuan Pemerintah Jerman dalam program reformasi birokrasi di Kementerian Dalam Negeri tidak efektif. Melalui analisis terdapat indikasi bahwa bantuan Pemerintah Jerman berusaha untuk menciptakan status dependensi bagi Indonesia.

ABSTRACT
The focus of this study discusses the effectiveness of German Government Aid to the Government of Indonesia in the Bureaucratic Reform program in case study at Home Affairs Ministry period 2010 - 2014. In the analysis, this thesis uses the viewpoint of the Paris Declaration and its five basic principles and twelve indicators to determine whether or not the aid was effective. This majority of data in the study is qualitative research, which is collected through literatures, research, reports, documents, and interview. The results of this study concluded that the German government aids to bureaucratic reforms programs in Home Affair Ministry are not effective. Through the analysis there are indications that the German government aid seeks to create Indonesia's dependency.;The focus of this study discusses the effectiveness of German Government Aid to the Government of Indonesia in the Bureaucratic Reform program in case study at Home Affairs Ministry period 2010 - 2014. In the analysis, this thesis uses the viewpoint of the Paris Declaration and its five basic principles and twelve indicators to determine whether or not the aid was effective. This majority of data in the study is qualitative research, which is collected through literatures, research, reports, documents, and interview. The results of this study concluded that the German government aids to bureaucratic reforms programs in Home Affair Ministry are not effective. Through the analysis there are indications that the German government aid seeks to create Indonesia?s dependency.
, The focus of this study discusses the effectiveness of German Government Aid to the Government of Indonesia in the Bureaucratic Reform program in case study at Home Affairs Ministry period 2010 - 2014. In the analysis, this thesis uses the viewpoint of the Paris Declaration and its five basic principles and twelve indicators to determine whether or not the aid was effective. This majority of data in the study is qualitative research, which is collected through literatures, research, reports, documents, and interview. The results of this study concluded that the German government aids to bureaucratic reforms programs in Home Affair Ministry are not effective. Through the analysis there are indications that the German government aid seeks to create Indonesia’s dependency.
]"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Morgenthau, Hans J.
New York: Knopf , 1954
327 MOR p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitinjak, David Liberty
"Pada 3 September 2016, melalui executive agreement, Obama secara resmi meratifikasi Paris Agreement di tingkat domestik AS. Dalam beragam dokumen, retorika, dan analisis lembaga penelitian, hingga pejabat publik AS, keanggotaan Paris Agreement didasarkan pada tiga kepentingan; (1) tingginya kontribusi emisi global AS; (2) utilisasi mekanisme institusi bagi pertumbuhan ekonomi; dan (3) proaktivitas hegemon dalam menyediakan barang publik internasional sebagai stimulus stabilitas tatanan. Namun demikian, pada Juni 2017, Donald Trump memutuskan untuk menarik AS dari Paris Agreement, memutarbalikkan pendekatan aktif-pasif AS dalam isu diplomasi kebijakan iklim internasional. Maka dari itu, skripsi ini hadir untuk mempertanyakan mengapa AS (Trump) menarik diri dari Paris Agreement. Dengan menggunakan metode penelusuran proses kausal, penulis membangun kerangka analisis perubahan kebijakan luar negeri. Adapun alasan keputusan penarikan diri, yakni; perubahan posisi relatif internasional (distribusi kekuatan, dan stabilitas tatanan) AS yang mendorong pembaharuan pendekatan/strategi besar kebijakan luar negeri AS secara menyeluruh; kritik, dan advokasi sektor bisnis yang terdampak oleh regulasi lingkungan komplementer keanggotaan AS dalam Paris Agreement; minimnya tingkat institusionalisasi Paris Agreement di AS (minim check and balance bagi executive agreement); dan solusi figur perumus kebijakan anti-globalis terhadap perubahan (Trump), untuk mengurangi komitmen internasional AS.

On September 3, 2016, through an executive agreement, Obama officially ratified the Paris Agreement at the domestic level in the United States. Across diverse documents, rhetoric, and analyses from research institutions to U.S. public officials, the membership in the Paris Agreement was predicated upon three interests: (1) the high contribution of U.S. global emissions; (2) the utilization of institutional mechanisms for economic growth; and (3) the proactive role of the hegemon in providing international public goods as a stimulus for the stability of the order. Nevertheless, in June 2017, Donald Trump decided to withdraw the United States from the Paris Agreement, thereby reversing the active-passive approach of the U.S. in international climate policy diplomacy. Consequently, this thesis aims to inquire into why the U.S. (under Trump) withdrew from the Paris Agreement. Employing a method of causal process tracing, the author constructs an analytical framework for foreign policy change. The reasons for the withdrawal decision include changes in the relative international position (distribution of power and stability of the order) of the U.S., prompting a comprehensive renewal of the overall approach/strategy to U.S. foreign policy; critiques and advocacy from business sectors affected by complementary environmental regulations in the Paris Agreement; the limited institutionalization of the Paris Agreement in the U.S. (lacking checks and balances for executive agreements); and the anti-globalist policy maker's response to change (Trump), aiming to reduce U.S. international commitments."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demis Rizky Gosta
"Penelitian ini memperkenalkan Teori Sistem Modern sebagai alternatif pendekatan untuk menganalisis fenomena hubungan internasional dalam keadaan dunia yang terglobalisasi. Teori Sistem Modern dapat membantu memberikan sebuah bangun teori yang lengkap untuk mendeskripsikan world society tanpa harus mengkonflikannya dengan konsep international system. Selain itu dalam penlitian ini juga melakukan deksripsi ulang mengenai evolusi teori hubungan internasional menggunakan pendekatan Teori Sistem Modern. Sebagai contoh empiris penulis mengambil studi kasus mengenai evolusi sistem finansial internasional sejak akhir Perang Dunia II hingga era kontemporer. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil data melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini memberikan sebuah alternatif cara pandang baru mengenai globalisasi untuk membantu perkembangan teori hubungan internasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>