Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172359 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika Nur Safitri
"ABSTRAK
Latar Belakang : Wanita Penjaja Seks Langsung (WPSL) yaitu wanita
yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial. WPSL termasuk
dalam kelompok risiko tinggi dalam penyebaran kasus IMS khususnya Infeksi
Klamidia, berdasarkan data STBP tahun 2011, menunjukkan bahwa prevalensi
Gonore dan Klamidia tertinggi pada kelompok WPSL (56%). Tujuan :
Mengetahui faktor risiko kejadian Infeksi Klamidia pada WPSL di Bandung tahun
2011, faktor karakteristik demografi responden (umur, pendidikan, status
perkawinan, lama bekerja), faktor pengetahuan sikap dan perilaku (umur
hubungan seks pertama,bilas vagina, penggunaan kondom, , riwayat mengalami
gejala IMS, keterpaparan informasi), dan faktor pelanggan. Metode : Desain
penelitian ini adalah potong lintang, dengan menggunakan data sekunder
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada kelompok WPSL di
Bandung Tahun 2011. Data dianalisis secara univariat dan bivariat.
Hasil : penelitian menunjukkan bahwa proporsi WPSL yang mengalami
infeksi Klamidia sebesar 51,6%, rata-rata umur yaitu 25 tahun, sebagian besar
berpendidikan SLTA/sederajat (46,4%), 70% sudah menikah/pernah menikah,
umur pertama berhubungan seks terbanyak saat berumur ≥ 17 tahun (65,6%),
lama bekerja ≥ 2 tahun sebesar 52%, pernah mengalami gejala IMS 57,6%, tidak
memiliki kebiasaan bilas vagina 82,8%, kurang konsistensi penggunaan kondom
sebesar 64,5%, pernah terpapar informasi sebesar 99,7%, jumlah pelanggan ≥ 15
orang per minggu sebesar 51,6%. Secara statistik beberapa faktor-faktor
menunjukkan adanya hubungan yang lemah dengan kejadian infeksi Klamidia
seperti pada variabel konsistensi penggunaan kondom (PR=1,4 95%CI 0,74-2,67)
dan variabel umur (PR=1,4 95%CI 1,1-1,8). Kesimpulan : Secara statistik
beberapa faktor-faktor menunjukkan adanya hubungan yang lemah dengan
kejadian infeksi Klamidia yaitu pada variabel umur dan variabel konsistensi
penggunaan kondom.

ABSTRACT
Background : Direct sex workers ( WPSL ) is a woman who operates openly as
commercial sex workers . WPSL included in the high risk group in the case of the
spread of STIs , especially Chlamydia infection , based on data IBBS in 2011 ,
showed that the highest prevalence of gonorrhea and chlamydia in the WPSL
group (56%) .Objective: To determine risk factors for the incidence of Chlamydia
infection in WPSL in Bandung 2011 ,factors demographic characteristics of
respondents (age ,education ,marital status ,length of work ), knowledge attitudes
and behavioral factors (age of first intercourse, douche vagina, condom use,
history experiencing symptoms of STIs, exposure information) ,and customer
factors. Methods :The study design was cross-sectional, using secondary data
Integrated Biological and Behavioral Surveillance (IBBS) in the WPSL group in
Bandung in 2011 .Data were analyzed using univariate and bivariate .
Results: The study showed that the proportion experiencing WPSL Chlamydia
infection was 51.6% , the average age is 25 years old, the majority of high school
education/equivalent (46.4%), 70% were married/never married ,age at first
sexual intercourse most currently aged ≥ 17 years old (65.6%) ,≥ 2 years old work
by 52% ,had experienced symptoms of STIs 57.6% , do not have the habit of a
douche 82.8% ,less consistent use of condoms by 64.5%, been exposed to
information by 99.7%, ≥15 the number of customers per week at 51.6%.
Statistically, several factors indicate a weak correlation with the incidence of
Chlamydia infection as the variable consistency of condom use (PR=1.4 95% CI
0.74to2.67) and the age variable (PR=1.4 95%CI 1.1to1.8) .Conclusion
:Statistically, several factors indicate a weak correlation with the incidence of
Chlamydia infection is the age variable and variable consistency of condom"
Universitas Indonesia, 2014
S53219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Azizah
"Servisitis klamidia masih menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan di Indonesia karena sulitnya diagnosis pasti klamidia. Pemeriksaan penunjang yang mudah dan murah dilakukan yaitu pewarnaan Gram namun memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan baku emas adalah polymerase chain reaction (PCR) namun membutuhkan biaya mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap. Dibutuhkan sebuah tes cepat untuk mendiagnosis klamidiosis dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari pewarnaan Gram. Penelitian ini bertujuan menentukan nilai diagnostik dari QuickStripe™ Chlamydia rapid test (CRT) dalam mendiagnosis servisitis klamidia pada perempuan risiko tinggi di Jakarta. Studi potong lintang ini melibatkan perempuan risiko tinggi, baik simtomatik maupun asimtomatik, yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial Eks Watunas Mulya Jaya selama bulan Juni hingga Juli 2020. Apusan endoserviks diambil dari tiap subjek dengan urutan acak untuk pemeriksaan QuickStripe™ CRT, pewarnaan Gram, dan real time PCR. Sebanyak 41 subjek berpartisipasi dalam penelitian ini. Sensitivitas dan spesifisitas QuickStripe™ CRT pada penelitian ini adalah 73,6% (IK 95%: 48,80% sampai 90,85%) dan 81,82% (IK 95%: 59,72% sampai 94,81%), dengan nilai duga positif dan negatif sebesar 77,78% (IK 95%: 58,09% sampai 89,84%) dan 78,05% (IK 95%: 62,39% sampai 89,44%). Proporsi servisitis klamidia berdasarkan real-time PCR pada penelitian ini adalah 46,3%. Sebuah studi menyatakan bahwa penggunaan rapid test dengan sensitivitas suboptimal pada populasi risiko tinggi dapat meningkatkan angka pengobatan dibandingkan penggunaan baku emas yang membutuhkan kunjungan ulang agar pasien mendapatkan pengobatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa QuickStripe™ CRT dapat menjadi alternatif dalam mendiagnosis servisitis klamidia pada perempuan risiko tinggi di Jakarta.
.....Chlamydial cervicitis is one of health problems in Indonesia due to difficulty of definitive diagnosis for Chlamydia trachomatis. Gram staining is quick and affordable and usually done to make presumptive diagnosis despite its low sensitivity and specificity. Polymerase chain reaction (PCR) is considered gold standard but costly, technically demanding and difficult to be performed in low-resource settings. Thus, a rapid test with higher sensitivity and specificity is needed to aid chlamydial cervicitis. This study aims to determine the diagnostic value of QuickStripe™ Chlamydia rapid tests (CRT) in diagnosing chlamydial cervicitis among high-risk women in Jakarta. This cross-sectional study included symptomatic and asymptomatic high risk women in Balai Rehabilitasi Sosial Eks Watunas Mulya Jaya during June to July 2020. Endocervical swabs from each participant were taken for QuickStripe™ CRT, Gram staining, and real time PCR. A total of 41 participants were enrolled. The sensitivity and specificity for QuickStripe™ CRT were 73.6% (95% CI: 48,80% to 90.85%) and 81.82% (95% CI: 59.72% to 94.81%). Positive and negative predictive value were 77.78% (95% CI: 58.09% to 89.84%) and 78.05% (95% CI: 62.39% to 89.44%). Chlamydial cervicitis proportion based on real-time PCR was 46.3% in this study. A modelling study stated that a rapid test with suboptimal sensitivity in a high risk setting can improve rates of treatment compared to a gold standard test that requires return visits for patients to receive results and treatment. We concluded that QuickStripe™ CRT may become alternative diagnostic test among high-risk women in Jakarta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Landi
"Klamidia adalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis, merupakan IMS dengan prevalensi tertinggi yang menginfeksi manusia terutama pada umur 15-49 tahun. Klamidia apabila tidak diobati menyebabkan kekamilan ektopik, infertilitas, servisitis, nyeri panggul kronis dan dapat menyebabkan bayi lahir prematur dan infeksi mata pada bayi. Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL) berisiko terhadap penularan klamidia karena perilaku seksnya dan kurang pengawasan dan pelayanan kesehatan karena pada umumnya beroperasi secara tersembunyi. Penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Terpadu Perilaku dan Biologis (STBP) 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah WPSTL di 11 kabupaten/kota Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi klamidia sebesar 31,9%. Proporsi WPSTL yang tidak konsisten menggunakan kondom sebesar 23,2%. Hasil analisis multivariat diketahui bahwa WPSTL yang tidak konsisten menggunakan kondom berisiko 1,2 kali (PR=1,2 ; (%%CI=0,933-1,522), hasil ini secara statistik tidak bermakna. Cara pencegahan infeksi klamidia pada WPSTL antara lain dengan penggunaan kondom secara konsisten dan benar terutama pada WPSTL berusia <25 tahun dan menderita IMS lain.

Chlamydia is a sexually transmitted infection (STI) caused by the bacterium Chlamydia trachomatis, the highest prevalence of STIs that infects humans, especially at the age of 15-49 years. Chlamydia if left untreated causes ectopic pregnancy, infertility, cervicitis, chronic pelvic pain and can cause babies to be born prematurely and eye infections in infants. Indirect Female Sex Workers (IFSW) are at risk of transmission of chlamydia due to their sexual behavior and lack of supervision and health services because they generally operate in secret. This study uses secondary data on the 2015 Integrated Behavioral and Biological Survey (IBBS). The research design used was cross sectional. The study population was IFSW in 11 districts/cities in Indonesia. The results showed the prevalence of chlamydia was 31.9%. The proportion of WPSTL that is not consistent using condoms is 23.2%. The results of multivariate analysis revealed that WPSTL who were inconsistent using condoms were 1.2 times at risk (PR = 1.2; (95% CI = 0.933-1.522), this result was not statistically significant. IFSW prevention methods included using condoms consistently and correctly especially at IFSW <25 years old and suffer from other STIs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selma Eliana Karamy
"Infeksi klamidia merupakan salah satu infeksi menular seksual yang paling umum terjadi secara global. WPS, terutama di daerah perkotaan, menghadapi risiko infeksi yang lebih tinggi karena lingkungan kerja serta gaya hidup yang berisiko. Jakarta merupakan kota yang memiliki karakteristik kosmopolitan dan perkotaan dengan industri seks yang aktif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi klamidia pada WPS di Kota Jakarta Barat. Penelitian dilakukan menggunakan desain cross-sectional dengan menganalisis data Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2018-2019. Analisis data terdiri dari analisis univariat dan analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Ukuran asosiasi yang digunakan adalah prevalence ratio (PR). Dari 283 WPS yang dilibatkan dalam penelitian, positivity rate infeksi klamidia di Kota Jakarta Barat mencapai 42.8%. Berdasarkan analisis bivariat, Faktor risiko yang signifikan terhadap infeksi klamidia pada WPS di Kota Jakarta Barat meliputi usia yang lebih muda, status cerai, dan jumlah pelanggan per minggu sebanyak ≥ 5 orang. Lama bekerja selama ≥ 10 tahun juga menjadi faktor signifikan yang bersifat protektif. Tingginya angka infeksi klamidia pada WPS di Kota Jakarta Barat menekankan perlunya memperkuat penjangkauan kepada WPS untuk memberi informasi dan edukasi mengenai IMS dan menganjurkan WPS agar melakukan pemeriksaan secara rutin, terutama bagi WPS yang berusia muda.

Chlamydia is one of the most common sexually transmitted infections globally. Female sex workers (FSW), especially in urban areas, face a higher risk of infection due to their risky work environment and lifestyle. Jakarta is a city that has cosmopolitan and urban characteristics with an active sex industry. This research was conducted to determine the factors associated with the incidence of chlamydia infection among FSWs in West Jakarta. The research was conducted using a cross-sectional design by analyzing data from the 2018-2019 Integrated Biological and Behavioral Survey (IBBS). The data were analyzed using univariate and bivariate analysis with the chi-square test. Prevalence ratio (PR) was used as the measure of association. Of the 283 FSWs involved in the study, the positivity rate of chlamydia infection in West Jakarta reached 42.8%. Based on the bivariate analysis, significant risk factors for chlamydia infection among FSWs in West Jakarta include younger age, divorced status, and having ≥ 5 customers per week. Length of work for ≥ 10 years is also a significant factor that is protective. The high rate of chlamydia infection among FSWs in West Jakarta highlights the need to increase outreach to FSWs in order to educate them about STIs and encourage them to perform regular screenings, especially for young FSWs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Melita Arviany
"Belakangan ini, Trichomonas vaginalis, salah satu etiologi infeksi menular seksual tersering, ditemukan berperan sebagai indikator untuk agen etiologi lainnya, termasuk Chlamydia trachomatis. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah terdapat hubungan bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dengan Chlamydia trachomatis pada pekerja seks komersial di Kuningan, Jawa Barat sehingga pemeriksaan infeksi Trichomonas vaginalis dapat dijadikan sebagai indikator untuk infeksi Chlamydia trachomatis dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kedua infeksi tersebut. Penelitian dengan desain cross sectional ini dilakukan pada 265 sampel. Dengan uji chi square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dengan Chlamydia trachomatis (p=0,213). Maka, dapat dikatakan bahwa infeksi Trichomonas vaginalis tidak dapat dijadikan indikator untuk infeksi Chlamydia trachomatis. Faktor tingkat pendidikan (p=0,161) dan jenis kontrasepsi (p=0,878) ditemukan tidak memiliki hubungan bermakna dengan kedua infeksi tersebut. Sebaliknya, dengan faktor usia ditemukan bermakna (p=0,004). Maka, dapat disimpulkan bahwa pada PSK dengan tingkat pendidikan dan jenis kontrasepsi apapun kedua infeksi ini dapat terjadi, sedangkan ada kelompok usia tertentu yang lebih rentan untuk terinfeksi.

Lately, Trichomonas vaginalis, one of the most common sexual transmitted disease etiologic agent, is found as an indicator for the others, including Chlamydia trachomatis. This study aims to understand the relationship between Trichomonas vaginalis and Chlamydia trachomatis infections in commercial sex workers in Kuningan, Jawa BaratsoTrichomonas vaginalis infection examination can be used as an indicator for Chlamydia trachomatis infection and which factors influencing both of the infections. This cross sectionalstudy was being done in 265 samples. With chi square test it can be concluded that there is no significant relationship between Trichomonas vaginalis and Chlamydia trachomatis infections (p=0.213). Hence, Trichomonas vaginalis infection can't be used as an indicator for Chlamydia trachomatis infection. Education level (p=0.161) and contraception method (p=0.878) showed no significant relationship with these two infections. In contrast, age factor did (p=0.004). Therefore, in commercial sex workers of any education level and contraception method these two infections can occur, meanwhile there is a specific age group in which these two infections more likely to occur.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Jayanti
"Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan RI, sampai dengan September 2006 secara kumulatif jumlah orang yang terinfeksi HIV sebanyak 4.617 kasus dan AIDS sebanyak 6.987 kasus, tersebar di 32 propinsi dan 158 kabupaten/kota. Pada tahun 2006 Jakarta dan Bali termasuk 6 propinsi (Papua, DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat) yang memiliki prevalensi HIV kelompok berisiko tertentu telah melewati angka 5 persen yang menurut kategori WHO telah memasuki tingkat terkonsentrasi. Adanya layanan tes HIV sebagai tempat untuk konseling dan melakukan tes HIV sangat berperan sebagai pintu masuk untuk mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial bagi klien yang memanfaatkannya. Walaupun begitu, masih rendah tingkat pemanfaatkannya.
Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran pengguna layanan tes HIV berdasarkan tempat layanan tes HIV dan faktor yang berpengaruh terhadap status HIV positif pada klien layanan tes HIV di Jakarta dan Bali tahun 2007. Penelitian ini termasuk ke dalam disain penelitian deskriptif dan analitik. Deskripsi tentang pengguna klinik-klinik layanan tes HIV di Jakarta dan Bali tahun 2007 dan menganalisis dengan jenis penelitian potong lintang, dalam hal ini mempelajari faktor yang berpengaruh terhadap status HIV positif di Jakarta dan Bali tahun 2007.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penasun akan berisiko untuk HIV positif sebesar 6,3 kali lebih tinggi dibandingkan lainnya setelah dikontrol dengan factor kelompok umur, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan cara penularan, dengan 95% CI (2,9 ? 13,7), nilai p<0,001.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kelompok berisiko dari kalangan penasun memiliki pengaruh yang paling besar terhadap status HIV seseorang dan memiliki risiko terinfeksi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berisiko lainnya.
Dari penelitian ini disarankan agar penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan memperkuat pendekatan kesehatan masyarakat, dengan pendekatan promosi kesehatan, diagnosis dini, pengobatan segera, sampai rehabilitasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Febrianti
"Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan penyebab infeksi menular seksual (IMS) terbanyak baik di negara industri, maupun di negara berkembang. Prevalensi infeksi ini bervariasi bergantung pada faktor risiko, kelompok populasi yang diteliti, dan metode pemeriksaan yang digunakan. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.5 Prevalensi infeksi CT pada wanita risiko tinggi meningkat 8 kali lipat dibandingkan dengan wanita risiko rendah. Penelitian tahun 2001 di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mufya Jaya mendapatkan angka kejadian infeksi CT adalah 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2® dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®. Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram, menunjukkan bahwa insidens infeksi genital nonspesifik sebesar 11,1%. Morbiditas dan komplikasi infeksi CT mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita akan menimbulkan masalah ekonomi dan psikososial yang serius. Penyakit ini pada wanita dapat menimbulkan gejala uretritis, servisitis, dan penyakit radang panggul (PRP). Selanjutnya dapat terjadi nyeri panggul kronis, kehamilan ektopik, serta infertilitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat Iebih dari 4 juta kasus Baru infeksi CT setiap tahun dan akibatnya 50.000 wanita mengalami infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi CT dapat menderita konjungtivitis dan/atau pneumonia. Selain itu, infeksi CT juga meningkatkan risiko terkena infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan menderita kanker serviks.
Umumnya infeksi CT bersifat asimtomatik pada 75-85% wanita dan pada 50-90% pria, sehingga penderita tidak mencari pengobatan. Individu terinfeksi CT yang asimtomatik merupakan sumber penuiaran di masyarakat, khususnya wanita penjaja seks (WPS) yang berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan uji diagnostik infeksi CT terhadap semua wanita seksual aktif usia <20 tahun; wanita baik usia 20-24 tahun, maupun usia >24 tahun dengan salah satu faktor risiko sebagai berikut: tidak selalu menggunakan kondom, atau mempunyai pasangan seks baru, atau memiliki pasangan seks >1 selama 3 bulan terakhir; serta wanita hamil. Skrining CT pada kelompok wanita risiko tinggi efektif menurunkan insidens infeksi CT dan risiko terjadinya sekuele jangka panjang. Dengan demikian, diperLukan uji diagnostik untuk deteksi infeksi CT yang cepat dan sederhana, sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat serta efektif pada kunjungan pertama guna mencegah transmisi dan komplikasi penyakit lebih lanjut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Indra Sanjaya
"Sepsis adalah gejala klinis akibat infeksi disertai respon sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi atau letargi. Sepsis neonatorum adalah sepsis yang teijadi pads neonates, dan pada biakan darah didapatkan basil positif. Pada sepsis neonatorum sering disertai infeksi saluran kemih (ISK). ISK ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan memperberat sepsis. Untuk menegakkan diagnosis ISK sebagai standar adalah hitting koloni kuman pada biakan urin. Pewarnaan Gram urin merupakan pemeriksaan yang cepat, dapat rnengetahui morfologi dan jumlah kuman dalam hari pertama, serta dapat mendeteksi adanya ISK. Dengan melihat basil pewarnaan Gram urin maka pemberian terapi antibiotika secara empiris dapat lebih terarah. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkam metode yang cepat dan mudah untuk mendeteksi ISK pada sepsis neonatorum. Penelitian ini juga bertujuan mendapatkan data proporsi ISK, pola kuman penyebab ISK dan antibiogramnya pada sepsis neonatorum.
Subjek penelitian adalah 100 bayi secara klinis menderita sepsis neonatorum yang dirawat di bangsal Perinatologi dan NICU Bagian IKA RSCM. Bahan berupa darah vena dan urin kateterisasi, diperiksa di Bagian Patologi Klinik RSCM. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pewamaan Gram urin langsung dan urin sitospin, biakan min, dan biakan darah. Dinilai tingkat sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Gram urin terhadap biakan urin.
Pada penelitian ini didapatkan proporsi ISK pada sepsis neonatorum sebesar 8%. Pola kuman penyebab ISK terbanyak pada sepsis neonatorum adalah Pseudomonas sp dan Staphylococcus epidermidis. Tes sensitivitas antibiotika Pseudomonas sp resisten terhadap antibiotika yang diujikan. Staphylococcus epidermidis sensitif terhadap antibiotik Ampicillinsulbactam, Vancomycin, Meropenem, Imipenem, dan Oxacillin. Pada penelitian ini didapatkan tingkat sensitivitas pewarnaan Gram urin langsung 75% dan spesifisitas 100%, sedangkan pewarnaan Gram urin sitospin didapatkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 98,9%. Pada kurva receiver operator curve (ROC) didapatkan sensitivitas dan spesitifitas terbaik pewamaan Gram urin sitospin untuk diagnosis ISK bila cut off point > 3 kuman per lapangan pandang imersi (pembesarkan 1000x). Pewarnaan Gram urin sitospin merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk mendiagnosis ISK pada sepsis neonatorum secara rutin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asma Zahidah
"Batuk merupakan tindakan perlindungan dan pertahanan terhadap infeksi mukosa, zat berbahaya, infeksi pada laring, trakea dan bronkus. Penggunaan obat di fasilitas kesehatan harus sesuai dengan acuan yang berlaku secara nasional yaitu Formularium Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat batuk pada pasien ISPA di Puskesmas Kota Depok pada tahun 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pengambilan data secara retrospektif dari resep pasien, Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS), dan Sistem Informasi Pengelolaan Obat (SIPO). Sampel adalah resep pasien ISPA periode Januari hingga Desember 2015. Analisis dilakukan pada resep yang memenuhi kriteria inklusi secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara kuantitatif dinyatakan dalam DDD dan DDD/1000 pasien/hari. Analisis kualitatif dinyatakan dalam segmen DU90%. Berdasarkan hasil analisis menggunakan Microsoft Excel, urutan puskesmas dengan kuantitas penggunaan obat yang dinyatakan dalam DDD dari yang terbesar adalah Puskesmas Cipayung (59136,33g), Puskesmas Limo (34512,55g), dan Puskesmas Bojongsari (14771.28g). Total kuantitas DDD/1000 pasien/hari pada ketiga puskesmas yaitu gliseril guaiakolat (34,885g), ambroksol (1,92g), sirup ambroksol (0,2692g), tablet dekstrometorfan (0,2692g) dan sirup dekstrometorfan (0,0006g). Obat batuk yang menyusun segmen DU90%, yaitu gliseril guaiakolat. Obat batuk penyusun DU90% tidak sesuai dengan Formularium Nasional.

Cough is an act of protection and defense against mucosal infections, harmful substances, infection of the larynx, trachea and bronchi. The drug utilization in health facilities must comply with applicable national reference namely Formularium Nasional. This study aimed to evaluate the use of cough medicine in ARI’spatientsat three primary health care in Depok 2015. This study used descriptive design with retrospectively data collection of patient prescriptions, Primary health care Management Information System (SIMPUS), and Medication Management Information System (SIPO). Analysis was conducted on prescriptions that appropriate with inclusion criteria. Samples are prescribed to patients with ARI’s period January to December 2015. Analyses were performed quantitatively and qualitatively. Quantitative analysis expressed in DDD and DDD/1000 patients/day. Qualitative analysis expressed in DU 90% segment. Based on the analysis using Microsoft Excel, the biggest quantity of drug utilization in DDD were Cipayung primary health care (59136.33g), Limo primary health care (34512.55g), and Bojongsari primary health care (14771.28g). Quantity of DDD/1000 patients/day in the third primary health care were glyceryl guaiakolat (34.885g), ambroksol (1.92g), ambroksol syrup (0.2692g), dextromethorphan tablets (0.2692g) and dextromethorphan syrup (0.0006g). Cough medicines that compose DU 90% segment was Glyceryl Guaiacolat. Cough medicines that compose segment DU 90% were not in accordance with national formulary."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S63482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Billy, Matthew
"Infeksi Saluran Kemih (ISK) disebabkan oleh mikroorganisme dengan atau tanpa gejala berupa sakit saat berkemih, urgensi, dan peningkatan frekuensi berkemih. Pada ISK tanpa gejala, diagnosis ditegakkan melalui kultur urin dengan jumlah koloni mikroorganisme 105 colony forming unit (cfu)/mL. ISK terutama disebabkan oleh bakteri, sehingga terapi awal yang diberikan secara empirik untuk ISK adalah antibiotik. Ampisilin dulu pernah digunakan sebagai terapi empirik untuk ISK, tetapi tidak lagi digunakan karena angka resistensinya yang tinggi. Secara teoritis, resistensi tersebut dibawa oleh plasmid dan akan hilang dalam populasi bakteri apabila tidak pernah digunakan. Penelitian ini bertujuan melihat apakah ampisilin berpotensi menjadi sensitif kembali dengan pola resistensi yang relatif sama dibandingkan dengan siprofloksasin sebagai pembanding untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab ISK secara in vitro. Studi ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel urin di puskesmas-puskesmas di Jakarta yang diuji pola resistensi terhadap kedua antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan angka resistensi bakteri penyebab ISK terhadap antibiotik ampisilin dan siprofloksasin secara berurutan adalah 89,5% dan 10,5% dan perbedaan tersebut tersebut bermakna melalui uji Chi-square dengan nilai p < 0,001. Dengan tingginya angka resistensi bakteri penyebab ISK terhadap ampisilin, maka ampisilin belum dapat digunakan kembali sebagai terapi ISK terutama untuk penyebab ISK oleh bakteri Gram negatif. Untuk bakteri Gram positif, ampisilin masih mungkin untuk dipakai kembali sebagai pengobatan ISK, tetapi masih perlu diteliti lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Urinary tract infection (UTI) is caused by microorganism with or without clinical symptoms such as dysuria, urgency, and increase frequency of urination. For asymptomatic UTI, diagnosis was supported by urine culture marked by more than 105 colony forming unit (cfu)/mL. UTI is mainly caused by bacteria; therefore, initial empirical therapy of UTI is using antibiotic. Once, ampcillin has been used as empirical therapy for UTI; however, it is no longer used as empirical therapy because of its high number of resistance. Theoretically, the resistance is carried by plasmid which will be lost in bacteria population if it has never been used. The objective of this study is to find whether ampicillin has potency to be sensitive again with the same resistance pattern as ciprofloxacin as reference for inhibiting growth of bacteria causing UTI. Method of this study is cross-sectional study with urine samples collection at Puskesmas in Jakarta which were tested its resistance pattern to both of antibiotics. Result of this study showed that resistance number of bacteria causing UTI to ampicillin and ciprofloxacin and are 89,5% and 10,5% respectively and this difference is significant based on Chi-square test with a p value of < 0,001. Ampicillin’s resistance is high so that ampicillin still can not be used again as therapy of UTI particularly against Gram negative bacteria. For Gram-positive bacteria, ampicillin is still likely to be reused as a treatment for UTI, but still need to be investigated further with a larger number of samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>