Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90789 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Nurmalasari
"Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Diantara berbagai macam hak asasi manusia terdapat hak paling fundamental dalam hukum yakni persamaan kedudukan di muka hukum dan praduga tidak bersalah. Namun demikian dalam beberapa situasi dan kondisi, pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia mungkin saja dilakukan. Polri selaku alat negara diberi kewenangan untuk melakukan pembatasan tersebut, contohnya dalam menangani tindak pidana terorisme. Akan tetapi persoalan terorisme selaku kejahatan transnasional bukan sekedar mengancam keamanan melainkan juga pertahanan suatu negara, untuk itu TNI juga diberi kewenangan dalam menghadapi aksi terorisme. Namun pada prakteknya, Polri merupakan lembaga yang dianggap lebih berkompeten dalam menangani permasalahan terorisme. Bahkan merujuk pada kejahatannya yang luar biasa terdapat suatu persepsi bahwa Polri dapat menembak mati tersangka tindak pidana terorisme. Hal ini tentunya bertentangan dengan tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam undang-undang. Polri selaku bagian dalam komponen sistem peradilan pidana, memiliki keterkaitan dengan sejumlah komponen lain berdasarkan asas diferensiasi fungsional. Dalam konteks penyidikan seharusnya Polri mengupayakan agar tersangka tetap hidup, sebab jaksa memiliki kepentingan untuk melakukan penuntutan. Akan tetapi berdasarkan tindakannya Polri menganggap institusinya berwenang untuk menembak mati tersangka, padahal Polri bukan alat tempur. Sementara itu Komnas HAM menilai bahwa perbuatan Polri yang menembak mati para tersangka tanpa didahului dengan upaya pencegahan termasuk dalam Extra Judicial Killing.

One characteristic of the state of law is the recognition of human rights. Among the wide range of human rights are the most fundamental rights in law is equality before the law and the presumption of innocence. However, in some circumstances, restrictions on human rights might be done. Police as an instrument of state is authorized to conduct such restrictions, for example in dealing with terrorism. However, the issue of terrorism as a transnational crime is not just a security threat but also the defense of a country, for the TNI also given authority in the face of terrorism. However, in practice, the police are the institutions that are considered more competent in dealing with the problem of terrorism. Even referring to the extraordinary crime there is a perception that the police can shoot down an act of terrorism suspects. This is certainly contrary to police duties as provided by law. Police as part of the components of the criminal justice system, has been linked with a number of other components based on the principle of functional differentiation. In the context of police investigations should strive for suspects remain alive, because prosecutors have an interest to prosecute. However, based on his actions the institution is authorized to assume police shot and killed the suspect, but the police is not a combat tool. While the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) considers that the actions of the police shooting dead suspects without prior prevention efforts as a Extra Judicial Killing.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dondang Kristine
"Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Pada umumnya korban dirumuskan sebagai seseorang yang menderita kerugian fisik, mental, emosional, maupun ekonomi. Masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. Namun, korban tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, tentu saja mengakibatkan ketidakseimbangan dalam diri korban atau keluarganya. Misalnya dari aspek finansial (materiel), yaitu bila korban merupakan tumpuan hidup keluarga, aspek psikis (immateriel) berwujud pada munculnya kegoncangan pada diri korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban tersebut, maka harus ditempuh upaya pemulihan baik materiel dan/atau immateriel, yaitu melalui hak restitusi korban. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang, dengan menganalisa dari hasil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor 1633/PID.B/2009/PN.TK, atas nama Fitriyani Binti Muradi yang merupakan satu-satunya putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang yang menghukum pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang sudah diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penelitian tersebut membahas mengenai peranan penegak hukum dalam melaksanakan hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Dari hasil penelitian tersebut, peranan penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan tidak maksimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu sebatas menanyakan besarnya kerugian yang diderita korban baik materiel maupun immateriel. Kurangnya upaya yang maksimal dari penegak hukum menyebabkan dikabulkannya hak restitusi korban hanya sebatas putusan saja atau hanya di atas kertas saja. Hal ini dikarenakan terdapat kendala-kendala, diantaranya: kendala dari perundang-undangan yang tidak memiliki peraturan pelaksanaan dan dimuatnya pidana kurungan sebagai pengganti dari restitusi, sehingga memberikan pengaruh pada upaya pemenuhan restitusi yang pelaksanaannya tidak secara total, kemudian kendala dari kurangnya kesadaran penegak hukum dan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil dalam memperjuangkan hak restitusi korban. Selanjutnya, kendala dari kesadaran hukum korban, yang mana korban beranggapan seandainya melakukan tuntutan ganti rugi hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan yang ia alami (tidak bisa mengembalikan keadaan semula) bahkan ia juga beranggapan jika melakukan tuntutan ganti rugi justru akan menambah penderitaan dan mengalami kerugian lain sehingga mereka menjadi apatis.

Victims of crime is basically a party that suffered most in a crime. In the most cases the victim is defined as a person who suffers physical harm, mental, emotional, and economic. Issues of justice and respect for human rights does not only apply to offenders but also victims of crime. However, victims do not get much protection as provided by law the perpetrators. In the event of a violation of law, of course, lead to an imbalance in the victim or his family. Example of the financial aspects (material), that is when the victim is the foundation of family life, psychological aspects (immaterial) tangible to the emergence of shock on the victim. To balance the condition of the victim, then the remedy should be taken both the material and / or immateriel, namely through the restitution rights of victims. In this thesis the author discusses about the restitution rights of victims of trafficking in persons, by analyzing the decision of the Court of Tanjung Karang number 1633/PID.B/2009/PN.TK , in the name of Fitriyani Binti Muradi which is the only decision that sentenced the offender to pay restitution to victims. Restitution rights of victims of trafficking in persons has been regulated in Article 48 of Act Number 21 / 2007 on Combating the Crime of Trafficking in Persons. The study discusses the role of law enforcement agencies in carrying out the restitution rights of victims of trafficking. From this research, the role of law enforcement both at the level of investigation, prosecution, court proceedings are not up to the maximum in the fight for the rights of victims restitution, which is limited to asking the amount of loss suffered by the victims of both material and immaterial. Lack of a maximal effort of law enforcement led to the granting of the rights of the victim restitution was limited to ruling only, or only on paper. This is because there are constraints, including: the constraints of legislation that does not have implementing regulations and publishing imprisonment in lieu of restitution, thereby giving effect to the implementation of restitution compliance efforts are not in total, then the constraint of lack of awareness of law enforcement and human resources are trained and skilled in fighting for the restitution rights of victims. Furthermore, the constraints of the legal consciousness of the victim, where the victim thinks that if their demands compensation she has received the results not comparable to those he experienced (can not restore the original state) even if it is also assumed to compensation claims will only add to the suffering and loss other so that they become apathetic.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29881
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Setiawan
"Ada banyak jenis badan intelijen di Indonesia yang mempunyai tujuan utama untuk mencegah negara dari berbagai ancarnan yang dapat mernbahayakan negara dan bangsa. Mereka hares menyelidiki fenomena ancaman sebelum ancaman tersebut mengancam keamanan nasional. Badan-badan intelijen tersebut adalah Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI (BATS), Badan Intelijen Kepolisian (BIK), Badan Intelijen Imigrasi (BIM1), Badan intelijen Bea Cukai (BIBC), dan Badan Intelijen Kejaksaan Agung (BIKA). Masing-masing badan intelijen tersebut hams melakukan tugas untuk menjaga keamanan nasional dari berbagai ancaman sesuai dengan fungsinya. Di antara badan-badan intelijen ini, BIN merupakan koordinator bagi semua badan intelijen di Indonesia. Akan tetapi, aktifitas mereka tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan tidak adanya peraturan yang mengatur kewenangan mereka untuk menyelidiki suatu kasus, khususnya orang yang menjadi saksi.
Di satu pihak, badan-badan intelijen tersebut tidak dapat menyelidiki fenomena dari orang yang dituduh sebagai penjahat Dalam melaksanakan penyelidikan, badan-badan tersebut perlu menahan orang tersebut yang dalam hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Sementara penahanan yang dilakukan oleh badan-badan intelijen sangat berbeda dengan kewenangan untuk menahan yang dilakukan oleh polisi. Badan-badan intelijen tersebut perlu menahan seseorang untuk menyelidiki sejauh mans orang tersebut mempunyai hubungan dengan organisasi terorisme. Hal ini berarti bahwa badan-badan intelijen tersebut mencoba untuk menganalisis bahwa orang tersebut mempunyai jaringan komunikasi dengan anggotaangotanya di organisasi terorisme dalarn usaha mencegah orang tersebut dekat dengan jaringan mereka dan menyusun aktifitas teror. Sementara, polisi menahan orang untuk menyelidiki apakan orang tersebut bersalah dan rnengirinmya ke penjara.
Di pihak lain, aktifitas organisasi terorisme terlalu samar karena mereka mempunyai jaringan maya bahwa mereka dapat menyusun setiap ak-tifitasnya secara online. Karena terorisme terrnasuk dalarn kejahatan non-tradisional, adalah sukar untuk mengenaii aktifitas mereka tanpa ada penyelidikan yang teliti. Akan tetapi, penyelidikan yang dibuat oleh Badanbadan Intelijen cenderung dituduh melanggar hak asasi manusia, seperti penahanan, memaksa orang untuk mengaku, mengancam, dan lain-lain upaya untuk mengumpulkan inforrnasi keberadaan organisasi mereka.
Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa peraturan yang menjadi dasar dari aktifitas Badan Intelijen tersebut diperlukan. Selain itu, perlu untuk memperbaiki semua struktur badan intelijen yang kini ada Selama ini, snaktur badan intelijen cenderung menunjukkan kewenangan mereka sendiri. Contoh, Badan Intelijen Kepolisian dan Badan Intelijen Stratejik TNT. Struktur ideal hams tidak berfokus pada sektor yang khusus tetapi harus mencakup seluruh sektor. Lebih lanjut, struktur tersebut harus menunjukkan kewenangan tertinggi dan aktifitas intelijen untuk mengawasi tiap-tiap aktifitas dari semua aktifitas intelijen. Struktur ini harus ada dalam peraturan yang akan dibuat. Di masa mendatang, peraturan ini dapat menjadi perlindungan yuridis untuk aktifitas badan-badan intelijen di Indonesia dalam usaha pemberantasan kejahatan terorisme.

Many kind of intelligent agencies in Indonesia have main goal in prevent state from many kind of threats which can endanger the state and the nations. They should investigate phenomena of threats before it become threats for national safely. The agencies are Badan Intelijen Negara (BIN, State Intelligent Agency), Badan Intelijen Strategis TNT (BALS, Strategic Intelligent Agency Indonesian Armed Forces), Badan Intelijen Kepolisian (BIK, Police Intelligent Agency), Badan Intelijen Irnigrasi (BIMI, Immigration Intelligent Agency), Badan Intelijen Bea Cukai (BIBC, Custom Intelligent Agency), and Badan Intelijen Kejaksaan Agung (BIKA, Supreme Persecutory Intelligent Agency), Each agency should do the task to maintain national safety from many kind of threats according to their functions. Among these agencies, BIN is a coordinator for all intelligent agencies in Indonesia However, their activity could not be accomplished as it should. It is because there is no regulation to manage their authority to investigate the case, especially person who become witness.
In one hand, the agencies could not investigate the phenomena from person who have been alleged a criminal. In doing investigation, the agencies need to arrest those person and it against the human right, of course_ Actually, arresting which done by the intelligent agencies is quite different to arrest done by the police. The agencies need to arrest person to investigate that how far this person has relations to the terrorism organization. It means that the agencies try to analysis that the person has network to communicate to their members in terrorism organization in order to prevent the person close to their network and arrange the activity of terror. Meanwhile, the police arrest person to investigate whether this person is guilty and put them into detention.
On the other hand, the activity of terrorism organization is too vague because they have a virtual network that they can arrange every single activity by online. As terrorism is included in non-traditional crime, it is difficult to identify their activity without any precise investigation. However, the investigation which is made by the Intelligent Agencies tend to be alleged against human rights, such as arresting, pushing someone to confess, threatening, and so on in order to gather information of their existence. There are no regulation for the Intelligent Agencies to develop their authority for gathering information. They need regulation which can give them authority to do what they need to do.
The finding of the observation show that the regulation which become based of the activity of the Intelligent Agencies is needed. Besides that, it is needed to be fix all the structures of the Intelligent Agencies which now available. For long time, the structures of the Intelligent Agencies tended to show their own authority. For example, Police Intelligent Agency and Strategic Intelligent Agency of Indonesian Armed Forces. The ideal structures should be no to focus on specific sector but should cover all sector. Furthermore, the structures should show the highest authority of intelligent activity to control each activity from all the intelligent activity. This structure should be in the regulation that will be made. In the future, this regulation can be a legal protection for the activity of the intelligent agency in Indonesia in order to war against terrorism.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T20238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Adriaan
"Sistem peradilan pidana di Indonesia, telah dirancang dengan sedemekian rupa, agar dalam prosesnya, benar-benar menjamin hak asasi dari setiap pihak yang terlibat didalamnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan suatu pengawasan secara horizontal terhadap seluruh upaya paksa yang dilakuan oleh pihak penyidik. Dalam perkembangannya, seringkali terjadi suatu penyimpangan dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia, terutama terkait dengan perkara praperadilan. Hal ini dibuktikan dengan putusan perkara praperdilan dengan nomor register perkara 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, dimana dalam perkara tersebut hakim praperadilan mengeluarkan suatu putusan yang isinya memerintahkan agar pihak termohon melanjutkan proses hukum dan menetapkan status tersangka kepada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi bank century. Sebagaimana diketahui, kewenangan lembaga praperadilan diatur dalam pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, yaitu untuk menyatakan sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan ganti rugi dan rehabilitasi. Lembaga praperadilan tidak berwenang untuk memerintahkan salah satu pihak agar menetapkan status tersangka terhadap seseorang. Oleh karena itu, penulis akan melakukan peneletian terhadap kasus tersebut dengan metode perbandingan, dimana penulis akan melakukan membandingkan sistem lembaga praperadilan Indonesia, dengan sistem praadjudikasi negara Belanda, Amerika Serikat, dan Perancis. Selanjutnya, penulis juga akan meneliti apakah putusan perkara praperadilan tersebut sejatinya telah sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

The criminal justice system in Indonesia has been designed in such a way, so that in the process, it truly guarantees the human rights of every party involved in it. This is evidenced by the existence of an institution whose task is to carry out a horizontal supervision of all forced efforts carried out by the investigators. In its development, there is often a deviation in the implementation of criminal justice in Indonesia, especially related to pretrial cases. This is evidenced by the pretrial case verdict with the case register number 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, wherein the case the pretrial judge issued a decision which ordered that the defendant party continue the legal process and determine the status of the suspect to some allegedly involved in a century bank corruption case. As is known, the authority of the pretrial institution is regulated in article 1 number 10 jo. Article 77 of the Criminal Procedure Code, namely to declare the legitimacy of forced efforts by investigators, termination of investigations or prosecutions, and compensation and rehabilitation. A pretrial institution is not authorized to order one party to determine the suspect's status against someone. Therefore, the authors will examine the case with a comparative method, where the author will compare the Indonesian pretrial system, with the pre-adjudication system of the Netherlands, the United States and France. Furthermore, the author will also examine whether the pretrial case verdicts are in fact in accordance with the development of legislation in force in Indonesia.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raoul Aldy Muskitta
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang penggunaan kejadian-kejadian terorisme sebagai
dasar untuk melakukan derogasi dari konvensi-konvensi HAM internasional,
khususnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan
European Convention on Human Rights (ECHR). Pertanyaan dasar yang menjadi pusat
penelitian skripsi ini bagaimana keadaan dari kejadian terorisme yang bersangkutan
sehingga dapat dianggap sebagai keadaan darurat yang sesuai dengan atau syarat
?public emergency threatening the life of the nation? dan bagaimana tindakan seperti
apakah yang dapat diambil oleh negara yang melakukan derogasi sehingga sesuai
dengan syarat ?strictly required by the exigencies of the situation? atau syarat
proporsionalitas yang ada dalam klausul derogasi dalam ICCPR dan ICCPR. Dalam
satu sisi, kedaulatan setiap negara dalam hubungan internasional harus dihormati. Hal
ini juga kepentingan negara untuk melindungi keamanan nasionalnya, sehingga negara
dapat menentukan kapan ada suatunya keadaan darurat dan tindakan seperti apa yang
diperlukan untuk menghadapi keadaan darurat yang bersangkutan. Ini dikarenakan
negara dianggap lebih tahu akan kondisi keamanan nasionalnya dariapda siapapun. Di
sisi lain, praktik negara-negara menunjukan bahwa banyak negara yang secara
sewenang-wewenang melanggar HAM warga negaranya yang oleh ICCPR dan ECHR
bersifat non-derogable atau tidak dapat dilanggar dalam kondisi apapun termasuk
keadaan darurat. Dengan demikian skripsi ini membahas persinggungan antara dua
kepentingan yaitu kepentingan melindungi keamanan nasional dan kepentingan untuk
melindungi HAM.

ABSTRACT
This study explains the usage of terrorism incidents as basis to derogate from
international human rights conventions, namely the International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) and European Convention on Human Rights (ECHR).
The central question of this study is how must the gravity of terrorism attack be in order
for it to amount to a ?public emergency threatening the life of the nation? and what
measures taken by a state would be in accordance with the requirement of ?strictly
required by the exigencies of the situation? or proportionality requirement, as required
by the ICCPR and ECHR. On one hand, every state?s sovereignty must be respected in
international relations. This includes respecting a state?s need in protecting its national
security, thereby allowing the state to the determine the necessary measures in dealing
state of emergency. This is because a state is considered to be more knowledgeable of
the state of its national security than anyone else. On the other hand, state practice
demonstrates that many states tend to abuse the human rights of its citizens that are
deemed non-derogable by the ICCPR and ECHR even in states of emergencies.
Therefore, this study seeks to discuss the clash between two competing interests,
namely the protection of a state?s national security and protection of the human rights
of individuals."
2016
S64604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hisbullah Ashiddiqi
"ABSTRAK
Konsep bantuan dan perlindungan hukum yang dijabarkan dalam KUHAP dapat
dikatakan tidak memenuhi asas hukum acara pidana. Konsep bantuan dan perlindungan
hukum dalam KUHAP cenderung hanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa,
bukan korban tindak pidana. Begitu pula dalam UU No. 18 Tahun 2003 dan lainnya.
Sementara dalam pelaksanaan HAM, pada praktik dan tatarannya, UU No. 39 Tahun
1999 [Pasal 3 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (2) dan (3) masih kurang merepresentasikan
keinginan dari konstitusi dan UU HAM yang menginginkan bahwa hak mendapatkan
bantuan dan perlindungan hukum bagi semua orang termasuk juga bagi korban tindak
pidana. Sementara itu, pengaturan bantuan dan perlindungan hukum yang diatur dalam
UU No.8 tahun 1981, UU No.15 Tahun 2003, UU No.13 Tahun 2006, UU No.26
Tahun 2000, UU No.18 Tahun 2003, dan UU lainya, serta KUHAP dalam tataran
hukum formil pada praktiknya tidak memberikan jaminan hukum yang jelas dan tegas
sehingga dapat memperlemah perjuangan pemenuhan hak-hak korban. Adapun realita
penanganan oleh pemerintah, pemerintah belum mampu melaksanakan hak-hak materi
dan immaterial kepada korban terorisme. Amanat pemberian kompensasi, restitusi,
rehabilitasi belum dapat dilaksanakan karena hal-hal yang tercantum dalam pasal 36
UU No. 15 tahun 2003 masih bias dan sulit diterapkan. Kondisi yang belum berpihak
kepada korban ini menjadi bukti bagaimana pemerintah memandang anonim para
korban terorisme.

ABSTRACT
The concept of the assistance and law protective which is stipulated in KUHAP,
so far is not sufficient for base of the law crime. The concept is merely designated only
for the suspects and the one who charged for crime act. It is also what so mentioned in
UU No.18/2003 etc. Meanwhile, in the application of Human Rights, in reality and as a
matter of fact, UU No.39/1999 (article 3 point (2), and article 5 point (2) and (3) is still
not exactly as the requirement of constitution and UU Human Rights in which it is
required that such rights for assistance/support and law protection for the all concerns
including the victims of the crime act as well. In the meantime, the directive of the
assistance and law protective stipulated in UU No.8/1981, UU No.15/2003, UU
No.13/2006, UU No. 26/2000, UU No. 18/2003 etc, also KUHAP in application of
formal law in its practice, even it does not give the law guarantee in formal and clear
manner, so that it can weaken the struggle to fulfill the rights of victims. As a matter of
facts, the government is not capable yet to perform such rights in forms of material and
immatery for the victims of terrorism. The need of the compensation, restitution,
rehabilitation can not be applied yet, because, the subjects which is stipulated in article
36 No. 15/2003 is still unclear and difficult to apply. This conditions which still not be
along with the victims requirement, becoming the proof that the government just look
the victims anonimly to the terrorism victims."
2009
S22582
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Susanti
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai wacana rekonsiliasi dalam media dengan memakai kerangka pemikiran kriminologi konstitutif. Penelitian ini melihat pertarungan kekuasaan dalam diskursus anti komunis memegang peran penting untuk menekan upaya rekonsiliasi. Pengkajian terhadap teori kriminologi konstitutif menunjukkan bahwa penormalan terhadap sentimen anti komunisme telah memposisikan korban peristiwa 1965-1966 sebagai pihak yang bersalah. Adanya unsur politik pengetahuan, yang tercermin dalam sejarah nasional dan pemberitaan media, turut mempengaruhi bagaimana opresi terhadap korban bekerja. Pembingkaian wacana rekonsiliasi dari lima media massa yang menjadi subjek penelitian ini menegaskan penggunaan kekuasaan dan pengendalian pengetahuan untuk mempolitisasi sejarah peristiwa 1965-1966. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dilengkapi dengan metode kuantitatif sebagai pendukung argumen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kemapanan sentimen anti komunis menjadi semacam pengekang bagi proses rekonsiliasi. Pembungkaman usaha-usaha untuk mendobrak kemapanan ini, termasuk upaya rekonsiliasi, merupakan wujud represi terhadap kelompok korban.

ABSTRACT
This thesis discusses the reconciliation discourse in the media by using constitutive criminology framework. This study saw a power struggle in the anti-communist discourse plays an important role to suppress the reconciliation efforts. Studies on the constitutive theory of criminology shows that the normalization of the anti-communist sentiment has positioned the victims of 1965-1966 as the guilty party. The existence of political elements of knowledge, which is reflected in the national history and the news media, also influence how the oppression of the victims worked. Framing the discourse of reconcilition of the five mass media that is the subject of this study confirms the use of power and control knowledge to politicize historical events of 1965-1966. This study used qualitative methods include quantitative methods as a supporting argument. The results showed that the establishment of anti-communist sentiment turn into a kind of straitjacket for the reconciliation process. Silencing attempts to break this establishment, including the work of reconciliation, is a form of repression against the victim.
"
2016
S65617
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementrian Luar Negeri RI, 2014
345 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Pemberlakuan asas retroaktif dalam UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM merupakan kehendak pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah menjadi duri dalam daging pemerintah Indonesia sejak zaman pemerintahan Soeharto. Kasus kekerasan seperti Timor Timur dan Tanjung Priok merupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang perlu diselesaikan.
"
JUKE 4:2 (2005/2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>