Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190980 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tira Hamdillah Skripsa
"Periode gigi bercampur adalah suatu periode yang kritis karena terjadi perubahan-perubahan pada lengkung gigi anak. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan lebar intermolar dan interkaninus yang mempengaruhi perubahan lebar intergonion. Pengetahuan mengenai hubungan antara lebar intermolar dan interkaninus terhadap lebar intergonion dapat dipergunakan untuk memperkirakan lebar lengkung rahang sehingga dapat ditentukan rencana perawatan yang tepat.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara lebar intermolar dan interkaninus terhadap lebar intergonion pada anak usia 6-9 tahun.
Metode: Analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian berupa 30 model studi dan foto radiograf panoramik pasien anak RSGMP FKG UI.
Hasil: Intermolar dan intergonion memiliki korelasi yang lemah dan tidak signifikan (r=0,277). Interkaninus dan Intergonion memiliki korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan (r=0,032). Sedangkan intermolar dan interkaninus memiliki hubungan yang kuat dan signifikan (r=0,580).

Mixed dentition is a critical period because the changes occur in children's dental arch. The changes can be caused by changes in intermolar and intercaninus width that can affect intergonion width. Theory of relationship between intermolar and intercaninus width against intergonion can be used to estimate the arch width, so the best treatment plan can be determined.
Objective: This study aimed to determine the relationship between intermolar and intercaninus against intergonion in children aged 6-9 years old.
Methods: Crosssectional analytic design. The subject of research were 30 study models and orthopantomograms of pediatric patients in RSGMP FKG UI.
Results: intermolar and intergonion had weak and not significant correlation (r=0,277). Intercaninus and intergonion had very weak and not significant correlation (r=0,032). Intermolar and intercaninus had strong and significant correlation (r=0,580).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcos Fung
"Latar Belakang: Status gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu. Penelitian mengenai hubungan status gizi dengan lebar lengkung gigi sulung di Indonesia masih sedikit ditemukan. Lebar lengkung gigi dapat dilihat dari jarak interkaninus dan intermolar.
Tujuan: Memperoleh hubungan status gizi terhadap jarak interkaninus dan intermolar 5-7 tahun.
Metode: Studi observasional melalui rekam medik dan model studi pasien usia 5-7 tahun dari Rumah Sakit Kedokteran Gigi dan Mulut (RSKGM FKG UI).
Hasil: Terdapat 45 subjek yang telah diukur jarak interkaninus dan intermolar dengan status gizi yang berbeda yakni 2 subjek dalam kategori kurus, 31 subjek dalam kategori normal, dan 12 subjek dalam kategori gemuk. Tidak ada perbedaan bermakna (p<0,05) jarak interkaninus dan intermolar antara kategori normal dan gemuk. Uji korelasi menunjukkan adanya korelasi antara status gizi dengan jarak interkaninus dan intermolar namun tidak bermakna serta berbanding terbalik terhadap jarak interkaninus.
Kesimpulan: Status gizi memiliki hubungan terhadap jarak interkaninus dan intermolar namun tidak bermakna.

Background: Nutrition is one of the contributing factors in the growth and development of an individual. There has been little research on the relationship between nutritional status towards dental arch width in Indonesia. Dental arch width is measured from intercanine and intermolar distance.
Objective: Analyse the relationship between nutritional status towards dental arch width.
Method: An observational study using models and medical records of subjects age 5 to 7 from Rumah Sakit Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (RSKGM FKG UI).
Result: There are 45 subjects in which the distance of intercanine and intermolar are calculated with varying nutrition levels where 2 are in underweight category, 31 are in normal category, and 12 are in overweight category. There were no significant differences (p<0,05) on intercanine and intermolar distance between normal and overweight. Correlation test shows corelation between nutrition towards intercanine and intermolar distance but insignificant and inverted correlation with the intercanine.
Conclusion: Nutrition has no significant correlation towards intercanine and intermolar distance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Pendahuluan: Congenital Talipes Equinovarus(CTEV) dan Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) merupakan salah satu kelainan kongenital tersering dalam sistem muskuloskeletal. Pada patogenesis CTEV dan DDH, terdapat persamaan kemungkinan etiologi yaitu pada gaya mekanik intra-uterin panggul dan kaki yang menimbulkan gangguan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi pasien CTEV yang menderita DDH, serta hubungan antara CTEV dengan timbulnya DDH.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain studi potong lintang. Dari data registrasi CTEV di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2011-2012 ditemukan 91 orang anak dengan CTEV primer. Dilakukan skrining dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengeksklusi pasien di luar rentang usia 6 bulan hingga 5 tahun, pasien dengan gangguan neuromuskular, dan kelainan kongenital. Terdapat 22 orang pasien yang memenuhi kriteria tersebut dan dilakukan pemeriksaan foto polos panggul untuk mengukur Indeks Acetabular (IA). IA<25° dinyatakan normal, 25-30° dinyatakan borderline DDH, dan >30° dinyatakan displasia berat.
Temuan dan Diskusi Penelitian: Terdapat distribusi pasien yang homogen secara jenis kelamin (50% laki-laki, 50% perempuan), dan lokasi CTEV (50% bilateral, 50% unilateral). Didapatkan 19 subyek dengan IA di bawah 250 dan 1 subyek dengan IA antara 25-300. Didapatkan 2 subyek (9%) yang memiliki dysplastic hip dengan IA di atas nilai normal 300, kedua subyek tersebut memiliki bilateral CTEV dan menjalani serial casting ≥ 8 kali. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara prevalensi DDH dengan rentang usia (p = 1), dengan jenis kelamin (p = 0.89), dengan lokasi CTEV (p = 0.89), dan dengan frekuensi casting (p = 0.05). Walaupun begitu, prevalensi hip dysplasia pada CTEV cenderung terjadi pada anak dengan CTEV bilateral dan menjalani serial casting ≥ 10 kali sehingga temuan ini dapat menjadi makna yang penting secara klinis.
Simpulan: Prevalensi displasia panggul pada anak CTEV berusia 6 bulan hingga 5 tahun pada penelitian ini adalah 9% dan cenderung dialami oleh anak dengan CTEV bilateral dan menjalani serial casting 8 kali atau lebih.
, Introduction: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) and Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) are one of the most common pediatric orthopaedic problems ini musculoskeletal system. There is similar pathogenesis between CTEV and DDH in mechanical force that causes developmental disorders. The goals of this research are to determine the prevalence of CTEV that will suffer DDH in later time, and the relationship between CTEV and DDH.
Methods: This is a descriptive analytic study with cross sectional design. Ninety one patients with primary CTEV were registered in Orthopaedic Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital between 2011 and 2012. To exclude patients with neuromuscular disorders and congenital problems; screening is performed by conducting historical and physical examination. Patients between age 6 months and 5 years were included in this study. Twenty two patients met the criteria and pelvic x-ray was performed to measure the Acetabular Index (AI). AI<250 was considered normal; AI 25-300 was borderline DDH; and AI >300 was considered severe dysplasia.
Result and Discussion: Patient distribution was homogenous in gender (50% are boys, 50% are girls), and the location of CTEV (50% bilateral and 50%). There were 19 subjects with AI lower than 250 and 1 subject with AI between 250-300. Both subjects underwent ≥ 8 times serial casting. There was no significant difference between DDH prevalence with age range (p = 1), with gender (p = 0.89), with CTEV location (p = 0.89), and with casting frequency (p = 0.05). However, dysplastic hip prevalence in CTEV tend to occur in bilateral CTEV with serial casting ≥ 10 times which could be important on clinical setting.
Conclusion: Hip dysplasia prevalence on children with CTEV aged 6 months to 5 years was 9% and tend to occur in children with bilateral CTEV underwent ≥ 10 times serial casting.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Millati Samha Arrasuli
"Asupan cairan dibutuhkan setiap hari dalam jumlah yang adekuat agar tubuh dapat berfungsi dengan baik dan mencegah timbulnya dampak buruk dehidrasi di mana dampak tersebut dapat berpengaruh besar terutama pada anak ndash anak karena sedang berada dalam proses tumbuh kembang Pengetahuan yang baik tentang asupan cairan diharapkan akan meningkatkan kesadaran individu untuk memenuhi kebutuhan asupan cairan harian dan terhindar dari risiko dehidrasi Tujuan penelitian ini adalah mengetahui asupan cairan dan hubungannya dengan tingkat pengetahuan pada anak usia 7 ndash 9 tahun di Yayasan Kasih Keluarga Pejaten Rancangan penelitian ini adalah studi cross sectional dengan metode pengambilan sampel total population Proses pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 2012 ndash 29 Januari 2012 melalui pemberian kuesioner untuk tingkat pengetahuan tentang asupan cairan pada hari pertama dan catatan asupan cairan harian 2x24 jam selama dua hari berikutnya Setelah proses analisis data dari 31 subjek penelitian dengan 16 anak diantaranya berjenis kelamin perempuan hasil menunjukkan bahwa 9 dari 16 anak perempuan dan 7 dari 15 anak laki ndash laki memiliki tingkat pengetahuan tentang asupan cairan yang cukup Asupan cairan adekuat diperoleh dari 13 anak perempuan dan 11 anak laki ndash laki Secara keseluruhan asupan cairan adekuat diperoleh dari 3 anak dengan tingkat pengetahuan baik 15 anak berpengetahuan cukup dan 6 anak berpengetahuan kurang Uji Fischer menunjukkan adanya hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan asupan cairan p 0 007 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan anak usia 7 ndash 9 tahun berhubungan dengan asupan cairan mereka sehari ndash hari.

Adequate fluid intake is needed daily for everybody in order to function optimally and to prevent negative impacts of dehydration particularly in children who are still growing up A good knowledge about fluid intake is expected to raise one rsquo s awareness to fulfill one rsquo s daily need of fluid intake as well as exempted from risks of dehydration The objective of this study is to determine the fluid intake and its relationship with knowledge level in children aged 7 ndash 9 years old at Yayasan Kasih Keluarga Pejaten Using cross sectional research design and total population sampling the data were collected on January 27th ndash 29th 2012 by giving questionnaires about knowledge of fluid intake on the first day and 2x24 hours record of fluid intake for the next two consecutive days Data analysis from 31 subjects which 16 of them are girls shows that 9 out of 16 girls and 7 out of 15 boys have fair knowledge about fluid intake Adequate amount of fluid intake is obtained from 13 girls and 11 boys In general adequate fluid intake is obtained from 3 children with good knowledge 15 children with fair knowledge and 6 children with poor knowledge Fischer test shows that there is a relationship between fluid intake and knowledge level p 0 007 In conclusion knowledge level of fluid intake in children aged 7 ndash 9 years old is related to their daily fluid intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Farhan Suhada
"Latar Belakang: Asupan makanan merupakan salah satu faktor penyebab karies gigi dengan prevalensi yang sangat tinggi di Indonesia terutama pada anak usia sekolah. Tingkat konsumsi sayur dan buah pada anak di Indonesia masih cukup rendah, padahal jenis makanan ini dikenal dapat merangsang aliran dan meningkatkan kemampuan makan anak. self-cleansing saliva yang penting dalam pencegahan karies. Tujuan: Menganalisis hubungan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan kejadian karies pada gigi geraham pertama permanen pada anak usia 8 sampai 9 tahun di Jakarta Pusat. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan kuesioner frekuensi makanan dan pemeriksaan klinis anak usia 8 sampai 9 tahun di Jakarta Pusat. 109 anak di Jakarta Pusat diperiksa karies dengan klasifikasi ICDAS. Hasil: Penelitian ini menemukan nilai median frekuensi konsumsi sayur per hari pada anak adalah 1,6 (0-8,14) dan 1,4 (0-5). Sebanyak 98,2% anak mengalami karies gigi dan 63,3% anak mengalami karies terbatas pada email. Hubungan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan karies ditemukan sangat lemah dan tidak signifikan. Kesimpulan: Tingkat frekuensi konsumsi sayur dan buah pada anak di Jakarta Pusat masih rendah, dan prevalensi karies cukup tinggi. Hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan karies menunjukkan bahwa ada faktor lain penyebab karies yang harus dikendalikan.

Background: Food intake is one of the factors causing dental caries with a very high prevalence in Indonesia, especially in school-age children. The level of consumption of vegetables and fruit in children in Indonesia is still quite low, even though this type of food is known to stimulate flow and improve children's eating abilities. self-cleansing saliva which is important in caries prevention. Objective: To analyze the relationship between the frequency of consumption of vegetables and fruit with the incidence of caries in the permanent first molars in children aged 8 to 9 years in Central Jakarta. Methods: This study was a cross-sectional study using a food frequency questionnaire and clinical examination of children aged 8 to 9 years in Central Jakarta. 109 children in Central Jakarta were examined for caries with the ICDAS classification. Results: This study found the median frequency of vegetable consumption per day in children was 1.6 (0-8.14) and 1.4 (0-5). A total of 98.2% of children had dental caries and 63.3% of children had caries limited to enamel. The relationship between the frequency of consumption of vegetables and fruits with caries was found to be very weak and insignificant. Conclusion: The frequency of consumption of vegetables and fruit in children in Central Jakarta is still low, and the prevalence of caries is quite high. The weak and insignificant relationship between the frequency of consumption of vegetables and fruits with caries indicates that there are other factors that cause caries that must be controlled."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Stunting merupakan suatu masalah kesehatan yang banyak ditemui pada balita Indonesia, yang ditetapkan oleh WHO sebagai rasio tinggi badan terhadap usia (TB/U) dibawah persentil 5. Persentase stunting balita Indonesia adalah sebesar 37,2% dan terklasifikasi sebagai high severity stunting oleh WHO. Stunting menjadi suatu isu penting karena memiliki dampak buruk yang bersifat inter-generasi. Stunting bersifat kronik dan memiliki penyebab yang bersifat multifaktorial, dengan defisiensi nutrisi sebagai penyebab utama.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara asupan asam folat dengan indikator TB/U. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari penelitian yang dilakukan pada Mei 2011 dengan subjek anak 5-6 tahun yang berdomisili di beberapa RW di Jalan Kimia, Jakarta Pusat.
Metode penelitian menggunakan pengukuran antropometri terstandar untuk memperoleh tinggi badan subjek serta ­food-frequency questionnaire (FFQ) untuk mengetahui asupan asam folat subjek. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan piranti lunak SPSS 11.5 lalu dianalisis dengan uji Spearman dan uji Chi-Square. Didapatkan bahwa persentase subjek stunted adalah sebesar 20% dan lebih dari 70% subjek memiliki asupan asam folat harian rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya korelasi antara asupan asam folat dengan indikator TB/U.

Stunting is a health issue commonly found in Indonesian children of 0-5 years old, whose height-for-age is lower than the 5th percentile standard set by WHO. Having 37,2% of its 0-5 years old population to be stunted (2013), Indonesia claims a high severity stunting level from WHO. Stunting rises as an important issue because of its inter-generation lasting poor effect. Stunting is a chronic and multifactorial condition in which nutrient deficiency holds the main etiology.
This research aims to determine whether a correlation between folic acid intake and height-for-age indicator exists. Running a cross-sectional study design, this research uses secondary data from a former research conducted in May 2011 with children of 5-6 years old living in some RWs located at Kimia Street, Central Jakarta as its subjects.
The research method comprised a standardized anthropometric measurement and the usage of food-frequency questionnaire (FFQ) to obtain subject's height and folic acid intake respectively. Using SPSS 11.5 software, data is then analyzed by Spearman and Chi-Square test, resulting 20% of subjects being stunted and more than 70% of subjects receiving under-par folic acid intake. This research shows that no correlation could be found between folic acid intake and height-for-age indicator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riki Mahendra
"Individu pada masa kanak-kanak madya semakin matang dalam perkembangannya, terutama perkembangan kognitif dan sosial. Perkembangan tersebut membuat individu semakin mampu dalam bersosialisasi seiring dengan bertambahnya aktivitas sosial yang dihadapi oleh individu. Meskipun kejujuran menjadi aspek penting dalam bersosialisasi yang secara umum diturunkan oleh orang tua, individu pada tahap ini juga mampu untuk berperilaku sesuai yang diharapkan oleh orang lain dan memunculkan perilaku berbohong untuk menguntungkan orang lain atau biasa disebut sebagai prosocial lying. Selain kognitif anak, perilaku prosocial lying juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, salah satunya gaya pengasuhan orang tua. Gaya pengasuhan dapat dikategorisasikan berdasarkan dua dimensi, yaitu demandingness dan responsiveness. Dimensi demandingness dan responsiveness yang cenderung tinggi menunjukkan gaya pengasuhan orang tua yang authoritative. Gaya pengasuhan authoritative umumnya ditemukan mendukung perkembangan anak secara optimal, tetapi hubungannya dengan perilaku prosocial lying ditemukan masih bervariasi antar budaya. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara persepsi anak mengenai gaya pengasuhan authoritative orang tua dan perilaku prosocial lying di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga meneliti hubungan antara persepsi anak pada tiap dimensi pembentuk gaya pengasuhan dan perilaku prosocial lying. Sampel penelitian terdiri dari anak usia 9—12 tahun (N = 76). Hasil analisis point biserial menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara persepsi gaya pengasuhan authoritative dan perilaku prosocial lying pada anak usia 9—12 tahun. Namun, dimensi responsiveness memiliki hubungan positif secara signifikan dengan perilaku prosocial lying. Lalu, dimensi demandingness memiliki hubungan negatif secara signifikan dengan perilaku prosocial lying. Penelitian ini mengimplikasikan bahwa anak yang mempersepsikan gaya pengasuhan orang tua dengan responsiveness tinggi dan demandingness rendah lebih cenderung untuk melakuan perilaku prosocial lying. Faktor-faktor lain seperti nilai budaya keluarga serta lingkungan budaya anak juga perlu dipertimbangkan.

Individuals in mid-childhood become increasingly mature in their development, especially in cognitive and social aspects. This development enables individuals to become more capable in socializing as they face growing social activities. Although honesty is an important aspect of socializing generally instilled by parents, individuals at this stage are also capable of behaving according to others' expectations and exhibiting prosocial lying, which is lying for the benefit of others. Prosocial lying behavior in addition to children's cognitive abilities is also influenced by the social environment, one of which is parenting style. Parenting styles can be categorized based on two dimensions: demandingness and responsiveness. High levels of demandingness and responsiveness indicate an authoritative parenting style. Authoritative parenting style is generally found to support optimal child development, but its relationship with prosocial lying behavior varies across cultures.This study aims to investigate the relationship between children's perceptions of authoritative parenting style and prosocial lying behavior in Indonesia. Additionally, the study examines the relationship between children's perceptions of each dimension forming parenting style and prosocial lying behavior. The research sample consists of children aged 9-12 years (N = 76).The results of the point biserial analysis indicate that there is no significant relationship between children's perceptions of authoritative parenting style and prosocial lying behavior in children aged 9-12 years. However, the responsiveness dimension shows a significant positive relationship with prosocial lying behavior. Conversely, the demandingness dimension shows a significant negative relationship with prosocial lying behavior.This study implies that children who perceive their parents' parenting style as highly responsive and low in demandingness are more likely to engage in prosocial lying behavior. Other factors such as family cultural values and the child's cultural environment also need to be considered."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy OI Santoso
"Pendahuluan : Obesitas merupakan suatu keadaan yang dapat mencetuskan berbagai penyakit kronik pada anak di masa depan. Indonesia mencatatkan angka obesitas pada anak usia sekolah sebanyak 8,8% dan tertinggi adalah di DKI Jakarta dengan angka obesitas sebanyak 14%. Tingginya angka ini diperkirakan karena tingginya perilaku sedentary pada anak. Perilaku sedentary ini dapat dipengaruhi oleh buruknya pengetahuan dan perilaku anak dalam aktivitas fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan atara pengetahuan dan perilaku anak usia 10-12 tahun mengenai aktivitas fisik terhadap kesehatan yang dinilai dengan status gizi dan kebugaran pada anak.
Metode : metode yang digunakan adalah cross-sectional dengan pengkajian analitik. Data pengetahuan diperoleh dengan kuesioner yang telah divalidasi dengan realibilitas sedang (Alpha's cronbach=0,57) sedangkan data perilaku dengan kuesioner PAC-Q yang telah dimodifikasi dan divalidasi dengan nilai realibilitas tinggi (Alpha's cronbach=0.71). Status kebugaran dinilai dengan BMI dan status kebugaran dinilai denga menghitung VO2 maksimum dari PACER test.
Hasil : Hasil penelitian adalah 22,2% tergolong obesitas, 63% memiliki pengetahuan yang buruk mengenai aktivitas fisik, 63% tergolong memiliki perilaku sedentary, dan 59,3% tergolong tidak bugar. Dari uji hipotesis, diketahui bahwa terdapat hubungan bermakna (p<0.05) antara perilaku aktivitas fisik dengan status gizi (p=0,022) dan status kebugaran (p=0,001) namun tidak terdapat hubungan (p>0,05) antara pengetahuan dengan status gizi (p=0,5) dan kebugaran (p=0,932).
Diskusi : tidak berpengaruhnya pengetahuan anak terhadap status gizi dan kebugaran dapat disebabkan karena adanya pengaruh lingkungan yang memungkinkan anak memiliki aktivitas fisik yang lebih baik meskipun pengetahuannya buruk. Perilaku yang berhubugnan dengan status gizi dan kebugaran mengindikasikan diperlukan perbaikan perilaku aktivitas fisik pada anak sekolah.

Introduction : Obesity is a condition that can trigger many chronic diseases in children in the future. Indonesia recorded a prevalence of childhood obesity as much as 8.8% and the highest number is Jakarta with rates of obesity is 14%. This high number is expected because of the sedentary behavior in children. This behavior can be affected by poor knowledge and behavior among children in physical activity. This study aims to determine the relationship between knowledge and behavior of children aged 10-12 years old about physical activity with fitness and nutritional status.
Methods: This study was cross-sectional. Knowledge data obtained by a validated questionnaire with moderate reliability, while behavioral data with PAC-Q questionnaire that has been modified and validated with a high value of reliability. Fitness status was assessed by BMI and fitness status assessed by the maximum VO2 from PACER test.
Results: This study showed that 22.2% of children classified as obese, 63% had poor knowledge, 63% classified as sedentary behavior, and 59.3% classified as unfit. From the hypothesis test, it is known that there was a significant relationship (p <0.05) between behavior with nutritional and fitness status but there was no correlation (p> 0.05) between knowledge with the nutritional and fitness status.
Discussion: the non-significant relationship between knowledge of physical activity with nutritional status and fitness may be due to the influence of the environment that allows children to have a better physical activity despite bad knowledge. The significant relationship between behavior with fitness and nutritional status indicates a required improvement of physical activity behavior in school-aged children
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Nur Adlina
"Latar Belakang: Protein merupakan komponen utama yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh. Protein terdiri dari protein hewani dan nabati. Protein hewani terdapat dalam ikan, daging, dan telur. Defisiensi protein hewani dapat menyebabkan karies akibat menurunnya sistem pertahanan tubuh, atropi kelenjar saliva, serta adanya risiko kelainan struktur email gigi. Gigi molar satu permanen merupakan gigi yang dapat digunakan untuk menilai status kesehatan gigi anak karena memiliki anatomi pit dan fissure yang dalam, dan gigi tersebut erupsi pada usia dimana anak sering mengkonsumsi makanan manis. Usia 8 – 9 tahun dipilih karena pada usia tersebut gigi molar satu permanen telah erupsi dan gigi tersebut telah terpapar selama 2- 3 tahun di dalam rongga mulut, serta pada usia tersebut membutuhkan asupan nutrisi yang baik untuk mendukung pertumbuhan.
Tujuan: Menganalisis hubungan tingkat konsumsi protein hewani dengan karies gigi molar satu permanen pada anak usia 8 – 9 tahun di Jakarta Pusat.
Metode: Desain studi cross sectional. Subjek penelitian berjumlah 109 orang, yang dipilih menggunakan purposive sampling. Variabel yang digunakan bertujuan untuk menganalisis korelasi antara frekuensi konsumsi protein hewani dengan karies gigi molar satu permanen. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur frekuensi konsumsi protein hewani yaitu Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan pemeriksaan klinis karies gigi molar satu permanen menggunakan skor International Caries Detection and Assesment System (ICDAS).
Hasil: Hasil dari penelitian menunjukkan distribusi frekuensi karies pada gigi molar satu permanen anak usia 8-9 tahun adalah 1,8% bebas karies, 63,3% karies email, dan 34,9% karies dentin-pulpa. Hubungan frekuensi konsumsi protein hewani dengan karies menunjukkan hubungan tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Kesimpulan : Terdapat hubungan tidak bermakna antara frekuensi konsumsi protein hewani dengan karies gigi molar satu permanen pada anak usia 8 – 9 tahun di Jakarta Pusat.

Background : Protein is the main component that have a role in body tissue’s growth and development. Protein consists of animal protein and plant protein. Animal protein can be found in fish, meat and egg. Protein deficiency can increase caries risk because of decreased immune system, salivary gland atrophy, and abnormalities of enamel structure. First permanent molar is a teeth that can be used to assess children’s oral health because it is more susceptible to caries than any other teeth. This tooth is susceptible to caries because it has deep pit & fissure anatomy and erupts at the age where children consume sweet food more often. Children aged 8 – 9 years is chosen because the first permanent is exposed long enough to oral environment and needed good nutrition for growth.
Aim: To analyze the correlation between animal protein consumption frequency and first permanent molar caries on children aged 8 – 9 years in Central Jakarta.
Method: This study design is cross sectional. Total research subject is 109 people that is chosen by purposive sampling method. The variables that are used in this research aim to analyze the correlation between animal protein consumption frequency and first permanent molar caries. Questionnaire that is used to assess the consumption frequency is Food Frequency Questionnaire (FFQ) and clinical examination to assess severity of first permanent molar caries uses International Caries Detection and Assessment System (ICDAS) score.
Result: This research shows first permanent molar caries frequency as follows; 1,8% free caries, 63,3% enamel caries, and 34,9% dentin-pulp caries. The correlation between animal protein consumption frequency and caries does not show any significant correlation (p>0,05).
Conclusion: There is no significant correlation between animal protein consumption frequency and first permanent molar caries in children aged 8 – 9 tahun in Central Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adzkia Muftia Khairul Islam
"Pengukuran tinggi badan dilakukan untuk memantau status gizi dan pertumbuhan anak, namun kadang-kadang tidak dapat dilakukan secara langsung pada kondisi tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model prediksi tinggi badan pada anak usia 6-9 tahun berdasarkan tinggi lutut dan panjang depa. Penelitian dilaksanakan di SD Negeri 03 Pondok Cina pada bulan Maret-Mei tahun 2015 dengan jumlah responden sebanyak 61 anak laki-laki dan 82 anak perempuan. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan mengukur variabel bebas berupa tinggi lutut, panjang depa, usia dan jenis kelamin, serta variabel terikat berupa tinggi badan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara usia dengan tinggi badan (r = 0,622), dan korelasi yang sangat kuat/sempurna antara tinggi lutut dengan tinggi badan (r = 0,949), panjang depa dengan tinggi badan (r = 0,884). Model prediksi tinggi badan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah tinggi badan (cm) = 31,354 + [2,417 x tinggi lutut (cm)] dan tinggi badan (cm) = 26,2 + [0,695 x panjang depa (cm)] + [0,123 x usia (bulan)]. Tinggi lutut dan panjang depa merupakan prediktor tinggi badan yang baik, namun model prediksi berdasarkan tinggi lutut memiliki akurasi yang lebih baik dan mudah digunakan jika dibandingkan dengan model prediksi berdasarkan panjang depa.

Measuring stature was usually carried out to monitor nutrition and growth in children, but sometimes can?t be done directly on certain conditions. The purpose of this study was to develop prediction models of children stature aged 6-9 years based on knee height and arm span. This study was held in Pondok Cina 03 Public Elementary School in March until May 2015 with total respondents 61 boys and 82 girls. The design of this study was cross-sectional with independent variabel: knee height, arm span, age, and gender, and stature as the dependent variabel.
The result of this study showed that there were a strong correlation between age and stature (r = 0.622), and a perfect correlation between knee height and stature (r = 0.949), and arm span with stature (r = 0.884). Prediction models of stature which obtained in this study was: Stature (cm) = 31.354 + [2.417 x knee height (cm)] and Stature (cm) = 26.2 + [0.695 x arm span (cm)] + [0.123 x age (month)]. Knee height and arm span are good predictors, however the prediction model based on knee height is more accurate and easier to use than prediction model based on arm span."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58832
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>