Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rana Katina Fiola
"Filariasis adalah sekelompok penyakit yang menyerang manusia dan hewan yang disebabkan oleh filariae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 120 juta orang sudah terinfeksi dan 40 juta orang tidak teratasi secara serius. Daerah endemis filariasis tersebar luas di daerah tropis dan subtropis diseluruh dunia. Penyebab paling banyak adalah Wuchereria bancrofti, menyumbang lebih dari 90% dari beban global. Respon imun seluler pada infeksi filariasis telah diketahui didominasi oleh Th2 yang sitokinnya kemudian akan memicu sel B untuk menghasilkan IgE (respon imun humoral), dimana keberadaan IgE tersebut berperan sebagai efektor dalam eliminasi antigen dari tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan respon imun adaptif seluler dan humoral pada ibu hamil dengan infeksi filariasis (Wuchereria bancrofti) dan menggunakan desain Cross-Sectional dengan menganalisis data sekunder yang diperoleh dari penelitian utama yang berjudul "Hubungan Respon Imun Adaptif Selular dan Humoral pada Ibu Hamil dengan Infeksi Wuchereria bancrofti", yang dilaksanakan di Kelurahan Jati Sampurna dan Kelurahan Jati Karya, Jawa Barat pada tahun 2001-2008. Subjek penelitian adalah ibu hamil trimester ketiga (n=63). Dilakukan analisis korelasi (uji Spearman) antara respon imun seluler, yaitu kadar IFN - γ (Th1) dan IL-5 (Th2) dengan respon imun humoral, yaitu kadar IgE total. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar IFN - γ dan IL-5 dengan kadar IgE total, dimana kadar IFN - γ dan IL-5 berkorelasi positif dengan kadar IgE total dan korelasi antara kadar sitokin IL-5 (r= 0,372; p=0,001) dengan IgE memiliki derajat dan tingkat signifikansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan IFN - γ (r=0,211; p=0,04) dengan IgE. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara respon imun seluler dan humoral pada ibu hamil yang terinfeksi filariasis.

Filariasis is a group of diseases that infect humans and animals caused by filariae. The results showed that more than 120 million people are infected and 40 million people are not seriously addressed. Filariasis-endemic areas is widespread in tropical and subtropical regions around the world. The most causes of Lymphatic Filariasis is Wuchereria bancrofti, accounted for more than 90% of the global burden. Cellular immune response in filariasis infection has been known that dominated by Th2 cytokines its will then trigger B cells to produce IgE (humoral immune response), where the presence of IgE plays a role as effectors in the elimination of antigen from the body. This study aims to determine the relationship of adaptive immune response cellular and humoral in pregnant women with filariasis infection and use Cross-Sectional design by analyzing secondary data obtained from the main study, entitled "Relationship of Adaptive Immune Response Cellular and Humoral in Pregnant Women with Wuchereria bancrofti Infection", held in Jati sampurna Village and Jati karya Village, West Java in 2001-2008. Subjects were third-trimester pregnant women (n = 63). Do the correlation analysis (Spearman test) between the cellular immune response, namely levels of IFN - γ (Th1) and IL-5 (Th2) with humoral immune response, namely levels of total IgE. The results showed that there was a statistically significant correlation between the levels of IFN - γ and IL-5 with a total IgE levels, where levels of IFN - γ and IL-5 was positively correlated with total IgE levels and the correlation between the levels of cytokines IL-5 (r = 0.372, p=0.001) with IgE has a degree and significance level higher than the relationship of IFN - γ (r = 0.211, p = 0.04) with IgE. It can be concluded that there is a relationship between cellular and humoral immune response in pregnant woman with filariasis infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rara Agung Rengganis
"Kecacingan merupakan penyakit yang masih mengancam kesehatan. Kecacingan paling umum disebabkan nematoda usus diikuti schistosomiasis dan filariasis. Nematoda usus utama penyebab kecacingan adalah Ascaris lumbricoides. Penyebab utama filariasis adalah Wuchereria bancrofti (90% kasus). Infeksi kedua cacing tersebut dalam tubuh manusia menyebabkan peningkatan aktivitas sel Th2 dalam mensekresi IL-4 dan IL-5 yang akan mengaktifkan sel-sel imun lain untuk mengeliminasi parasit. Kedua jenis cacing ini hidup di tempat yang berbeda di dalam tubuh manusia.
Karena itu, sangat menarik untuk diketahui apakah terdapat perbedaan antara respon imun adaptif selular yang timbul pada infeksi Ascaris lumbricoides yang hidup di lumen usus dan Wuchereria bancrofti yang hidup di jaringan.
Penelitian dilakukan dengan desain cross sectional dengan menggunakan data dari penelitian utama berjudul "Pola Respon terhadap Antigen Tetanus Toxoid dari Bayi yang Lahir dari Ibu dengan Infeksi Cacing". Respon imun selular 3 kelompok penelitian, yaitu terinfeksi Ascaris lumbricoides, Wuchereria bancrofti dan sehat dibandingkan dengan melihat data kadar sitokin IL-5 yaitu sebelum distimulasi, setelah distimulasi antigen BmA dan setelah distimulasi dengan antigen Ascaris lumbricoides.
Dari 286 data wanita hamil yang tersedia dari penelitian utama, didapatkan 82 data yang memenuhi kriteria penelitian dan dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan profil sitokin IL-5 sebelum distimulasi antara kelompok kasus terinfeksi Ascaris lumbricoides dan Wuchereria bancrofti tidak berbeda bermakna (p=0,60). Kadar IL-5 setelah distimulasi antigen BmA dan Ascaris lumbricoides ketiga kelompok penelitian pun tidak berbeda bermakna. (p=0,07;p=0,92). Maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara respon imun adaptif selular infeksi Ascaris lumbricoides dan Wuchereria bancrofti pada ibu hamil.

Worm infection is one of diseases which still harm population's health. The most common worm infection is caused by intestinal nematode followed by schistosomiasis, and filariasis. The most common intestinal nematodes causing worm infection is Ascaris lumbricoides. The main cause of filariasis is Wuchereria bancrofti (90% cases). The two nematodes infection in human is marked by increase activity of Th2 cells which secrete IL-5 and IL-4 to activate other cells to eliminate worms. The two nematodes live in different place in human.
Because of that, it is very interesting to know if there were differences of adaptive cellular immune response between the two worms infection. The study design was cross sectional and the data was from study titled ?Immunological Consequence of Vaccination Tetanus Toxoid in Indonesian Children Born to Mothers Chronically Infected with Helminthes?. Adaptive cellular immune response between three groups, infected with Ascaris lumbricoides, infected with Wuchereria bancrofti, and health, were compared using IL-5 profile data before stimulation, after BmA stimulation and after Ascaris lumbricoides antigen.
From 286 data, there were 82 data met the study criteria for analysis. The result showed that there was no significant difference of adaptive cellular immune response, which showed by IL-5 profile between group with infection Ascaris lumbricoides and Wuchereria bancrofti before stimulation (p=0,6). After stimulated by BmA and Ascaris lumbricoides antigen, there was no significant difference of IL-5 profile between the three groups. (p=0,07; p=0,92). In conclusion, there was no significant difference of adaptive cellular immune response between Ascaris lumbricoides infection and Wuchereria bancrofti infection in pregnant women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Indira Diniarti
"Filariasis (infeksi oleh cacing filaria) memiliki angka kejadian tinggi dan dampak cukup serius di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara endemik filariasis. Penyebab filariasis tersering dan dengan sebaran terluas di dunia adalah Wuchereria bancrofti. Pada filariasis, tubuh memberikan respon imun adaptif selular berupa peningkatan aktivitas sel Th2 dan supresi sel Th1. Pada kehamilan terjadi perubahan regulasi sistem imun, namun respon imun adaptif selular terhadap cacing ini belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik respon imun adaptif selular pada ibu hamil yang terinfeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan dengan ibu hamil sehat. Desain yang digunakan adalah Cross - Sectional dengan data sekunder dari penelitian induk berjudul "Pola Respon terhadap Antigen Tetanus Toxoid dari Bayi yang Lahir dari Ibu dengan Infeksi Cacing", yang dilakukan di Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya, Jawa Barat. Subjek penelitian adalah ibu hamil trimester ketiga (n = 63). Dasar penentuan status infeksi Wuchereria bancrofti adalah pemeriksaan Immunochromatography. Respon imun selular yang dianalisa adalah kadar IFN - γ (sel Th1) dan IL - 5 (sel Th2). Pengukuran kadar IFN - γ dilakukan dengan Luminex dan IL - 5 dengan ELISA. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar IFN - γ dan IL - 5 pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti lebih tinggi secara bermakna (p = 0,01 untuk kadar IFN - γ; p = 0,015 untuk kadar IL-5) dibanding ibu hamil sehat. Setelah stimulasi antigen filaria, tampak bahwa kadar IL - 5 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan IFN - γ (p=0,00). Disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon imun adaptif selular pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan pada ibu hamil sehat, dengan kadar IL - 5 cenderung lebih tinggi daripada IFN - γ.

Filariasis (infection caused by filarial) have a high prevalence and quite serious impact in the world. Indonesia is one of endemic country. Wuchereria bancrofti is the most frequent in causing infection and the most widely distributed in world. The adaptive cellular immune response in filariasis shows that Th2 cell's activity is stimulated and the Th1 cell's is suppressed. There is a change in regulation of immune response during pregnancy and cellular adaptive immune response toward Wuchereria bancrofti infection during pregnancy has not been discovered yet. This study aimed was to know the profile of adaptive cellular immune response in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection compared to healthy pregnant women. This study used Cross - Sectional design with secondary data from the parent study, entitled "Immune Response Against Tetanus Vaccination in Worms Infected Pregnant Women", which was done at Jati Sampurna and Jati Karya Village, West Java. Subject of this study was pregnant women in third trimester (n=63). Wuchereria bancrofti infection status defined by Immunochromatography test. Cellular immune response was analized based on level of IFN - γ (Th1 cell) and IL - 5(Th2 cell). Level of IFN - γ counted with Luminex and IL - 5 counted with ELISA. The result showed the level of IFN - γ and IL - 5 in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection is significantly higher than healthy pregnant women (with p = 0,01 for IFN - γ; p = 0,015 for IL - 5). After stimulated by filarial antigen, appeared that level of IL - 5 is significantly higher than IFN - γ (p = 0,00). In conclusion, there is a significant elevation of adaptive cellular immune response in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection than healthy pregnant women, with level of IL - 5 is higher than IFN - γ.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Partono
"ABSTRAK
Tinjauan Umum Penyakit Filariasis.
Penyakit filariasis disebabkan oleh cacing filaria yang tersebar luas dibanyak daerah yang beriklim panas. Gejala-gejala penyakit biasanya disebabkan oleh cacing dewasa dan kadang-kadang oleh larva yang belua dewasa. Sewaktu-waktu yang menyebabkan kelainan adalah mikrofilaria. Parasit ini tidak langsung nembunuh hospesnya, tetapi menyebabkan cacad fisik dan mental dan disertai dengan banyak penderitaan. Prestasi kerja penderita dapat menurun. Ada penderita cacat yang tidak dapat melakukan pekerjaan, sehingga hidupnya tergantung dari balas kasihan orang lain. Mereka ini merupakan beban bagi koluarga dan masyarakat sekitarnya dan secara tidak langsung merupakan beban bagi negara. Menurut taksiran STOLL (1947), paling sodikit 26O juta penduduk dunia menderita salah satu penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria.
Cacing filaria merupakan parasit manusia dan hewan.
Yang sering terdapat pada manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Filaria type Timor, Loa loa, Onchocerca volvulus, Dipotaloneua pcrstans, Dipetaloncia streptocerca dan Maasonella ozzardi (label 1).
Cacing dewasa hidup didalam saluran dan kelenjar liafe, mengembara didalam jaringan ikat dibawah kulit, didalam simpai jaringan ikat dibawah kulit atau didalam rongga-rongga badan. Lacing betina bersifat vivipar, menghasilkan mikrofilaria yang terdapat didalam darah, cairan hydrocele, cairan linfe, chyluria atau dibawah opitel kulit, sesuai dengan habitat masing-masing species parasit.
Mikrofilaria didalam darah kobanyakan hanya terdapat didalan darah tapi pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa mikrofilaria mempunyai periodisitas. Bila mikrofilaria tcrdapat didalam darah tepi pada malan hari, periodisitasnya disebut periodik nokturna. Bila mikrofilaria terdapat didalan darah tepi pada siang hari, noriodisitasnya disebut periodik diurna. Mikrofilaria yang terdapat didalan darah tepi sectra tidak teratur bersifat nonperiodik. Kadang-kadang mikrofilaria terdapat didalam darah tepi pada siang dan malam hari dalam jumlah yang tidak berbeda banyak. Bila jumlahnya agak lebih banyak pada nalam hari, periodisitasnya disebut subperiodik nokturna dan bila junlahnya agak lebih banyak pada siang hari, periodisitasnya disebut subperiodik diurna.
Parasit filaria dapat ditularkan oleh nyamuk, lalat yang menghisap darah atau kadang-kadang oloh sengkonit. Didalam scrangga, mikrofilaria yang nasuk kedalam lanbung monombus Binding lanbung dan bersarang diantara otot-otot thorax. Kadang-kadang mikrofilaria berkenbang didalam alai Malphigi yang terdapat didalam abdomen (Dirofilaria spp.). Perkenbangan larva didalam serangga memakan waktu kurang lebih 9 - 2 ninggu. Didalam tubuh serangga, larva mengalami 2 kali penggantian kulit dan berubah dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan akhirnya menjadi larva stadium III atau disebut juga scbagai larva infektif. Serangga dengan larva infektif dapat menularkan larva ini, bila menghisap darah larva keluar dari alat tusuk atau alat mulut serangga dan masuk secara aktif melalui lubang luka kedalam tubuh hospes. Didalan tubuh hospes, larva nengalami 2 kali ponggantian kulit, berubah menjadi larva stadium IV dan kemudian menjadi dewasa.
Diagnosis filariasis dapat ditegakkan dengan memperhatikan riwayat panyakit, gejala-gejala klinik dan disokong dengan menemukan mikrofilaria didalam habitatnya, atau menemukan cacing dewasa didalam jaringan biopsi atau bedah mayat.
Die thylcarbamaaine merupakan obat yang paling manjur untuk pengobatan penyakit filariasis, mikrofilaria akan mati dan cacing dewasa diduga juga mati. Gejala peradangan dan gejala bendungan yang dini dapat disembuhkan. Tetapi gejala menahun yang sudah menetap harus diperbaiki dangan pembedahan. Kadang-kadang penyakit filariasis dapat disembuhkan, bila cacing dewasanya dapat dikeluarkan dari tubuh penderita."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1976
D254
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khansa Humaira
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue (DENV) dan masih menjadi endemi di negara-negara tropis dan subtropis. Salah satu bentuk pencegahan infeksi DENV adalah vaksinasi. Salah satu platform vaksin DENV yang dikembangkan adalah vaksin inaktif. Penelitian ini menggunakan empat metode inaktivasi DENV, yaitu formaldehid, psoralen 4′-Aminomethyltrioxsalen hydrochloride (AMT), UV dan pemanasan. Virus yang sudah diinaktivasi diuji antigenisitas, viabilitas, dan imunogenisitas menggunakan ELISA, focus assay, dan mencit Balb/C, secara berurutan. Imunisasi mencit dilakukan dengan menyuntikkan 10μg protein dalam 50μl per mencit. Titer antibodi IgG dan antibodi netralisasi pasca imunisasi dianalisa menggunakan ELISA dan focus reduction neutralization assay (FRNT). Hasil uji imunogenisitas menggunakan ELISA, menunjukkan kenaikan titer antibodi pada mencit yang divaksinasi. Vaksin inaktif dengan formaldehid menginduksi titer antibodi tertinggi. Sedangkan, hasil uji imunogenisitas dengan FRNT, virus yang diinaktivasi dengan formaldehid dan AMT, menghasilkan titer antibodi netralisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan virus yang diinaktivasi dengan metode lainnya. Titer FRNT50 dan FRNT90 pada vaksin yang diinaktivasi dengan formaldehid dan AMT memiliki titer yang sama, yaitu 1/80 dan 1/10. Hasil tersebut menunjukkan bahwa inaktivasi virus dengan formaldehid dan AMT berpotensi untuk dikembangkan menjadi kandidat vaksin DENV di masa mendatang.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a disease caused by dengue virus (DENV) infection and is still endemic in tropical and subtropical countries. One form of prevention of DENV infection is vaccination. One of the DENV vaccine platforms developed is an inactivated vaccine. This study used four DENV inactivation methods, namely formaldehyde, psoralen 4′-Aminomethyltrioxsalen hydrochloride (AMT), UV and heating. The inactivated virus was tested for antigenicity, viability, and immunogenicity using ELISA, focus assay, and Balb/C mice, respectively. Immunization of mice was performed by injecting 10μg of protein in 50μl per mice. IgG antibody titers and neutralization antibodies after immunization were analyzed using ELISA and focus reduction neutralization assay (FRNT). Immunogenicity test results using ELISA showed an increase in antibody titer in vaccinated mice. Formaldehyde inactivation vaccine induced the highest antibody titer. Meanwhile, the results of immunogenicity tests with FRNT, viruses inactivated with formaldehyde and AMT, produced higher neutralization antibody titers compared to viruses inactivated by other methods. The titer of FRNT50 and FRNT90 in vaccines inactivated with formaldehyde and AMT had the same titer, namely 1/80 and 1/10. These results indicate that virus inactivation with formaldehyde and AMT has the potential to be developed into DENV vaccine candidates in the future."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Rahmi Fadhilah
"Penelitian mengenai pengembangan vaksin DNA pengekspresi antigen fusi hemaglutinin dan VP22 terhadap respon antibodi spesifik dan sel T CD8 pada mencit BALB/c telah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai penambahan VP22 secara terfusi pada plasmid pcDNA H5cop?TM terhadap respon imun humoral dan seluler yang diinduksi oleh vaksin DNA pemgekspresi antigen hemaglutinin virus influenza A H5N1.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji eksperimental berupa kenaikan dan reaktivitas serum yang diperoleh dari kelompok mencit BALB/c yang divaksin dengan pcdnawt, pcdna-H5cop?TM, pcdna-, pcdnaH5cop?TM-VP22, pcdnaH5copfull serta respon sel T CD8 dari spleen mencit BALB/c yang mensekresikan IFN-? spesifik terhadap peptida H5N1 MHC Class I. Mencit BALB/c berusia 8 minggu divaksinasi sebanyak tiga kali secara intramuskular dengan interval waktu 2 minggu untuk tiap vaksinasi. Semua kelompok mencit menunjukkan peningkatan respon antibodi spesifik dibandingkan dengan kontrol dengan nilai rasio OD serum ketiga pada kelompok mencit pcdna-H5cop?TM, pcdnaH5cop?TM-VP22, pcdnaH5copfull dan kontrol secara berurutan adalah 1.71 p=0.006 , 1.56 p=0.010 , 1,05 p=0.016 dan 1.01.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan pcdna-H5cop?TM dengan pcdnaH5cop?TM-VP22 terhadap protein HA p=0.200 . Sementara pada respon sel T CD8 yang diperoleh dari optimasi ELISPOT menunjukkan adanya spot forming unit SFC pada spleen mencit yang divaksinasi dengan pcdnaH5cop?TM-VP22 pada berbagai konsentrasi peptida H5N1 yaitu berturut-turut 20 spot 100ng , 22 spot 250ng , 22 spot 500ng , 49 spot 750ng , dan 72 spot 1000ng . Nilai spot tertinggi didapatkan dengan konsentrasi peptida H5N1 sebanyak 1000ng. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa dengan adanya penambahan VP22 secara terfusi pada pcdna-H5cop?TM dapat meningkatkan respon seluler terhadap virus influenza A H5N1.

Research on the development of DNA vaccines expressing a fused gene of haemagglutinin HA and VP22 towards specific antibody and CD8 T cells responses in mice BALB c has been done. The purpose of this study was to asses the fused VP22 into the pcDNA H5cop TM towards humoral and cellular imune responses.
The methodology used in this study was experimental method that focused on increase of antibody level of serum obtained from groups of BALB c mice that previously vaccinated with pcDNAwt, pcDNA H5COP TM, pcDNA, pcDNA H5COP TM VP22, pcDNA H5COP full. Response CD8 T cell generated from spleen of mice BALB c that secreted IFN H5N1 peptides specific to MHC class I was also observed. Significant increase of level of specific antibody response were shown by value of control compared to third serum with mean value of OD optical density of pcDNA H5COP TM, pcDNA H5COP TM VP22, pcDNA H5COP full and control 1.71 p 0.006 , 1.56 p 0.010 , 1,05 p 0.015 and 1,01 respectively. Statistical analysis showed that there was no significant difference in group treated with pcDNA H5COP TM with pcDNA H5COP TM VP22 towards HA protein p 0.200.
The ELISPOT optimizations showed response to CD8 T cells by formation of spot forming units SFC in the spleen of mice vaccinated with pcDNA H5COP TM VP22 with various concentrations of peptide H5N1 applied, 20 spots 100ng , 22 spots 250ng , 22 spots 500ng , 49 spots 750ng , and 72 spots 1000ng respectively. The highest value obtained by peptide of H5N1 with a total peptide 1000ng. The results indicated that the fused of VP22 into the pcDNA H5cop TM can enhance cellular responses against H5N1 influenza A virus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samidjo Onggowaluyo
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara penelitian : Penelitian kepekaan Anopheles sinensis terhadap larva filaria W. bancrofti telah dilakukan di Laboratorium Bagian Parasitologi FKUI, Naval Medical Research Unit (NAMRU) No.2 Jakarta dan Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga. Sumber infeksi W. bancrofti berasal dari wilayah kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mikrofilaria W, bancrofti tipe urban yang vektor aktualnya Culex quinquefasciatus dapat berkembang dalam An. sinensis yang umumnya banyak terdapat pada daerah persawahan di pedesaan. Strain An. sinensis berasal dari kepulauan Nias dan dikembang-biakan di Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga, sedangkan Cx.quinquefasciatus sebagai kontrol telah dikembangbiakkan di Laboratorium NAMRU No. 2 Jakarta. Penelitian ini dimulai dengan infeksi nyamuk An. sinensis dan Cx. quinquefasciatus dewasa muda dengan mikrofilaria secara per os. Pengamatan perkembangan larva filaria dilakukan melalui pembedahan nyamuk yang telah kenyang darah (full fed) masing-masing 20 ekor pada 1 jam, 3, 6, 9, 12, 15 hari pasca infeksi dan dilakukan 3 kali pengulangan untuk mengetahui : angka infeksi, densitas infeksi, waktu perkembangan larva serta tingkat efisiensi. Pengamatan umur An. sinensis dilakukan dengan mengamati jumlah kematian nyamuk setiap hari pasca infeksi pada kelompok nyamuk yang tidak di bedah.
Hasil dan kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan perbandingan angka 'infeksi (68,3% : 56,7%), densitas infeksi (1,2 mikrofilaria/nyamuk : 1,3 mikrofilaria/nyamuk) serta tingkat efisiensi (0,58 : 0,59) pada An. sinensis tidak berbeda bermakna dengan Cx. quinquefasciatus. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan larva filaria seluruhnya(100%) menjadi stadium infektif pada An. sinensis (17 hari) lebih lama daripada Cx.quinquefasciatus (15 hari). Umur nyamuk maksimum yang mengisap darah mengandung mikrofilaria pada An. sinensis dan Cx.quinquefasciatus (26 hari) lebih kecil dari nyamuk yang mengisap darah normal. Keberhasilan An. sinensis mengembangkan larva stadium infektif (L3) serta umur nyamuk yang lebih panjang dari waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva infektif dalam penelitian ini, menyebabkan An.sinensis dapat dikategorikan sebagai vektor potensial bagi W.bancrofti.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Rakhmawati
"ABSTRAK
Vaksin baru sangat dibutuhkan untuk mengendalikan tuberkulosis TB . Protein yang disekresikan oleh M.tuberculosis diketahui dapat menginduksi kekebalan protektif. Pada genom M.tuberculosis terdapat protein yang berperan dalam reaktivasi M.tuberculosis, protein tersebut bernama resuscitation promoting factor Rpf . RpfD merupakan salah satu dari keluarga Rpf yang telah terbukti imunogenik sehingga membuat RpfD cocok untuk digunakan sebagai vaksin TB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkonstruksi vaksin DNA yang menyandi gen rpfD dan menginvestigasi imunogenisitas vaksin tersebut pada mencit. Gen rpfD M.tuberculosis diamplifikasi menggunakan teknik PCR. Gen rpfD dan plasmid pcDNA3.1 kemudian dipotong dengan enzim restriksi EcoRI dan HindIII kemudian diligasi dan ditransformasikan ke E.coli DH5?. Plasmid rekombinan pcDNA3.1-rpfD yang telah diuji kebenaran urutan asam amino dan orientasinya ditransfeksikan ke dalam sel CHO-K1. Selanjutnya, mencit Balb/c diimunisasi setiap dua minggu sekali secara intramuskular dengan pcDNA3.1-rpfD. Antibodi spesifik yang terdapat di serum mencit dideteksi dengan Western Blot. ELISA digunakan untuk mengukur tingkat IL-12, IFN-?, IL-4, dan IL-10. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telah terdeteksi antibodi yang spesifik terhadap pcDNA3.1-rpfD. Selain itu, vaksin DNA ini juga dapat menginduksi produksi IL-12 dan IFN-? tetapi tidak pada IL-4 dan IL-10.

ABSTRACT
Novel vaccines are needed to control tuberculosis TB . Proteins secreted by M.tuberculosis are known to induce the protective immunity. In the M.tuberculosis genome, there is protein for which a possible role in reactivation of M.tuberculosis, this protein called resuscitation promoting factor Rpf . RpfD is one of the Rpfs family which proved to be immunogenic as make it suitable to be used as TB vaccine. The aim of this study was to construct the DNA vaccine encoding rpfD gene and to investigate its immunogenicity in mice. The rpfD gene of M.tuberculosis was amplified using PCR techniques. The rpfD gene and pcDNA3.1 plasmid are then digest with restriction enzymes EcoRI and HindIII then ligated and transformed to E.coli DH5 . The recombinant plasmid pcDNA3.1 rpfD that has been tested the sequences and its orientation is transfected into CHO K1 cells. Furthermore, Balb c mice were immunized every two weeks intramuscularly with pcDNA3.1 rpfD. The specific antibodies in the serum detected by Western Blot. ELISA was applied to determine the levels of IL 12, IFN , IL 4, and IL 10. The result showed that the specific antibody was detected in the serum mice. Besides that, DNA vaccine can induce IL 12 and IFN but not in IL 4 and IL 10 production."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Aryati
"Flavobacterium columnare D. adalah bakteri penyebab penyakit columnaris yang menyebabkan kerugian besar pada produksi budidaya ikan seperti ikan lele (Clarias batrachus L.). Vaksin adalah pendekatan pilihan untuk mengontrol masalah penyakit yang berdasar pada kekebalan (selular dan humoral). Vaksin anti F. columnare dibuat dengan inaktivasi formalin 0,2% skala invitro. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari potensi imunogenik vaksin anti Flavobacterium columnare dan menganalisis kekebalan selular dan humoral pada budidaya ikan lele (Clarias batrachus L.). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin anti Flavobacterium columnare dapat meningkatkan sintasan (survival rate) dari ikan lele (Clarias batrachus L.) hingga 30% dan booster tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap sintasan (survival rate) dan relative percent survival (RPS). Analisis kekebalan selular antara ikan lele (Clarias batrachus L.) berfluktuasi sesuai dengan antigen yang diberikan. Kekebalan humoral dari ikan lele yang dibooster lebih tinggi dibandingkan ikan lele yang tidak dibooster. Penelitian mengindikasikan bahwa vaksin anti F. columnare dapat digunakan sebagai alternatif solusi untuk mengendalikan penyakit penyakit columnaris.

Flavobacterium columnare D. is an agent of columnaris disease makes a loss in aquaculture product such as catfish (Clarias batrachus L.). Vaccine is choice approach to control the problem basic on cellular and humoral immunity. The vaccine is made by inactivation bacteria with 0,2% of formalin with invitro scale. The aims of this study to investigate immunogenic potential of anti F. columnare vaccine and to analyse cellular and humoral immune on catfish (Clarias batrachus L.). The result revealed that anti of F. columnare vaccine could increased the survival rate of catfish product up to 30% , and the booster not gave influence for survival rate and relative percent survival. Cellular immune of Clarias batrachus L. were fluntuative depend on the antigen. Humoral immune on catfish (Clarias batrachus L.) was increased by anti F. columnare vaccination with booster compared by without booster. This study indicated that anti F. columnare vaccination could be used as alternative solutions to control columnaris disease."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35085
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ihsan Rizal
"Prevalensi periodontitis di Indonesia sangat tinggi yaitu 74,1%. Patogen keystone sebagai manipulator respons host dimediasi oleh patobion yang menjadi patogen dalam lingkungan dysbiosis yang akan memicu respons imun adaptif sehingga menyekresikan antibodi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keberadaan polimikrobial dengan respons imun humoral saliva berdasarkan keparahan periodontitis dan status periodontal. Desain penelitian ini adalah observasional potong-lintang. Pemeriksaan status periodontal dan pengambilan sampel saliva dilakukan pada 39 subjek periodontitis berbagai stage dan periodontal sehat. Keberadaan antigen dan respons imun humoral saliva dideteksi menggunakan teknik berbasis imunologi. Keberadaan antigen A. actinomycetemcomitans tertinggi pada kelompok periodontitis stage IV. Respons imun IgA saliva terhadap antigen F.nucleatum (p=0,014) dan C.albicans (p=0,009) menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan keparahan periodontitis. Hubungan signifikan ditemukan antara indeks plak dengan respons imun IgG saliva terhadap C.albicans. Hasil analisis menunjukkan hubungan antara indeks kebersihan mulut dengan respons imun IgA saliva terhadap antigen A. actinomycetemcomitans (p=0,008) dan C. albicans (p=0,031). Terdapat hubungan antara indeks perdarahan papila dengan respons imun IgA saliva terhadap antigen A. actinomycetemcomitans (p=0,003), F.nucleatum (p=0,002), dan C.albicans (p=0,008). Antigen A.actinomycetemcomitans, respons imun IgA serta IgG saliva terhadap antigen F.nucleatum dan C.albicans dapat menjadi biomarker keparahan periodontitis.

The prevalence of periodontitis in Indonesia remains high (74.1%). Keystone pathogens as manipulators of the host response are mediated by pathogens that become pathogens in a dysbiotic environment that will trigger antibodies. The objective was to analyze the relationship between the presence of polymicrobial and salivary humoral immune responses based on the severity of periodontitis and periodontal status. The study design was cross-sectional. Saliva sampling were performed in 39 subjects with periodontitis and healthy periodontal. The presence of antigens and immunoglobulins were detected by immunology-based techniques. The presence of A.actinomycetemcomitans antigen was higher in the stage IV periodontitis group. The salivary IgA against F. nucleatum (p=0.014) and C. albicans (p = 0.009) showed significant differences based on the severity of periodontitis. A significant relationship was found between the plaque index and salivary IgG against C. albicans. It showed a relationship between the oral hygiene index and the salivary IgA immune response against A. actinomycetemcomitans (p=0.008) and C.albicans (p=0.031). There was a relationship between the papillary bleeding index and salivary IgA against A. actinomycetemcomitans (p=0.003), F.nucleatum (p=0.002) and C.albicans (p=0.008). The A.actinomycetemcomitans antigen, the salivary IgA and IgG against F.nucleatum and C.albicans antigens can be biomarkers for periodontitis severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>