Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162120 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan
"Pneumonia adalah penyakit ISPB yang mempunyai angka kematian yang masih cukup tinggi di dunia dan juga Indonesia Dua bakteri penyebab utama penyakit ini adalah Klebsiella pneumoniae serta Streptococcus pneumoniae Antibiotik adalah pengobatan utama untuk kasus akibat kedua bakteri tersebut Penggunaan antibiotik yang dilakukan secara luas dan tidak tepat guna menyebabkan munculnya pola peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang biasa diberikan sehingga dibutuhkan golongan antibiotik baru yang masih efektif Senyawa X merupakan sebuah senyawa yang mengandung struktur cincin oksazol dan diduga mempunyai potensi untuk menjadi sebuah senyawa antibiotik baru yang masih efektif melawan berbagai bakteri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bioaktivitas dari Senyawa X terhadap kedua bakteri tersebut serta apakah terdapat hubungan antara penambahan dosis dengan bioaktivitasnya Sebanyak 3 kultur dari masing masing bakteri sebagai ulangan diberikan perlakuan dengan metode disk difussion test Disk kosong ini diisi dengan aquades sebagai baseline alkohol 90 sebagai kontrol negatif serta Senyawa X dengan konsentrasi 2 4 8 16 32 64 dan 128 mg L sebagai perlakuan Indikator bioaktivitas adalah diameter hambatan pertumbuhan dari kedua bakteri Secara deskriptif didapatkan bahwa Senyawa X cenderung mempunyai bioaktivitas terhadap kedua bakteri sedangkan uji hipotesis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan dosis Senyawa X dengan peningkatan bioaktivitasnya pada bakteri Streptococcus pneumoniae p 0 003 Namun pada bakteri Klebsiella pneumoniae tidak ditemukan hubungan yang bermakna p 0 133 Hasil penelitian ini membuktikan Senyawa X memiliki bioaktivitas terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae Namun hubungan yang bermakna terhadap peningkatan dosis Senyawa X dan bioktivitasnya hanya terjadi pada bakteri Streptococcus pneumoniae.

Pneumonia is one of the Upper Airways Infections which still has increasing mortality rate in Indonesia Two common pathogens causing this disease are Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae Antibiotics are the main therapy in this case A wide and irrational usage of those antibiotics brings the increasing antibiotics resistant pattern of both pathogens So that a new and effective antibiotic are needed Substance X an ocsazoles containing substance is now assumed being an effective antibiotic among many pathogens Therefore this study aims to understand the bioactivity of Substance X to both pathogens and to understand the relationship between the increasing dosage and their effect on the Substance X bioactivity There were 3 cultures of both pathogens and each of them is given disk diffusion test method to conduct the experiment The blank disk were then filled with aquades baseline alcohol 90 negative control and Substance X with 2 4 8 16 32 64 And 128 mg L concentration tested group The indicator of bioactivity in this study measured in growth inhibition diameter of both pathogens Descriptively the experiment shows Substance X has bioactivity to both pathogens Another hypothesis then tested using Kruskal Wallis shows a significant relationship between the increasing dosage of Substance X and the increasing bioactivity on Streptococcus pneumoniae p 0 003 but not on Klebsiella pneumoniae p 0 133 This study then can be concluded that Substance X has bioactivity to both Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae But the significant relationship between increasing dosage and bioactivity of Substance X can only be found on Streptococcus pneumoniae.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Irsha Adhari
"Asam galat dan oktil galat adalah senyawa yang telah banyak digunakan di berbagai industri. Asam galat dikenal memiliki manfaat terapeutik potensial sebagai antibakteri, antivirus, antijamur, anti-inflamasi, dan anti kanker. Mirip dengan salah satu turunannya, octyl gallate. Turunan asam galat ini yang memiliki 8 rantai karbon alkil, berfungsi sebagai antibakteri, antifugal, dan antioksidan kuat. Tingginya kasus resistensi Salmonella thypi dan Streptococcus pneumoniae memberi peluang untuk asam galat dan oktil galat sebagai alternatif antibiotik baru. Pengujian dilakukan dengan metode difusi cakram diikuti dengan mengukur zona hambat yang terbentuk. Salmonella thypi dan Streptococcus pneumoniae diuji dengan asam galat dan oktil gallate dengan konsentrasi 16 mg / L, 32 mg / L, 64 mg / L, 128 mg / L, 128 mg / L, 256 mg / L, 512 mg / L, dan 1024 mg / L. Setiap tes diulang tiga kali (triplo). Dalam tes ini, gentamisin disc 10 μg digunakan sebagai kontrol positif. Hasil penelitian ini dinyatakan dalam satuan mm berdasarkan zona penghambatan setiap senyawa. Dari hasil pengujian menggunakan 7 konsentrasi yang berbeda, asam galat dan oktil galat belum mampu menghambat aktivitas Salmonella thypi dan Streptococcus pneumoniae, karena zona hambat yang diamati adalah 0 mm hingga konsentrasi 1024 mg / L.

Gallic acid and octyl gallate are compounds that have been widely used in various industries. Gallic acid is known to have potential therapeutic benefits as antibacterial, antiviral, antifungal, anti-inflammatory, and anti-cancer. Similar to one of its derivatives, octyl gallate. This gallic acid derivative which has 8 alkyl carbon chains, functions as an antibacterial, antifugal, and strong antioxidant. High cases of resistance of Salmonella thypi and Streptococcus pneumoniae provide opportunities for gallic acid and octyl gallate as alternatives to new antibiotics. Tests carried out by the method of disk diffusion followed by measuring the zone of inhibition formed. Salmonella thypi and Streptococcus pneumoniae were tested with gallic acid and octyl gallate at concentrations of 16 mg / L, 32 mg / L, 64 mg / L, 128 mg / L, 128 mg / L, 256 mg / L, 256 mg / L, 512 mg / L, and 1024 mg / L. Each test was repeated three times (triplo). In this test, a 10 μg gentamicin disc was used as a positive control. The results of this study are expressed in units of mm based on the zone of inhibition of each compound. From the test results using 7 different concentrations, gallic acid and octyl gallate have not been able to inhibit the activity of Salmonella thypi and Streptococcus pneumoniae, because the inhibited zone observed was 0 mm to a concentration of 1024 mg / L.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Panca Satriawan
"Latar Belakang : Insidens Pneumonia HCAP semakin meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana optimal dapat menurunkan angka mortalitas , salah satunya Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). Pengaruh TFAD pada pasien pneumonia HCAP belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi perbedaan kesintasan 30 hari pasien pneumonia HCAP dewasa terhadap TFAD.
Metode : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan pasien pneumonia HCAP RSCM periode Januari 2011-Desember 2014. Dilakukan ekstraksi data rekam medis jarak waktu pemberian dosis awal antibiotika di IGD, derajat keparahan pneumonia dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitas 30 hari. Derajat keparahan menggunakan Skor CURB-65. TFAD dikelompokkan menjadi TFAD ≤4 jam dan > 4 jam. Perbedaan kesintasan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan diuji dengan Log-rank test, batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 170 subjek, dalam 30 hari sebanyak 51 subjek (40,5%) meninggal pada kelompok TFAD> 4jam dan 4 subjek (9,1%) meninggal pada kelompok TFAD ≤4jam. Median kesintasan seluruh subjek adalah 25 hari (IK95% 24-27), kelompok TFAD ≤4jam 29 hari (IK95% 27-31) dan kelompok TFAD > 4 jam 24 hari (IK95% 22-26) dengan log rank p 0,01. Kesintasan 30 hari kelompok TFAD ≤4jam sebesar 90,9% sedangkan kelompok TFAD > 4 jam 59,5%. Crude HR pada kelompok TFAD > 4 jam 5,293 (IK95% 1,912-14,652). Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok TFAD> 4 jam sebesar 7,137 (IK95% 2,504-30,337).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien HCAP dewasa pada kelompok TFAD > 4 jam , semakin lama jarak waktu pemberian antibiotik awal, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : The incidence of pneumonia HCAP is increasing with a high mortality rate. Optimal management can reduce mortality, one of which Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). TFAD influence on pneumonia patients with HCAP has not been widely studied.
Objective : Obtain information about the differences in 30-day survival adult patients with pneumonia HCAP against TFAD.
Methods : A retrospective cohort study based on analysis of the patient's survival against pneumonia HCAP period January 2011 to December 2014. Extraction of data from the medical records of the interval initial dose of antibiotics in the ED, the severity of pneumonia and confounding factor, then look for the data in 30-day mortality. Severity using CURB-65 score. TFAD divided into two groups, TFAD ≤4 hours and> 4 hours. Differences in survival is shown in Kaplan Meier. The difference in survival were tested by the log-rank test, with significance limit p<0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% CI) with correction for confounding variables.
Results : Of the 170 subjects, within a period of 30 days by 51 subjects (40.5%) died in the group TFAD> 4 hours and 4 subjects (9.1%) died in the group TFAD ≤4 hours. Mean survival of the whole subject is 25 days (IK95% 24-27), the group TFAD ≤4jam 29 days (IK95% 27-31) and group TFAD> 4 hours 24 days (IK95% 22-26) with a log-rank p 0.01 , 30-day survival in the group TFAD ≤4jam by 90.9% while the TFAD> 4 hours 59.5%. Crude HR group TFAD> 4 hours of 5.293 (1.912 to 14.652 IK95%). After adjustment for confounding variables obtained fully adjusted HR group TFAD> 4 hours amounted to 7.137 (2.504 to 30.337 IK95%).
Conclusions : There are differences in 30-day survival of adult patients with HCAP group TFAD> 4 hours; the longer the interval initial antibiotic treatment, the worse the 30-day survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan akut parenkim paru-paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru Bakteri penyebab yang utama adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus untuk bakteri yang tergolong gram positif dan Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Mycobacteri um tuberkulosis untuk bakteri yang tergolong gram negatif. Pemilihan
dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP). Pola penggunaan antibiotika di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya belum pernah dilakukan. Mempelajari pola
penggunaan antibiotika pada penderita rawat inap pneumonia di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. Ramelan dan mengkaitkan dosis, mengetahui terapi lain, serta mengidentifikasi adanya DRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode penelitian survey yang bersifat deskriptif berupa suatu studi retrospektif dan deskriptif.
Bahan penelitian adalah Rekam Medik Kesehatan (RMK) penderita rawat inap di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. Ramelan Surabaya dengan diagnosa akhir pneumonia, mulai tanggal 1 Januari 2004 sampai tanggal 30 April 2006 yang memenuhi kriteria inklusi. Dari populasi penelitian yang berjumlah 50 didapatkan 41 penderita yang memenuhi kriteria inklusi. Antibiotika tunggal yang paling banyak diterima
penderita tanpa penyakit penyerta adalah ampisilin iv 26,92% (14 penderita) dan sefotaksim iv 21,15% (11 penderita), sedang antibiotika kombinasi yang banyak diterima penderita adalah ampisilin iv/po+kloksasilin iv/po 13,46% (7 penderita) dan kloksasilin
iv+seftriakson iv 5,77% (3 penderita) dan sisanya antibiotika kombinasi lainnya. Penelitian DRP ditemukan 56,9% penderita menerima dosis antibiotika yang sesuai pustaka dan 43,1% penderita menerima dosis underdose. Penggunaan antibiotika di atas adalah sudah sesuai dengan buku pedoman terapi dan referensi lainnya. Antibiotika tunggal atau kombinasi 2 antibiotika golongan penisilin dan sefalosporin
sering digunakan untuk terapi pneumonia.

Abstract
Pneumonia is an infectious disease that was caused inflammation of acute parenchymal compression of the lungs and bacterial exudate from lung tissue on the main from Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumonia, Mycobacterium tuberculosis. Selection of appropriate antibiotic therapy and rational will determine the treatment to avoid the occurrence of bacterial resistance. In addition it is also possible the use of other drugs that can increase the chances of Drug Related Problems (DRP). Pattern of antibiotic use in Rumkital Dr. Ramelan Surabaya has never been done. Studying the pattern use of
antibiotics in hospitalized patients with pneumonia in the Sub Department of Pediatric Rumkital Dr. Ramelan and related the dose, other therapies, as well as identify the DRP. This research is a method descriptive survey research in the form of a retrospective and descriptive study. Materials research is the Medical Records patients
hospitalized with the final diagnosis of pneumonia, starting January 1, 2004 until April 30, 2006 that meet inclusion criteria. Of the study population who account for 50 found 41 patients who fulfilled the inclusion criteria. Antibiotics single most widely accepted patients without comorbidities were ampicillin iv 26.92% (14 patients) and iv sefotaksim 21.15% (11 patients), while the antibiotic combination
widely accepted patients is ampicillin iv / po + kloksasilin iv / po 13.46% (7 patients) and kloksasilin iv + ceftriaxone iv 5.77% (3 patients) and the rest other antibiotic combinations. DRP study found 56.9% patients received appropriate antibiotic dose literature and 43.1% patients receiving doses underdose. Use of antibiotics
above is already in accordance with reference and other therapies. Single antibiotic or combination of 2 antibiotics penicillin and cephalosporin classes often used to treat pneumonia."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Fakultas Farmasi], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia
"Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan yang merupakan ancaman bagi masyarakat, terutama masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian mengenai tanaman penghasil antibakteri alternatif. Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua yang sudah dikenal sejak lama sebagai obat tradisional. Tanaman ini diketahui berpotensi mengobati berbagai penyakit seperti eksim, jerawat, dan luka gigitan serangga. Kandungan zat aktif yang terdapat pada tanaman mahkota dewa antara lain alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, dan lignan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antibakteri serta konsentrasi terbaik ekstrak etanol daging buah mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella pneumoniae yang telah resisten terhadap beberapa antibiotik. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode uji difusi agar menurut Kirby- Baurer dengan mengamati zona hambat pertumbuhan bakteri uji sebagai parameter. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor, yaitu jenis bakteri dan konsentrasi ekstrak.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan koloni bakteri uji dengan nilai konsentrasi terbaik 50%. Uji statistik dengan sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis bakteri dan konsentrasi ekstrak masing-masing berpengaruh nyata (P<0,05). Interaksi antar kedua faktor tersebut pun memberikan makna yang nyata (P<0,05).

Relatively high intensity in using antibiotics caused variation problem that are a treat to society, especially bacterial resistance to antibiotic problems. This problems need to be solved with doing research about plant that could be used as alternative for producing antibacteri. Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) is a native plant, i.e from Papua that have been known as a traditional medicine. This plant is known had potential ability to cure many diseases, such as eczema, acne, and wound caused by insect bits. Active substance in this plant, e.g. alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, and lignans.
The aims of this study to determine the best concentration of extract ethanol of the crown fruit of Mahkota dewa that showed the highest antibacterial activity in inhibiting the growth of Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, and Klebsiella pneumoniae that was resistant to many antibiotics. Antibacterial activity assays was conducted with Kirby-Baurer agar diffusion method by observing bacterial growth inhibition zone as parameter. This study was completely randomized factorial design with two factors, the type of bacteria and extract concentration.
This study showed that the best concentration that inhibit the growth of bacterial colonial tested was 50%. Statistical test for variance analysis showed that difference type of bacteria and each of concentration extract was significantly (P<0,05). Interaction between the two factors also significant (P<0,05).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S44533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Suci
"Penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia terus meningkat seiring dengan tingginya angka kejadian serta mempengaruhi pola penggunaan antibiotik difasilitas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika golongan beta laktam pada pasien pneumonia di rumah sakit anak dan bunda harapan kita tahun 2016 yang dilakukan untuk mencapai penggunaan antibiotik yang rasional. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari rekam medik pasien. Sampel merupakan resep pasien pneumonia periode Januari hingga Desember 2016. Studi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan metode Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose ATC/DDD . Antibiotik yang digunakan adalah ampisilin; amoksisilin; ampisilin-sulbaktam; seftriakson; sefiksim; sefotaksim; seftazidim; sefoperazone dan seftizoksim. DDD dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah ampisilin 80,5 sedangkan DDD/100bed/hari dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah amoksisilin 34,62 DDD/100bed/hari . Secara kualitatif, antibiotik yang menyusun segmen DU90 ada lima yaitu ampisilin; seftriakson; sefotaksim; sefixim; ampisilin-sulbaktam. Kesesuaian penggunaan antibiotik golongan beta laktam di rumah sakit anak dan bunda harapan kita tahun 2016 dengan Formularium Nasional sebesar 99,55.

The use of antibiotics increases as well as number of events and affect the pattern of antibiotic uses in health facilities. This study aimed to evaluate the use of beta lactam antibiotics in patients with pneumonia in Harapan Kita Mother and Children rsquo s Hospital in 2016 which is done to achieve rational drug uses. The design of the study was descriptive with retrospective data collection from patients rsquo medical records. Samples were patients rsquo prescriptions from January to December 2016. The analysis was done using Anatomical Therapeutic Chemical Defined Daily Dose ATC DDD qualitatively and quantitatively. The antibiotics were ampicillin amoxicillin ampicillin sulbactam ceftriaxone cefixime cefotaxime ceftazidime cefoperazone and ceftizoxime. DDD with most antibiotics used is ampicillin 80,5 , while DDD 100bed day with most antibiotics used is amoxicillin 34.62 DDD 100bed day . Five antibiotics which are in segment DU90 are ampicillin ceftriaxone cefotaxime cefixime ampicilin sulbactam. Compatibility of the use of pneumonia drugs with National Formulary are 99.55.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S67554
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Finasari Said
"Streptococcus pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya community-acquired pneumonia, meningitis, dan bakteremia pada semua golongan usia. Penelitian tentang S. pneumoniae di Indonesia masih jarang dilakukan. Uji biakan sebagai metode baku masih memiliki kendala dalam penerapan kondisi optimal untuk pertumbuhan S. pneumoniae, yaitu pada lingkungan atmosfer 5% CO2 (carbon dioxide), dan spesimen dari pasien seringkali diperoleh setelah pemberian antibiotik sehingga memberikan hasil negatif. Metode molekular saat ini lebih banyak diterapkan karena dianggap lebih sensitif, dapat menghemat waktu, dan mengurangi biaya. Gen psaA mengkode protein psaA (pneumococcal surface adhesin A) yang berperan dalam proses virulensi bakteri, dan ditemukan pada keseluruhan serotipe S. pneumoniae.
Penelitian ini dilakukan untuk identifikasi gen psaA Streptococcus pneumoniae langsung dari sputum dengan metode PCR. Sebanyak 176 sputum dikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil uji biakan berdasarkan uji optochin dan uji kelarutan dalam garam empedu menunjukkan hasil positif S. pneumoniae pada 3 sputum. Hasil uji PCR menunjukkan gen psaA positif pada 3 sputum yang juga positif pada hasil biakan (100%), sehingga diperoleh sensitivitas dan spesifisitas 100%.

Streptococcus pneumoniae could cause community acquired pneumoniae, meningitis and bacteremia at all age groups. In Indonesia study about S.pneumoniae is still rare. Culture method as gold standard still has some limitations in optimal condition appliance for S pneumoniae growth, which is 5% CO2 atmosphere condition, and patient specimen is often obtained after antibiotic treatment therefore gives negatve result. Molecular method nowadays is more often performed due to better sensitivity, take less time and cost effective. psaA gene codes psaA protein that roles in bacterial virulent process and can be found in all S. pneumoniae serotypes.
This study aimed to identify Streptococccus pneumoniae psaA gene straightly from sputum by PCR method. This study included 176 sputum samples, from culture results there were 3 sputum S. pneumoniae by performing optochin test and bile salt solubility test. There were 3 sputum psaA gene positive has positive from culture results (100%) therefore sensitivity and specificity are 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Nofria Rizki Amalia
"Pandemi Coronavirus disease-19 (COVID-19) telah secara drastis mempengaruhi kesehatan global. Salah satu komplikasi COVID-19 yang berbahaya adalah pneumonia. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk pencegahan dan pengobatan pneumonia pada pasien COVID-19. Pemberian antibiotik yang tidak sesuai dapat memicu resistensi antibiotik sehingga berdampak pada peningkatan mortalitas pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Sampel penelitian adalah 72 pasien rawat inap yang mendapat diagnosis COVID-19 terkonfimasi dan pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta pada periode Maret hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia memiliki rerata usia 53,13 ± 12,61 tahun. Pasien dengan derajat penyakit COVID-19 berat atau kritis (66,7%) lebih banyak dibandingkan non-berat (33,3%). Jumlah pasien meninggal yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah 36 (50%). Berdasarkan evaluasi antibiotik menggunakan diagram alir Gyssen diperoleh hasil sejumlah 11 dari 72 (15,3%) pasien menggunakan regimen antibiotik yang tidak sesuai. Karakteristik ketidaksesuaian antibiotik, meliputi: ketidaktepatan pemilihan antibiotik (2,8%) dan durasi antibiotik (12,5%). Kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen tidak berpengaruh secara bermakna terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dan pneumonia.

The COVID-19 pandemic affected global health drastically. COVID-19 becomes more dangerous if pneumonia attacks COVID-19 patients as a complication. Numerous types of antibiotics were used for the prevention and treatment of pneumonia in COVID-19 patients. Inappropriate administration of antibiotics caused antibiotic resistance and influenced patient mortality. This research aims to analyze the effect of appropriate antibiotics administration according to Gyssen flowchart on clinical outcomes of confirmed COVID-19 patients with pneumonia. This research was conducted using a cross-sectional design. A total of 72 COVID-19 confirmed inpatients with pneumonia diagnosis from March to December 2020 at Fatmawati Hospital Jakarta whose met inclusion criteria were included in our study. The mean age of all patients was 53.13 ± 12.61 years. The percentage of critical or severe ill patients (66.7%) was higher than those who were having noncritical diseases (33.3%). 36 (50%) death were reported in our patient population. 11/72 (15.3%) antibiotic regimens were found to be inappropriate. Characteristics of inappropriate antibiotics included: incorrect choice (2.8%) and duration of antibiotics (12.5%). We conclude that appropriate administration of antibiotics based on the gyssen flowchart was not significantly associated with the clinical outcomes of confirmed COVID-19 with pneumonia patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Ethelind
"ABSTRAK
Latar Belakang: Extended Spectrum Beta Lactamase ESBL merupakan salah satu dari kelompok beta lactamase yang dapat menghidrolisis sefalosporin generasi ke-3, penisilin, dan aztreonam. Kejadian ini dapat menyebabkan gagal terapi pada pasien yang terinfeksi bakteri tersebut. Di Indonesia, data yang tersedia mengenai prevalensi Klebsiella pneumoniae yang memproduksi ESBL masih sangat terbatas. Metode: Sampel diambil dari seluruh data isolat Klebsiella pneumoniae dari WHO.net Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dari tahun 2009 sampai tahun 2014. Selanjutnya, data isolat dianalisis dan dibandingkan setiap tahun menggunakan uji chi-square, SPSS versi 16. Hasil: Jumlah seluruh isolat K. pneumoniae dari tahun 2009-2010 sebanyak 555 isolat. Prevalensi K. pneumoniae penghasil ESBL pada tahun 2009-2010 menurun 31.1 menjadi 17.4 secara signifikan p0.05 . Dari tahun 2011-2014 prevalensi mengalami kenaikan secara berturut turut 9.4 , 10 , 10.2 , 12.1 , walaupun secara statistic tidak signifikan. Jika prevalensi K. pneumoniae penghasil ESBL dibandingkan pada tahun 2009 dengan tahun 2014, terdapat penurunan yang signifikan.

ABSTRACT
Background Extended Spectrum Beta Lactamase ESBL is one of beta lactamases group that hydrolyzes third generation cephalosporin, penicillin, and aztreonam. This event might cause failure in treating the patients infected with Klebsiella pneumoniae due to resistance problem. In Indonesia, there is still inadequate data regarding ESBL producing K. pneumoniae. Method Samples were obtained from all Klebsiella pneumoniae isolates data from WHO.net in Microbiology Department, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia from 2009 to 2014. Therafter, data was analyzed and compared year by year using chi square test, SPSS version 16. Results The total of K. pneumoniae in 2009 2014 was 555 isolates. There was a marked decrease p0.05 from 2010 to 2011 17.4 to 9.4 . Unfortunately, it then increased from 2011 until 2014 9.4 , 10 , 10.2 , 12.1 respectively , although it was insignificant p 0.05 . Moreover, if we compare the prevalence of ESBL producing K. pneumoniae in 2009 and 2014, we found a significant decreased prevalence."
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina
"Latar belakang: Pneumonia adalah salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Proses penuaan sistem organ dan faktor komorbid banyak berperan pada peningkatan morbiditas dan mortalitas pneumonia pada pasien geriatri sehingga menyebabkan tingginya biaya pengobatan penyakit tersebut. Salah satu biaya yang menyerap besar anggaran rumah sakit adalah biaya antibiotik. Tingginya biaya penggunaan antibotik untuk pneumonia komunitas menyebabkan perlunya dilakukan analisis farmakoekonomi. Cost effectiveness adalah salah satu metode analisis farmakoekonomi.
Tujuan: Menilai cost effectiveness tata laksana pneumonia komunitas pada geriatri.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif pada pasien geriatri rawat inap dengan pneumonia komunitas di RSCM periode 1 Januari 2012-31 Maret 2016. Analisis cost effectiveness digunakan untuk analisis farmakoekonomi yang membandingkan biaya (cost) dengan hasil luaran klinis sembuh (effectiveness).
Hasil: Sebanyak 104 pasien geriatri dengan pneumonia komunitas dirawat di RSCM dianalisis cost effectiveness dan dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu: kombinasi seftriakson azitromisin (n=38), kombinasi sefotaksim azitromisin (n=23), monoterapi meropenem (n=22), kombinasi meropenem levofloksasin (n=13), dan monoterapi sefepim (n=8). Kesembuhan tertinggi pada monoterapi sefepim (100%), kombinasi sefotaksim azitromisin (95,7%), dan kombinasi seftriakson azitromisin (92,1%). Kematian tertinggi pada kombinasi meropenem levofloksasin (46,2%) dan monoterapi meropenem (36,4%). Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin. Kelompok 2 terdiri dari kombinasi meropenem levofloksasin, monoterapi meropenem dan monoterapi sefepim. Nilai ACER (Average Cost Effectiveness Ratio) pada kombinasi seftriakson azitromisin Rp285.097,- dan monoterapi sefepim memiliki nilai ACER Rp 1.747.356,-. Pada nilai ICER (Intremental Cost Effectivenees Ratio), penggunaan kombinasi seftriakson azitromisin memberikan selisih penambahan harga sebesar Rp 31.756,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi sefotaksim azitromisin. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 58.124,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan monoterapi meropenem. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 83.918,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin. Penggunaan meropenem memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 179.724,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.
Kesimpulan: Kedua rejimen antibiotik kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin memiliki cost effectiveness yang sama untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri. Monoterapi sefepim memiliki cost effectiveness lebih tinggi dibandingkan monoterapi meropenem dan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.

Background: Pneumonia is one of the major health problems in elderly. The aging process of organ systems and many comorbid factors contribute to increase the morbidity and mortality of pneumonia in geriatric patients, causing high costs of the treatment, mainly the cost of antibiotic. The high cost of antibiotic used for community pneumonia creates need for pharmacoeconomics analysis. Cost effectiveness analysis is one of the method for doing pharmacoeconomics analysis.
Objective: To analyze the cost effectiveness of antibiotic uses on community pneumonia in elderly.
Method: This study was conducted retrospectively in hospitalized geriatric patients with community pneumonia in RSCM for period of 1 January 2012-31 March 2016. The cost effectiveness analysis method was used to analyze pharmacoeconomics by comparing the expense (cost) with clinically cured patients (effectiveness).
Result: A total of 104 geriatric patients with community pneumonia treated in RSCM were analyzed by using cost effectiveness method. They were classified into 5 groups: combination of azithromycin ceftriaxone+azithromycin (n=23), combination of cefotaxime+azithromycin (n=38), meropenem monotherapy (n=22), combination of meropenem+levofloxacin (n=13), and cefepime monotherapy (n=8). The highest percentage of recovery was found in cefepime monotherapy (100%), followed by combination of cefotaxime+azithromycin (95.7%) and combination of ceftriaxone+azithromycin (92.1%). The highest percentage of mortality was observed in the combination of meropenem+ levofloxacin (46.2%), followed by meropenem monotherapy (36.4%). This research is divided into two large groups. Group 1 consisted of combination of ceftriaxone+azithromycin and combination of cefotaxime+azithromycin. Group 2 consisted of combination of meropenem+levofloxacin, meropenem monotherapy and cefepime monotherapy .The Average Cost Effectiveness Ratio of combination ceftriaxone+azithromycin is Rp 285.097,-while the ACER of cefepime monotherapy is Rp 1.747.356,-. The Intremental Cost Effectivenees Ratio of combination of ceftriaxone+azithromycin is Rp 31.756,- for each 1% increment of recovery when compared to combination of cefotaxime+azithromycin. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 58.124, - for each 1% additional of recovery compared to meropenem monotherapy. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 83.918,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin. The use of meropenem provides reduction of Rp 179.724,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
Conclusions: Both of two regimen azithromycin+ceftriaxone and cefotaxime+azithromycin got the same cost of effectiveness for the treatment of community pneumonia in elderly. Cefepime monotherapy has higher cost effectiveness than meropenem monotherapy and combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>