Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152910 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anthony
"Prostitusi merupakan salah satu lahan ekonomi yang memberikan banyak keuntungan materi. Prostitusi semakin marak di Indonesia, sebut saja Doly di Surabaya, Saritem di Bandung atau Sarkem (Pasar Kembang) di Yogyakarta. Namun ironisnya, Kompas.com menyatakan bahwa 75% pekerja seks komersial yang berada di Saritem, Bandung didatangkan dari Indramayu. Maraknya prostitusi di Indonesia dapat disebabkan oleh ketersediaan wanita-wanita pekerja seks komersial (PSK) yang bersedia untuk melakukan pekerjaan tersebut. Banyak orang berpendapat bahwa alasan wanita-wanita ini melakukan pekerjaan tersebut dikarenakan kesulitan ekonomi dan keterbatasan lapangan kerja. Namun, jika dikaji dari segi Ilmu Komunikasi, ada faktor psikologi komunikasi yakni faktor personal dan faktor-faktor sosial dan budaya yang bersifat situasional yang menjadi pendorong utama mereka melakukan pekerjaan ini. Dari segi teori komunikasi, Teori konformitas dapat menjelaskan bagaimana pengaruh sosial dapat mendukung adanya konformitas terhadap kelompok sehingga mereka terlibat dalam dunia prostitusi, kekuasaan yang dimiliki orang tua juga dapat menjadi pendorong keterlibatan wanita-wanita Indramayu ke dalam prostitusi. Jadi, penjelasan terhadap keterlibatan wanita-wanita Indramayu dalam dunia prostitusi dapat dijelaskan melalui teori dalam Ilmu Komunikasi, yakni faktor personal dan situasional pendukung perilaku manusia, dan Teori Konformitas. Hal inilah yang menjadi fokus utama dalam penulisan makalah ini. Metode penelitian yang digunakan adalah document research.

Prostitution is a choice that people choose nowadays because it generates quite much money. Prostitution is getting more numerous these days, as we can see in these places: Doly in Surabaya, Saritem in Bandung, and Sarkem (Pasar Kembang) in Yogyakarta. Ironically, Kompas.com stated that 75% of the prostitutes are occupied from Indramayu. The unstoppable growing number of prostitution is because of the supply of the women that has consented to do the job. People said that the reason why these women chose to do this job was because nothing other than economical reason and the limited job vacancy. However, if we use Communication Science point of view, there are Communication Psychology theory to explain why; which is personal element and situational element that were the cause of their choice of doing this job. Communication theory could explain the fenomena too, with Conformity Theory. Conformity Theory explains how social influence could support confirmity in the group, whereas the power of parents could be a strong part of the consent of the women to work as a prostitute. As a conclusion, the phenomena of these women being prostitutes could be elaborated with theory from Communication Science, which are personal and situational elements, and Confomity Theory. This will be the main focus of the writing. The method being used will be document research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Sosial RI. Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, 2004
306.74 FAK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1997
306.74 Ret
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuningsih Rahmawati
"Banyak orang berpendapat bahwa profesi paling tua yang ada dalam masyarakat manusia adalah prostitusi atau pelacuran. Akan tetapi untuk mengungkapkan kapan pelacuran mulai ada dalam masyarakat tidak ada jawaban yang cukup jelas. Pada agama yang yang diakui secara resmi di Indonesia, pelacuran dianggap sebagai suatu penyimpangan tercela dan harus dihindari. Disamping faktor agama, pandangan negatif masyarakat terhadap pelacuran juga dipengaruhi oleh alasan-alasan praktis seperti masalah kesehatan dan kesejeahteraan rumah tangga. Melihat pertimbangan di atas, sudah sewajarnya jika pemerintah berusaha mengurangi, bahkan kalau mungkin melenyapkan pelacuran.
Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mendirikan Panti Rehabilitasi untuk para wanita tuna susila. Di dalam panti, mereka menerima bimbingan, pembinaan dan penyuluhan agar dapat kembali ke masyarakat. Namun demikian apakah masyarakat juga akan menerima mereka yang ingin kembali? Pada kenyataannya, kesediaan masyarakat untuk menerima para wanita tuna susila yang ingin kembali inilah yang jarang ditemui. Karakteristik yang pernah dipilih oleh seseorang akan menjadi suatu pola yang dikenali secara khusus. Dan karakteristik sebagai wanita tuna susila akan menjadi suatu faktor yang kelak akan diperhitungkan orang dalam berinteraksi.
Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah penolakan dari masyarakat dan pandangan negatif mereka dirasakan pula oleh para wanita tuna susila yang berada dalam pembinaan Panti Rehabilitasi Wanita Mulya Jaya (siswa PRW-MJ). Selain itu ingin diketahui pula seberapa besar intensi mereka untuk berhenti menjadi wanita tuna susila dan apakah persepsi mereka terhadap penolakan lingkungan sosial mempengaruhi intensi mereka untuk berhenti menjadi wanita tuna susila. Hal lain yang juga ingin diketahui melalui penelitian ini adalah, apakah ada perbedaan persepsi siswa PRW MJ terhadap aspek-aspek dalam penolakan lingkungan sosial (aspek keluarga, tetangga dan teman), serta manakah diantara ketiga aspek tersebut yang berpengaruh terhadap intensi mereka untuk berhenti menjadi wanita tuna susila sekeluarnya dari PRW-MJ.
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner yang terdiri dari dua bagian:
1. Kuesioner tentang persepsi siswa PRW-MJ mengenai penolakan lingkungan sosial.
2. Kuesioner tentang intensi siswa PRW-MJ untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Dari hasil penelitian ini (dengan 34 responden) didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan pada l.o.s 0.05 antara persepsi terhadap penolakan lingkungan sosial dengan intensi siswa untuk berhenti menjadi wanita tuna susila sekeluarnya dari Panti Rehabilitasi Wanita Mulya Jaya. Semakin tinggi skor persepsi responden terhadap penolakan lingkungan sosial, maka intensinya untuk berhenti menjadi WTS akan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya.
Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan, bahwa siswa PRW-MJ memiliki skor persepsi yang rendah terpenolakan lingkungan sosial, hal ini berarti secara umum mereka tidak merasakan adanya penolakan dari lingkungan sosial terhadap diri mereka. Selanjutnya, penelitian terhadap intensi siswa PRW-MJ untuk berhenti dari pekerjaannya semula sebagai WTS menunjukkan adanya tingkat intensitas yang tinggi.
Dari ketiga aspek yang dipersepsi oleh responden, terlihat bahwa skor persepsi responden terhadap aspek keluarga dan tetangga relatif rendah, sedangkan skor pada aspek teman relatif tinggi. Hal ini berarti secara umum mereka tidak merasakan adanya penolakan baik dari keluarga maupun tetangga terhadap diri mereka. Akan tetapi mereka cenderung merasakan adanya penolakan dari teman. Jika ditilik dari pekerjaan mereka sebelumnya sebagai WTS, dimana untuk memperoleh keberhasilan terkadang mereka harus bersaing dengan teman, dapat dimaklumi bila hubungan mereka dengan teman tidak begitu hangat, dan hal ini tentu mempengaruhi persepsi mereka terhadap aspek teman.
Hasil lain menunjukkan, bahwa aspek persepsi terhadap keluarga merupakan aspek yang paling menentukan (signifikan pada 1.o.s 0.05) dalam hubungannya dengan intensi untuk berhenti menjadi Wanita Tuna Susila. Hal ini dapat dimengerti karena bila seseorang merasa ditolak oleh keluarganya, maka ia akan merasa tak berarti lagi, karena tak dapat dicari pengganti kehangatan seperti dalam keluarga. Tetapi sebaliknya bila keluarga dipersepsi responden tetap akan menerima kehadiran dirinya, tentulah keinginan responden untuk berhenti menjadi WTS akan semakin meningkat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S2353
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imma Hapsari Putri
"Pelacuran tergolong masalah sosial yang sudah lama terjadi. Di dunia pelacuran kita juga mengenal istilah Pekerja Seks Komersial (PSK). PSK yang terjaring oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kemudian dimasukkan kedalam panti rehabilitasi. Dalam masa rehabilitasi mereka diberikan berbagai kegiatan bertujuan agar tidak kembali menjadi PSK. Dalam hal ini ada proses pencarian makna hidup saat menjalani masa rehabilitasi. Makna hidup ini berkaitan dengan konsistensi akan pencapaian tujuan yang diinginkan, sehingga dapat dikatakan keinginan untuk hidup bermakna menjadikan motivasi utama bagi mereka untuk melakukan sesuatu yang positif.

Prostitution is considered as social problem that has occured for long time. The prostitution is also familiar with the term of Commercial Sex Workers (CSWs). CSW arrested by the municipal police are sent into rehabilitation centre. During the rehabilitation they obtain good knowladge in order not to go back into the prostitution world. In this case there is a process of finding the meaning of life while undergoing a period of rehabilitation. The meaning of life is related to the consistency of meeting the desired objectives. The desire to make life meaningful is primarily a motivation for them to do something positive.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakub Prajogo
"Lokasi pelacuran pada warung-warung di sepanjang Jalan Tegal Rotan Kecamatan Pondok Aran Kabupaten Tangerang, tepatnya berada di RT 01 dan 02 pada RW 01 Desa Pondok Jaya, merupakan salah satu dari beberapa lokasi pelacuran di pinggiran kota Jakarta. Kegiatan tersebut merupakan lokasi pelacuran yang timbul sebagai salah satu akibat minimya pendidikan dan kemampuan yang dimiliki para pelacur, disamping itu kegiatan mereka dimanfaatkan oleh para pemilik warung untuk menarik pengunjung guna membeli barang dagangannya di warungnya. Sehingga kehidupan para pelacur dan pedagang warung sangat ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Adapun para pelacur yang terdata sebanyak 70 orang selama penelitian, namun diperkirakan lebih dari jumlah tersebut karena terdapat para pelacur bebas yang keluar masuk lokasi tersebut yang juga tidak diketahui aparat RT setempat.
Sejak sekitar tahun 1982, lokasi pelacuran di Jalan Tegal Rotan bermula dari masyarakat setempat yang membuka warung makan dan minuman di sekitar tempat tinggalnya. Pertama kali yang membuka warung dengan mempekerjakan pelayan warung yang merupakan pelacur adalah Pak Rohim. Rohim adalah warga pendatang yang sebelumnya pernah tinggal dan berjualan di waning kopi di lokasi pelacuran di Desa Pondok Kacang Barat. Kemudian kegiatan tersebut diikuti pedagang warung lainnya seperti Bu Tasiyah, Pak Budi Pak Yanto. Kemudian sekarang bertambah dengan pedagang warung lainnya seperti Bu Siti Fatimah, Bu Nurayati, Pak Ton clan lainnya di sepanjang Jalan Tegal Rotan. Adapun pedagang waning yang terdata selama penelitian sebanyak 19 orang.
Pelacuran merupakan masalah sosial dalam masyarakat yang dianggap merupakan penyimpangan sosial, namun di sisi lain kegiatan pelacuran dianggap sebagai kegiatan yang dapat menghasilkan uang yang digunakan bagi kebutuhan hidupnya. Sehingga dalam linkungan pelacuran di Jalan Tegal Rotan dalam kenyataannya menjadi fungsional dalam sistem sosial masyarakat, dimana terdapat beberapa warga masyarakat memperoleh penghasilan dari adanya pelacuran di lingkungan tersebut, seperti diantaranya pemilik rumah kontrakan, tukang ojek dan pedagang warung.
Penelitian dan pembahasan dalam penuliian tesis ini terhadap pelacuran di lingkungan Jalan Tegal Ratan menggunakan Teori Patron Klien dari Keith R. Legg, Teori Penyimpangan dari Edwin Shuterland, Edwin Lemert, Robert K. Merton, Emile Durkheim dan Howard Becker, Teori Keteraturan Sosial dari Horton dan Hun, Teori Pengendalian Sosial dari Horton dan Teori Interaksionisme Simbolik dari Blumer. Agar memahami pemaknaan dari hubungan para pelaku tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode etnografi dengan metak loan pengamatan terlibat clan wawanc ara berpedoman.
Hasil penelitian mengenai kehidupan pelacur di lingkungan Jalan Tegal Rotan, menunjukan adanya hasil hubunganhubungan para pelaku pelacuran memiliki pemaknaan masingmasing yang menjadilcan keamanan bisnis pelacuran berjalan. Pemaknaan tersebut merupakan pemahaman dari para pelaku yang merupakan kebiasaan dalam lingkungan tersebut, bila dikaji merupakan hal-hal penyimpangan yang seharusnya diketahui oleh para penegak hukum untuk diantisipasi agar dapat menanggulangi masalah pelacuran yang merupakan sebagai masalah sosial dalam masyaralcat yang menyangkut masalah ekonomi pula."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firli
"Prostitusi itu pada hakekatnya adalah komersialisasi pelayanan khusus yang pada umumnya dijajakan oleh perempuan untuk memenuhi kebutuhan biologis laki-laki dengan memberikan imbalan materi khususnya uang. Walaupun demikian pelacuran dicela masyarakat, karena masyarakat beranggapan bahwa pelacuran itu merupakan perilaku seksual menyimpang, perbuatan bejat, tidak bermoral, dan merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan. Pelakunya dianggap sebagai sampah masyarakat yang menjijikan dan bahkan ada yang beranggapan mengganggu stabilitas serta merupakan salah satu sumber penyebab penyebaran penyakit kelamin. Karenanya terdapat kecenderungan masyarakat untuk menempatkan praktek pelacuran itu di suatu lokasi yang terpencil dan jauh dari lingkungan masyarakat.
Namun tidak demikian halnya dengan lokasi pelacuran Boker, dimana pelacur dan lokasi pelacuran berada dalam satu lingkungan pemukiman dengan warga masyarakat.Dalam keadaan yang demikian, timbul pertanyaan bagaimana sesungguhnya kedua belah pihak beradaptasi dalam lingkungan yang tidak saling mendukung? Dimana para pelacur memerlukan kebebasan dari norma-norma sosial yang dapat memperkenankan kegiatannya, sementara itu penduduk memerlukan tempat bermukim dan mendidik anak-anaknya yang bebas dari kegiatan sosial yang melanggar norma-norma yang berlaku umum.
Oleh karena itu dalam kajian ini dibahas bagaimana para wanita tuna susila yang hidup di komplek pemukiman penduduk tersebut berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, sehingga praktek pelacuran bisa terus berlangsung. Mengapa hal itu bisa berlangsung? Asumsi saya adalah bahwa kegiatan yang disebut pelacuran itu ternyata mendatangkan keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat termasuk warga setempat. Sehingga menimbulkan kecenderungan masyarakat untuk membuat keteraturan sosial yang disepakati baik yang tertulis maupun lisan.
Adapun tujuan pengkajian ini untuk mengetahui dan memahami pola-pola hubungan sosial yang mencerminkan adanya keteraturan sosial. Hasil kajian saya menunjukkan bahwa baik pelacur maupun penduduk setempat memahami akan kedudukan dan peranan masing-masing dalam membina kehidupan sehari-hari. Masing-masing pihak berusaha untuk saling menghormati dengan sejauh mungkin menekan terjadinya konflik. Para pelacur menyadari akan kedudukannya sebagai warga pendatang yang cari makan untuk sementara waktu. Di lain pihak penduduk setempat memahami profesi pelacur yang mencari nafkah sesuai dengan kemampuan. Disamping itu para pelacur juga berusaha menyesuaikan diri dengan cara antara lain. (I) Para pelacur tinggal di rumah-rumah kontrakan di tengah-tengah lingkungan warga setempat, (2) Pelacur yang akan memasuki rumah kontrakan menandatangani kesepakatan dengan pemilik rumah, (3) Pelacur aktif mengikuti kegiatan sosial dan keagamaan warga setempat, (4) Pelacur membantu warga yang terkena musibah.
Dengan mengetahui hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada ilmu kepolisian untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi khususnya yang timbul di lokasi pelacuran Boker serta memberi masukan kepada Pemerintah Daerah Jakarta Timur tentang manfaat dari pelacuran dan apabila akan melakukan penertiban tentu dapat dilaksanakan dengan arif dan bijaksana dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pelacuran sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
Dalam melakukan penelitian saya menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan data: metode pengamatan, pengamatan terlibat dan wawancara. Adapun hasil penelitian saya dapatkan bahwa: hubungan sosial antara pelacur dengan warga setempat telah menghasilkan manfaat bagi kedua belah pihak dimana para pelacur mendapatkan keuntungan karena mereka bisa melakukan kegiatan pelacuran tanpa diganggu warga bahkan warga memberikan perlindungan kepada pelacur, sebaliknya dengan adanya lokasi pelacuran Boker memberikan manfaat kepada warga setempat diantaranya memberikan lapangan pekerjaan dan memberikan peluang bisnis bagi warga setempat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pelacur dengan warga setempat dan sebaliknya hubungan yang saling menguntungkan tadi menciptakan keteraturan sosial."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T1772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jarvinen, Margaretha
Norway: Scandinavian University Press, 1993
306.74 JAR o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Neng Djubaedah
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010
306.74 NEN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>