Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5881 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Carr, Robert K.
New York: Rinehart, 1942
342.73 CAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Choper, Jesse H.
Chicago: The University of Chicago Press, 1980
342 Cho j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syaugi Pratama
"ABSTRAK
Berdasarkan constitutional authority, pengujian perundang-undangan Indonesia dilakukan oleh dua lembaga yudisial. Terdapat perbedaan yang sangat menarik, pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung judicial review on the legality of regulation dilakukan dengan sidang pemeriksaan tertutup, sedangkan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi judicial review on the constitusionality of law dilakukan dengan sidang pemeriksaan terbuka. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode yuridis normatif dengan menyertakan pendeketan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukan urgensi keterbukan sidang pemeriksaan hak uji materiil di Mahkamah Agung, baik dari segi perkembangan sejarah bahwa ketertutupan sidang pemeriksaan judicial review di Mahkamah Agung erat kaitannya usaha melanggengkan kekuasaan, dari segi permasalahan aktual dan karakteristik pengujian peraturan perundang-undang bukan seperti pengadilan biasa dapat disempurnakan dengan keterbukaan sidang pemeriksaan. Selain itu hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan adanya pembaharuan melalui sidang pemeriksaan pendahuluan dan sidang pemeriksaan pokok perkara yang terbuka untuk umum memiliki relevansi terhadap perbaikan dan penguatan kualitas putusan. Oleh sebab itu pada bagian akhir penelitian dikemukakan suatu kesimpulan dan rekomendasi bahwa gagasan keterbukaan sidang pemeriksaan ini sangat konstitusional dan urgen untuk segera diterapkan dalam hak uji materiil di Mahkamah Agung. Caranya cukup melakukan perubahan terhadap undang-undang tentang Mahkamah Agung dengan mengatur dan memasukan materi sidang pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan pokok perkara berdasarkan alternatif pilihan yang dapat dipilih pembuat undang-undang.

ABSTRACT
Based on Constitutional Authority, Indonesia 39 s judicial review is conducted by two judicial institutions. There is a distinction to analyze, the judicial review by Supreme Court on the legality of regulation conducted with a closed hearing, while the judicial review on the constitutionality of law is conducted by a trial open hearing. This research uses juridical normative method with comparative approach. The results of this research show that there is an urgency for open judicial review hearing in the Supreme Court as seen from the historical aspect that closed judicial review in the Supreme Court is strongly connected to preserving power and the characteristic aspect that judicial review can be improved with open court proceedings. The research also shows that reform through introductory trial and public principal hearing is relevant to improvement of the quality of decisions. Therefore, it is concluded and recommended at the last part of the research that open judicial review hearing is constitutional and must be urgently implemented in the Supreme Court by making changes in the law about the Supreme Court and incorporating introductory trial and principal hearing based on alternative options that can be chosen by lawmakers."
Universitas Indonesia, 2018
T49399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Dwi Ardianzah
"Penelitian ini fokus terhadap Mahkamah Agung dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (judicial review on the legality of regulation). Asas Contrarius Actus digunakan dalam pola putusan judicial review di Mahkamah Agung, sesuai dengan PERMA No 01 Tahun 2011 Pasal 8 Ayat (2) memiliki jangka waktu 90 hari dari putusan judicial review dan dinyatakan tidak ada kekuatan hukum jika tidak dilaksanakan. Dalam Proses eksekusi putusan yang bisa dilakukan dalam pengeksekusian dalam proses eksekusi putusan Mahkamah Agung Hal itu dapat berpotensi mengakibatkan proses tindak lanjut tidak ideal yang dilakukan Pejabat Tata Usaha Negara dalam menindak lanjuti putusan Mahkamah Agung dari norma yang sudah dibatalkan. Maka hal tersebut dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum dari putusan judicial reviewMahkamah Agung terkait. Bentuk Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Dalam konteks ini penulis juga melakukan analisis dengan metode perbandingan dengan beberapa negara dan mencari informasi penting dari narasumber yang penulis lakukan dengan mekanisme wawancara untuk memperkuat penelitian ini. Hasil penelitian ini merujuk terhadap eksekusi putusan judicial review yang masih kurang diterapkan secara ideal sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum. Harusnya putusan judicial review di Mahkamah Agung dapat memiliki kekuatan hukum yang terikat atau berlaku final and binding sejak putusan dibacakan sehingga judicial review Mahkamah Agung dapat mengakibatkan harmonisasi dari Peraturan Perundang-undangan akan tercederai. Maka daripada hal itu, Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan eksekusi putusan dengan tidak ideal harus diberikan teguran dan sanksi yang dilaporkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang memiliki fungsi dalam menjaga harmonisasi produk Peraturan Perundang-undangan. Hal itu dilakukan agar tujuan dari hukum mengenai keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dapat tercapai dengan maksimal dan meminimalisir penyalahgunaan tindak lanjut putusan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat dan mengeluarkan produk Peraturan Perundang-undangan tersebut.

This research focuses on the Supreme Court in conducting judicial review on the legality of regulation. The Contrarius Actus principle is used in the pattern of judicial review decisions in the Supreme Court, in accordance with PERMA No. 01 of 2011 Article 8 Paragraph (2) which has a period of 90 days from the judicial review decision and is declared to have no legal force if it is not implemented. In the process of executing decisions that can be carried out in the process of executing decisions of the Supreme Court. This can potentially result in an imperfect follow-up process carried out by State Administrative Officials in following up on decisions of the Supreme Court from norms that have been canceled. So this can lead to legal uncertainty from the judicial review decision of the relevant Supreme Court. The form of research used is normative juridical with qualitative analysis methods. In this context the author also conducted an analysis using a comparative method with several countries and sought important information from sources which the author did with an interview mechanism to strengthen this research. The results of this study refer to the execution of judicial review decisions which are still not implemented ideally, causing legal uncertainty. The judicial review decision at the Supreme Court should have binding legal force or be final and binding since the decision was read so that there is legal certainty in it. Misuse in the follow-up process of the judicial review decision of the Supreme Court can result in harmonization of laws and regulations. Therefore, instead of that, State Administrative Officials who carry out decisions that are not ideal must be given a warning and sanctions that are reported to the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia which has a function in maintaining the harmonization of Legislation and Regulation products. This is done so that the objectives of the law regarding legal justice, legal certainty, and legal benefits can be achieved maximally and minimize the misuse of follow-up decisions made by State Administrative Officials who make and issue the products of the Legislation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Mahidin Putra
"Hak cipta adalah hak istimewa yang diberikan kepada pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, sehingga dalam hal ini baik pencipta maupun pemegang hak cipta dapat memperbanyak ciptaannya dan dia juga berhak untuk melarang pihak lain untuk menerbitkan hasil ciptaannya ataupun memberikan persetujuan pada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya tersebut. Di Indonesia, pengaturan tentang Hak Kekayaan Intelektual sudah lama dikenal dan dimiliki sebagai hukum positif sejak zaman Hindia Belanda dengan berlakunya Aueteurswet 1912. Negara Indonesia pernah memiliki Undang-undang yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual khususnya di bidang hak cipta, akan tetapi mengalami beberapa pergantian. Beberapa Undang-Undang yang di miliki oleh Indonesia yaitu Undang-undang No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.7 Tahun 1987 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1997 yang selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Mengenai sifat dari hak cipta dapat kita lihat pasal 3 Undang ? undang hak cipta yang dianggap sebagai benda bergerak yang dapat beralih atau dialihkan (transferable) seluruhnya atau sebagian dengan cara- cara tertentu yaitu : Pewarisan, Hibah, Wasiat, Dijadikan milik Negara, dan Perjanjian yang dilakukan dengan akta, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta. Lisensi merupakan salah satu contoh dari beralihnya hak cipta kepada orang lain. Lisensi bisa juga berupa suatu bentuk perjanjian dimana pemegang Hak Kekayaan Intelektual mengijinkan pihak lain untuk menggunakan hak eksklusifnya dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan pembayaran royalti. Karena lisensi merupakan suatu bentuk perjanjian, maka bagi perjanjian Lisensi berlaku Ketentuan Umum dalam Hukum Perjanjian yang diatur dalam Buku ke III KUHPerdata. Dalam hal ini ada beberapa persamaan mengenai kendala atau masalah dalam perjanjian lisensi hak cipta yang biasa terjadi dalam perjanjian lisensi. Salah satunya adalah sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikannya. Tinjauan yuridis putusan mahkamah agung dalam kasus pembatalan hak cipta cap kaki tiga menjadi fokus dalam penulisan tesis ini dengan uraian pembahasan mengenai dasar hukum hak cipta dan jenis jenis ciptaan yang dilindungi, fungsi hak cipta, konsep lisensi dalam hak cipta, kendala dalam lisensi hak cipta dan analisis kasus pembatalan hak cipta cap kaki tiga.

Copyright is a privilege granted to the creator or copyright recipients to publish or reproduce his creations, in this case, both the authors and copyright holders has the right to reproduce his creation and also to exclude others from publishing the results of his creations or giving permission to other parties to publish or reproduce the creations. In Indonesia, regulation of intellectual property rights has long been known and owned as a positive law since the day of the Dutch East Indies with the implementation of Aueteurswet 1912. Indonesia once had legislation governing intellectual property rights, especially in the field of copyright, but experienced some changes. Some of the Act, which is owned by Indonesian Law No. 6 of 1982 on Copyright, as amended by Law No. 7 of 1987 and subsequently amended by Law No. 12 of 1997, which subsequently repealed and replaced by Law No. 19 of 2002 about Copyright. Regarding the nature of copyright, we can see article 3 of the Copyright Laws that are regarded as moving objects and can be transferred (transferable) in whole or in part in certain ways, which is : Inheritance, Grant, Probate, cite belongs to the State, and the agreement made by deed, provided that the agreement is only the authority named in the deed. License is one example of the shift of the copyright to another person. Licenses can also be a form of agreement which the holders of intellectual property rights permit others to use the exclusive right within a specified period in return for royalty payments. Because licensing is a form of agreement, the license agreement applicable to the General Provisions set out in the Legal Agreements in Book III of Indonesian Civil Code. In this case there are several similarities concerning obstacles or problems in copyright licensing agreements that are common in the license agreement. One of the case is the dispute that caused by the former licensee to produce goods or services using other brands, but the quality is exactly the same as the quality of the previous brands that were licensed. The focus in this thesis is the Judicially review of the Supreme Court's Decision in the case of Copyright Cancellation of Cap Kaki Tiga with an explanation on basic descriptions of copyright law and the types of creatures that are protected, the function of copyright, licensing concept in copyright, licensing constraints in copyright and analysis of copyright cancellation of Cap Kaki Tiga.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
McWhinney, Edward
Boston: Martinus Nijhoff, 1986
347.035 MCW s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chicago: University of Chicago Press, 1975
347.73 SUP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Acheson, Patricia C.
New york: Dood, Mead & Company, 1962
347.73 ACH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Laraati
"Pemerintah melarang badan hukum, kecuali badan hukum tertentu yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan, untuk memiliki tanah dengan status hak milik yang merupakan status hak tertinggi dalam kepemilikan tanah di Indonesia . Dalam transaksi yang terkait dengan pertanahan, tidak jarang dijumpai badan hukum yang mengupayakan agar dapat memperoleh tanah dengan status Hak Milik. Mekanisme yang biasa digunakan adalah dengan cara melakukan perjanjian nominee. Perjanjian nominee ini ada kalanya menimbulkan masalah dikemudian hari.
Pada kasus yang dibahas, pihak Yayasan (Badan Hukum) bersengketa dengan individu yaitu karyawan yang namanya digunakan sebagai nominee atas pembelian tanah dan bangunan dengan pihak ketiga. Atas kasus ini Putusan Pengadilan Negeri berbeda dengan Putusan Pengadilan Tinggi.Putusan Mahkamah Agung akhirnya memenangkan Yayasan karena terdapatnya perjanjian nominee yang berkaitan/melatarbelakangi pembelian tanah dan bangunan tersebut.

Laws prohibits government agencies, unless a specifis legal entity declared by legislation to own land with the status of property which is the highest in the ownership status of land rights in Indonesia, in transaction pertaining to land, not rare entity that seeks to aquire land with the status of property rights. The mechanism commonly used is by nominee agreements. This Agreement nominee sometimes cause problems later on.
In this cases discussed, the foundation (legal entity) dispute with the individual is an employee whose name is used as a nominee for the purchase of land and buildings to third parties. The decision of the Distrisct Court different from The High Court. The Foundation won in a Supreme Court decision, because there are relating in a nominee agreement of ownership of land and building.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21671
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Rahmahanjayani
"Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 berperan sebagai negative legislator. Dalam perkembangannya seringkali Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus apakah suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak tetapi juga merumuskan norma baru. Sikap aktif Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai bentuk penerapan prinsip judicial activism. Judicial Activism dipahami sebagai dinamisme para hakim ketika membuat putusan tanpa melalui batas-batas konstitusi. Namun banyaknya kritik terhadap prinsip judicial activism melahirkan doktrin judicial restraint sebagai sebuah antitesa. Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsip ini pun tidak sedikit jumlahnya. Namun hingga kini penerapan kedua prinsip tersebut oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai penerapan kedua prinsip tersebut dalam putusan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara.
Dari hasil riset didapati bahwa belum adanya parameter bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana bisa menerapkan prinsip judicial restraint dan judicial activism menimbulkan kerancuan. Prinsip judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya dalam setiap kasus karena masing-masing kasus memiliki persoalan yang berbeda. Tidak ada satu prinsip yang lebih baik atau yang lebih tinggi dari prinsip lainnya, sehingga tidak bisa dikatakan jika Mahkamah Konstitusi lebih baik mengedepankan penerapan judicial restraint dibanding judicial activism maupun sebaliknya.

The Constitutional Court in executing its authority to review the constitutionality of the law act as negative legislator. In its development the Constitutional Court often to not only decide whether a norm contradict to the constitution or not but also formulate a new norm. The Constitutional Court 39s active stance is considered as a form of applying the judicial activism principle. Judicial Activism is understood as the dynamism of judges when making decisions without going through the boundaries of the constitution. However, many criticisms towards judicial activism causing judicial restraint doctrine to rise as an antithetical view In judicial restraint doctrin, the court must be able to exercise self restraint from the tendency to act like a miniparliament. There are many Constitutional Court's cases that applies the judicial restraint principle. However, until now the application of both principles by the Constitutional Court is not clear. Therefore, this thesis would like to examine about the application of both principles on judicial review cases in Constitutional Court. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview.
The research results found that there is no parameter yet for the Constitutional Court to decide when and under what circumstances to apply the judicial restraint and judicial activism principles. It cause confusion. Nevertheless, the judicial restraint and judicial activism principle can not be equated with the application in each case because each case has different problems. There is no one principle that is better or higher than other principles, so it can not be said if the Constitutional Court is better put forward the implementation of judicial restraint than judicial activism or vice versa.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>