Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85704 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ary Budi Prasetyo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S25928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasha Izni Shadrina
"Ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata dapat ditemukan dalam Convention IV respecting the Laws and Customs of War on Land, Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War dan kedua protokol tambahannya, serta Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict dan kedua protokolnya. Ketiga perangkat instrumen hukum humaniter internasional di atas memuat kewajiban negara untuk menghormati benda budaya pada masa konflik bersenjata. Beberapa prinsip dasar di dalamnya diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Penerapan dari ketentuanketentuan hukum internasional terkait benda budaya dapat dilihat dengan menelaah praktik International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia. Dua kasusnya, yakni Prosecutor v. Miodrag Jokic dan Prosecutor v. Pavle Strugar, menunjukkan pelaksanaan proses peradilan terhadap pelaku dalam penghancuran Kota Tua Dubrovnik.

The rules on the protection of cultural property during armed conflicts can be found in Convention IV respecting the Laws and Customs of War on Land, Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War and its two additional protocols, as well as Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict and its two protocols. These three sets of international treaties govern a state?s obligations concerning respect towards cultural property in times of armed conflict. Several provisions contained therein are acknowledged as customary international law. The implementation of the rules in international humanitarian law concerning cultural property can be seen by inspecting the practice of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia. Its two cases, namely Prosecutor v. Miodrag Jokic and Prosecutor v. Pavle Strugar, illustrates the judicial process involved in convicting perpetrators responsible for the destruction of the Old City of Dubrovnik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1280
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M. Iman Santoso
"On immigration according to Indonesian and laws and regulations."
Jakarta: Percetakan Negara R.I., 2007
325 IMA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arteria Dahlan
"Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah inkonstitusional, dikarenakan antara lain telah melanggar kedaulatan rakyat, bertentangan dengan prinsip keadilan dan mengurangi legitimasi rakyat untuk memilih. Mahkamah telah keliru dalam menafsirkan makna kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam sistem pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi hanya secara parsial menafsirkan teori kedaulatan rakyat dalam konteks pemilihan umum, tanpa melihat amanat konstitusi Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945, dan Undang-Undang Partai Politik sekaligus teori yang mendasari tentang sistem pemilihan umum, seperti teori kedaulatan rakyat, teori demokrasi, teori partai politik dan teori negara hukum, yang menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama demokrasi. Putusan Mahkamah dipertegas kembali di dalam Pasal 215 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang mengatur penetapan calon anggota DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih dengan sistem proporsional terbuka murni, yang ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. Ketentuan ini pada prakteknya memiliki banyak kekurangan dan telah merusak sendi-sendi demokrasi dan kedaulatan rakyat itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari politik hukum terbentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, walaupun berkarakter responsif, akan tetapi belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat, dikarenakan dihasilkan dari suatu Konfigurasi Politik yang ?terkesan? Demokratis, dengan mengedepankan tindakan strategis dan partisipasi masyarakat secara proforma.

Constitutional Court in its Decision No. 22-24/PUU-VI/2008 dated on December 23, 2008 which stated that the determination of selected candidates based on provisions of Article 214 letters a, b, c, d and e of Law Number 10 Year 2008 is unconstitutional, due among other things to have violated the sovereignty of the people, contrary to the principles of justice and reduce the legitimacy of the people to choose. Court had erred in interpreting the meaning of popular sovereignty and democracy in the electoral system, such as theory of sovereignty people, democratic theory, theories of political parties and state law theory, which puts political parties as the main pillar of democracy. Court decision reaffirmed in Article 215 of Law No. 8 of 2012, which set the nominations to the House of Representatives, Provincial and Regency / City elected to open a pure proportional system, which is determined based on the candidate who gets the most votes. This provision in practice has many shortcomings and have damaged joints democracy and popular sovereignty itself. This can be seen from the legal political formation of the Law No. 8 of 2012, although the character is responsive, but has not been able to address the needs of the community, because the result of a political configuration that is "impressed" Democratic, by prioritizing strategic actions and public participation in the proforma.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Wulandari
"Persiapan melakukan tindak pidana merupakan salah satu perubahan yang dilakukan RUU KUHP dalam rangka pembaruan hukum pidana. Sebelumnya pemidanaan terhadap perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) tidak dikenal dalam KUHP sebab perbuatan dalam tahap voorbereidingshandeling adalah tidak strafbaar sifatnya. Akan tetapi pemidanaan terhadap suatu perbuatan yang masih pada tahap sangat awal, lebih awal dari percobaan, sudah dikenal sebelumnya antara lain dengan adanya lembaga permufakatan jahat, Pasal 250 KUHP, Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Perumus RUU KUHP tidak menjelaskan apa yang mendasari dipidananya perbuatan persiapan juga tidak menjelaskan delik apa saja yang menjadi sasaran dari adanya lembaga persiapan ini. Dikhawatirkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan ini akan memunculkan sifat represif hukum karena sifatnya yang sangat subjektif.

Preparation to commit crime is one of the changes that Draft of Penal Code does in purpose of criminal law reform. Previously, criminalization to preparatory acts (voorbereidingshandeling) was not known in existing Penal Code because acts in preparation stage is not punishable. But criminalization to acts that still in the early stage, earlier than attempt, has already known such as the existence of conspiracy law, Penal Code Article 250, Article 9 Terrorist Act, and also The Suppression of The Financing of Terrorism Act. The Legislator of Draft of Penal Code doesn?t explain what is the underlying of the criminalization of the preparatory acts and also doesn't explain what kind of offences that illegal preparatory acts can be used for. It is feared that the criminalization to preparatory acts will emerge the repressive nature of criminal law due to its subjectivity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Efrianto
"ICC adalah sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC didirikan pada tanggal 1 Juli 2002 dan bermarkas di kota Den Haag, Belanda. ICC adalah pengadilan terakhir di mana ICC tidak akan bertindak jika kasus telah atau sedang diselidiki atau dituntut oleh sistem peradilan nasional kecuali proses nasional tersebut tidak adil, misalnya jika proses formal dilakukan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana. Jadi, salah satu tujuan didirikannya ICC adalah untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, ICC hanya mencoba mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang paling parah. Dalam setiap kegiatan, ICC mengamati standar tertinggi keadilan dan proses pengadilan. Yurisdiksi dan fungsi ICC diatur oleh Statuta Roma yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998 (diadopsi 17 Juli 1998). Banyak kalangan menilai bahwa proses keikutsertaan (ratifikasi) Indonesia ke Statuta Roma (yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional) berjalan sangat lambat. Meskipun saat ini terdapat 119 negara yang telah menjadi Negara Pihak pada Statuta Roma, proses ratifikasi oleh Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan Pemerintah. Untuk itu, Penulis memandang perlu untuk menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat mendorong proses ratifikasi tersebut. Sejalan dengan maksud tersebut, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan secara ringkas manfaat dan urgensi ratifikasi Statuta Roma. Selanjutnya, tulisan ini juga akan secara khusus menganalisa beberapa mispersepsi (kesalahpahaman) yang selama ini menurut Penulis telah menghambat dan menjadi kendala proses ratifikasi di Indonesia. Kemudian di bagian akhir, selain memberikan beberapa kesimpulan, tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah guna mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma."
[Place of publication not identified]: The Ary Suta Center Series on Strategic Management, 2015
330 ASCSM 29 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kedudukan kekuasaan kehakiman dalam negara hukum Indonesia merupakan hasil perjuangan politik yg dipengaruhi berbagai variabel, baik itu variabel sosial, politik, budaya, agama, keamanan, pendidikan maupun hukum."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>