Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170684 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1991
340.574 Mon
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992
R 915.981 PRO
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Erwing
"Salah satu permasalahan utama pembangunan adalah masih besarnya jumlah penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Sebagai upaya untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan maka pada tahun 2009 pemerintah Indonesia memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2009 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 38 tahun 2008 dengan tema utama ?Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan?. Prioritas tersebut fokus pada 1) Pembangunan dan Penyempurnaan Sistem Perlindungan Sosial Khususnya Bagi Masyarakat Miskin dan fokus 2) Penyempurnaan dan Perluasana Cakupan Program Pembangunan Berbasis Masyarakat serta fokus 3) Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil evaluasi yang terkait dengan relevansi perencanaan, efektivitas biaya, proses, keluaran dan hasil kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam RKP 2009 di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Kalimantan Barat.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk untuk mengetahui penyebab perbedaan penurunan jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat dibandingkan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dilihat dari aspek relevansi perencanaan, efektivitas alokasi biaya penanggulangan kemiskinan, proses, keluaran dan hasil pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan serta aspek lainnya. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi perbaikan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, metode kualitatif akan digunakan untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis data kuantitatif ataupun data kualitatif melalui pemaknaan (understanding of understanding) Hasil evaluasi berdasarkan persepsi pemangku kepentingan terhadap pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan, maka diketahui faktor penyebab lebih cukup tingginya penurunan tren penduduk miskin di Kalimantan Barat yaitu faktor relevansi perencanaan, keluaran, hasil dan efektifitas biaya pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan RKP 2009 yang cukup baik.
Namun jika dinilai dari skor maksimal yaitu 10, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di kedua lokasi belum maksimal memberikan kontribusi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, karena rata-rata skor semua aspek yang dievaluasi di kedua lokasi hanya pada skor 7.
Atas dasar inilah kemudian faktor lain diidentifikasi, berdasarkan hasil identifikasi kebijakan lokal dan identifikasi kegiatan masyarakat, maka ditemukan faktor lain yang secara kualitatif dinilai memiliki pengaruh terhadap penurunan persentase penduduk miskin di Kalimantan Barat yaitu adanya Credit Union (CU) yang dikembangkan oleh masyarakat. Walaupun demikian kami rekomendasikan untuk dilakukan penelitian lebih mendalam tentang CU ini, untuk mengetahui secara pasti tingkat pengaruhnya terhadap penurunan persentasi penduduk miskin.
Untuk pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan dimasa datang, penulis memberi usulan (sesuai skenario III) agar pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan karakteristik lokal, maka aspek pertama yang perlu dibenahi adalah sistem perencanaan dan penganggaran penanggulangan kemiskinan yang ada dalam RKP. Dimana anggaran penanggulangan kemiskinan masih menggunakan mekanisme Dana Urusan Bersama (DUB). DUB yang tersentralisasi perencanaan dan penganggarannya ini direkomendasikan untuk direformulasi menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) sehingga daerah lebih berdaya dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi penanggulangan kemiskinan sesuai dengan karakteristik daerah sebagaimana hasil penelitian ini. Pengalihan menjadi DAK bukanlah merupakan hal tidak mungkin, karena sudah didukung oleh 2 kebijakan yaitu UU nomor 33 tahun 2004 pasal 108 dan PP no 7 tahun 2008 pasal 76 ayat 1. Selanjutnya penyempurnaan formulasi DAK tidak hanya untuk pembangunan sarana fisik saja tetapi dapat digunakan untuk non-fisik dengan perencanaan dan pelaksanaannya dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama dengan stakeholders lainnya.

One major problem of development is a large number of Indonesian population live below the poverty line. In an effort to accelerate poverty reduction in 2009, the Indonesian government to prioritize poverty reduction in the Government Work Plan 2009 (RKP 2009) which was ratified by Presidential Decree No. 38 in 2008 with the main theme of "Improving People's Welfare and Poverty Reduction." These priorities focus on a) Development and Improvement of Social Protection System Particularly for the Poor and focus 2) Improvement and Expansion of Scope of Community Based Development Program and focus 3) Empowerment of Small and Micro Enterprises.
This paper aims to describe the evaluation results relating to the relevance of planning, cost effectiveness, processes, outputs and results of poverty reduction policies in the RKP 2009 in South Sulawesi Province and West Kalimantan Province. The research aims to find the cause of the differences decrease in the number of poor people in West Kalimantan Province, compared with the South Sulawesi Province. This can be seen from the aspect of relevance to the planning, effectiveness of budget allocation for poverty reduction, processes, outputs and results of the implementation of poverty reduction policies and other aspects so that it can be used as a policy recommendation to reduce poverty. The evaluation was done with a qualitative methods, qualitative methods will be used to describe and analyze the quantitative data or qualitative data through understanding of understanding.
Evaluation results based on the perceptions of stakeholders towards the implementation of poverty reduction in West Kalimantan and South Sulawesi shows the unknown factors causing the high decline in the trend of poor people in West Kalimantan. The factors are the relevance factor of planning, outputs, outcomes and cost effectiveness of the implementation of poverty reduction policies in RKP 2009 that good enough.
However, if judged from the maximum score is 10, it can be said that the implementation of poverty reduction policies in the two provinces were not optimally contribute to the decline in the number of poor people, because the average score of all the aspects that were evaluated in both locations have only scored seven.
On the basis of this evaluation, other factors have been identified. Based on the identification of local policies and identification of community activities, other factors have been founded that are qualitatively judged to have the effect of decreasing the percentage of poor people in West Kalimantan, namely the Credit Union, which was developed by the community. For the implementation of poverty reduction policies in the future, the author gives a suggestion that the implementation of poverty reduction in accordance with local characteristics, the first aspect that needs to be addressed is the planning and budgeting system of the existing poverty reduction in the RKP, where the budget is still using the mechanism of poverty reduction Affairs Joint Fund (DUB). DUB centralized planning and budgeting is recommended to be reformulated into the Special Allocation Fund (DAK), so regions can be more powerful in planning, implementing and evaluating poverty reduction in accordance with regional characteristics as the results of this research. Transfer of DUB to DAK is not an impossible thing, because it was supported by the two policies namely The Law No. 33 year 2004 Article 108 and Government Regulation No. 7 year 2008 article 76, paragraph 1. Further improvements are recommended for the formulation of DAK not only for infrastructure but it can be used only for non-physical, with the planning and implementation developed by local government together with other stakeholders."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27898
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irianta
"Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Dengan demikian, ketersediaan beras merupakan tolok ukur bagi ketahanan pangan nasional. Untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri agar dapat menjamin ketersediaan beras nasional, pemerintah telah mendorong kegiatan usahatani padi karena usahatani padi merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan padi yang dapat diolah menjadi beras dan merupakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi 21 juta rumah tangga tani di Indonesia. Dengan demikian, usahatani padi merupakan kegiatan yang strategis dalam program peningkatan produksi padi/beras dalam negeri.
Pada tahun 2004, produksi padi nasional diperkirakan mencapai 54,34 juta ton atau setara dengan 33,92 juta ton beras (Angka Ramalan III BPS). Dari total produksi padi nasional tersebut, padi sawah memberikan konstribusi sekitar 94,67% dari total produksi padi nasional. Sentra-sentra produksi padi terbesar antara lain terdapat di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Konstribusi produksi padi dari propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan terhadap total produksi padi nasional pada tahun 2004, masing-masing adalah 15,61% , 16,56 % dan 7,19 %.
Untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan perberasan. Pada periode sebelum krisis (1970-1996), pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan harga dasar gabah (HDG), kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi kredit usahatani padi, manajemen stock dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, dan kebijakan tarif impor beras. Pada periode krisis (1997-1999), pemerintah menerapkan kebijakan transisi yaitu menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga dasar gabah dan melakukan liberalisasi impor beras dengan mencabut monopoli impor yang dipegang oleh Bulog dan menetapkan tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Pada periode pasta krisis (2000-2004), pemerintah menerapkan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah (HDPP), kebijakan tarif impor beras dan pelarangan impor beras sejak 7anuari 2004 sampai dengan saat ini.
Globalisasi Perdagangan dapat menjadi ancaman bagi kelanasungan produksi padi nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi padi secara berkelanjutan. Permasalahan pokok dalam peningkatan produksi padi yang berkelanjutan antara lain adalah (1) Lemahnya daya saing padi sawah yang tercermin dari meningkatnya volume impor beras pada periode 1996-2001, (2) Rendahnya profltabilitas usahatani padi sawah yang tercermin dari masih banyaknya petani yang menerima harga gabah di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah dan menurunnya nilai tukar petani (NTP) pada periode 1996-2001, dan (3) rendahnya tingkat proteksi pada usahatani padi sawah. IJntuk mengatasi permasalahan tersebut, sejak tahun 2000 pemerintah telah menerapkan kebijakan tarif impor beras dengan tujuan supaya dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sehingga dapat memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap dayasaing dan profitabilitas usahatani padi yang difokuskan pada komoditas padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan Periode 2002-2003. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM) karena merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk menganalis kebijakan pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya saing usahatani padi sawah di propinsi Sawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003 menunjukkan peningkatan yang tercermin dari menurunannya nilai PCR. Penurunan nilai PCR berarti menunjukkan peningkatan daya saing usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Nilai PCR padi sawah di propinsi Jawa Tengah menurun dari 0,57 menjadi 0,38; di propinsi Jawa Timur menurun dari 0,54 menjadi 0,43; dan di propinsi Sulawesi Selatan menurun dari 0,53 menjadi 0,36. Profitabilitas usahatani padi sawah juga menunjukkan peningkatan yang tercermin dari meningkatnya net transfer usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Peningkatan net transfer berarti menunjukkan peningkatan profitabilitas usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Net transfer usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 900.194/ha menjadi Rp 2.084.490/ha; di propinsi Jawa Timur meningkat dari Rp 1.495.400/ha menjadi Rp 2.507.780/ha; dan di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 345.394/ha menjadi Rp 2.809.759/ha.
Peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut terjadi karena adanya peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras. Peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras mengakibatkan peningkatan harga gabah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Selain terjadi peningkatan harga gabah yang disebabkan oleh Peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras, juga terjadi penurunan harga pupuk yang mengakibatkan peningkatan total penggunaan pupuk sehingga meningkatkan produktivitas padi sawah di tiga propinsi tersebut. Selanjutnya meningkatnya harga gabah dan produktivitas padi sawah tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Meningkatnya pendapatan usahatani tersebut mengakibatkan peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003.
Proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003 menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output), penurunan NPCI (Nominal Protection Coefficient on Input), dan peningkatan EPC (Effective Protection Coefficient). Nilai NPCO usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut masing-masing adalah 1,26, 1,38 dan 1,08, dan pada tahun 2003 masing-masing adalah 1,43, 1,42, dan 1,52. Sedangkan nilai EPC usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut pada tahun 2002 masing-masing adalah 1,26, 1,40 dan 1,07, dan pada tahun 2003 masing-masing adalah 1,51, 1,47 dan 1,63. 8iia dikaitkan dengan tarif impor sebesar Rp 430/Kg (setara 30 % ad valorem), maka tingkat proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002 lebih kecil dari tarif impor beras tersebut sehingga belum memberikan proteksi yang efektif. Sebaliknya di propinsi Jawa Timur, tingkat proteksinya lebih besar dari tarif impor beras sehingga memberikan proteksi yang efektif. Pada tahun 2003, tingkat proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan lebih besar dari tarif impor beras sehingga memberikan proteksi yang efektif pada usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut.
Dari hasil analisis, terlihat bahwa model analisis PAM sangat sensitif terhadap perubahan asumsi-asumsi yang digunakan. Dalam analisis ini, nilai tukar rupiah pada tahun 2002 dan tahun 2003 masing-masing diasumsikan sebesar Rp 9.315,89/US$ dan Rp 8.792,20/US$ serta besarnya tarif impor beras diasumsikan sama dengan tarif impor beras yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 430/Kg (30% ad valorem). Jika nilai tukar rupiah menguat atau tarif impor beras diturunkan, maka harga aktual gabah akan menurun mendekati harga sosialnya. Penurunan harga aktual gabah tersebut akan mempengaruhi pendapatan usahatani padi sawah sehingga mempengaruhi daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah. Oleh karena itu, jika nilai tukar rupiah dan tarif impor beras berubah, maka pembuat kebijakan harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut.
Secara ringkas dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan perberasan nasional yaitu antara lain kebijakan harga dasar gabah dan beras, kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi bunga kredit usahatani, manajemen stock dan monopoli impor beras oleh Bulog, penyediaan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk pengadaan beras oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, tarif impor beras sebesar Rp 430/Kg atau setara 30 % ad valorem dan pelarangan impor beras sejak Januari 2004 sampai dengan saat ini.
Kebijakan tarif impor beras yang telah diimplementasikan sejak tahun 2000 hingga saat ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Namun demikian, kebijakan tarif impor beras tersebut belum memberikan proteksi yang efektif pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002. Sebaliknya di propinsi Jawa Timur memberikan proteksi yang efektif. Selanjutnya pada tahun 2003, kebijakan tarif impor beras tersebut memberikan proteksi yang cukup efektif pada usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Model analisis PAM sangat sensitif terhadap perubahan asumsi-asumsi yang digunakan. Jika nilai tukar rupiah menguat atau tarif impor beras diturunkan, maka harga aktual gabah akan menurun mendekati harga sosialnya. Oleh karena itu, jika nilai tukar rupiah dan tarif impor beras berubah, maka pembuat kebijakan harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsia Gustina
"Kebijakan sektor pertambangan umum mengupayakan menarik minat investor dalam mengalokasikan modal usahanya dalam bidang pertambangan mineral dan batubara baik bagi PMA dan swasta nasional. Dengan ketersediaan prospek potensi bahan galian yang terdapat di wilayah Negara Indonesia inilah yang akan diharapkan untuk dikelola oleh investor di dalam melaksanakan pembangunan.
Kebijakan sektor pertambangan umum adalah suatu kontrak berupa perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan para investor di dalam mengembangkan potensi sumber daya alam. Namun kebijakan tersebut kemungkinan mengalami hambatan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 25 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, analisis dari pelaksanaan kebijakan sektor pertambangan umum dipengaruhi oleh faktor kebijakan itu sendiri, pelaku Kebijakan dan lingkungan dari pada kebijakan itu.
Penelitian yang dilakukan adalah mendasarkan pada pendekatan kualitatif dengan studi lapangan yang menggambarkan permasalahan yang terjadi dengan memanfaatkan pelaku kebijakan sektor pertambangan umum di daerah Propinsi Sumatera Barat dan sumber lainya yang turut mempengaruhi pelaksanaan kebijakan itu.
Tujuan dari penelitian ini adalah berupaya melihat sejauh mana kepastian hukum dapat menjamin kebijakan sektor pertambangn umum yang diwujudkan dalam kontrak dapat berjalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa pelaksanaan kebijakan itu masih dijalankan namun perlu dibenahi karena terdapat beberapa kebijakan yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan masyarakat saat ini dan kebutuhan terhadap kemajuan dan kemunduran dari pada kegiatan usaha pertambangan itu. Selain itu kondisi sumber daya manusia, ekonomi setempat dan lingkungan di daerah Propinsi Sumatera Barat menyebabkan pelaksanaan kebijakan itu mengalami hambatan.
Sehubungan dengan.hal di atas maka penelitian Kebijakan Sektor Pertambangan Umum menyimpulkan bahwa kebijakan sektor pertambangan umum tetap mendukung pelaksanaan otonomi daerah melalui sosialisasi di daerah-daerah dan perlu persiapan masa transisi untuk transformasi ke daerahdaerah secara bertahap untuk lebih memantapkan beban kerja.
Hal di atas berkaitan dengan visi dan misi Direktorat Jenderal Pertambangan Umum tahun 2000 sampai tahun 2004 bahwa salah satu misinya adalah menyusun dan mengembangkan perangkat regulasi bidang pertambangan umum, sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pada periode mendatang untuk meningkatkan pelaksana kebijakan sektor pertambangan umum perlu dipersiapkan program yang sesuai dengan kondisi daerah itu sehingga tidak banyak mengalami hambatan di lapangan. Namun hasil dari pada kebijakan itu diupayakan dapat mendatangkan peningkatan penerimaan yang maksimal bagi pemerintah pusat maupun daerah yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa dalam rangka mensejahterakan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Wicaksono
"Tujuan penelitian pada tesis ini adalah ingin mengetahui penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan di daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan selama periode tahun 1995 hingga tahun 2003. Selain itu penulis ingin pula mengetahui faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi perbankan dalam penyaluran kredit.
Studi ini menggunakan analisis regresi panel data penawaran kredit. Analisis regresi panel data ini adalah kombinasi dari cross section dan time series, dimana dalam analisis ini menggunakan variabel kapasitas kredit dan ratio modal terhadap aset yang merupakan unsur dari penawaran kredit. Sedangkan variabel PDRB riil dan suku bunga kredit yang merupakan unsur permintaan kredit. Untuk mengetahui dampak krisis yang terjadi pada tahun 1997, maka analisis regresi panel data ini ditambahkan dummy variabel.
Analisis penyaluran kredit dilakukan dengan menggunakan model Fixed Effect Cross Section Weight, model ini digunakan karena terdapat empat perbankan pada propinsi yang berbeda. Keempat perbankan di propinsi tersebut adalah perbankan pada propinsi DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Barat.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah outstanding kredit yang terjadi pada perbankan di daerah tersebut dengan penilaian berdasarkan intercept dari yang terendah sampai yang tertinggi, sehingga outstanding kredit tersebut dapat memberikan gambaran mengenai kondisi perbankan di daerah, yang pada akhirnya akan merupakan masukan bagi Bank Sentral dan Pemerintah Daerah setempat.
Pola hubungan variabel lainnya yang mempengaruhi kredit sebagaimana teori pemberian kredit memiliki hubungan positif untuk kapasitas kredit, ratio modal terhadap aset, PDRB dan suku bunga kredit yang pengaruhnya lebih kuat terhadap faktor penawaran kredit, yang diharapkan sesuai dengan hipotesa.
Pengaruh kondisi perbankan dalam menyalurkan kredit dari faktor permintaan dan penawaran kredit masih cukup besar, sehingga perbankan di daerah sebagai lembaga intermediasi dapat iebih dioptimalkan kembali.
Penelitian selanjutnya guna meningkatkan fungsi intermediasi melalui penyaluran kredit disarankan dapat menggunakan data yang Iebih luas terutama pemanfaatan kredit tersebut sesuai dengan tujuannya, yaitu pemanfaatan pada sektor usaha produktif, seperti sektor-sektor ekonomi daerah yang bersangkutan sehingga dapat diketahui penyebab apa yang terjadl pada tingkat keleseuan sektor riil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T17142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Hengky Gongkon
"Jatuhnya mata uang Bath Thailand merupakan awal dari krisis Asia yang selanjutnya menimpa Korea Selatan dan Indonesia. Won dan Rupiah depresiasi nilainya yang mengakibatkan kedua negara mengalami krisis yang sangat parah dan mengguncang sistem perekonomian kedua negara secara menyeluruh. Kedua negara meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis di negaranya.
IMF sebagai lembaga keuangan internasional memberikan bantuan likuiditas terhadap negara-negara anggota. Program bantuan IMF diiringi dengan prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara penerima bantuan. Prasyarat tersebut tertuang dalam nota kesepakatan yang disebut Letter of Intent (Lol). Butir-butir kesepakatan itu terkait dengan program reformasi yang mengandung nilai-nilai liberal.
Tesis ini menggunakan konsep neo-liberal untuk menjelaskan butir-butir prasyarat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara. Butir-butir prasyarat ini diantaranya : Kebijakan moneter dan fiskal ketat, kebijakan orientasi ekspor, liberalisasi sistem keuangan, penegakan iklim transparansi, restraIrturisasi dan privatisasi, serta deregulasi kebijakan ekonomi yang berorientasi terhadap nilai-nilai pasar bebas. Kebijakan moneter dan fiskal ketat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara menyebabkan kondisi ekonomi kedua negara semakin terpuruk. Nilai mata uang (kurs) semakin terdepresiasi, cadangan devisa semakin menipis, dan besarnya biaya sosial yang harus ditanggung oleh kedua negara seperti semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan serta instabilitas politik.
Teori developmental state digunakan dalam tesis ini untuk menjelaskan pengaruh peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Teori ini menjelaskan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik ditujukan untuk menciptakan stabilitas, dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi ditujukan untuk mempercepat perturnbuhan ekonomi. Kredibilitas dan kepekaan terhadap krisis, yang terkait dengan konsistensi, kejelasan motivasi, tranparansi, keseriusan dalam reformasi, pentingnya stabilitas jangka pendek, serta kebijakan yang cenderung memihak rakyat kecil merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terciptanya stabilitas. Restrukturisasi sektor keuangan dan korporasi secara bijak, seperti terdapatnya mekanisme aturan yang jelas, tindakan cepat dalam merestrukturisasi hutang swasta, dan rnemperbaiki kinerja manajemen merupakan faktor-faktor yang pempercepat bangkitnya kembali sektor dunia usaha. Asumsi dalam tesis ini, jika kondisi stabil dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali maka proses pemulihan ekonomi akan berjalan dengan cepat.
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah eksplanatit di mana menghubungkan dua variabel dengan menggunakan teori-teori sebagai alat untuk menganalisa hubungan kousal yang terjadi. Diteliti keterkaitan hubungan antara peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Dalam interaksinya dengan IMF, peran aktif pemerintah Korea Selatan dalam aspek sosial-politik dan ekonomi menyebabkan kondisi stabil tetap terjaga dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi menyebabkan sektor dunia usaha cepat bangkit kembali.
Tesis ini membuktikan, dalam berinteraksi dengan IMF, diperlukan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonorni agar kondisi stabil tetap terjaga dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali dengan cepat. Terbukti, dengan kondisi politik yang stabil dan bangkit kembalinya sektor dunia usaha menyebabkan Korea Selatan lebih cepat pulih dan krisis dibandingkan Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>