Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103655 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Korn, V.E.
"Tulisan ini merupakan suatu usaha pendekatan yang dilakukan penulis berdasarkan pengalaman sebagai Pamong Praja pada jaman Hindia-Belanda dan ahli hukum untuk melihat sejarah Indonesia dari segi hubungan antar bangsa pada waktu itu. Gambaran penulis merupakan gambaran masa lampau untuk memberikan sumbangan dalam mempelajari kekuasaan Belanda. Sejarah Indonesia ini ditulis secara proporsional dan wajar.
"
Djakarta: Bhratara, 1972
K 340.57 KOR ot
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Korn, V.E.
Djakarta: Bhratara, 1972
340.57 KOR o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tohadi
"Bila dibandingkan dengan masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan pasca Orde Baru relatif berjalan secara reformis dan demokratis. Pada masa Orde Baru, yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, meskipun pada awalnya menunjukkan adanya praktik pemerintahan yang demokratis konstitusional, namun segera dalam waktu berikutnya Orde Baru menampilkan struktur dan praktik politik yang otoriter. Pemerintahan Orde Baru dibangun dan diselenggarakan dengan watak pemerintahan bersifat dominan, intervensionis, dan hegemonik. Seluruh sistem Orde Baru, dalam kenyataannya, kemudian menjadi sistem Soeharto.
Dalam hubungan antara lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR, maka dalam format politik otoritarian Orde Baru, lembaga Kepresidenan mengatasi dan mendominasi lembaga DPR. Kontrol dan intervensi lembaga Kepresidenan atas lembaga DPR paling penting ialah dengan adanya kekuasaan lembaga Kepresidenan yang mengangkat keanggotaan DPR selama masa Orde Baru, selain keanggotaan DPR/MPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum.
Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, pemerintahan pasca Orde Baru utamanya pada masa pemerintahan hasil Pemilu 1999, yaitu pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid sebaliknya kontrol lembaga DPR atas lembaga Kepresidenan sangat kuat. Pada masa ini hampir setiap kebijakan pemerintahan Presiden Wahid selalu mendapat kontrol dari DPR. DPR secara aktif meminta keterangen dan/ atau mengadakan penyelidikan atas kebijakan yang diambil Presiden Wahid.
Hasil penelitian deskriptif-analisis yang menggunakan studi kasus dengan menggunakan analisis kualitatif dan induktif; dan memakai teknik pengumpulan data wawancara mendalam, diskusi dan studi dokumentasi (kepustakaan) menjelaskan bahwa dilihat dari konstitusi, kekuasaan lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR RI pada masa pemerintahan Presiden K.K. Abdurrahman Wahid pasca Orde Baru mengalami pergeseran bila secara komparatif dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan Presiden Wahid telah terjadi perpindahan titik pendulum kekuasaan ke arah dominasi lembaga DPR RI.
Demikian dilihat dari praktik penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan lembaga DPP RI hasil Pemilu 1999 pada masa pemerintahan Presiden Wahid lebih kuat mengatasi kekuasaan lembaga Kepresidenan. Selama kurun pemerintahannya, sebagaimana diteliti penulis dengan melihat kebijakan yang diambil Wahid, yaitu likuidasi Depsos dan Deppen; pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi Roesdihardjo; usaha pemberhentian Gubemur Bank Indonesia Syahril Sabirin; pemberhentian Menperindag Jusuf Kalla dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi; pencalonan Ketua MA; kasus Buloggate dan Bruneigate; dan pelantikan Wakapolri Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Kapolri, lembaga DPR secara aktif dan kuat mengontrol lembaga Kepresidenan (Presiden Wahid) melalui hak interpelasi, hak mengadakan penyelidikan melalui pembentukan panitia khusus (Pansus) dan memorandum DPR.
Lalu, mengapa terjadi pergeseran kekuasaan serta faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid? Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya pergeseran kekuasaan pada masa pemerintahan Presiden Wahid, yaitu berpindahnya ,titik pendulum kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR, disebabkan oleh tiga faktor: 1). Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945. Kekuasaan yang dimiliki lembaga Kepresidenan yakni kekuasaan di bidang eksekutif atau penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan di bidang legislatif atau perundang-undangan, kekuasaan di bidang yustisial, dan kekuasaan di bidang hubungan luar negeri, seiring dengan ada dan berlakunya Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945 itu menjadi berkurang. Pada saat yang sama, kekuasaan lembaga DPR menjadi lebih terinci tegas, 2). Konfigurasi Politik di Kabinet Persatuan Nasional. Pada awalnya, konfigurasi politik Kabinet Persatuan Nasicnal secara kuat mendukung pemerintahan Presiden Wahid. Dengan adanya reshuffle kabinet ini, konfigurasi politik kabinet pemerintahan Presiden Wahid menjadi melemah dan kemudian meninggalkan dukungan kepada keberlangsungan pemerintahan yang dipimpinnya, sebagai akibat kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri atas digantinya menteri-menteri yang berasal dari aliansi kekuatan politik itu oleh Wahid; dan 3). Konfigurasi Politik di DPR RI Hasil Pemilu 1999. Seiring dengan kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri sebagai akibat pergantian kabinet ditambah dengan adanya kasus Buloggate dan Bruneigate yang mengindikasikan (patut diduga) keterlibatan Presiden Wahid, membuat Wahid pada akhirnya kehilangan dukungan di DPR. Di DPR, Wahid hanya bertumpu pada adanya dukungan kecil dari PKB di DPR (10,2 %) ditopang NDKB (1,0 %)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia, 1990
320.12 IND k (1);320.12 IND k (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Moekijat
Bandung: Alumni, 1985
352.03 MOE k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Bambang Yudhoyono
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008
320 SUS i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Prasetya
"Tesis ini membahas mengenai Mewujudkan Pemerintahan Presidensiil Efektif Dikaitkan Dengan Sistem Multipartai Di Indonesia, Sistem presidensial yang dimurnikan dalam perubahan UUD 1945 dipraktekkan di tengah kondisi nyata sistem multipartai dalam komposisi politik di DPR. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam kerangka sistem presidesial tidak berjalan dengan efektif sesuai dengan karakteristik sistem presidensial dalam konsepsi umum walaupun koalisi antarpartai di DPR sudah digalang secara signifikan oleh Presiden Yudhoyono untuk mendukung pemerintahannya. Indikasi ketidakefektifan sistem presidensial dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono tersebut dapat dilihat dari tiga point, sebagai berikut. Tereduksinya hak prerogatif, Terhambatnya proses legislasi, terhambatnya kebijakan non-legislasi.
Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan desain Preskriptif, yaitu memberikan solusi/gagasan berdasarkan teori hukum, dimana suatu masalah dapat menjadi suatu gagasan. Hasil penelitian menyarankan Pertama, presiden harus memiliki legitimasi politik yang tinggi, karena dipilih melalui pemilihan umum, tidak hanya berdasarkan mayoritas suara, tetapi juga sebaran dukungan daerah, Kedua, keterlibatan penuh presiden dalam setiap pembahasan RUU yang menyangkut anggaran dan non anggaran. Ketiga,dengan adanya dukungan mayoritas dari anggota DPR, Keempat, Kepemimpinan politik dan administrasi, Kelima, Pejabat politik yang ditunjuk dalam jumlah yang memadai dan yang keenam yaitu, hadirnya Partai oposisi yang efektif.dan yang terakhir yaitu Pelembagaan kalender penyelenggaraan berbagai jenis pemilu merupakan desain sistem pemilu yang paling strategis untuk mewujudkan pemerintahan presidensiil yang efektif tersebut.

This thesis discusses Making Effective the Presidential government associated With a multiparty system in Indonesia, which was purified presidential system in the 1945 change was practiced in the real conditions of a multiparty system in the political composition of Parliament. This condition causes the government of President Yudhoyono in the framework presidential system is not operating effectively in accordance with the characteristics of a presidential system in general, although the conception of inter-party coalition in the Parliament have raised significantly by President Yudhoyono to support his government. Indication of the ineffectiveness of the presidential system in the government of President Yudhoyono can be seen from three points, as follows. reduced prerogative, inhibition of the legislative process, inhibition of non-legislative policy.
The study was a qualitative research design with prescriptive, that provide solutions / ideas based on theories of law, where a problem may be an idea. The results suggest first, the president must have a high political legitimacy, as chosen through elections, not only by a majority vote, but also the distribution of regional support, Second, the full involvement of the president in any discussion concerning the draft budget and non budget. Third, with the support of a majority of the members of the Parliament, Fourth, political and administrative leadership, Fifth, political officials appointed in sufficient number and a sixth, namely, the presence of opposition parties that last effective.and the Institutionalization of the election calendar is organizing various kinds of design the most strategic electoral system to make effective the presidential government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ndraha, Taliziduhu
Jakarta: Bina Aksara , 1988
320.495 98 TAL m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Luqman Hakim
Malang: UB Press, 2017
350 LUQ p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>