Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140088 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Velma Herwanto
"Latar Belakang: Laktat merupakan penanda pada sepsis untuk stratifikasi risiko, target resusitasi, dan prediktor kematian. Interpretasi bersihan laktat dinilai lebih baik dibanding laktat tunggal untuk menilai kecukupan resusitasi dan menentukan prognosis. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pada pasien sepsis berat dan syok sepsis ada beda rerata bersihan laktat 6, 12, dan 24 jam antara yang mengalami mortalitas fase akut dengan yang tidak, serta mencari titik potongnya.
Metode: Disain studi adalah kohort prospektif. Subyek dikumpulkan dengan metode konsekutif dari Unit Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap, dan Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan laktat dilakukan pada jam ke-0, 6, 12, dan 24, kemudian subyek diikuti untuk diketahui kematian 3 harinya.
Hasil: Terinklusi 81 subyek pada studi ini, 80 subyek diikuti sampai jam ke-12, dan 72 subyek diikuti sampai jam ke-24. Dua puluh lima subyek meninggal dalam 3 hari (31%). Beda median hanya didapatkan pada bersihan laktat 24 jam (median -17,0% vs. 15,2% pada yang meninggal dan hidup; p 0,034). Titik potong bersihan laktat 24 jam terbaik adalah -6,0% (AUC 0,744, sensitivitas 62,5% dan spesifisitas 87,5%, nilai duga positif 58,8% dan nilai duga negatif 89,1%, risiko relatif 5,39). Dalam analisis multivariat, APACHE II bermakna sebagai perancu.
Simpulan: Median bersihan laktat 24 jam lebih rendah pada pasien sepsis berat dan syok sepsis yang mengalami mortalitas fase akut. Titik potong dari bersihan laktat tersebut adalah -6,0%.

Background: Lactate is one of biomarkers in sepsis, used for risk stratification, resuscitation target, and death prediction. Interpretation of lactate clearance was proven to be better than single lactate measurement to evaluate resuscitation adequacy and to determine prognosis. This study was aimed to find out if in severe sepsis and septic shock patients there are mean differences of 6, 12, and 24 hour lactate clearance between patients with and without acute phase mortality, and also to find its cut off.
Methods: Study design was prospective cohort. Subjects were collected by consecutive sampling from Emergency Department, hospital ward, and Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital. Lactate levels were measured on 6, 12, and 24 hour, then subjects were followed to evaluate their 3-day mortality.
Results: Eighty one subjects were incuded in this study, 80 subjects were followed until 12 hours, and 72 subjects were followed until 24 hours. Twenty five subjects were died within 3 days (31%). Only 24-hour lactate clearance had median difference (median -17.0% vs. 15.2% in mortal and survive group; p 0.034). The best cut off for 24 hour lactate clearance was -6.0% (AUC 0.744, sensitivity 62.5% and specificity 87.5%, positive predictive value 58.8% and negative predicitive value 89.1%, relative risk 5.39). In multivariate analysis, APACHE II was proven to be a confounder.
Conclusions: Median of 24-hour lactate clearance was lower in severe sepsis and septic shock patients who were died within three days. Its cut off was -6.0%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sumali Wiryowidagdo
Jakarta: DIKTI, 2000
615.19 SUM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Semarang : IKIP semarang, 1982
615.3 BUK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fitri Rina Wulandari
"Sistem penghantaran obat ke kolon banyak digunakan untuk memfasilitasi zat aktif terlepas dan memberikan efek terapi pada kolon. Salah satu penyakit yang dapat disembuhkan dengan sistem penghantaran ini adalah fibrosis usus. Tetrandrine digunakan sebagai obat antifibrosis usus. Penelitian ini bertujuan untuk membuat beads dengan metode gelasi ionik menggunakan polimer natrium alginat yang tersambung silang dengan kation Ca2+. Beads kalsium-alginat tetrandrine dibuat dalam tiga formula dengan variasi konsentrasi kalsium klorida yang digunakan (2%, 3%, 4%). Ketiga formula tersebut dikarakterisasi meliputi bentuk dan morfologi, ukuran partikel, kadar air, efisiensi proses, efisiensi penjerapan, uji termal, analisis difraksi sinar x, dan uji daya mengembang. Beads yang dihasilkan berbentuk hampir bulat, distribusi ukuran partikel 742.753µm – 780,683µm. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 78,920%, 82,701%, dan 68,504%. Formula yang paling optimum (beads formula 2) disalut dengan HPMCP HP-55 atau CAP kemudian dilakukan uji pelepasan obat secara in vitro. Uji pelepasan dilakukan pada medium asam klorida pH 1,2, dapar fosfat pH 7,4 dan dapar fosfat pH 6,8. Hasil pengujian menunjukkan bahwa beads yang disalut dengan CAP 10% melepaskan obat dengan total kumulatif yang paling besar. Beads CAP 10% dilakukan uji pentargetan obat secara in vivo dan hasilnya beads ditemukan dalam usus tikus.

Colon drug delivery system has been used to facilitate drug to release and give therapeutic effects in colon. Intestinal fibrosis is one of the diseases that can be cured by colon drug delivery system. Tetrandrine was used as intestinal antifibrotic drug. The aim of this research was to prepare beads by ionic gelation method, where sodium alginate were crosslinked with Ca2+ cation. Calcium-alginate beads tetrandrine were prepared in three formulas which various concentration of CaCl2 (2%, 3%, 4%). These beads were characterized include shape and morphology, particle size, moisture content, process efficiency, entrapment efficiency, thermal analysis, x-ray diffraction analysis, and swelling analysis. The result showed that beads which produced have almost spherical form, most of particle size was between 742.753µm – 780,683µm. The entrapment efficiency of three formulas were 78.920%, 82.701%, dan 68.504%. The best formula (beads formula 2) coated with HPMCP HP-55 or CAP and tested by in vitro drug released. The release test performed in pH 1.2 hydrochloric acid, pH 7.4 and pH 6.8 phosphate buffer. The highest drug released of tetrandrine showed in beads which coated by CAP 10%, then tested by in vivo drug targeting and the result showed that beads were found in intestinal rat.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S63808
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhly Hakim Mahmudi
"Tablet lepas lambat merupakan tablet yang mampu memperlama pelepasan obat dalam saluran cerna untuk memperpanjang durasi kerja obat dengan menggunakan matriks sebagai salah satu komponen utamanya Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh eksipien koproses polivinil alkohol amilosa tersambung silang ko PVA CLA6 sebagai matriks pada tablet lepas lambat Ko PVA CLA6 dihasilkan dengan cara koproses PVA dengan CLA6 dengan perbandingan 1 1 1 2 dan 2 1 Ko PVA CLA6 yang telah diperoleh dikarakterisasi sifat fisik kimia dan fungsionalnya Ko PVA CLA6 memiliki derajat subtitusi fosfat 0 0681 kemampuan mengembang yang cukup baik memiliki viskositas yang cukup besar tetapi dengan kekuatan gel yang lemah Tablet dengan matriks ko PVA CLA6 diformulasikan dengan metode granulasi kering dan seluruhnya memenuhi persyaratan evaluasi tablet Profil pelepasan natrium diklofenak dari tablet yang mengandung matriks ko PVA CLA6 dengan perbandingan 1 1 F1 1 2 F2 dan 2 1 F3 dalam medium basa dapar fosfat selama 8 jam menunjukkan profil pelepasan obat yang diperlambat Q 20 45 dengan kinetika pelepasan orde nol Oleh karena itu formula F1 F2 dan F3 dapat diaplikasikan sebagai formula sediaan tablet lepas lambat untuk pemakaian selama 32 jam.

Sustained release tablet is the tablet which can retard drug release in gastro intestinal track to increase duration of drug effect This present research was intended to produce coprocessed excipient polivinyl alcohol cross linked amylose co PVA CLA6 as matrix for sustained release tablet Co PVA CLA6 was produced by coprocessing between PVA and CLA6 with a ratio of 1 1 1 2 and 2 1 The obtained coprocessed PVA CLA6 was characterized physically chemically and funtionally Coprocessed PVA CLA6 has subtitution degree of phosphate 0 0681 had good enough swelling index also high enough viscosity but low gel strenght Tablets with coprocessed PVA CLA6 as matrix was formulated by dry granulation method and passed tablet evaluations test The release profile of sodium diclofenac from tablet which contained matrix from coprocessed PVA CLA6 with a ratio 1 1 F1 1 2 F2 and 2 1 F3 in base medium of phosphate buffer for 8 hours showed the sustained release profile Q 20 45 which follow the zero order kinetic Thus F1 F2 and F3 tablets formulation could be applied as sustained release tablet formula and could retard drug release up to 32 hours."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S52726
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baskoro Surya Narendra
"Tablet cepat hancur TCH adalah tablet yang didesain untuk segera hancur di dalam rongga mulut tanpa bantuan air Untuk tujuan tersebut dibutuhkan suatu eksipien penghancur yang sesuai Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan mengkarakterisasi eksipien koproses polivinil alkohol amilosa tersambung silang dalam 3 macam perbandingan Ko PVA CLA12 sebagai penghancur tablet yang digunakan dalam formulasi TCH Koproses PVA CLA12 merupakan eksipien termodifikasi hasil koproses PVA dengan amilosa yang telah direaksikan dengan agen penyambung silang STMP sodium trimetafosfat Eksipien koproses PVA CLA12 yang dihasilkan dikarakterisasi dan diformulasikan menjadi TCH dengan metode kempa langsung kemudian dievaluasi Hasil karakterisasi eksipien Ko PVA CLA12 menunjukkan bahwa eksipien ini memiliki derajat subtitusi sebesar 0 1107 dan perbandingan Ko PVA CLA12 2 1 merupakan yang terbaik untuk dipilih menjadi bahan penghancur pada TCH karena memiliki kemampuan mengembang yang paling baik yaitu 2 kali lipat dalam waktu 1 jam Evaluasi TCH menunjukkan bahwa formula 5 dan 10 yang mengandung Ko PVA CLA12 2 1 memiliki kriteria yang baik sebagai tablet cepat hancur yang ditunjukkan dengan karakteristik kekerasan 1 94 Kp dan 1 37 Kp keregasan 1 15 dan 0 52 waktu hancur 14 94 detik dan 12 64 detik waktu pembasahan 4 88 detik dan 3 41 detik dan disolusi sebesar 100 dalam 10 menit Oleh karena itu eksipien Ko PVA CLA 12 2 1 dapat digunakan sebagai penghancur pada TCH.

Fast Disintegrating Tablet FDT is a solid dosage form that was designed to quickly disintegrate in the oral cavity without water thus FDT needs appropriate disintegrant excipient This research aims to study the characteristics of excipient coprocess polyvinyl alchol crosslinked amylose in 3 ratio Co PVA CLA12 and applied as a disintegrant of FDT Co PVA CLA12 is modified excipient that resulted by coprocess polyvinyl alcohol with of amylose which has been reacted with STMP as crosslinking agent Co PVA CLA12 excipient was characterized and formulated into FDT using direct compression method and then evaluated Characterization result of Co PVA CLA12 showed that its substitution degree was 0 1107 and ratio 2 1 of Co PVA CLA12 was the best to be choosen as disintegrant of FDT because it swollen 2 times in 1 hour The FDT rsquo s evaluation showed that formula 5 and 10 containing of Co PVA CLA12 2 1 had the best characteristic of FDT since it possessed hardness of 1 94 Kp and 1 37 Kp 1 15 and 0 52 friability 14 94 and 12 64 seconds of in vitro disintegration time 4 88 and 3 41 seconds of wetting time and 100 dissolution at 10 minutes Therefore Co PVA CLA 12 2 1 can be used as disintegrant excipient in FDT."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S52367
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Yahdiana
"Cilostazol merupakan antiplatelet yang bekerja dengan menghambat fosfodiesterase III (PDE III). Berdasarkan Food and Drug Administration (FDA), cilostazol merupakan obat yang wajib untuk uji bioekuivalensi. Metode analisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan detektor ultraviolet untuk penentuan cilostazol dalam plasma manusia in vitro telah dikembangkan dan divalidasi. Cilostazol dan pioglitazone sebagai baku dalam diekstraksi dari plasma dengan metode pengendapan protein menggunakan metanol. Fase gerak terdiri dari asetonitril-dapar kalium dihidrogen fosfat 50 mM (40:60) dengan kecepatan alir 1,5 mL/menit, menggunakan kolom C18 (SunfireTM, 5 μ m, 250x4,6 mm) fase terbalik, dan dideteksi pada panjang gelombang 257 nm. Pada rentang konsentrasi 20 - 2000 ng/mL dihasilkan kurva kalibrasi yang linier dengan koefisien korelasi (r) 0,9999. Akurasi (% diff) dari metode ini -14,67% sampai 8,84% dengan presisi (KV) antara 0,98% sampai 4,93%, dan uji perolehan kembali absolute 82,26% sampai 119,85%. Cilostazol dalam plasma stabil selama 30 hari pada penyimpanan dengan suhu -20oC.

Cilostazol is an antiplatelet agent with the mechanism of action by inhibiting phos-phodiesterase III (PDE III). Referred to Food and Drug Administration(FDA), cilostazol is a drug recommended to be bioequivalence (BE) studied. A high-performance liquid chromatographic (HPLC) method with ultraviolet detector for in vitro determination of cilostazol in human plasma had been developed and validated. Cilostazol and pioglitazone as internal standard were extracted from human plasma by protein precipitation method using methanol. The mobile phase consisting of acetonitrile-potassium di-hydrogen phosphate buffer 50 mM (40:60) was used at the flow rate of 1.5 mL/min on reversed phase C18 column (SunfireTM, 5μ m, 250x4.6 mm), and was detected at wavelength of 257 nm. Linearity was established within concentration range of 20-2000 ng/mL with coefficient correlation (r) was 0,9999. Accuracy (% diff) of this method was -14.67% up to 8.84% with precision (CV) being 0.98% to 4.93%, and absolute recovery was established to be 82.26% to 119.85%. Cilostazol in plasma was stable for 30 days in -20oC storage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Loranza
"Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang telah menjadi penyakit umum dan menjadi permasalahan yang cukup serius di dunia, terutama DM tipe 2. Pencegahan DM tipe 2 dapat dilakukan dengan menghambat α-glukosidase sehingga absorpsi glukosa tertunda dan kadar glukosa postprandial menurun. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh fraksi dari ekstrak etanol 80% daun buni (Antidesma bunius L.) yang memiliki penghambatan aktivitas α-glukosidase paling tinggi dan mengidentifikasi golongan senyawa kimia. Uji penghambatan aktivitas α-glukosidase dilakukan pada tiga fraksi, yaitu n-heksana, etil asetat, dan metanol dengan mengukur absorbansi p-nitrofenol sebagai produk dari reaksi enzimatis pada panjang gelombang 400 nm. Hasil menunjukkan bahwa fraksi metanol memiliki penghambatan aktivitas α-glukosidase paling tinggi dengan nilai IC50 8,0434 ppm, dan mekanismenya adalah secara kompetitif.
Hasil identifikasi golongan senyawa fraksi metanol menunjukkan adanya flavonoid, tannin, saponin, dan gula. Ekstrak metanol di kromatografi kolom dan fraksi hasil kolom di KLT untuk melihat profil kromatogram. Fraksi gabungan yang terbentuk adalah 6 fraksi. Uji penghambatan aktivitas α-glukosidase dilakukan pada keenam fraksi gabungan tersebut. Hasil menunjukkan bahwa fraksi gabungan VI (etil asetat : metanol (60:140); (40:160); (20:180); (0:200)) memiliki penghambatan aktivitas α-glukosidase dengan nilai IC50 4,7863 ppm dan terdapat senyawa gula dan flavonoid.

Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder that has become a common disease and a serious problem in the world, especially type 2 DM. Prevention of type 2 diabetes could be done by inhibiting α-glucosidase enzymes so that resulting delayed of glucose absorption and postprandial glucose levels were decreased. This study aims to get the fraction of buni leaves extract that has the highest potential to inhibit the activity of α-glucosidase enzymes and identify phytochemical compounds. Test of α-glucosidase inhibitory activity was done on three fractions, there are n-hexane, ethyl acetate, and methanol by measuring the absorbance of p-nitrophenol as a product of the enzymatic reaction at a wavelength 400 nm.
The test result showed that the methanol fraction had the highest inhibition against α-glucosidase activity with IC50 value of 8.0434 ppm, and the mechanism is competitive. The result of phytochemical identification showed there are flavonoids, tannins, saponins, and sugar in methanol fraction. Methanol fraction was fractionated by column chromatography and the fraction of the column were combined become six fractions by the profile of chromatogram. The results showed that the fraction VI (ethyl acetate : methanol (60:140); (40:160); (20:180); (0:200)) has the highest α-glucosidase inhibitory activity with IC50 value of 8.0434 ppm and contains sugar and flavonoids.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S43076
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Merianda Ramadhian Putri
"Proses produksi obat cair terdiri dari penimbangan, pencampuran, pengisian (pengemasan primer), pengemasan sekunder dan pengkajian catatan bets. Total waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu bets produk dari proses produksi disebut dengan cycle time (waktu siklus). Saat ini, permasalahan terkait cycle time menjadi hal yang sangat esensial dan penting untuk diatasi dalam pelaksanaan proses produksi di industri farmasi. Penyebab terbesar terkait cycle time adalah perbedaan waktu yang sangat signifikan. Penyebab terbesar waktu produksi melebihi waktu teoritis adalah kerusakan mesin dan keahlian masing-masing operator sedangkan penyebab terbesar adanya waktu tunggu adalah Perjalanan BR. Persentase waktu tunggu terlama dari proses produksi 3 produk cair yaitu Dari Secondary Packaging ke Review BR dengan rata-rata 53%. Penyebab pemeriksaan BR lama dikarenakan Antrean BR Produk dengan rata-rata waktu pemeriksaan BR yaitu 3,95 hari atau 4 hari. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab cycle time menjadi lebih lama yaitu proses review BR, antrian mesin, dan juga berkaitan dengan keahlian masing-masing operator.
Kegiatan perencanaan sediaan farmasi dan alat kesehatan di apotek berfungsi untuk memprediksi kebutuhan persediaan farmasi untuk jangka waktu tertentu. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya, dan kemampuan masyarakat setempat. Kegiatan perencanaan pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan haruslah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, salah satunya dengan pembuatan dari Prosedur Operasional Baku (POB). Dalam hal ini, peningkatan dalam kualitas dari kegiatan perencanaan sediaan farmasi ini dapat didukung dalam pembuatan Prosedur Operasional Baku (POB) sehingga memiliki standar minimum yang harus dicapai dalam pelaksanaan dan pengawasan kegiatan perencanaan yang baik oleh Apoteker yang bertugas maupun Asisten Apoteker. Seluruh kegiatan perencanaan sediaan farmasi sudah berjalan cukup baik, namun belum terdapat dokumen yang dapat menjadi standar dalam kegiatan perencanaan sediaan farmasi. Setiap POB yang telah dibuat dan disepakati tetap perlu diperbaharui secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan sehingga pelaksanaan dalam kegiatan perencanaan sediaan farmasi di Apotek menjadi semakin berkembang.

The liquid drug production process consists of weighing, mixing, filling (primary packaging), secondary packaging and reviewing batch records. The total time required to produce a batch of products from the production process is called cycle time. Currently, problems related to cycle time are very essential and important to be overcome in the implementation of the production process in the pharmaceutical industry. The biggest cause related to cycle time is a very significant time difference. The biggest cause of production time exceeding the theoretical time is machine breakdown and the expertise of each operator while the biggest cause of waiting time is BR trips. The percentage of the longest waiting time from the production process of 3 liquid products, namely From Secondary Packaging to BR Review with an average of 53%. The cause of the old BR inspection is due to the Product BR Line with an average BR inspection time of 3.95 days or 4 days. From the explanation above, it can be concluded that the cause of the longer cycle time is the BR review process, the machine queue, and also related to the expertise of each operator.
Planning activities for pharmaceutical products and medical devices in pharmacies function to predict the need for pharmaceutical supplies for a certain period of time. In planning the procurement of pharmaceutical preparations, it is necessary to pay attention to disease patterns, consumption patterns, culture, and the ability of the local community. Planning activities for the procurement of pharmaceutical preparations and medical devices must comply with established standards, one of which is the manufacture of Standard Operating Procedures (SOP). In this case, the improvement in the quality of pharmaceutical preparations planning activities can be supported in the manufacture of Standard Operating Procedures (SOP) so that they have minimum standards that must be achieved in the implementation and supervision of good planning activities by pharmacists on duty and pharmacist assistants. All pharmaceutical preparations planning activities have been going quite well, but there is no document that can become a standard in pharmaceutical preparations planning activities. Every SOP that has been made and agreed upon still needs to be updated regularly according to the needs and conditions in the field so that the implementation of pharmaceutical preparation planning activities at the pharmacy is growing.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>