Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 237698 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arya Satya Nugraha
"Pemerintah dan media massa memiliki andil dalam kekerasan agama. Pemerintah mengeluarkan regulasi diskriminatif seperti SKB 3 Menteri no 3 tahun 2008 sementara media kerap memberitakan isu kekerasan agama secara menyudutkan. Penelitian ini berusaha melihat produksi berita kekerasan agama di Kantor Berita Antara yang memiliki afiliasi dengan pemerintah. Penelitian kualitatif ini menggunakan teori strukturasi dari Giddens dan konsep jurnalisme keberagaman. Analisis dilakukan dengan paradigma kritis dan metode studi kasus tunggal analisis level jamak (mikro, meso, dan makro). Temuan menunjukan bahwa tidak ditemukan interelasi agensi dan struktur dalam kasus ini. Antara memiliki kekuatan namun tunduk pada struktur sehingga strukturasi tidak terjadi.

Indonesia government and media play a part in anti-minority group violence. Government sponsors violence through discriminative regulation, like SKB 3 Menteri no 3 tahun 2008, while media tend to cover the issue with a discriminative tone. This undergraduate thesis explains the production of anti-Ahmadiyah violence in a government-owned news agency named Antara. Giddens’ Structuration and multicultural journalism are incorporated in this qualitative research. The researcher uses critical paradigm for single case multi-level (micro, mezzo, macro) analysis method. The finding shows that there is no interrelation between agency and structure found in this case study. Antara, as a powerful agent, bows down to the government that acts as the structure. Thus Antara plays no role in structuration."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Anwar
"Di negara demokratis, termasuk Indonesia, media diharapkan dapat menjadi pilar keempat demokrasi yang menggenapi trias politica. Tujuan mulianya yakni mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Akan tetapi, media televisi yang notabene menggunakan frekuensi publik untuk siaran telah disisipi kepentingan politik tertentu. Kepentingan itu berasal dari ambisi pemilik modalnya yang ingin mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Maka, independensi media televisi pun kini dipertanyakan terlebih saat media tersebut menyisipkan kepentingannya pada program-program tertentu. Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah studi literatur. Makalah akan membahas bagaimana kondisi media televisi di Indonesia saat ini menjelang pilpres 2014, dan apa yang seharusnya dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun dari pihak media. Untuk mengembalikan fungsi media kembali pada semestinya diperlukan 1. Penegakkan peraturan yang tegas oleh instansi pemerintah.

In democratic countries, including Indonesia, the media is expected to be the fourth pillar of democracy that fulfills the trias politica. Noble purpose that is overseeing the government that carried out by the Executive, Legislative, and Judicial. However, the medium of television is in fact using a public frequency to broadcast certain political interests have been inserted. The interests of capital owners ambition comes from wanting to run in the presidential election (pilpres) 2014. Thus, the independence of the television media are now questionable especially when they insert their interest in specific programs. The method used in this paper is the study of literature. The paper will discuss how the television media conditions in Indonesia today ahead of the 2014 presidential election, and what should be done both by the government and from the media. To restore proper function of the media back on 1. Strict enforcement of regulations by government agencies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Sulistyawati
"Persoalan realitas media hingga kini masih menjadi perdebatan panjang. Media tidak hanya sekedar menghadirkan realitas berita ke hadapan publik pembacanya, melainkan juga menyertakan sejumlah penilaian atau evaluasi atas fakta berita yang dikonstruksikan dalam kemasan sikap (politik) tertentu. Hal ini tentunya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan pers yang senantiasa dikaitkan dengan misi dan visi institusional, peran pers sebagai Iembaga ekonomi, medium dan pemroduk informasi.
Dalarrl peristiwa Sidang Interpelasi Iran dengan agenda utama maminta keterangan (klarifikasi) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono PBB Nomor1747 tentang pemberlan sanksi perekonomian yang lebih luas kepada Iran, karena dianggap melakukan pengayaan uranium untuk tujuan senjata pemusnah, akan terlihat sekali bagaimana Republika, Kompas dan Jurnal Nasional mengkonstruksi berita sesuai dengan cara pandang (frame)-nya masing-masing. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan frame media dalam mengkonstruksi berita seputar Sidang Interpelasi Iran, pada 10 Juli 2007. Dengan mengetahui perbedaan cara pandang (Fame) media, akan diketahui bagaimana orientasi politik media berdasarkan kepentingannya masing-masing.
Penelitian ini menggunakan metode analisis framing, yang menekankan pada penonjolan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-masing media dalam rangka memaknai obyek wacana. Unit observasi yang diteliti adalah laporan utama, sebab laporan utama berisi peristiwa penting yang harus sesegera mungkin diketahui pembaca.
Haail penelitian menunjukkan bahwa Republika, Kompas, dan Jurnal Nasional memiliki cara pandang (frame) yang berbeda. Republika memaknai lnterpelasi Iran tidak membuahkan hasil apapun. Langkah DPR untuk meminta keterangan Presiden SBY terkait kebijakannya mendukung Resolusi DK PBB Nomar 1747 yang sudah berlangsung selama tiga bulan lebih menjadi sia-sia. Hal itu tercermin melalui penegasan Republika bahwa Rapat lnterpelasi tidak menghasilkan keputusan Penerimaan atas penolakan dari DPR, Sebaeai koran komunitas Muslim. Republika merasa berkepentingan untuk menyuarakan aspirasi publik pembacanya yang mayoritas adalah Muslim.
Kompas memaknai Interpelasi Iran sebagai ajang perdebatan antara anggota DPR yang menerima (pro) terhadap ketidakhadiran Presiden di DPR dan anngota DPR yang menolak (kontra) dan kecewa atas ketidakhadiran Presiden. Frame yang dimunculkan di hadapan khalayak adalah kontroversi diantara anggota DPR yang pro dan anggota DPR Yang kontra dengan argumen yang sama besarnya. Pendapat yang pro dan kontra ditampilkan dengan detail yang sama. Frame semacam ini menunjukkan juga bahwa Kompas nampaknya cukup berhati-hati dalam menilai peristiwa tersebut. Pihak-pihak yang berpendapat dibiarkan tanpa pemaknaan dari media bersangkutan.
Sementara Jurnal Nasional mempunyai frame yang berbeda dengan Kompas dan Republika. Dalam frame Jurnal Nasional Sidang lnterpelasi Iran telah selesai karena DPR telah memahami dan menerima jawaban Presiden melalui para Menteri pada Paripurna DPR, 10 Juli 2007. Artinya, masalah Interpelasi tidak perlu dipersoalkan lagi.
Persoalan realitas media massa tidaklah sesederhana yang dibayangkan Kompleksitas kerja media semakin rumit di kala berbagai kepentingan berupaya mempengaruhi atau menekan media. Kiranya lebih bermanfaat bila intern dan ekstern pers memadukan asumsi dasar paradigma strukturai dan kultural, dengan harapan memungkinkan mendorong terwujudnya pers yang independen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T17373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyanti Syas
"Penelitian ini mencoba melihat konsistensi peranan media massa dalam mengkritisi kinerja pemerintahan yang berkuasa. Seperti diketahui, setelah jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) kehidupan media massa mengalami perubahan drastis terutama dari segi isi teks yang disajikannya. Apa yang tabu dibicarakan pada masa Orba menjadi hal yang lumrah diperbincangkan. Penggunaan Bahasa dengan eufemismenya dimasa Orba, kini disajikan dengan hujatan oleh sebagian besar media massa. Kekritisan dan ketajaman analisis yang disampaikan media jauh dari apa yang pernah dilakukan pada masa Orba.
Melalui analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana dinamika atau konsistensi media massa dalam mengkritisi kinerja pemerintahan setelah lengsernya Soeharto, Sejauh mana ideologi politik media mempengaruhi dinamika framing yang dikemas dalam berita-berita yang disajikannya dari sudut pandang ekonomi politik media.
Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemberitaan tentang kinerja pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid dengan perspektif ekonomi politik. Pemberitaan yang diangkat adalah mengenai kebijakan pemerintah BJ Habibie mengenai penyelesaian masalah Timtim dan kebijakan pemerintahan Abdurrahman Wahid yang akan membuka hubungan dagang dengan Israel.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dengan menerapkan analisis framing dan analisis intertekstual. Analisis framing dilakukan terhadap isi teks, dan analisis intertekstual dilakukan terhadap produksi dan konsumsi teks serta analisa terhadap praktek sosial budaya khususnya mengenai perkembangan kehidupan pers di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai proses produksi isi media.
Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga bingkai yang digunakan Republika dalam menilai kebijakan Presiden Habibie dalam mengatasi masalah Timtim, yaitu Human Right, Universalitas dan Nasional Interest. Sedangkan dalam pemberitaan tentang kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, Harian Republika membingkai kasus tersebut dengan : Konstitusi dan HAM, Disintegrasi dan economic Interest. Lebih lanjut di temukan bahwa, pemberitaan tentang kebijakan Presiden Habibie dikemas Harian Republika dengan memberikan positive representation dan memberikan negative representation terhadap kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid.
Positif representation terhadap kebijakan Habibie dikemas Republika dengan menggunakan catchphrase; pilihan terbaik, prestasi terbaik Habibie. dan tindakan Habibie sebagai penghormatan terhadap hak rakyat Timtim. Sedangkan depiction yang digunakan adalah; keberanian Habibie, sikap kenegarawanan, dan dosa sejarah portugal. Negative Representation yang diberikan pada kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dikemas Republika dengan menggunakan retorika yang mendelegitimasi kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid. Kebijakan ini dinilai melalui metaphora yang digunakannya seperti; basa-basi diplomatik, tindakan yang gegabah, sikap arogan pemerintah serta menyakiti hati umat. Sedangkan depiction yang digunakan antara lain; tindakan brutal, pelecehan konstitusi, hubungan RI Israel adalah hubungan yang mubazir.
Lebih ekstrim lagi, jika kebijakan ini dijalankan, maka Republika memberikan consequences berupa; munculnya parlemen jalanan, tumbuhnya polarisasi dalam masyarakat, serta terganggunya hubungan dengan negara Arab lainnya. Sedangkan secara ekonomis efek yang ditimbulkan jika hubungan ini terealisasi adalah; timbulnya kerugian yang sangat besar di pihak Indonesia dan perbankan Yahudi akan memakan sebagian BUMN Indonesia.
Berdasarkan analisis framing yang dilakukan terhadap teks bahwa pada masa pemerintahan Presiden BI Habibie, Republika cenderung memberi bingkai positif terhadap kebijakannya. Sedangkan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Republika memberikan bingkai negatif dan cenderung mendelegitimasi kebijakan pemerintah, terutama mengenai akan dibukanya hubungan RI - Israel.
Hal ini, secara politis bisa dijalankan, bahwa antara Republika dengan BJ Habibie sebagai presiden pada waktu itu memang ada unsur kedekatan, dimana BJ Habibie adalah Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi yang melatarbelakangi lahirnya Republika. Jadi bisa dipahami apabila pembingkaian berita tentang kasus Timtim yang dibuat Republika adalah positif.
Pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Republika lebih bersikap kritis. Dalam kebijakan mengenai hubungan RI-Israel, Republika sangat gencar memberitakan permasalahan ini dengan mengambil bingkai mendelegitimasi kebijakan presiden. Secara politis dapat dipahami, bagaimana hubungan antara Presiden dengan Harian Republika yang kurang harmonis. Sedangkan dari segi ideologis, apa yang menjadi kebijakan Abdurrahman Wahid memang bertentangan dengan garis ideologi Republika sebagai koran yang berideologi Islam Modernis. Dalam hal ini Republika mendukung suara mayoritas masyarakat muslim yang tidak menginginkan adanya hubungan RI-Israel dalam bentuk apapun. Ini dikarenakan, Israel adalah negara yang telah sering melakukan penghinaan dan penindasan terhadap bangsa Palestina dan ingin menjadikan wilavah suci umat muslim ini sebagai wilayah kekuasaannya.
Secara ekonomis, pembingkaian Republika di kedua kasus ini diharapkan dapat meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia internasional. Sehingga kepercayaan mereka terhadap Indonesia kembali pulih dan secara tidak langsung akan memulihkan perekonomian Indonesia yang selanjutnya berdampak pada perkembangan industri media massa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fouri Gesang Sholeh
"Tesis ini membahas tentang konstruksi pemimpin Indonesia dalam siaran talkshow hiburan di televisi. Analisisnya difokuskan pada bagaimana Program Sentilan Sentilun di Metro TV mengonstruksi dan merepresentasikan pemimpin di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan analisis framing untuk menganalisis teks rekaman audio visual Program Sentilan Sentilun di Metro TV. Hasil analisis dari penelitian ini adalah bahwa pemimpin Indonesia dibingkai dan dikonstruksikan tidak melaksanakan tugas sebagai pemimpin untuk menyejahterakan rakyatnya, serta gagal dalam memberikan perlindungan kepada rakyat, serta lebih mengutamakan kepentingan diri dan keluarganya. Hal tersebut disebabkan oleh pelaksanaan demokrasi yang hanya sebatas prosedurnya saja, maraknya money politics, serta belum adanya penegakan hukum yang kuat. Pemimpin yang melakukan tindakan seperti ini dinilai tidak baik merugikan rakyat. Penyelesaian yang ditawarkan adalah adanya peran serta aktif masyarakat dalam memilih pemimpin dan mengontrol penyelenggaraan negara serta penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu.

This thesis discusses the construction of Indonesian leaders in the entertainment talk show on television broadcasting. The analysis focused on how "Sentilan Sentilun" program of Metro TV constructs and represents leaders in Indonesia. This study is a qualitative study using constructivist paradigm and framing analysis to analyze the audio-visual recording of “Sentilan Sentilun” program of Metro TV. The Result of this study is that the Indonesian leader framed and constructed not as a task leader for the welfare of its people, and failed to provide protection to the people, and prefer the interests of himself and his family. This was caused by the implementation of democracy only to the extent that the procedure alone, the rise of money politics, and the lack of strong law enforcement. Leaders who commit such acts are not considered detrimental to the people's good. Settlements offered are the active participation of the community in choosing leaders, control the implementation of state and strict law enforcement indiscrimina."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Juli Bestian
"Pemetaan hubungan antara pers dan kekuasaan presiden di negeri ini dalam rekaman sejarah selalu menggambarkan pola hubungan yang bersifat vertikal, yaitu dominasi kekuasaan presiden terhadap pers nasional. Dalam kajian mikro, pola hubungan seperti ini tergambarkan secara nyata di dalarn isi pemberitaan pers Indonesia. Pers pada Saat memberitakan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan presiden, tidak lebih hanya sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan pemerintah kepada khalayak pembacanya. Apa yang menjadi agenda kekuasaan presiden, dengan sendirinya menjadi agenda pemberitaan pers.
Perubahan kekuasaan negara, dari kepemimpinan Presiden Soeharto kepada Presiden BJ Habibie (23 Mei 1998) kemudian kepada Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999), pada kenyataannya juga berimplikasi pada perubahan pola hubungan antara pers dan kekuasaan presiden. Jika di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pers ccnderung berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, maka di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie berubah drastis menjadi institusi yang bebas menyuarakan kepentingannya masing-masing. Kondisi demikian berlanjut di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Dengan menggunakan analisis teks terhadap seluruh pemberitaan pidato kenegaraan presiden antara tahun 1994 hingga tahun 2000 pada surat kabar Kompas. Suara Karya, Media Indonesia, dan Republika, penelitian ini membuktikan terjadinya perubahan pola hubungan antara pers dan kekuasaan presiden.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pidato kenegaraan presiden diberitakan oleh keempat surat kabar dengan porsi terbanyak dan menempati posisi halaman yang paling penting pada setiap surat kabar. Dari sisi isi pemberitaan, keempat surat kabar yang diteliti cenderung seragam, memberitakan isi pidato kenegaraan sesuai dengan apa yang diucapkan Presiden Soeharto. Dalam memilih nara sumber yang dimaksudkan untuk menanggapi isi pidato kenegaraan, keempat surat kabar cenderung memilih para tokoh berlatar belakang hubungan politik yang erat dengan Presiden. Strategi pemilihan nara sumber seperti ini dengan sendirinya menghasilkan isi komentar yang cenderung mendukung segenap persoalan yang diucapkan Presiden di dalam pidatonya.
Pola pengemasan isi berita yang seperti itu semakin diperkuat pula oleh pola penyikapan langsung masing-masing surat kabar sebagaimana yang tertuang di dalam isi editorial keempat surat kabar. Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, editorial keempat surat kabar cenderung menghindar dari penilaian kristis mereka terhadap kekuasaan Presiden, dan memilih mendukung segenap kebijakan Presiden. Sekalipun beberapa kesempatan untuk mengkritik kebijakan Presiden coba dilakukan oleh beberapa surat kabar, namun isi kritik lebih bersifat penyampaian usulan perbaikan dari kondisi yang dirasakan pers kurang memadai.
Di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, pidato kenegaraan berubah menjadi arena penilaian terhadap kinerja yang dicapai oleh Presiden. Di era ini terdapat kebebasan pada masing-masing surat kabar dalam menentukan porsi, penempatan berita, pemilihan nara Sumber, penentuan isi pemberitaan maupun pola-pola penyikapan terhadap kekuasaan presiden. Tidak hanya itu, penampilan presiden di dalam membacakan isi pidato kenegaraan pun menjadi bahan penilaian pers nasional. Masing-masing surat kabar sesuai dengan kepentingannya menunjukkan pola penyikapan terhadap kekuasaan presiden. Oleh karena itu, di era ini terlihat dengan jelas pers yang mendukung kekuasaan Presiden BJ Habibie, pers yang menentang kekuasaannya, ataupun pers yang mendukung kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid dan yang menentang kekuasaannya.
Selain perubahan di dalam isi pemberilaan dan kebijakan editorial, perubahan juga terjadi di dalam proses produksi berita dan mekanisme kontrol pemberitaan. Apabila di era kepemimpinan Presiden Soeharto, faktor eksternal media seperti kekuatan nara sumber dan pemerintah sangat berperan di dalam proses pembentukan berita, maka peran tersebut luruh di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid. Peran tersebut tergantikan oleh makin dominannya faktor internal media, yaitu lapisan struktural menengah ke atas sebagai penentu produksi berita."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarto
"Tesis ini mengkaji pemberitaan RCTI pada menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Krisis ekonomi sejak awal tahun 1997 memicu gelombang aksi mahasiswa yang kemudian diikuti oleh berbagai unsur dari kalangan kelas menengah serta massa akar rumput di perkotaan. Aksi-aksi protes yang dimotori mahasiswa sendiri menjadi semakin besar, sebagian karena pemberitaan media baik di dalam maupun di luar negeri yang memblow-up aksi-aksi tersebut, sehingga mampu menekan institusi-institusi politik formal seperti DPR/MPR untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden. Selain itu, pemberitaan media tentang krisis ekonomi dan kerusuhan massal dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan masyarakat mampu membangun image tentang situasi chaos dan ketidak-berdayaan negara mengendalikan situasi yang ada, dengan demikian mendelegitimasi penguasa negara.
RCTI sebagai media yang sebagian besar sahamnya dimiliki Bambang Trihatmojo yang tidak lain dari anak Presiden Soeharto ternyata juga menunjukkan resistensinya terhadap kekuasaan negara. Fakta tersebut membuktikan bahwa media sebenarnya tidak pernah bersifat monolit menampilkan ideologi tunggal. Sebaliknya, media sebenarnya senantiasa menampakkan pluralitas ideologi dan kepentingan. Bahkan di negara-negara totalitarian, wajah media tidak semata-mata mewakili kepentingan negara, melainkan juga kepentingan berbagai pihak yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan negara.
Selama pemerintahan Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto, media diposisikan sebagai aparat ideologi negara, sebagai bagian dari instrumen politik hegemoni negara. Namun negara sebenarnya tidak pernah mampu sepenuhnya mengontrol media. Sekecil apapun selalu ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan resistensi. Realitas masyarakat dan negara Orde Baru sebenarnya sangat kompleks. Struktur ekonomi-politik Orde Baru tidak bersifat kaku, monolit dan tidak tergoyahkan. Sebaliknya struktur ekonomi-politik Orde Baru mengandung kontradiksi-kontradiksi, baik yang bersifat internal maupun yang berasal dari faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi-politik global. Berbagai kontradiksi itulah yang memungkinkan lahirnya peluang bagi resistensi terhadap negara. Studi yang dilakukan dalam tesis ini menunjukkan bahwa media sebenarnya lebih sebagai "the battle ground for competing ideologies" daripada sebagai apparatus ideologi yang senantiasa tunduk dan takluk kepada negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Nurani Muksin
"Fenomena konflik elit menjelang SI MPR 2001 yang tajam dan mendalam merupakan daya tarik tersendiri bagi media massa. Pengamatan awal memperlihatkan, pemberitaan beberapa media berkaitan dengan konflik elit tersebut cenderung memihak. Media menampilkan realitas sesuai dengan bingkai yang dikonstruksi, sehingga terdapat aspek yang ditekankan, dibesarkan, disamarkan atau bahkan dihilangkan. Dampaknya, terdapat pihak yang diuntungkan atau dirugikan oleh pemberitaan media tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang dikaji adalah: "Bagaimanakah konstruksi realitas tentang konflik elit politik menjelang SI MPR 2001 ditampilkan dalam bentuk berita oleh dua media nasional, Kompas dan Republika? Tujuan penelitiannya adalah: (1) menganalisis bingkai pemberitaan yang ditampilkan Kompas dan Repubiika, tentang konflik elit politik menjelang SI MPR 2001; (2) Mengetahui dan menganalisis peristiwa-peristiwa yang menjadi konteks dari berita pada periode tersebut; (3) Melihat kecenderungan pemberitaan Kompas dan Republika, dengan mengungkap, isu, individu, atau kelompok yang lebih diberi akses, dan diuntungkan dengan pemberitaan mereka yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertarungan wacana pada tataran publik.
Perspektif metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah perspektif konstruktivis yang beranggapan bahwa realitas adalah hasil konstruksi. Metode penelitiannya adalah analisis isi kualitatif. Sementara, metode analisis yang dipergunakan adalah analisis pembingkaian (framing analyis) dengan model analisis framing dari Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki (1993), meliputi perangkat: struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Satuan analisisnya adalah berita (hard news), meliputi: (1) memorandum l DPR; (2) Jawaban Presiden terhadap memorandum 1; (3) Memorandum II DPR; (4) Gagalnya pertemuan Presiden dan Pimpinan Parpol; (5) Percepatan SI MPR; (6) Penolakan Presiden hadiri SI; (7) Dekrit Presiden.
Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini dipayungi oleh perspektif konstruktivisme. Teori konstruksi sosial atas realitas, dan teori komunikasi politik merupakan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian pertama, berkaitan dengan bingkai pemberitaan. (1) Pemberian memorandum 1 dibingkai Kompas: "upaya proses pelanggaran hukum", bingkai Republika: "saran agar Presiden non aktif"; (2) Jawaban Presiden terhadap memorandum I, dibingkai Kompas: "perlunya Presiden melakukan kompromi poiltik", Republika membingkainya: "jawaban Presiden tidak komprehensif karena menghindari soal Bulog"; (3) Memorandum II, dibingkai Kompas: "waktu Presiden satu bulan untuk memperbaiki kinerjanya oleh Republika dibingkai: "memorandum II merupakan kesempatan terakhir untuk Presiden; (4) Gagalnya pertemuan Bogor, dimaknai Kompas: "gagalnya upaya rekonsiliasi Presiden", oleh Republika dimaknai: "pimpinan parpol segan bertemu presiden"; (5) Percepatan SI, dibingkai Kompas: "SI jadi dilaksanakan oleh Republika dimaknai: "MPR bersidang menentukan pelaksanaan SI MPR (6) Penolakan Presiden hadiri SI MPR, dibingkai Kompas: "sikap Presiden dan PKB hadapi percepatan SI", Republika membingkai: "sikap lawan politik Presiden hadapi penolakan Presiden hadiri SI MPR"; (7). Isu dekrit dimaknai Kompas: "Presiden berlakukan dekrit", bingkai Republika: ?sikap konfrontatif Presiden direspon dengan rencana pengangkatan Mega jadi Presiden?.
Kedua: Peristiwa-peristiwa yang menjadi konteks dari berita pada periode tersebut adalah kebebasan pers era reformasi, fenomena konflik elit, dan hubungan elit politik (Presiden) dengan NU juga PKB.
Ketiga, Kecenderungan pemberitaan Kompas dan Republika berkaitan dengan beberapa isu yang diteliti, Kompas berusaha menampilkan pemberitaan yang netral dan tidak berpihak. Kompas lebih banyak mengkomodasi pernyataan Presiden, mereka yang tidak berlawanan dengan Presiden atau yang netral. Isu yang ditekankan adalah penyelesaian konflik baik dengan kompromi maupun rekonsiliasi. Sementara Republika, lebih menekankan aspek kesalahan Presiden. Isu yang ditekankan dalam adalah Presiden sebaiknya non aktif dan mengundurkan diri karena legitimasinya sudah habis. Yang Iebih diberi akses oleh Republika adalah Amien Rais sebagai sumber berita dan beberapa pernyataan dari lawan politik Presiden. Sumber berita dapat memberikan legitimasi dan delegitimasi terhadap seorang komunikator politik tertentu. Sumber berita yang diakses Republika cenderung memberikan delegitimasi pada Presiden Abdurrahman Wahid.
Bagi studi mendatang, untuk mengungkap konflik politik di media massa, secara metodologis direkomendasikan menggunakan analisis wacana kritis. Asumsinya adalah karena analisis wacana kritis dengan analisis yang holistik (bukan hanya pada level teks) diharapkan dapat mengungkap realitas konflik beserta ideologi yang tersembunyi di baliknya secara lebih tajam dan mendalam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adzhana Nurina
"ABSTRAK
Di Belanda, Geert Wilders merupakan seorang politikus populis sayap kanan yang paling signifikan. Sebagai tokoh politik yang kontroversial, ia banyak muncul dalam pemberitaan media massa. Artikel ini menganalisis bagaimana Wilders diberitakan dalam dua surat kabar nasional di Belanda, yakni De Telegraaf dan NRC Handelsblad. Artikel-artikel yang dianalisis merupakan artikel yang diterbitkan dalam kurun waktu bulan Januari hingga Oktober 2018. Sebanyak 46 artikel dijadikan korpus penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan aplikasi AntConc untuk melihat apakah ideologi kedua surat kabar tersebut berpengaruh terhadap pemberitaan Wilders. Dengan berfokus pada adjektiva yang berasosiasi dengan Wilders, penelitian menunjukan bahwa De Telegraaf dan NRC Handelsblad memiliki perbedaan dalam menuliskan berita mengenai Wilders dan ideologi media masih berpengaruh. De Telegraaf yang berideologi kanan berpihak pada Wilders, sementara NRC Handelsblad yang berideologi kiri tidak sepenuhya menentang Wilders.

ABSTRACT
In the Netherlands, Geert Wilders is the most significant right-wing populist politician. As a controversial political figure, he appeared in a lot of news on mass media. This article analyzes how Wilders is reported in two national newspapers in the Netherlands, De Telegraaf and NRC Handelsblad. The analyzed articles are published in January to October 2018. The total amount of 46 articles are chosen as the research corpus and analyzed using AntConc software to find whether the ideology of the newspapers affected the news report about Wilders. By looking at the adjectives associated with Wilders, research shows that De Telegraaf and NRC Handelsblad have differences in writing news about Wilders and the media ideology still influences the news reporting. Right-wing ideology, De Telegraaf, sided with Wilders while the leftwing ideology, NRC Handelsblad, is not completely opposed to Wilders."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Reginal Andreas
"Kepemilikan media massa yang independen merupakan syarat mutlak untuk mengarahkan proses pemilu yang jujur, adil dan transparan. Hanya saja media massa yang dimiliki elit politik sekarang ini justru tidak mengarah kepada pemilu yang diinginkan. Kepentingan pemilik media yang terjun ke dunia politik menyebabkan adanya ketimpangan yang terjadi. Dalam konteks Pemilu 2014 yang akan datang, media massa terutama TV memegang peranan penting dalam sosialisasi program, pengenalan caleg parpol, hingga pasangan capres dan cawapres yang berasal dari partai, baik dalam bentuk pemberitaan ataupun non-pemberitaan. Fenomena ini penulis analisis dari teori social responsibility dan teori agenda setting yang menjadi akar masalah penerapan Undang-undang Penyiaran untuk memberi sanksi kepada televisi hari ini di Indonesia.

AIndependency of media is an important requirement for an honest, fair dan transparent election. Unfortunately, some TV stations owned by the elites are actually misleading concept of providing te referred election process. One skepticism occurred toward media ownership linked with one political elite has led to the current the disproportionate distribution of people?s attention. In the context of of the 2014 election, mass media especially TV holds an important role in the socialization program, of the candidates of parliament members,, even the president candidate of which the media is affiliated with. This phenomena will be analyzed by using the theories of Social Responsibility and Agenda Setting. This misleading efforts of certain TV has the root of law enforcement of broadcast regulations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>