Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97025 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luna Puspita
"Fokus dari skripsi ini adalah untuk membahas prinsip perbatasan maritime dan penerapannya pada Sengketa Laut Cina Selatan, khususnya pada batas maritim negara penuntut. Skripsi ini juga menguraikan lebih lanjut mengenai posisi Indonesia di dalam sengketa tersebut. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai Sengketa Laut Cina Selatan dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai negara penutut yang mana yang memiliki klaim paling sah di Laut Cina Selatan.

The focus of this thesis is to discuss the maritime boundaries principle and applying the principle in the South China Sea Dispute regarding the maritime boundaries of the Claimant States. The thesis also elaborates more about Indonesia's position in the dispute. The purpose of this thesis is to give a more thorough understanding about the South China Sea Dispute, and discuss further regarding which claimant state has the most legitimate claim in the South China Sea.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56468
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Muliawan
"Fokus dari tesis ini di sini adalah Laut Timor yang merupakan daerah terbesar di mana zona maritim negara negara tetangga tumpang tindih satu sama lain yaitu Indonesia Australia dan Timor Leste Tumpang tindih yurisdiksi ini disebabkan karena prinsip yang berbeda dari batas maritim delimitasi diadopsi oleh negara negara yang berbeda Itu wajar bahwa setiap negara akan mengadopsi prinsip prinsip delimitasi batas maritim yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka masing masing negara yang terlibat akan gigih dan keras kepala dalam memegang posisi masing masing dan kesepakatan bersama belum pernah tercapai meskipun adanya negosiasi dan perdebatan yang luas diantara para pihak
Melalui tesis ini kita akan pergi melalui pengembangan negosiasi dan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah ini yang mengakibatkan beberapa perumusan perjanjian bilateral Selanjutnya tesis ini akan mengeksplorasi pembentukan Zona Pengembangan Bersama Joint Development Zone sebagai tindakan sementara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang tersedia dari wilayah sengketa Ini akan membuat semua klaim atas batas delimitasi maritim ditahan sementara negara negara tetangga akan bekerja sama untuk memanfaatkan sumber daya tersebut Tesis ini akan menunjukkan apakah skema tersebut memang akan menguntungkan atau kurang menguntungkan bagi pihak yang terlibat Tujuan dari tesis ini adalah untuk menemukan solusi optimal untuk menyelesaikan sengketa yang sedang berlangsung pada klaim batas maritim untuk selamanya.

The focus of this thesis here is the Timor Sea, which represent the largest area where the maritime zones of neighboring countries overlapping each other, namely Indonesia, Australia and Timor Leste. This overlapping of jurisdiction is caused due to different principles of maritime boundaries delimitation adopted by different countries. It is natural that each country will adopt principles of maritime boundaries delimitation that will best suit their needs, each countries involved are persistent and stubborn in holding their respective positions and mutual agreement has never been reached albeit such extensive and contentious negotiations among the parties.
Through this thesis, we will go through the development of negotiations and agreements relating to this issue that resulted in the formulation of multiple bilateral treaties. Furthermore, this thesis is going to explore the establishment of Joint Development Zone (JDZ) as temporary provisional measures to exploit available natural resources from the disputed area. This will put all maritime boundary delimitation claims on hold while neighboring countries will cooperate to utilize such resources. This thesis will show whether such scheme will indeed be beneficial or less beneficial for the parties involved. The purpose of this thesis is to find the optimal solution to settle this ongoing dispute on maritime boundary delimitation claims once and for all.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Benedict Giankana Rangkidompu Sowolino
"Kenaikan Permukaan Laut merupakan salah satu dampak dari Perubahan Iklim yang memiliki dampak tidak hanya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, namun juga terhadap Negara Pesisir tersebut. Dampak dari Kenaikan Permukaan Laut tersebut menimbulkan pembahasan mengenai keberlangsungan dari Garis Pangkal suatu Negara, yakni apakah Garis Pangkal tersebut menyesuaikan dengan Kenaikan Permukaan Laut atau tidak. Pembahasan tersebut kemudian membuahkan pembahasan yang lebih mendalam, yakni apakah Kenaikan Permukaan Laut kemudian berdampak secara langsung kepada Perjanjian Delimitasi Maritim. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas mengenai bisa atau tidaknya Kenaikan Permukaan Laut dijadikan dasar untuk menerapkan Amandemen Perjanjian ataupun Rebus sic Stantibus terhadap Perjanjian Delimitasi Maritim. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metode penulisan hukum normatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis. Selanjutnya, temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan teori Perjanjian Internasional, Kenaikan Permukaan Laut hanya dapat dijadikan dasar Amandemen Perjanjian Delimitasi Maritim, namun tidak bisa dijadikan dasar penerapan Rebus sic Stantibus dikarenakan tidak memenuhi syarat, namun secara praktik kedua tindakan tersebut ditolak penerapannya oleh Negara-Negara.

Sea Level Rise is one of the direct impacts caused by Climate Change, in which not only does it affect the livelihood of coastal settlements, but also for the Coastal State itself. Its effects had prompted discussions regarding whether the Baselines of a Coastal State act in accordance with the Sea Level Rise, or whether they stay permanent. Said discussion also provides another, more complex, discussion, regarding whether Sea Level Rise has an immediate effect on Maritime Delimitation Agreements. This thesis aims to discuss and analyze whether Sea Level Rise may or may not be used as a means of conducting Treaty Amendment or even Rebus sic Stantibus towards established Maritime Delimitation Agreements. This thesis was written using the normative legal writing method to produce analytical descriptive data. Furthermore, this thesis concludes that, based on legal theories in the Law of Treaties Sea Level Rise may only be used as a basis for the Amendment of Maritime Delimitation Agreements and not the application of the Rebus sic Stantibus doctrine, as it does not fulfill the requirements, but in practice both actions and its application is rejected by a majority of States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny Satyabhakti
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan Permasalahan keamanan maritim
terbesar di Asia Tenggara antara negara-negara internal dan eksternal kawasan
menyebabkan terjadinya interaksi keamanan maritim sebagai satu kompleks
keamanan maritim yang terpusat pada institusi (centered regional institutional
maritime security complex). Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini akan
menjelaskan beberapa pokok bahasan yang terkait dengan kompleks keamanan
kawasan yang dimaksud. Pendekatan yang digunakan untuk membahas interaksi
keamanan kawasan adalah teori kompleks keamanan regional (regional security
complex theory, RSCT) yang dikembangkan oleh Buzan dan Wæver (2003).
RSCT membahas mengenai interaksi institusi keamanan maritim negara-negara di
Asia Tenggara dan pengaruhnya berdasarkan komponen struktur esensial
(essential structure) RSCT, yakni: batas-batas kawasan (boundary), struktur
anarkis (anarchic structure), polaritas (polarity), dan konstruksi sosial (social
construction).

ABSTRACT
This thesis aims to identify the greatest maritime security issue in
Southeast Asia among the states in the region, as well as those, which are located
outside the region. This causes the maritime security interaction as a centered
regional institutional maritime security complex. For that purpose, this study
explains the subjects related to regional security complex. The approach used to
explore the regional security interaction is the regional security complex theory
(RSCT) by Buzan and Wæver (2003). RSCT explains about the institution
interaction of the maritime security in the Southeastasian countries and also its
impact based on the RSCT essential structure components, which are: boundary,
anarchic structure, polarity, and social construction"
2016
T46352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Donny Hartama
"Penelitian ini berguna untuk menganalisis bagaimana penggunaan aspek historis dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim dan sejauh mana aspek historis tersebut dapat memengaruhi sebuah putusan pengadilan terkait sengketa delimitasi maritim. Penyelesaian sengketa delimitasi maritim sendiri telah diatur dalam UNCLOS 1982 beserta Annex-nya, mulai dari pilihan forum yang dapat dipakai hingga prosedur-prosedur apa saja yang tercantum di dalamnya. Dalam konvensi yang sama disebutkan juga tentang aspek historis, walaupun konvensi ini tidak menjelaskan secara rinci tentang definisinya dan bagaimana penggunaannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim. Hal ini lah yang menjadi tujuan dari penelitian ini agar menemukan titik terang antara apa yang tertulis dalam UNCLOS 1982 dan praktik yang dilakukan oleh pengadilan dalam penerapannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim.

This research aims to analyze how the use of historical aspects in the settlement of maritime delimitation disputes and the extent to which these historical aspects can influence a court decision related to maritime delimitation disputes. The settlement of maritime delimitation disputes itself has been regulated in the 1982 UNCLOS and its Annexes, starting from the choice of forum that can be used to the procedures listed therein. The same convention also mentions the historical aspect, although this convention does not explain in detail about its definition and how it is used in resolving maritime delimitation disputes. This is the purpose of this research in order to find a bright spot between what is written in UNCLOS 1982 and the practice carried out by the courts in its application in the settlement of maritime delimitation disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pangestu
"Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai mengapa China bertindak asertif terhadap Vietnam di dalam kasus sengketa di Laut China Selatan. Tindakan China terhadap Vietnam di kasus Laut China Selatan merupakan sebuah anomali. Ketika berhadapan dengan negara Asia Tenggara lainnya, China tidak bertindak asertif dibandingan ketika China berhadapan dengan Vietnam. China masih mengedepankan negosiasi dalam berhadapan dengan negara lain. Tetapi jika berhadapan dengan Vietnam, China lebih mengedepankan sikap asertifnya. Untuk mencoba menganalisis sikap China terhadap Vietnam tersebut, penulis menggunakna konsep offense-defense balance milik Jervis. Konsep tersebut menyatakan bahwa ketika suatu negara meningkatkan keamanannya maka keamanan negara lain akan berkurang. Namun efek tersebut dapat dikurangi oleh 2 indikator yaitu keuntungan ofensif dan defensif serta pembedaan senjata ofensif atau defensif. Keuntungan ofensif terjadi ketika teknologi alutsista dapat menetralisir keuntungan geografis yang ada. Keuntungan defensif terjadi ketika teknologi alutsista tidak bisa menetralisir keuntungan geografis. Sedangkan pembedaan senjata ofensif dan defensif dapat dilihat dari 3 variabel yaitu mobilitas, daya tembak dan kemampuan menyerang tiba-tiba. Dari hasil analisis, tindakan China untuk bertindak lebih asertif kepada Vietnam disebabkan karena China dan Vietnam sama-sama memiliki keuntungan ofensif dan alutsista yang mereka miliki dapat dibedakan antara yang memiliki kemampuan ofensif dan kemampuan defensif. Oleh sebab itu dalam hubungan China dan Vietnam terjadi hubungan yang memungkinkan terjadinya aksi asertif oleh salah satu negara.

This study tries to explain why China acts assertively towards Vietnam in the case of disputes in the South China Sea. China's action against Vietnam in the South China Sea case is an anomaly. When dealing with other Southeast Asian countries, China is not as assertive as when China is dealing with Vietnam. China is still prioritizing negotiations in dealing with other countries. But when it comes to Vietnam, China puts forward its assertiveness. To try to analyze China's attitude towards Vietnam, the author uses Jervis' offense-defense balance concept. The concept states that when a country increases its security, the security of other countries will decrease. However, this effect can be reduced by 2 indicators, namely offensive and defensive advantages and the differentiation of offensive or defensive weapons. Offensive advantage occurs when defense equipment technology can neutralize the existing geographic advantage. Defensive advantage occurs when defense equipment technology cannot neutralize geographical advantages. While the distinction between offensive and defensive weapons can be seen from 3 variables, namely mobility, firepower and the ability to attack suddenly. From the results of the analysis, China's action to act more assertively towards Vietnam is because China and Vietnam both have offensive advantages and their defense equipment can be distinguished between those with offensive capabilities and defensive capabilities. Therefore, in the relationship between China and Vietnam, there is a relationship that allows assertive action by one of the countries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Nur Aathif
"Tesis ini membahas mengenai preferensi kerja sama maritim terhadap isu kekerasan maritim di perairan Sulu-Sulawesi antara Indonesia dan Filipina pada tahun 2016-2020. Sebagai dua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara, berbentuk kepulauan-maritim, memiliki kepentingan di Laut Sulu-Sulawesi, dan memiliki identitas independen dalam politik luar negerinya, Indonesia dan Filipina faktanya memiliki preferensi kerja sama yang berbeda dalam menangani isu kekerasan maritim tersebut. Di satu sisi, Indonesia lebih memilih kerangka kerja sama maritim yang berdasarkan pada diplomasi maritim guna menghindari adanya dominasi, sedangkan Filipina di sisi lain lebih cenderung pragmatis dalam menginisiasi kerja sama dengan siapapun yang memang berpotensi memberikan kontribusi bagi pencapaian kepentingan nasional Filipina. Perbedaan preferensi kerja sama maritim kedua negara ini dianalisis dengan menggunakan Teori Peran milik Breuning, yang memiliki asumsi bahwa perilaku kebijakan luar negeri dilatarbelakangi oleh konsepsi peran nasional oleh para pembuat kebijakan yang mana dipengaruhi oleh faktor ideasional dan material. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus komparatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, dokumen arsip, dan wawancara. Tesis ini menemukan bahwa konsepsi peran nasional mempengaruhi perbedaan preferensi kerjasama maritim di antara kedua negara yang faktanya memiliki karakteristik yang hampir sama. Dengan mengkaji seluruh faktor pembentuk konsepsi peran nasional, ditemukan bahwa Indonesia memiliki peran nasional sebagai negara independen-aktif, negara maritim, dan pemimpin kawasan, sedangkan Filipina memiliki peran nasional independen-pragmatis, negara maritim, dan kolaborator.

This thesis discusses the preferences for maritime cooperation on the issue of maritime violence in Sulu-Sulawesi waters between Indonesia and the Philippines in 2016-2020. As two countries that are both located in the Southeast Asia region, having archipelagic-maritime nature, having interests in the Sulu-Sulawesi Sea, and having independent identities in their foreign policy, Indonesia and the Philippines, in fact, possess different preferences for maritime cooperation in dealing with the issues of maritime violence. On the one hand, Indonesia prefers a maritime cooperation framework based on maritime diplomacy to avoid domination, while the Philippines, on the other hand, tends to be pragmatic in initiating cooperation with anyone who has potential to contribute to the achievement of the Philippine‟s national interest. Differences in maritime cooperation preferences between the two countries are analyzed using Breuning's Role Theory, which assumes that foreign policy behavior of a country is driven by particular national role conceptualized by its policy makers which is influenced by both the ideational and material factors. This thesis used a qualitative method with a comparative case study. Sources of data used in this thesis are documentation, archival documents, and interview. This thesis finds that the conception of the national role affects the differences in preferences for maritime cooperation between the two countries, although both have almost the same characteristics. By examining all the factors influencing the national role conception, it is found that national role conception of Indonesia are independent-active, maritime country, and regional leader, while the national role conception of Philippines are independent-pragmatic, maritime country, and collaborator."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramanitya Citra Khadifa
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa kerja sama keamanan berhasil dilakukan dan berjalan efektif, meskipun terdapat sensitivitas antarnegara. Hal ini terjadi dalam kesepakatan kerja sama keamanan maritim di Laut Sulu pada tahun 2016, yaitu Trilateral Cooperative Arrangement (TCA), yang berhasil mereduksi ancaman keamanan di Laut Sulu di tengah isu sengketa wilayah Sabah antara Malaysia dan Filipina. Klaim atas wilayah Sabah yang dilontarkan oleh Presiden Rodrigo Duterte pada tahun 2016 menimbulkan sensitivitas dalam hubungan antara Malaysia dan Filipina. Namun, pada saat yang sama, ancaman di Laut Sulu akibat kejahatan transnasional semakin meningkat. Dengan menggunakan teori kerja sama dalam sistem anarki, penelitian ini berargumen bahwa kerja sama antara Filipina dan Malaysia terwujud karena adanya tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah adanya kepentingan bersama Malaysia dan Filipina terhadap Laut Sulu, proyeksi kekhawatiran atas ancaman di masa depan, dan jumlah aktor serta pemilihan mitra kerja sama yang sesuai. Melalui pendekatan kualitatif dan metode causal-process tracing, ditemukan bahwa ketiga faktor ini mendorong Malaysia dan Filipina untuk memprioritaskan kerja sama dalam mengatasi ancaman keamanan di Laut Sulu serta mengesampingkan sensitivitas akibat sengketa wilayah Sabah.

This research aims to explain why security cooperation can be successfully carried out and effectively run despite the sensitivities between the cooperating countries. This can be observed in the Trilateral Cooperative Arrangement (TCA) in the Sulu Sea in 2016, which effectively reduced security threats in the Sulu Sea despite the Sabah territorial dispute between Malaysia and the Philippines. In 2016, President Rodrigo Duterte's claim to the Sabah region reignited tension between Malaysia and the Philippines. But at the same time, the threat in the Sulu Sea from transnational crime was increasing. By applying the theory of cooperation under anarchy, this research demonstrates that cooperation between Malaysia and the Philippines is feasible due to three key factors: both Malaysia and the Philippines have a mutuality of interest in the Sulu Sea, they are concerned about future security threats, and numbers of actors involved and partner selection. Through a qualitative approach and causal-process tracing method, this research found that these three factors led Malaysia and the Philippines to prioritize addressing security threats in the Sulu Sea, considering it a paramount concern. As a result, the two countries prioritize forging a cooperative agreement over the issue of the Sabah dispute.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2020
341.44 NAI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>