Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79737 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Febyana Christanti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas proses adaptasi identitas antara suami perwira militer
dengan istri warga sipil dalam pernikahan militer. Sebelum menguraikan tahapan
identitas, akan dibahas manajemen identitas kedua pasangan yang berdampak pada
komunikasi mereka saat beradaptasi. Identitas selalu mengalami perubahan dan
identitas setiap pasangan tidak akan sama satu dengan yang lain, seperti: identitas
suku, agama, usia, keluarga, lingkungan sosial, organisasi, dll. Setelah mengetahui
manajemen identitas yang terjadi diantara kedua pasangan, kemudian diuraikan
secara mendalam proses adaptasi dari setiap pasangan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan konstruktivis dengan menggunakan teori manajemen identitas dan proses
adaptasi model kurva-u (fase honeymoon, kejutan budaya, penyesuaian, adaptasi).
Model kurva u bersifat jangka pendek yang sesuai digunakan untuk menganalisa
proses adaptasi pasangan yangbaru menikah. Sifat penelitian adalah deskriptif dan
memakai metode fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa persamaan identitas
menuntun pada keberhasilan komunikasi saat beradaptasi. Peneliti menemukan
bahwa fase penyesuaian dalam model kurva-u paling menentukan bagaimana
pasangan mampu mencapai adaptasi identitas yang berdampak pada adaptasi di
lingkungan militer. Suami sebagai host membimbing istri dalam memberi informasi
tentang kehidupan militer dan istri sebagai pendatang mampu mengurangi
ketidakpastian dan kecemasan dengan bersedia membangun komunikasi dengan
senior.

ABSTRACT
This thesis discusses about an identity adapt process between a military
officer and a civilian in a marriage. Before we started the discussion, the identity’s
management of this couple which can influence communication process will be
described. An identity always change, and the identity of each marriage couple are
absolutely different, such as: tribe’s identity, religion, ages, family, social life,
organization, etc. Furthermore, I would elaborate the adapt process of some marriage
couple specifically. This research apply the constructivist approach with a
management identity theories and u-curve adapt process model (honeymoon phase,
culture shock, adjustment, adaptation). The research use descriptive explanations and
apply a phenomenological methods. The data gathered technique is through in-depth
interview. The results of this study show that the identity similarities lead to success
when adapting communication. From the u-curve phase model, the important thing is
when a husband acts as a host that can guide his wife entering the military life. And a
wife as a new comer, she should reduce her uncertainty and anxiety with build a
good communication in military life especially with the higher rank."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42145
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunindita Prasidya
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengalaman hidup individu yang menjalani pernikahan antaragama dan bagaimana mereka memaknai pengalaman tersebut. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian studi kasus, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan lima individu yang menjalani pernikahan antaragama. Melalui pendekatan dialektik, peneliti mampu memahami bagaimana agama berdampak pada diskursus yang berlangsung dalam pernikahan antaragama dan rumah tangganya. Lima tema dialektik teridentifikasi, yakni: otonomi dan koneksi, keterbukaan dan perlindungan, kebaruan dan prediktabilitas, akomodasi dan intervensi, dan kenyamanan dan ketidaknyamanan. Dua tema dialektik terakhir muncul dari temuan penelitian. Melalui lensa teori strukturasi, peneliti menemukan bagaimana individu mengapropriasikan struktur untuk menormalisasi, menjustifikasi, dan melegitimasikan pernikahan antaragamanya. Peneliti juga menemukan beberapa aspek yang berkontribusi dalam memfasilitasi relasi kuasa dalam rumah tangga antaragama, yakni: gender, relasi hierarkis, dan pengetahuan. Terakhir, individu dalam pernikahan antaragama juga mempraktikkan agensi mereka untuk membangun solidaritas keluarga, sistem moral anak, dan juga mengajarkan anak untuk terbiasa dengan keberagaman.

ABSTRACT
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"In a heterogenic country, such as Indonesia, an intercultural marriage is always possible. Many data reveal that intercultural marriages potentially are more troubled than marriages of the same culture. Leslie Baxter and Montgomery's theory (1998) on relational dialectics analyzed the strains that are conjoined in a romantic relationship."
384 WACA 8:27 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ainan Indallah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pengaruh tempat tinggal terhadap perubahan dominasi
suami Korea pada perkawinan antarbangsa Korea ? Indonesia di Jakarta.Tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah untuk memaparkan secara sistematik dan ilmiah pengaruh
tempat tinggal terhadap dominasi suami pada perkawinan yang dilakukan oleh pria
Korea dengan wanita Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Hasil dari
penelitian ini adalah tempat tinggal memiliki pengaruh terhadap perubahan dominasi
suami Korea pada perkawinan antarbangsa Korea ? Indonesia di Jakarta

Abstract
The focus of this study is about influence of domicile to Korean husband domination in
intercultural marriage between Korean and Indonesian in Jakarta. The purpose of this
study is to know how the change of Korean husband domination in intercultural marriage
in Jakarta . This research is qualitative descriptive. The result of this study is the domicile
has an influence to Korean husband domination in intercultural marriage between Korean
? Indonesian in Jakarta."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43133
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mey Sugijanto
"Penelitian komunikasi antarbudaya dan antarpribadi ini mengambil responden 7 (tujuh) pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya antara etnis Jawa dengan etnis Minangkabau. Dengan alasan bahwa kedua budaya tersebut, secara tata cara adat maupun sistem kekerabatan atau kekeluargaannya tentulah berbeda, pada budaya Jawa lebih bersifat patrilineal sedangkan di budaya Minangkabau bersifat matrilineal. Meskipun kedua budaya berbeda, tetapi dalam keseharian pada kehidupan bermasyarakat, kedua budaya ini secara relatif tidak mempunyai konflik.
Secara mikro, angka perkawinan pasangan suami-isteri yang berbudaya Jawa dengan Minangkabau pastilah banyak, meskipun secara pasti penulis tidak mengetahuinya. Pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini secara teoritis sangatlah dekat dengan aspek-aspek budaya, sehingga terjadi proses asimilasi budaya. Meskipun kedua budaya ini termasuk ke dalam rumpun budaya high contextnya Edward T. Halt (1977), tetapi menurut M. Budyatna (1993) dalam high context itu sendiri terdapat high-high context, high-medium context dan high-low context. Pada budaya Jawa lebih kental dengan high-high context, sedangkan budaya Minangkabau dekat dengan high-medium context. Meskipun terdapat perbedaan dalam tataran budaya keduanya, kebanyakan pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya tidak terjadi kerenggangan.
Pendekatan dalam penelitian dipergunakan teori Penetrasi Sosial (Altman and Taylor, 1973) dengan tahapan-tahapannya, yaitu Orientasi, Exploratory Affective Exchange, Dyad Members dan Stable Exchange. Pada tahapan-tahapan tersebut, masing-masing individu pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, melakukan pengungkapan diri (self disclosure). Karena semakin akrab seseorang dengan orang lain, maka semakin terbukalah ia dengan pasangannya (Gudykunst and Kim; 1997 : 323-324).
Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, menurut Miles and Huberman (1993: 15), "penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif". Sedangkan menurut Bogdan and Taylor (1975 : 5), bahwa, "penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri".
Adapun hasil-hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pasangan menikah atau suami-isteri melalui tahapan-tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dengan rentang waktu yang bervariatif, meskipun pada pasangan ketiga tidak melalui tahap orientasi. Dalam masing-masing tahapan tersebut, terjadi pengungkapan diri (self disclosure) atau pertukaran informasi/keintiman hubungan maupun yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pertukaran hubungan atau ukuran kedalaman dan keluasan kepribadian, seperti karakteristik personal, hasil pertukaran hubungan dan konteks situasional.
Sebagai kesimpulan dari penelitian pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, ketujuh pasangan sebagai responden atau informan penelitian ini masing-masing mengikuti tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dan hasilnya masih relevan jika dibandingkan asal dari teori ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasmi Anindyojati
"Cinta terbagi ke dalam tiga komponen yakni intimacy, passion, dan commitment. Cinta merupakan aspek penting dalam suatu hubungan, baik pacaran ataupun pernikahan. Selain itu, kesiapan menikah merupakan variabel yang penting bagi keputusan untuk menikah dan merupakan prediktor yang signifikan untuk kepuasan pernikahan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara cinta dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship. 52 orang dewasa muda menjadi partisipan dalam studi ini dengan mengisi kuesioner yang mengukur cinta dan kesiapan menikah. Cinta diukur menggunakan alat ukur Triangular of Love Scale berdasarkan teori cinta Sternberg yang terdiri dari 3 subscale yaitu intimacy, passion, dan commitment. Kesiapan menikah diukur dengan menggunakan Inventori Kesiapan Menikah. Adapun area-area kesiapan menikah yang diukur adalah komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, area minat dan pemanfaatan waktu luang. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan dan positif antara cinta dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship. Selain itu, melalui analisis tambahan ditemukan perbedaan mean kesiapan menikah yang signifikan berdasarkan bentuk komunikasi (telepon, instant messaging dan jejaring sosial) dan terdapat perbedaan mean commitment yang signifikan berdasarkan jenis kelamin.

Love is consisted of three components which are intimacy, passion and commitment. Love is a prominent aspect in a relationship, dating or marriage. Besides that, readiness for marriage is an important variable for decision to marry and also a significant predictor toward marital satisfaction. This research is conducted to examine the relationship between love and readiness for marriage in young adults who are having long-distance relationship. 52 young adults has participated in this research by taking questionnaire which measure love and readiness for marriage. Love is measured by Triangular of Love scale based on Sternberg theory of love which is consisted by three subscales, intimacy, passion, and commitment. Readiness for marriage is measured by Readiness for Marriage Inventory. The measured readiness of marriage area are communication, finance, child and parental care, a division of husband-wife role, the background of spouse and relation to big family, religion, interest and leisure time activity. The result of this research shows a significantly positive correlation between love and readiness for marriage in young adults who are having ling-distance relationship. An additional analysis finds a significant difference of mean in readiness for marriage based on communication forms (telephone, instant messaging, and social network) and a significant difference of mean commitment based on gender."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Hawari
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
616.891 DAD m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Eka Santi
"Perusahaan multinasional sangat erat kaitannya dengan adanya komunikasi antarbudaya dan pertemuan antarbudaya. Setiap budaya memiliki dimensi budaya nasional masing-masing. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam melalui interpretative phenomenological analysis yang bertujuan untuk mengungkapkan pemaknaan pengalaman secara eksploratif bagaimana budaya kerja perusahaan yang dibentuk dalam Hofstede's cultural dimensions yang diimplementasikan oleh jajaran manajemen Jepang dan manajemen lokal di dalam PT. Hanwa Indonesia. Serta untuk mengungkapkan bentuk-bentuk pertemuan antarbudaya Indonesia dan Jepang di dalam PT. Hanwa Indonesia khususnya culture shock, akulturasi, dan komunikasi verbal dan nonverbal yang terikat budaya. Dalam studi ini ditemukan bahwa dimensi yang terbentuk dengan menggunakan Hofstede's cultural dimensions di dalam PT. Hanwa Indonesia yaitu large power distance, strong uncertainty avoidance, femininity, individualism, dan short term orientation. Pertemuan antarbudaya yang terjadi di dalam PT. Hanwa Indonesia yang dialami oleh para manajemen baik manajemen Jepang dan manajemen lokal yaitu culture shock, kemudian setelah melalui masa culture shock terdapat proses akulturasi di dalam perusahaan ini, terakhir adanya proses komunikasi verbal dan nonverbal antar kedua pihak baik manajemen Jepang maupun manajemen lokal. Dengan adanya manajer lokal di dalam PT. Hanwa Indonesia, memiliki fungsi sebagai penghubung antara budaya kerja Jepang dan budaya kerja Indonesia.

In multinational company it is closely related with intercultural communication and intercultural encounters. Each culture has its own national cultural dimension. This study method was conducted qualitatively with in-depth interviews uses interpretative phenomenological analysis which aims to reveal the exploratory meaning of experience of how the work culture of the company formed through Hofstede's cultural dimensions implemented by Japanese management and local management within PT. Hanwa Indonesia. Also to reveal the forms of Indonesian and Japanese intercultural encounters in PT. Hanwa Indonesia especially culture shock, acculturation, and verbal and nonverbal communication. The study showed that Hofstede's cultural dimensions in PT. Hanwa Indonesia are large power distance, strong uncertainty avoidance, femininity, individualism, and short term orientation. Intercultural encounters that occurred in PT. Hanwa Indonesia experienced by both of Japanese management and local management from culture shock, then acculturation process, finally there was verbal and nonverbal communication process between Japanese management and local management. With the presence of local managers, it has a function as a bridge between Japanese work culture and Indonesia work culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi
"Latar belakang permasalahan yang mendarong dilakukannya studi penelitian ini ialah perkembangan dunia saat ini yang menampakkan semakin meningkatnya saling ketergantungan antar negara. Berbagai kepentingan atau minat yang mewarnai arus hubungan antar negara, serta perkembangan alat perhubungan dan teknologi, semakin meningkatkan hubungan yang mulanya terkendali oleh waktu maupun jarak ruang. Pertemuan antar manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda menjadi tidak terhindarkan dan setiap saat terjadi proses adaptasi antar budaya, yaitu ketika orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya yang baru.
Adaptasi antar budaya tercermin pada kesesuaian antara pola komunikasi pendatang ke suatu lingkungan baru dengan pola komunikasi yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Sebaliknya, adaptasi antar budaya juga ditunjang oleh kesesuaian pola komunikasi. Salah satu hakekat komunikasi ialah kegiatan pencaharian dan perolehan informasi dari lingkungan. Informasi dapat diperoleh melalui saluran media massa dan saluran non-media massa. Komunikasi massa dan komunikasi non-media massa merupakan unsur-unsur dari kegiatan komunikasi sosial, yang saling tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi.
Sorotan terhadap hubungan antara komunikasi massa dengan komunikasi non-media massa mengarahkan perhatian pada suatu proposisi dari Miller (1982), yang melihat adanya kemungkinan bahwa 'pengenaan terhadap pesan media massa dalam jumlah banyak dapat menghambat kemampuan orang untuk berkomunikasi secara antar pribadi'. Proposisi Miller tersebut berlandaskan pada pemikirannya tentang adanya tiga jenis informasi, yaitu: informasi kultural, informasi sosiologikal masuk jenis informasi mengenai hasil dari konseptualisasi Miller adalah: bila ramalan dan informasi psikologikal. Masing dapat membantu peramalan seseorang upaya komunikasinya. Inti dari mengenai 'komunikasi antar pribadi' mengenai hasil komunikasi sangat tergantung pada informasi kultural dan/atau sosiologikal, maka para pelaku komunikasi komunikasi terlibat dalam komunikasi 'impersonal'; jika ramalan sangat didasarkan pada informasi psikologika., maka para pelaku komunikasi terlibat dalam komunikasi 'antar pribadi'. Miller menghubungkan ketiga jenis informasi dengan penggunaan saluran komunikasi melalui media massa dan non-media massa. Informasi kultural dan sosiologikal berperan pokok dalam komunikasi melalui media massa, sedangkan informasi psikologikal berperan dalam komunikasi non-media massa.
Proposisi Miller tersebut mendorong pada minat dalam studi ini untuk melihat kemungkinan terjadinya dalam situasi antar budaya, khususnya dalam konteks adaptasi antar budaya. Yang dilihat sebagai permasalahan pokok penelitian ialah: sampai sejauh mana kebenaran bahwa pengenaan media massa dapat menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari komunikasi non-media massa terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari faktor-faktor lain di luar kegiatan komunikasi terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya?
Penelitian lapangan seluruhnya dilaksanakan di kota Tokyo, Jepang, terhadap warga masyarakat Indonesia yang telah menetap sedikitnya satu tahun, tidak mempunyai pertalian hubungan darah maupun perkawinan dengan orang Jepang dan berusia sedikitnya 18 tahun. Sampel ditentukan secara non-probabilita, karena tidak mungkinnya diperoleh daftar lengkap dan terinci mengenai jumlah populasi. Dari 100 kuesioner yang disebarkan, sejumlah 80 dikembalikan kepada peneliti. Penelitian lapangan keseluruhan, yaitu penjajagan dan survey dilaksanakan antara bulan Juli 1991 sampai dengan bulan Mei 1992.
Untuk analisis data dipergunakan:
(1) Metode analisis deskriptif, yaitu terhadap variabel-variabel pokok dalam studi, serta
(2) Metode analisis diskriminan, yakni untuk menjawab pertanyaan mengenai peranan atau kontribusi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Yang dianggap sebagai variabel-variabel independen adalah aspek-aspek yang tercakup dalam konsep-konsep: 'penggunaan media massa', 'komunikasi non-media massa', 'faktor disposisional' dan 'faktor situasional'. Sedangkan yang dilihat sebagai variabel dependen ialah konsep 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Untuk konsep ini digunakan tiga indikator, yaitu 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang', 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'.
Hasil penelitian menemukan bahwa:
(1) 'Faktor disposisional' merupakan faktor yang terbesar peranannya dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah 'rencana menetap keseluruhan', 'perasaan ketika menghadapi perbedaan', 'lama menetap', 'usaha menggunakan bahasa Jepang' dan 'pekerjaan', 'pengetahuan tentang Jepang sebelum menetap'.
(2) ?Penggunaan media massa' merupakan faktor kedua terbesar yang berperan menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah : 'bahasa pengantar dalam menggunakan televisi', 'pilihan topik televisi secara khusus', 'kegiatan lain selama menggunakan televisi' dan 'pilihan topik televisi secara umum'. Menjawab pertanyaan pokok dalam penelitian ini, maka ternyata proposisi Miller yang menyatakan kemungkinan terdapatnya hubungan antara penggunaan media massa dalam jumlah banyak dengan kemampuan komunikasi antar pribadi, kurang didukung oleh data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hubungan itu ada, namun termasuk 'lemah' atau 'rendah'. Ternyata aspek penggunaan media massa yang lebih kuat peranannya adalah 'pilihan topik televisi secara khusus'. Artinya, pelaku adaptasi antar budaya yang mempunyai lebih banyak pilihan topik khusus dalam televisi, adalah yang cenderung untuk memandang hubungannya dengan orang Jepang bersifat 'non-antar pribadi'.
(3) 'Komunikasi non media massa', dalam menunjukkan peranannya, hampir sama besarnya dengan 'penggunaan media massa' dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan ialah . 'penggunaan Bahasa Jepang dalam berkomunikasi antar budaya', 'frekuensi hubungan antar budaya', 'tingkat keakraban dalam hubungan antar budaya' dan 'mayoritas anggota dalam organisasi yang diikuti'.
(4) 'Faktor situasional' adalah yang terkecil peranannya terhadap 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Aspek dari faktor situasional yang menunjukkan peranannya hanyalah 'pengalaman pernah tersinggung atau tidak tersinggung karena perlakuan orang Jepang' dan 'tetangga terdekat dari tempat tinggal'.
Secara keseluruhan, dari hasil studi dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang sebagai hubungan antar pribadi' tidak sama dengan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'. Data kategorikal atau informasi kultural dan sosiologikal tetap diperlukan bagi berlangsungnya 'komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
D345
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avianta
"Dalam suatu organisasi bisnis, komunikasi yang efektif sangat diperlukan guna mendukung berjalannya aktivitas kerja antar karyawan dan atasan. Efektif tidaknya suatu komunikasi akan sangat tergantung pada penerimaan pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan masing-masing orang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini akan semakin nyata jika pihak yang terlibat dalam komunikasi berasal dari lingkungan budaya yang berbeda.
Bekerja dengan orang yang berasal dari budaya yang sama sekali berbeda sudah pasti akan menimbulkan banyak masalah. Beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan cara mengkomunikasikan pesan merupakan salah satu diantara banyak persoalan yang dihadapi oleh Expatriate di lingkungan kerjanya.
Dalam memahami permasalahan komunikasi antar-budaya di atas, peneliti melihatnya dari sisi penerimaan pesan dengan cara mengukurnya melalui elemen-elemen Message Reception berupa (1} Selection (2) Interpretation (3) Memory (4) Awareness serta (5) Kemampuan berbahasa serta (6) Pemahaman terhadap perbedaan persepsi tentang budaya kerja dan hubungan kerja.
Hasil wawancara dan observasi langsung ke lapangan menunjukkan bahwa efektif tidaknya komunikasi antar-budaya di lingkungan, lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan persepsi tentang hubungan kerja dan budaya kerja antara Expatriate dan Tenaga Kerja Lokal dibandingkan dengan elemen-elemen pengukur penerimaan pecan (Message Reception).
Dari sisi Tenaga Kerja Lokal, diantara hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menjalankan proses komunikasi dengan Expatriate, yang paling menonjol adalah kurangnya rasa percaya diri jika harus berhadapan dengan Expatriate walaupun yang bersangkutan sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup baik, sehingga terkesan Tenaga Kerja Lokal sangat menjaga jarak dengan Expatriate.
Sedangkan Tenaga Kerja Acing lebih melihat permasalahan yang timbul dalam berkomunikasi diakibatkan oleh adanya kesenjangan dalam cara mengungkapkan diri dalam berkomunikasi. Dalam hal ini, Expatriate lebih mengharapkan komunikasi yang terbuka (direct), sementara Tenaga Kerja lokal bersikap sebaliknya. Hal ini terjadi karena budaya Indonesia lebih mementingkan kesopanan daripada keterbukaan dan kebiasaan untuk berkomunikasi secara tidak konfrontatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>