Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185642 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Antony Putra Abraham
"ABSTRAK
Salah satu bentuk penegakan hukum tindak pidana perikanan adalah penenggelaman kapal
asing. Pihak yang diberi kewenangan yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan,
Penyidik Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), dan/atau Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 69 ayat (4)
Undang-Undang Perikanan dapat dilakukan tindakan berupa pembakaran dan penenggelaman
kapal asing dalam kondisi memaksa (forced major), seperti adanya perlawanan dari Nakhoda
atau anak buah kapal (ABK) kapal asing yang dapat membahayakan keselamatan kapal
pengawas perikanan. Dalam perkembangan selanjutnya, penenggelaman kapal yang semula
bertujuan untuk memberikan efek jera dinilai kurang efektif karena proses peradilan selama
ini hanya menjerat Nahkoda dan awak mesin kapal namun tidak menjerat pemilik kapal.
Permasalahan lainnya yaitu pengawasan yang lemah serta proses hukum yang berlarut-larut.
Selain itu, penerapan Pasal 69 ayat (4) dalam pelaksanaan di lapangan menimbulkan distorsi
dan banyak kritik dari berbagai pihak karena terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum
internasional khususnya Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). Dengan
demikian, isi dari Pasal 69 Ayat (4) Undang-Undang Perikanan yang mengatur ketentuan
penenggelaman kapal asing dengan didasarkan bukti permulaan yang cukup ke depannya
menjadi sulit untuk dilaksanakan. Tindakan penenggelaman kapal ikan berbendera asing yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum memerlukan uji materiil terhadap Pasal 69 ayat
(4) Undang-Undang Perikanan

ABSTRAK
One form of criminal law enforcement in law of the sea is an act of sinking foreign vessels.
Parties whom authorized to do that action are Civil Servant Investigators Fisheries,
Investigators Navy officer, and / or Investigator of the Indonesian National Police. Until now,
there is no other better way in handling vessels that allegedly used in the crime of fisheries.
As stipulated in Article 69 paragraph (4) Indonesia Fisheries Act when in a state of forced
major, such as the resistance of the captain or crew of foreign vessels that may endanger the
safety of fishery patrol ship, then it could be the reason to burn and sink them. On further
developments, sinking ship that was originally intended to provide a deterrent effect,
considered less deterrent for the vessels owner. Legal sanction has been given to the captain
and chief of engine room crew, but have not been able to ensnare the ship owner because
proceedings for the perpetrators of illegal fishing has not ensnare vessel owner and is still
constrained weak supervision and a dragged on legal process. In addition, the application of
Article 69 paragraph (4) the implementation of a practice cause a lot of distortion and get
criticism from various parties including countries that are victims of sinking as in the case of
foreign vessel sinking associated with the provisions of international law, especially the UN
Convention on the law sea (UNCLOS 1982). Thereby, the content of Article 69 Paragraph (4)
Fisheries Act provisions governing foreign vessel sinking with sufficient evidence based on
the future becomes difficult to implement. In order for sinking action of foreign fishing vessel
could be accounted for by law then it required judicial review of Article 69 paragraph (4) of
the Fisheries Act"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Triono
"ABSTRAK United Nations Convention on The Law Of  The Sea (UNCLOS) 1982 telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 membedakan wilayah laut dalam delapan rezim yang salah satunya adalah Zona Ekonomi Eksklusif.  Dalam UNCLOS 1982 tersebut diatur beberapa hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif. Hak negara pantai di  Zona Ekonomi Eksklusif diantaranya adalah melaksanakan penegakan hukum dengan memberikan hukuman terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif. Dalam hal penjatuhan hukuman, Pasal 73 ayat (3) UNCLOS 1982 dan Pasal 102  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang telah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 melarang penjatuhan setiap bentuk hukuman badan terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di Zona Eonomi Eksklusif kecuali telah ada perjanjian dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Penjatuhan hukuman terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di Zona Eonomi Eksklusif hanya dalam bentuk hukuman denda. Hal ini menimbulkan permasalahan apabila warga negara asing tersebut tidak dapat membayar denda yang telah diputuskan dalam sidang pengadilan.
ABSTRACT The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 has been ratified through Act Number 17 of 1985 distinguishing marine areas in eight regimes, one of which is the Exclusive Economic Zone. In the 1982 UNCLOS a number of matters relating to the rights and obligations of coastal countries in the Exclusive Economic Zone were regulated. The rights of coastal states in the Exclusive Economic Zone include implementing law enforcement by giving penalties to foreign nationals who carry out fisheries in the Exclusive Economic Zone. In the case of sentencing, Article 73 paragraph (3) of UNCLOS 1982 and Article 102 of Act Number 31 of 2004 concerning Fisheries which have been amended by Act Number 45 of 2009 prohibits the imposition of any form of corporal punishment on foreign nationals who act fisheries in the Exclusive Economic Zone unless there is an agreement with the government of the country concerned. The imposition of penalties on foreign nationals committing a fishery crime in the Exclusive Economic Zone is only in the form of a fine. This creates a problem if the foreign citizen cannot pay the fine that has been decided in the court session.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51836
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amal Bahri
"Tugas Karya akhir ini membahas mengenai tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam memberantas tindakan yang tergolong kepada Illegal, Unreported and Unregulated IUU Fishing sebagai upaya menjaga kedaulatan wilayah laut Indonesia. Oleh karena itu tulisan ini berfokus kepada langkah-langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya memberantas IUU Fishing yang terjadi wilayah laut Indonesia, yang kemudian dianalisis menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Hasil dari tulisan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap IUU Fishing yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia telah memenuhi ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman sebagai indikator yang menentukan efektif atau tidaknya suatu penegkan hukum. Adapun ketiga unsur sistem hukum tersebut adalah unsur struktur hukum yang ditandai dengan adanya institusi yang melaksanakan penegakan hukum terhadap IUU Fishing, kemudian unsur substansi dan kultur hukum yang ditandai dengan terciptanya peraturan-peraturan hukum, yang diiukuti dengan sikap tegas dan komitmen pemerintah Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum dalam upaya menjaga kedaulatan wilayah laut.

This final paper discusses about law enforcement actions conducted by the Government of Indonesia in eradicating the actions that considered Illegal, Unreported and Unregulated IUU Fishing in an effort to maintain the Indonesia marine territorial sovereignty. Therefore, this paper focuses on law enforcement measures conducted by the Government of Indonesia in an effort to eradicate IUU fishing that occurs in Indonesia sea territory, which are then analyzed using the legal system theory propounded by Lawrence M. Friedman. The results of this paper show that law enforcement against IUU fishing implemented by the Government of Indonesia has met the three elements of the legal system propunded by Lawrence M. Friedman as an indicator that determines whether the law enforcement is effective or not. The three elements of the legal system is an element of the legal structure that is characterized by the institutions that implemented law enforcement against IUU fishing, then the element of substance and legal culture that is characterized by the creation of legal regulations, which followed with the attitude and commitment of the Government of Indonesia in performing law enforcement in an effort to maintain the marine territorial sovereignty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Evan Merrill
"Skripsi ini membahas mengenai Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan (Ditjen PSDKP) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang memiliki kewenangan yang tumpang tindih dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, dimana Ditjen PSDKP dan Bakamla sama-sama mempunyai kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dalam bentuk penindakan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Untuk mempermudah pemahaman, skripsi ini mengambil contoh kasus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh Nguyen Van Hieu, seorang warga negara Vietnam yang terbukti mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Pokok permasalahan dari skripsi ini adalah mengenai kewenangan yang tumpang tindih antara Ditjen PSDKP dan Bakamla dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, dan bagaimana pelaksanaan dan pengaturan dari kewenangan yang tumpang tindih tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Ditjen PSDKP dan Bakamla dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan dan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan dalam hal kewenangan yang tumpang tindih antara Ditjen PSDKP dan Bakamla. Hasil penelitian dari skripsi ini adalah walaupun antara Ditjen PSDKP dan Bakamla sudah terdapat beberapa mekanisme kerja sama antar lembaga, tetapi tetap diperlukan pengaturan lebih rinci untuk memberikan kerangka operasional yang lebih jelas dan meminimalisir dampak buruk dari tumpang tindih lingkup kewenangan antara kedua lembaga tersebut.

This thesis discusses the Directorate General of Marine and Fisheries Resources Surveillance (DGMFRS) and the Maritime Security Agency (MSA) which have overlapping authority in terms of law enforcement against criminal acts in the fisheries sector, where the DGMFRS and MSA both have the authority conduct law enforcement in the form of prosecution and investigation against criminal acts in the fishery sector. To facilitate the explanation, this thesis takes an example of a criminal case in the fisheries sector committed by Nguyen Van Hieu, a Vietnamese citizen who operated a fishing vessel of foreign origin in the Indonesian Exclusive Economic Zone (EEZ) without having secured a fishing permit from relevant authority. The main problem of this thesis is regarding the overlapping authority between the DGMFRS and MSA on law enforcement against criminal acts in the fisheries sector, and how the overlapping authority is implemented and regulated. The purpose of this research is to find out the authority of DGMFRS and MSA to conduct law enforcement against criminal acts in the fisheries sector and to find out the overlapping authority between the DGMFRS and MSA on conducting law enforcement against criminal acts in the fisheries sector. The result of this thesis is that although DGMFRS and MSA already have several cooperation mechanisms between the two institutions, more precise arrangements on this issue are still needed to provide a clearer operational framework and further minimize the possibility of negative excess of the overlapping field of authority between the two institutions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Evan Merrill
"Skripsi ini membahas mengenai Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan (Ditjen PSDKP) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang memiliki kewenangan yang tumpang tindih dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, dimana Ditjen PSDKP dan Bakamla sama-sama mempunyai kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dalam bentuk penindakan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Untuk mempermudah pemahaman, skripsi ini mengambil contoh kasus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh Nguyen Van Hieu, seorang warga negara Vietnam yang terbukti mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Pokok permasalahan dari skripsi ini adalah mengenai kewenangan yang tumpang tindih antara Ditjen PSDKP dan Bakamla dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, dan bagaimana pelaksanaan dan pengaturan dari kewenangan yang tumpang tindih tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Ditjen PSDKP dan Bakamla dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan dan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan dalam hal kewenangan yang tumpang tindih antara Ditjen PSDKP dan Bakamla. Hasil penelitian dari skripsi ini adalah walaupun antara Ditjen PSDKP dan Bakamla sudah terdapat beberapa mekanisme kerja sama antar lembaga, tetapi tetap diperlukan pengaturan lebih rinci untuk memberikan kerangka operasional yang lebih jelas dan meminimalisir dampak buruk dari tumpang tindih lingkup kewenangan antara kedua lembaga tersebut.

This thesis discusses the Directorate General of Marine and Fisheries Resources Surveillance (DGMFRS) and the Maritime Security Agency (MSA) which have overlapping authority in terms of law enforcement against criminal acts in the fisheries sector, where the DGMFRS and MSA both have the authority conduct law enforcement in the form of prosecution and investigation against criminal acts in the fishery sector. To facilitate the explanation, this thesis takes an example of a criminal case in the fisheries sector committed by Nguyen Van Hieu, a Vietnamese citizen who operated a fishing vessel of foreign origin in the Indonesian Exclusive Economic Zone (EEZ) without having secured a fishing permit from relevant authority. The main problem of this thesis is regarding the overlapping authority between the DGMFRS and MSA on law enforcement against criminal acts in the fisheries sector, and how the overlapping authority is implemented and regulated. The purpose of this research is to find out the authority of DGMFRS and MSA to conduct law enforcement against criminal acts in the fisheries sector and to find out the overlapping authority between the DGMFRS and MSA on conducting law enforcement against criminal acts in the fisheries sector. The result of this thesis is that although DGMFRS and MSA already have several cooperation mechanisms between the two institutions, more precise arrangements on this issue are still needed to provide a clearer operational framework and further minimize the possibility of negative excess of the overlapping field of authority between the two institutions. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Anjari
"Jutaan manusia di seluruh dunia menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan sebagai penyedia sumber makanan yang penting, lapangan kerja, sumber pendapatan dan rekreasi. Bagi Indonesia yang merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut sebesar 5,8 juta km2, perikanan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sayangnya, pendayagunaan sektor perikanan terhambat oleh maraknya tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi, akibatnya Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar. Tindak pidana di bidang perikanan sebenarnya telah menjadi isu yang sangat penting dalam manajemen perikanan dunia, oleh karena itu Food and Agriculture Organization (FAO) mengeluarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dengan mandat utama dalam hal penyediaan kerangka pengelolaan bagi pemanfatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan baik dalam tatanan global, regional maupun nasional.
Sebagai pelaksanaan dari CCRF, FAO mengeluarkan panduan yang dinamakan International Plan of Action (IPOA). Sejalan dengan tuntutan dunia internasional dan kebijakan FAO tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha untuk memperbaiki pengelolaan perikanan nasional, termasuk dalam hal penegakan hukum yang selama ini dirasa lemah. Salah satu usaha peningkatan penegakan hukum adalah dengan mengeluarkan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam penegakan hukum melalui sarana penal, penyidik merupakan instansi penegak hukum yang memegang peranan penting untuk menciptakan suatu sistem peradilan pidana terpadu. Dalam pembahasan Rancangan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan muncul ide untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada satu instansi penyidik (penyidik tunggal) yaitu PPNS Perikanan, namun ide tersebut ditolak oleh Perwira TNI AL dan penyidik POLRI.
Pada akhir pembahasan, disepakati suatu kompromi politis untuk memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada tiga instansi penyidik, yaitu perwira TNI AL, PPNS Perikanan dan penyidik POLRI, kesepakatan tersebut dituangkan dalam Pasal 73 Undang - Undang Nomor 31Tahun 2004. Keberadaan tiga instansi penyidik dengan posisi sejajar dan kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan memungkinkan terjadinya tumpang tindih penyidikan. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme koordinasi dalam menjalankan tugas dan wewenang masing - masing penyidik sehingga tercipta suatu mekanisme penyidikan yang akuntabel. Dengan mekanisme koordinasi maka tugas dan wewenang ketiga instansi penyidik tidak tumpang tindih dan justru akan mendorong peningkatan kinerja para penyidik secara umum, dengan demikian tujuan dari Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 untuk menimalisir tindak pidana di bidang perikanan dapat tercapai."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emely Kurmilawati
"ABSTRAK
ini mencoba untuk menjelaskan tentang implementasi program penanggulangan kasus penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal Satgas Illegal Fishing . Dalam Satgas tersebut KKP, TNI AL, Polri, BAKAMLA, dan Kejaksaan Agung bekerja sama untuk memberantas penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di wilayah perairan Indonesia. Pada implementasinya, berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari kerjasama dengan lembaga dalam negeri, organisasi internasional dan negara lain. Kekurangan dalam implementasi terjadi pada pertukaran informasi dan komunikasi yang kurang intens sehingga terjadi kecolongan, dan juga BAKAMLA yang partisipasinya tidak begitu terlihat dalam penanggulangan illegal fishing ini.
ABSTRAK
paper attempts to explain the implementation of illegal fishing cases control program in Indonesian waters conducted by the Illegal Fishing Task Force. Previous systems failed to handle the case of illegal fishing, so, through Presidential Decree No. 115 2015, a Task Force was formed to combat illegal fishing. Inside the Task Force, the Ministry of Marine and Fisheries, Navy, Police, BAKAMLA, and the Attorney General are working together to combat illegal fishing that occurred in Indonesian waters. In its implementation, various attempts have been made, ranging from cooperation with domestic institutions, international organizations and other countries. Shortcoming in the implementation occurs in the exchange of information and communication, and also BAKAMLA whose participation is not so visible in response to illegal fishing problem."
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Leonard
"Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS 1982 (United Nation Convention of the Law of the Sea), Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perairan yang meliputi perairan pedalaman, laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen (LK), dan laut lepas. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki garis pantai yang sangat panjang dan berbatasan dengan sepuluh negara. Hal tersebut menyebabkan delimitasi batas maritim merupakan hal yang penting bagi Indonesia. Permasalahan delimitasi batas maritim Republik Indonesia dengan Malaysia bersumber dari ketidakjelasan batas-batas negara dan status suatu wilayah yang saling bertumpang tindih menurut versi masing-masing. Situasi inilah yang menjadi sumber konflik khususnya dalam penegakan hukum terhadap IUU Fishing dalam wilayah Overlapping terutama mengenai klaim yurisdiksi batas-batas maritimnya. Implikasi nyata dari belum selesainya batas maritim ini jelas akan menimbulkan permasalahan penegakan hukum di daerah overlapping claim. Permasalahan yang sering timbul ketika proses negosiasi delimitasi batas maritim sedang berlangsung adalah apabila terjadi pelanggaran ketentuan hukum nasional dari kedua negara, sehingga sering menimbulkan ketidak pastian hukum terkait siapa yang memiliki kewenangan untuk menegakkan ketentuan hukum nasional di perairan perbatasan yang belum ditentukan diantara kedua negara. Ketidakpastian tersebut sering berakibat pada penangkapan nelayan kedua negara. Terkait hal tersebut UNCLOS 1982 hanya memberikan kewajiban kepada kedua negara untuk membentuk pengaturan sementara di perairan perbatasan yang belum ditentukan untuk mencegah terjadinya konflik. Tesis ini lebih lanjut akan menganalisa mengenai bagaimana hukum nasional dan internasional serta praktek negara-negara terkait penegakan hukum di perairan perbatasan yang belum ditentukan.. Berdasarkan praktek negara dan hukum internasional penegakan hukum berdasarkan klaim unilateral di perairan perbatasan yang belum ditentukan (overlapping claim) dapat menimbulkan konflik dan memperlambat penyelesaian delimitasi batas maritim antara kedua negara.. Penyelesaian batas maritim tersebut dilakukan secara diplomasi melalui perundingan batas sesuai dengan UNCLOS 1982. Tesis ini akan memberi gambaran, menemukan fakta dan data baru serta meneliti tentang wilayah perairan overlapping dan menjelaskan status terakhir delimitasi batas maritim Indonesia dengan Malaysia dan bagaimana implementasi penegakan hukum terhadap IUU Fishing di area itu.

In accordance with the provisions of the United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS), Indonesia as an archipelagic state has a water area containing the internal waters, territorial sea, contiguous zone, exclusive economic zone (EEZ), Continental Shelf (CS), and high seas. Indonesia as the largest archipelagic country in the world has a very long coastline and is bordered by ten countries. This makes delimitation of the maritime boundary is genuinely important for Indonesia. The process of maritime boundary delimitation Indonesia between Malaysia often source from undefined borders and overlapping claim according to each countries version. The problem that often arises when the maritime boundary delimitation negotiation process is underway is if there is a violation of the provisions of the national law of both countries, which often leads to legal uncertainty over who has the authority to enforce national law provisions in the unresolved maritime boundary between the two countries. Such uncertainty often results in interception of violations occurring in undefined border waters by the two disputing countries. In this regard, UNCLOS only provides obligations to both countries to establish provisional arrangements in undefined border waters to prevent conflicts. This thesis will further analyze the national and international regulations as well as the practice of law enforcement both countries in overlapping claim waters. The completion of the maritime border diplomacy is conducted through the boundary negotiations in accordance with UNCLOS 1982. This paper will gives overview, to discover new facts and to researches about waters area in overlapping claim and to explain the latest status of Indonesian maritime boundary delimitation with Malaysia and to what extent the implementation of law enforcement in those areas."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haposan, Filipus
"Penangkapan ikan ilegal (Illegal fishing) merupakan praktik yang telah menjadi masalah bersama negara-negara di dunia. Salah satu zona maritim yang paling banyak terjadi Illegal fishing adalah zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang terdapat yurisdiksi eksklusif suatu negara untuk kegiatan eksploitasi, eksplorasi, serta konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati lautnya, termasuk juga sumber daya perikanannya. Banyaknya praktik Illegal fishing di ZEE tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum terhadap praktik tersebut, sehingga dibutuhkan pengaturan yang tegas mengenai penegakan hukum terhadap praktik tersebut dalam hukum internasional dan juga hukum nasional.
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji bagaimana pengaturan hukum internasional serta pengaturan hukum nasional negara-negara mengenai penegakan hukum terhadap praktik Illegal fishing di ZEE. Dengan metode penelitian yuridis-normatif dalam bentuk deskriptif, penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai dampak dan kerugian yang ditimbulkan oleh Illegal fishing, serta penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh setiap negara, dalam rangka memberantas praktik tersebut di ZEE negara bersangkutan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat batasan-batasan tertentu terhadap penegakan hukum yang dapat dilakukan negara berdasarkan hukum internasional.

Illegal fishing has become a common issue for all countries in the world. One of the maritime zones which many illegal fishing occur is exclusive economic zone (EEZ), where there are some exclusive jurisdiction for the purpose of exploiting, exploring, conserving, and managing the living resources, including fisheries. The number of illegal fishing practices in EEZ can not be saparated from the weakness of the law enforcement. Therefore, it needs a strict regulation regarding the law enforcement towards such practices, both in the international law and the national legislation.
The purposes of this research are to examine how the international and national law of states arranging the law enforcement towards illegal fishing practices in EEZ. Using juridical-normative method and descriptive form, this research is addresed for serving a comprehensive description concerning the impacts and damage caused by illegal fishing, and actions may be taken by states, as a law enforcement, for the purpose of eradicating such practices in EEZ. The result of this research shows that there are certain limitations on the implementation of the law enforcement can be conducted by states based on the international law.
"
2016
S65533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>