Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140890 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
JIP 44(2014) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Edy Sutrisno
"Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan teknik analisis data deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jawa Timur dengan melakukan serangkaian wawancara mendalam dan diskusi aktif dengan berbagai narasumber mulai dari gubernur, bupati/walikota, instansi vertikal, ahli dan praktisi pemerintahan daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran, kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem pemerintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom - kabupaten/kota daerah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom ? kabupaten/kota wilayah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desentralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate government dalam bentuk deputi dekonsentrasi.

Governor as the Central Government representative has a very important position on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the governor?s position, role and function as the Central Government representative on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future. This study applied qualitative paradigm with descriptive data analysis techniques. The data were collected in the Central Kalimantan Province and East Java Province by conducting a series of in-depth interviews and active discussions with various sources ranging from the governors, regents/mayors, vertical institutions, experts and practitioners of local government.
The results show that the governor's position as the central government representative is ineffective. The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions, personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities arean autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the provinceas well asgovernor as the Central Government representative and as the head area. This study indicate the needof governor's institution as the central government representative which in this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration deputy format.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2076
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Djoko Harmantyo
"Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sedangkan konflik keruangan (spatial conflict) adalah potensi konflik kewilayahan yang timbul akibat adanya garis batas yang membagi satu wilayah menjadi dua wilayah yang berbeda. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta pemekaran daerah di Indonesia sebagai negara kepulauan daerah tropis, memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari besarnya jumlah penduduk yang tersebar tidak merata, keanekaragaman sosial budaya, sumberdaya alam, flora dan fauna serta keragaman fisik wilayah. Berdasarkan keragaman tersebut, dalam perspektif geografi, Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi. Berdasarkan studi awal yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan model prediktif kuantitatif terhadap data periode tahun 1999 - 2005 terjadi pemekaran 148 daerah otonom baru (141 kabupaten/kota dan 7 propinsi) atau rata rata bertambah 30 daerah otonom baru. Jumlah tersebut melebihi angka perkiraan hasil perhitungan yaitu sebanyak 460 kabupaten dan kota di bawah koordinasi 46 propinsi.
Berdasarkan model segi enam Christaller, secara teoritis diperlukan paling tidak 2760 bentuk kerjasama antar daerah otonom yang saling berbatasan untuk mengantisipasi peluang terjadinya 2760 konflik kewilayahan (spatial conflict). Penataan kembali konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta instrument penilaian, terutama kejelasan penetapan batas wilayah, merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan kebijakan otonomi daerah.

Area divergence is a process to establish new autonomous region by dividing formerly local authority entity. This process was driven by the Regional Autonomy Law no. 32, 2004 which ensure decentralization mechanism to occur from. Spatial conflict is a term of interregional conflicts that is potentialy related to former administrative divided border line, which then will create border line dispute. This potential for any interregional relationship (including conflict) is a function neighbour number. According to an Internal Affairs report, thus recent phenomena of local divided authorities has been escalating in Indonesia. Since 1999-2005, there has been 148 new local autonomous governments or more than thirty new additional local autonomus government were born annualy. There are two main questions arise from these issues (1) what is the ideal number of local autonomous government in Indonesia, and (2) what is the quantity of interregional relationship needed to relate spatial conflicts.
Based on the central place theory and a spatial conflicts model the ideal number of autonomous districts in Indonesia is 460 of kabupaten/kota and 46 provinces. Theoretically, they need 2760 forms of interregional relationships or six relationship forms in each local government to eliminate the spatial conflict potentialy. Rearrangement of regional autonomous policy focusing on the implementation of areal divergences shall be done as quickly as possible."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Roselina Effendi
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam yang melahirkan konflik kewenangan antara Badan pengusahaan Batam dan Pemerinta Kota Batam. Latar belakang dari dualisme kewenangan ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi yang mengatur Kota Batam dan tidak berjalannya reformasi hukum yang mengatur hubungan pusat dan daerah pasca reformasi. Tumpang tindih kewenangan di daerah pasca desentralisasi di Indonesia merupakan gejala umum yang memicu terjadinya konflik kepentingan di daerah.
Dalam mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam digunakan teori konflik, desentralisasi dan pendekatan berbasis negara dalam ekonomi politik serta hubungan pusat dan daerah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dijabarkan berdasarkan metode penelitian kualitatif. Sehingga untuk mengumpulkan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan stakeholder dari Badan Pengusahaan Batam, Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Riau, DPRD, Kamar Dagang Indonesia Kota Batam dan Provinsi Riau. Disamping itu, dilakukan observasi langsung pada dua institusi serta didukung dengan data-data literatur berupa buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan website resmi BP Batam dan Pemko Batam.
Untuk mencapai objektifitas penelitian, digunakan teknik triangulasi dengan mengklarifikasi pada Pemerintah Pusat, Akademisi, LSM, Pengusaha dan Masyarakat. Data yang dikumpulkan direduksi dan disajikan, maka diperoleh kesimpulan bahwa dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam merupakan akibat dari ketidaktegasan regulasi yang mengatur hubungan antar instansi di daerah serta hubungan pusat dan daerah. Besarnya kepentingan ekonomi politik pusat di Kota Batam. Sehingga, desentralisasi sebagai amanat UUD 1945 tidak dapat berjalan dengan baik di Kota Batam.
Untuk dapat mengatasi persoalan di Kota Batam, diperlukan ketegasan sikap politik pusat untuk mengakhiri konflik antar dua institusi ini dan melalui penelitian ini disarankan agar pemerintah pusat memberikan desentralisasi asimetris sebagai reorganisasi stuktur untuk mewujudkan Kota Industri Batam. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik, dan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya, terutama dalam penelitian terkait desentralisasi dan konflik kepentingan antara pusat dan daerah.

This research describes and analyze a dualism of authority in Batam that provoke a conflict of authority between BIFZA (Batam Indonesia Free Zone Authority) and Batam city government. This dualism of authority caused by overlap regulation that organize Batam city and legal reform, which control centralization & decentralization in Soeharto era, is not working. This conflict of authority in decentralization area in Indonesia is a general symptoms that trigger conflict of interest in a district.
Describing and analyzing dualism of authority in Batam city is using theory of conflict, decentralization, and state-based approach in politic economy and the relation between the capital & district. This research is a study case using qualitative research method. Thereby in collecting the data need to do a deep interview with a stakeholder from BIFZA, Batam city government, Riau Province government, DPRD, Chamber of Commerce in Batam & Riau Province. Direct observation to these two institutions which is supported by literature such as books, legislation, journal & official website of BIFZA & Batam city government.
To obtain the objectives of this research, researcher use triangulation techniques that clarifying information from capital government, academics, NGO, enterpreneur, and society. The collected data is reducted and presented. The conclusion is, dualism authority between BIFZA & Batam city government happens from indecision regulation; that control the relation between institutions in a district, the relation between capital and district, and how much politic economy central interest in Batam city. Thereby, decentralization as a mandate from UUD 1945 (State constitution of 1945) cannot work properly in Batam city.
To overcome the conflict in Batam city, politic assertiveness from the capital is needed. From this research conclude a reccomendation that capital government give asymmetry decentralization as structur reorganization to gain Batam industry city. Thereby, this research can be a reference for the next research, especially in research about decentralization and conflict of interest between capital government and district.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>