Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159393 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Ilmi Amalia
"ABSTRAK
Pemilihan Umum 2004 diwarnai dengan usaha untuk meningkatkan jumlah
perempuan di parlemen. Usaha tersebut adalah adanya undang-undang yang
mewajibkan partai politik untuk menyediakan kuota 30% dalam daftar calon
legislator dan sosialisasi yang gencar untuk meningkatkan kesadaran jender
pemilih perempuan.
King (2000) pada penelitiannya di Amerika Serikat menyatakan bahwa calon
legislator perempuan memiliki peluang lebih besar untuk dipilih oleh perempuan,
tetapi jumlah perempuan di parlemen selalu jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah laki-laki. Faktor-faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah
perempuan di parlemen, antara lain, adalah ideologi peran jender tradisional
pemilih (Karra, dalam Sari 2002) dan rendahnya identifikasi perempuan sebagai
kelompok (Zellman, 1978). Faktor lain yang mempengaruhi suara pemilih adalah
identifikasi dengan partai politik dan isu politik (Campbell et al., 1960).
Penelitian ini bertujuan mengetahui peluang calon legislator perempuan
memperoleh dukungan dari pemilih perempuan dibandingkan dengan calon
legislator laki-laki; pengaruh ideologi peran jender dan tingkat identifikasi
kelompok jender terhadap dukungan terhadap calon legislator perempuan; dan di
antara keempat independen variabel, ideologi peran jender, identifikasi dengan
kelompok jender, identifikasi dengan partai politik, dan isu politik, yang mana
yang dapat menjadi prediktor bagi dukungan pemilih perempuan kepada calon
legislator perempuan pada Pemilihan Umum 2004.
Permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan peluang antara
calon legislator perempuan dan calon legislator laki-laki untuk dipilih oleh
pemilih perempuan; apakah terdapat perbedaan ideologi peran jender antara
pemilih perempuan yang memilih calon legislator laki-laki dan pemilih
perempuan yang memilih calon legislator perempuan; apakah terdapat perbedaan
tingkat identifikasi kelompok jender antara pemilih perempuan yang memilih
calon legislator laki-laki dan pemilih perempuan yang memilih calon legislator
perempuan; dan manakah di antara keempat variabel independen, ideologi peran
jender, identifikasi dengan kelompok jender, identifikasi dengan partai politik,
dan isu politik yang dapat menjadi prediktor bagi pemilih perempuan untuk
memilih calon legislator perempuan. Untuk menjawab permasalahan itu,
digunakan kuesioner yang terdiri dari lima skala yang mengukur setiap variabel independen dan pertanyaan mengenai jenis kelamin calon legislator yang dipilih
pada Pemilu 2004.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peluang antara calon
legislator perempuan dan calon legislator laki-laki untuk dipilih oleh pemilih
perempuan dan tidak ada perbedaan ideologi peran jender serta identifikasi
dengan kelompok jender pada pemilih perempuan yang memilih calon legislator
perempuan dan calon legislator laki-laki. Selanjutnya, penelitian ini juga menunjukkan perilaku pemilih perempuan untuk memilih calon legislatif
perempuan tidak dapat diprediksi oleh variabel ideologi peran jender, identifikasi
dengan kelompok jender, isu politik, dan identifikasi dengan partai politik. Saran
untuk penelitian selanjutnya adalah memperbaiki proses pengambilan sampel,
memperluas subjek penelitian pada laki-laki, menambahkan variabel lain, seperti stereotip jender dan mengikutsertakan proses kognitif dalam aktivitas memilih."
2004
S3411
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anindya
"Penelitian ini berawal dari keresahan peneliti atas pembagian gender maskulin dan feminin yang membuat laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal menjadi pihak yang harus tunduk dengan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Laki-laki, mengalami krisis identitas terkait posisinya secara personal dan komunal di dalam masyarakat dan karakter androgini menjadi pilihan dalam menunjukkan identitasnya. Identitas gender androgini dapat dilihat melalui gender performativity dan fashion. Untuk itu, penelitian ini menggunakan fenomenologi dalam melihat pengalaman laki-laki androgini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, androgini merupakan identitas gender dan juga androgini secara psikologis merupakan bentuk kecerdasan emosi; kedua, keluarga yang konvensional dan lingkungan yang sex-type memunculkan identitas gender androgini; ketiga, media cenderung mengkomodifikasi androgini salah satunya melalui fashion; dan keempat, setiap individu memiliki keunikan dalam mengekspresikan fashion dan gender performativity.

This research come from researcher restless thought about masculine and feminine binary. This gender binary somehow makes men and women as part of the society have to adjust themselves to social and cultural norms. Men gets identity crisis on their personal and communal life, therefore they create androgini identity gender. Androgini identity gender can be seen on gender performativity and fashion. This research use phenomenology to observe androgyny men life experience.
The result shows, first, androgyny is emotional intellectual that is related to psychological character development; second, conventional family and sex-type environment create androgynous person; third, media shows androgyny on fashion as commodity; and fourth, every human being has her/his own uniqueness on fashion and gender pervormativity; one of their appearance shows androgynous characteristics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fremelia Muli
"Berangkat pengalaman riil perempuan Tionghoa tentang adanya ketidakadilan gender dalam perkawinan beda etnis, maka penelitian ini membahas tentang posisi dan peran perempuan Tionghoa dalam perkawinan beda etnis dengan laki-laki Jawa secara spesifik di Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berperspektif feminis dan memilih secara purposif empat perempuan Tionghoa sebagai subjek penelitian. Teori interseksionalitas dari Kimberle Crenshaw digunakan sebagai kerangka analisis terkait posisi dan peran gender, relasi gender, ketidakadilan gender, dan etnisitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas perempuan Tionghoa dapat menentukan posisi mereka dalam relasi gender pada perkawinan beda etnis dengan laki-laki Jawa melalui pertemuan (interseksionalitas) dari beragam identitas yang menghasilkan kondisi tertentu dalam struktur perkawinan, representasi nilai di mata keluarga, serta peraturan dan kebijakan terkait perkawinan. Dengan identitas yang cair, situasional, dan beragam, interseksionalitas identitas menghasilkan pengalaman ketidakadilan gender pada perempuan Tionghoa baik sebagai kelompok minoritas juga sebagai kelompok superior. Pengalaman ketertindasan nyatanya juga dialami oleh laki-laki Jawa sebagai suami mereka berupa pemberian stereotip dan subordinasi. Dalam situasi tertentu, interseksionalitas identitas perempuan Tionghoa secara bersamaan dapat menjadi strategi memperjuangkan keadilan. Berdasarkan hasil tersebut, disarankan perlunya pemberdayaan diri pada perempuan, pengembangan perspektif adil gender pada pasangan, keluarga, dan institusi terkait, serta pengembangan teoritis dan metodologis pada penelitian lanjutan.

Based on the prejudice and real experiences of Chinese women about the existence of gender injustice in inter-ethnic marriages, this study discusses the position and roles of Chinese women in inter-ethnic marriages with Javanese men specifically in Gresik, Sidoarjo, and Surabaya. This study used a qualitative method with a feminist perspective and purposively selected four Chinese women as research subjects. Kimberle Crenshaw's theory of intersectionality is used as a framework for analysis related to gender roles and roles, gender inequality, and ethnicity. The results show that the identity of Chinese women can determine their position in gender relations in ethnic marriages with Javanese men through a meeting of various identities that produce certain conditions in the structure of the marriage, representation of values in the eyes of the family, and regulations and policies related to marriage. With a fluid, situational, and diverse identity, identity intersectionality results in experiences of gender injustice in Chinese women both as a minority group as well as a superior group. The experience of oppression in fact also followed by Javanese men as their husbands in the form of stereotyping and subordination. In certain situations, the simultaneous intersectionality of Chinese women's identities can be a strategy for fighting for justice. Based on these results, which are based on the need for self-empowerment in women, the development of a gender perspective in partners, as well as theoretical and methodological development in further research."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Nauly
"Perspektif laki-laki perlu dicermati dalam konteks ketidakadilan jender sebab komunitas inipun ternyata bagian dari korban ketidakadilan jender tersebut. Peningkatan kemampuan ekonomi, emosi dan sosial dari perempuan di satu sisi memerlukan pengembangan identitas baru laki laki, antara lain memperbesar bagiannya dalam hal pengasuhan dan perawatan. Sehingga perempuan tidak dibebani berlebihan dan laki-laki memiliki kebanggaan akan peran sebagai ayah. Menghadapi pengembangan identitas ini, laki-laki cenderung menghadapi dilema. Di satu sisi harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru seperti pengasuhan anak, di sisi lain masih dituntut dengan nilai-nilai tradisional yang bertentangan. Kondisi ini dapat menjadi sumber konflik peran jender bagi lakiĀ·laKi.
Teori yang menjelaskan mengenai konflik peran jender dan keterkaitannya dengan kondisi masyarakat yang seksis dan patriarkhal adalah teori konllik peran jender dari O'Neil. Konflik peran jender adalah suatu keadaan psikologis, dimana sosialisasi peran jender memiliki konsekuensi negatif terhadap orang tersebut maupun orang lain. Konflik peran jender ini terdiri dari 4 aspek. yaitu (1) sukses, kekuasaan dan kompetisi, yaitu konflik dan tekanan yang berlebihan di antara berbagai peran yang berkaitan dengan sukses kekuasaan dan kompetisi; (2) restrictive emotionality, (3) restrictive affectionate behavior betweeo men; (4) konflik antara pekerjaan dan keluarga.
Umumnya di Indonesia kondisi masyarakat masih patriarkhat, namun tuntutan untuk perubahan ke arah kesamaan (equality) perempuan dan laki-laki cukup bergema, sehingga perlu meneliti konllik peran jender laki-laki ini di Indonesia. Konflik peran jender erat kaitannya dengan budaya melalui proses sosialisasi penanaman peran jender. Salah satu faktor pembeda budaya adalah prinsip keturunan yaitu patrilineal, matrilineal dan bilateral, yang digunakan pada penelitian ini. Prinsip keturunan ini berperan dalam menentukan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan di suatu masyarakat. Kelompok masyarakal matrilineal menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih tingi dibandingkan bilateral dan patrilineal. Pada penelitian ini kelompok masyarakat patrilineal diwakili suku bangsa Batak, matrilineal suku bangsa Minang dan bilateral suku bangsa Jawa.
Menghadapi pengaruh luar seperti tuntutan keadilan jender, yang cenderung bertolak belakang dengan nilai-nilai Budaya Batak dan Jawa. Laki-laki ke dua suku bangsa ini diduga mengalami konflik peran. Sedangkan pada laki-laki Minang, dimana peran dan posisi laki-laki dan perempuan lebih egaliter, dan sosialisasi peran jender tidak terlalu menekan dibandingkan ke dua masyarakat Batak dan Jawa, peneliti berasumsi menghadapi pengaruh akan tuntutan keadilan bangsa terdiri dari 100 orang laki-laki suku bangsa Batak, Minang dan Jawa.
Penelitian di laksanakan di Medan. Pengolahan data menggunakan anova 1 arah untuk permasalahan 1 dan 2 serta multiple regression untuk masalah 3, dengan bantuan program SPSS versi 11.00.
Hasil penelitian adalah (1) terdapat perbedaan secara signifikan dalam hal konflik peran jender di ketiga kelompok suku bangsa. Konllik peran jender laki-laki Salak secara signilikan lebih tinggi dari konllik peran jender laki-laki Jawa, yang secara signilikan lebih tinggi dari konflik peran jender laki-laki Minang: (2) Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal seksisme diantara ketiga kelompok: (3) Terdapat peran yang signifikan dari seksisme dan suku bangsa lerhadap konflik peran jender pada ketiga kelompok suku bangsa.
Diskusi mengenai : (1) hasil perbandingan konflik peran jender, yaitu adanya pengaruh budaya dalam konflik peran jender, dikaitkan dengan pendapat dan hasil penelitian dari Ihromi, 1975, Sipayung, 1986 dan Rodgers, 1990 untuk budya Salak. Sedangkan pendapal dan hasil penelitian Hatley (1990) digunakan untuk menguraikan konflik peran jender dan budaya Jawa serta Navis (1985). Prindiville (1980) dan Ok-Kyung Pak mengenai budaya Minang. Didiskusikan mengenai hasil penelitian pada masing-masing aspek, seperti budaya "Batak" dibandingkan budaya Minang dan Jawa berperan meningkatkan konflik pada aspek sukses, kekuasaan dan kompetisi. Sedangkan budaya 'Minang' dibandingkan budaya Batak dan Jawa berperan menurunkan konflik peran jender pada aspek homphobia. Juga didiskusikan penelitian dari Kim (1990) mengenai kemungkinan variabel tingkatan akullurasi berperan meningkatkan konflik pada aspek sukses, kekuasaan dan kompetisi serta menurunkan konflik diantara pekerjaan dan hubungan keluarga: (2) mengenai seksisme yaitu perbedaan yang signifikan dalam hal seksisme di antara ketiga kelompok suku bangsa. Didiskusikan pengaruh budaya dengan pendapat dan penelitian dari Ihromi (1980) mengenai suku Batak; Sawitri (1987) untuk suku Minang dan Tjirosubono (19::38): Hatley (1990) dan Kayam (1998) mengenai suku Jawa: (3) adanya peran yang signi!ikan dari suku bangsa dan seksisme terhadap konflik peran jender. Didiskusikan peran yang cukup besar berkaitan dengan hasil penelitian dan teori Konflik peran jender dari O'Neil (1994).
Ada pun saran yang diutarakan antara lain: perlunya pendekatan kualitatif, penelitian banding pada lingkungan asal budaya, penambahan variabel yang lain, seperti tingkat akulturasi dan kesehatan mental, serta saran aplikatif perlunya penelitian konllik peran jender pada kasusĀ­ kasus laki-laki yang berhubungan dengan jender seperti kenakatan remaja laki-laki, kekerasan di rumah tangga dan lain-lain serta pelibatan laki-laki dalam perbincangan mengengai permasalahan anak dan keluarga."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T4938
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: CIBA, 2007
305.3 ANG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Christina
"ABSTRAK
Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang patrilineal yaitu mengikuti
garis keturunan ayah. Sebelum menikah, wanita merupakan bagian dari kelompok
ayahnya dan setelah menikah ia akan ?rneninggalkan? keluarganya dan masuk ke
dalam satuan kekerabatan suaminya. Kedudukan dan peran wanita dalam adat Batak
Toba ditentukan oleh posisi ayah atau suaminya dan ia tidak memiliki posisi sendiri
dalam adat. Lain halnya dengan pria yang dianggap raja dan selalu ditinggikan
kedudukannya dibandingnya wanita.
Perbedaan kedudukan antara pria dan wanita Batak Toba sangat jelas terlihat salah
satunya dalam pengambilan keputusan pada acara-acara adat. Pada forum-forum
resmi seperti itu, pendapat wanita kurang didengarkan dan prialah yang lebih
dominan dalam memutuskan segala sesuatu. Para wanita Batak sendiri jika ditanyai
pendapatnya, rnenyerahkan hal itu kepada para suami dan akhirnya suamilah yang
berbicara. Selain itu subordinasi wanita Batak Toba ini pun terjadi di gereja HKBP
sebagai tempat mayoritas masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen Protestan
beribadah. Jika kita amati di gereja-gereja HKBP di seluruh Indonesia, mayoritas
pendeta, guru huria dan penetua didominasi oleh kaum pria (Siregar, 1999).
Marjinalisasi posisi wanita Batak Toba memang sudah tidak sesuai lagi dengan
tuntutan modernisasi dan demokrasi saat ini. Sudah selayaknya persepsi yang
menomorduakan kedudukan wanita dalam masyarakat Batak itu diubah. Sulitnya,
ideologi peran jender seseorang sangat tergantung pada konteks sosial di mana orang
tersebut berada dan konsepsi budaya tersebut mengenai jender. Sehingga jika dalam
kognisi orang Batak pensubordinasian wanita dalam taraf tertentu sesuai dengan
belief yang mereka anut, maka hal tersebut akan lebih dipandang sebagai harmoni
daripada dominansi dalam struktur patriarkat (Muluk, 1995).
Kedudukan dan peran wanita dalam masyarakat Batak Toba tidak lepas dari role-
expectation yang ada dalam masyarakat tersebut. Melalui penelitian ini penulis ingin
mengetahui gambaran ideologi peran jender pria dewasa muda Batak Toba, role-
expectation terhadap wanita dari perspektif kedua belah pihak dan pengaruhnya
terhadap aktualisasi diri wanita. Metode yang digunakan yaitu untuk mendapatkan gambaran ideologi peran jender
pria dewasa muda Batak Toba di Jakarta digunakan metode kuantitatif dengan
menggunakan kuesioner adaptasi SRI. Pemahaman yang mendalam mengenai role-
expectation dan darnpaknya terhadap aktualisasi diri dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif.
Teori yang menjadi landasan penelitian ini meliputi budaya Batak Toba yang
menggambarkan kedudukan wanita dalam masyarakat adat dan sistem kekerabatan
mereka, teori mengenai masa dewasa muda, role-expectation dan jender sebagai
konstruksi sosial, serta teori-teori mengenai aktualisasi diri.
Hasil analisis data kuantitatif didapatkan gambaran bahwa pada cukup banyak aspek
SRI pria dewasa muda Batak Toba menganut ideologi peran jender tradisional lebih
banyak daripada yang modern. Analisis tambahan terhadap data kontrol dengan
menggunakan one-way anova dan t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam hal ideologi peran jender berdasarkan usia, pendidikan, status,
pengeluaran tiap bulan dan lama subyek tinggal di Jakarta.
Hasil analisis kualitatif didapati kesimpulan bahwa kedua subyek pria masih
menganut ideologi peran jender tradisional terutama mengenai kedudukan pria dan
wanita dalam keluarga. Para responden memandang kedudukan pria sebagai kepala
keluarga dan wanita sebagai ibu rumah tangga sebagai sesuatu yang wajar walaupun
responden wanita memiliki harapan untuk diperlakukan sejajar (sebagai patner) oleh
pasangannya. Para responden wanita juga cenderung untuk konform dengan budaya
yang ada dan berlaku. Sebagian besar dari mereka menginginkan perubahan namun
tidak disertai dengan usaha yang mengarah ke sana.
Saran yang diajukan untuk masyarakat Batak Toba adalah untuk melakukan
introspeksi diri apakah pandangan bahwa pria adalah raja dan wanita memiliki
kedudukan yang lebih rendah masih layak dipertahankan melihat dampak yang
dialami oleh wanita dalam mencapai aktualisasi dirinya. Pengubahan pandangan ini
disarankan melalui agama dan gereja karena adat yang bersifat mutlak akan sulit
untuk diubah.
Penelitian yang sempa disarankan untuk diadakan guna memberikan pengetahuan
tambahan bagi para konselor perkawinan maupun yang menangani orang-orang yang
mengalami masalah dalam aktualisasi diri. Konsepsi peran jender tiap-tiap
masyarakat adat di Indonesia mempengaruhi bagaimana orang tersebut memandang
dirinya dan lawan jenis dalam hal nilai-nilai, peran dan kedudukan mereka. Penelitian
ini diharapkan dapat membantu untuk menemukan pendekatan yang tepat dalam
konseling
Untuk penelitian lanjutan, beberapa saran yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah
menambah jumlah sampel, memperhatikan karakteristik agama subyek, memiliki
norma normatif mengenai ideologi peran jender pria Indonesia, mencari cara
pengolahan data yang lebih tepat dan memperkaya variabel yang mungkin
berpengaruh terhadap ideologi peran jender."
2000
S3011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sali Susiana
Jakarta: Secretaria General of the house of Representatives of the Republic of Indonesia, 2008
324.2 SAL g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>