Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8153 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jung, Kook Kim
Hanover Park: Quintessence publishing, 2007
617.693 APP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Becker, Adrian
Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell, 2012
617.643 BEC o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bahreman, Aliakbar
Hanover Park, IL: Quintessence Publishing Co, Inc, 2013
617.645 BAH e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Elton Heryanto
"Pendahuluan : Pasien maloklusi kelas III skeletal hiperdivergen memiliki tulang alveolar simfisis mandibula yang tipis. Perawatan ortodonti pada kasus maloklusi kelas III skeletal memiliki pergerakan gigi anterior yang terbatas. Retraksi anterior insisif bawah yang terbatas merupakan perawatan kamuflase untuk mengatasi maloklusi kelas III skeletal. Tujuan : Menganalisis perubahan ketinggian dan ketebalan tulang alveolar simfisis mandibula sebelum dan sesudah perawatan ortodonti cekat maloklusi kelas III hiperdivergen. Metode : Desain penelitian ini berupa observasional analitik dengan desain potong lintang. Sampel pasien ini terdiri dari 34 sefalometri lateral pasien maloklusi kelas III skeletal hiperdivergen yang telah selesai dirawat ortodonti cekat di Kinik Ortodonti RSKGM FKG UI. Pengukuran ketinggian dan ketebalan tulang alveolar simfisis mandibula menggunakan perangkat lunak Winceph versi 11 English Edition, Rise Coorporation 3-8-15 Sendai, Japan. Hasil : Ketinggian tulang alveolar simfisis mandibula sebelum dan sesudah perawatan ortodonti menunjukkan tidak ada perbedaan yang berbeda bermakna. Ketebalan tulang alveolar sebelum dan sesudah perawatan ortodonti menunjukkan perbedaan bermakna berupa penurunan pada 1/3 servikal tualng alveolar sisi labial dan 1/3 apikal tulang alveolar sisi lingual (p<0.05). Kesimpulan : Ketebalan tulang alveolar regio simfisis bagian labial dan lingual sebelum dan sesudah perawatan ortodonti cekat mengalami penurunan namun tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan yaitu dehisensi maupun fenestrasi.

Introduction : Patient with Class III Skeletal Hiverdivergent have a thin alveolar bone thickness in symphisis region. Anterior teeth movement in orthodontic treatment in this Class III malocllusion case is limited. Retraction of lower incisors in orthodontic camouflage treatment in class III skeletal malocclusion become limited. Aim : Analyze alveolar bone height and thickness in symphisis region before and after fixed orthodontic treatment in Class III skeletal malocclusion Hyperdivergent. Methods : This research is analitic observasional study with cross sectional design. Sample are 34 cephalomatric lateral radiographs before and after fixed orthdootnics treatment in classs III hyperdivergent patients in RSGKM FKG UI. Alveolar bone height and thickness were measured using Winceph 11 English Edition Esoftware by Rise Coorp Rise Coorporation 3-8-15 Sendai, Japan. Results : There was no difference in alveolar bone height before and after orthodontic treatment. Significant decreased was found in the alveolar bone thickness in 1/3 servical on labial side and 1/3 apical on lingual side (p<0.05). Conclusion : Alveolar bone thickness was decreased before and after orthodontic treatment, however there was no undesireable effects, such as dehiscence or fenestration found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhani Ayu Andini
"Pendahuluan : Overjet yang besar pada maloklusi kelas II divisi 1 ditengarai mampu
menimbulkan gangguan pada sendi temporomandibula. Perawatan ortodontik dengan
pencabutan dua gigi premolar bertujuan untuk memperbaiki profil serta
menyeimbangkan oklusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan
posisi kondilus sebelum dan sesudah perawatan ortodontik.
Metode : Digunakan 60 foto transkranial sebelum dan sesudah perawatan ortodontik.
Subjek penelitian dipilih berdasarkan kriteria inklusi berupa kasus maloklusi kelas II
divisi 1, ANB ³ 50, overjet ³ 6 mm, memiliki gangguan sendi temporomandibula
sebelum perawatan ortodontik dimulai serta memiliki foto transkranial. Evaluasi posisi
kondilus dilakukan dengan mengukur jarak Anterior Joint Space, Posterior Joint Space
dan Superior Space yang diterjemahkan menjadi posisi supero-anterior dan posisi non
supero-anterior pada kondilus kanan dan kiri. Perubahan posisi kondilus sebelum dan
sesudah perawatan ortodontik diuji menggunakan Mc Nemar.
Hasil : Diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) posisi kondilus sebelum
dan sesudah perawatan ortodontik pada kasus maloklusi kelas II divisi 1 dengan
pencabutan dua gigi premolar. 19 subjek memiliki posisi supero-anterior pada kondilus
kanan dan kiri sebelum dan sesudah perawatan, sedangkan 11 subjek memiliki posisi non
supero-anterior pada kondilus kanan dan kiri sebelum dan sesudah perawatan.
Kesimpulan : Perawatan ortodontik disertai pencabutan dua gigi premolar menyebabkan
perubahan posisi kondilus, namun tidak berbeda bermakna secara statistik. Sebelum dan
sesudah perawatan ortodontik, sebagian besar kondilus tetap berada di posisi superoanterior.
Sesudah perawatan ortodontik, gejala berupa rasa tidak nyaman saat membuka
mulut lebar dan keterbatasan membuka mulut sudah hilang, sedangkan gejala berupa
kliking dan krepitasi masih ada.

Introduction : Increased overjet in malocclusion class II div 1 leads to
temporomandibular joint dysfunction. Orthodontic treatment with upper premolars
extraction is due to correct profile and to harmonize occlusion. This paper will analyze
alteration condylar position before and after orthodontic treatment.
Methods : Transcranial projection was performed of 60 radiographs (30 radiograph
before and 30 radiograph after orthodontic treatment). Subjects were choosed based on
inclusion criteria : malocclusion class II div 1, ANB ³ 50, overjet ³ 6 mm, patient had
temporomandibular symptoms before orthodontic treatment, and all patients had
transcranial radiograph. Condylar position was determined according to Anterior Joint
Space, Posterior Joint Space and Superior Space which convert to supero-anterior
position condyle right and left and non supero-anterior position condyle right and left.
The Mc Nemar Test was used to analyze the data.
Results : No statistically significant (p>0,05) alteration condyle position before and after
orthodontic treatment with extraction upper premolar. 19 subjects had supero-anterior
condyle position, before and after orthodontic treatment and 11 subjects had non superoanterior
condyle position before and after orthodontic treatment.
Conclusion : The results of this study showed that orthodontic treatment with extraction
upper premolars cause alteration condylar positions, but not statistically significant.
Before and after orthodontic treatment, most of all condyles showed in superoanterior
positions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisty Setyari Putri
"Tujuan: Mini implan ortodontik berbahan titanium alloy sebagai penjangkaran skeletal diketahui memiliki ketahanan korosi yang tinggi, namun beberapa penelitian menemukan adanya perubahan ketahanan korosi setelah berkontak dengan larutan kumur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan topografi permukaan dan perubahan komposisi elemental mini implan ortodontik titanium alloy setelah pemaparan dengan tiga jenis larutan kumur. Metode: Sebanyak 28 mini implan ortodontik dibagi menjadi empat kelompok secara merata dan direndam selama 28 hari dalam larutan klorheksidin glukonat 0.2%, sodium fluoride 0.2%, dan kitosan 1.5%, dan air destilasi. Topografi permukaan bagian kepala dan leher mini implan ortodontik diperiksa menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan komposisi elemental dinilai menggunakan energy-dispersive x-ray spectroscopy energi (EDS). Hasil: Topografi permukaan mini implan ortodontik pada semua kelompok menunjukkan beberapa iregularitas permukaan karena cacat manufaktur, tetapi tidak ditemukan korosi celah maupun korosi lubang. Mini implan ortodontik yang direndam dalam kitosan menunjukkan permukaan yang lebih halus. Komposisi elemental hanya menunjukkan perbedaan bermakna pada elemen titanium dan aluminium antara kelompok sodium fluorida dan kitosan. Kesimpulan: Mini implan ortodontik titanium alloy menunjukkan ketahanan korosi yang baik setelah pemaparan dalam larutan klorheksidin glukonat, sodium fluoride, dan kitosan selama 28 hari. Mini-implan ortodontik yang direndam dalam kitosan menunjukkan permukaan yang lebih halus dan komposisi elemen titanium dan aluminium yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.

Objectives: Orthodontic mini-implants are widely used as an intraoral skeletal anchorages. Titanium alloy orthodontic mini-implants are known to have high corrosion resistance, but studies have found some corrosion behavior after contact with mouthwashes. The current in- vitro study aimed to examine surface topography and elemental composition as parameters of corrosion resistance for titanium alloy orthodontic mini-implants after being immersed in three different types of mouthwashes. Methods: A total of 28 titanium alloy orthodontic mini- implants were divided equally into four groups and immersed for 28 days in chlorhexidine gluconate 0.2% mouthwash, sodium fluoride 0.2% mouthwash, chitosan 1.5% mouthwash, and distilled water. All the orthodontic mini-implants’ heads and necks were then examined for surface topography using a scanning electron microscopy (SEM) and the elemental composition was assessed using energy-dispersive x-ray spectroscopy (EDS). Results: Surface topography of the orthodontic mini-implants immersed in chlorhexidine gluconate, sodium fluoride, chitosan, and distilled water exhibited some manufacturing defects and rough surfaces, but no signs of crevices or pitting corrosion on the heads and necks. The elemental composition of all groups was comparable, but there was a statistically significant difference between titanium and aluminum (at%) between the sodium fluoride group and the chitosan group. Conclusion: Titanium alloy orthodontic mini-implants exhibited good corrosion resistance after immersion for 28 days in chlorhexidine gluconate 0.2%, sodium fluoride 0.2%, and chitosan 1.5%. Orthodontic mini-implants immersed in chitosan showed a smoother surface and higher titanium and aluminum (at%) than other groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisty Setyari Putri
"Tujuan: Mini implan ortodontik berbahan titanium alloy sebagai penjangkaran skeletal diketahui memiliki ketahanan korosi yang tinggi, namun beberapa penelitian menemukan adanya perubahan ketahanan korosi setelah berkontak dengan larutan kumur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan topografi permukaan dan perubahan komposisi elemental mini implan ortodontik titanium alloy setelah pemaparan dengan tiga jenis larutan kumur.
Metode: Sebanyak 28 mini implan ortodontik dibagi menjadi empat kelompok secara merata dan direndam selama 28 hari dalam larutan klorheksidin glukonat 0.2%, sodium fluoride 0.2%, dan kitosan 1.5%, dan air destilasi. Topografi permukaan bagian kepala dan leher mini implan ortodontik diperiksa menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan komposisi elemental dinilai menggunakan energy-dispersive x-ray spectroscopy energi (EDS).
Hasil: Topografi permukaan mini implan ortodontik pada semua kelompok menunjukkan beberapa iregularitas permukaan karena cacat manufaktur, tetapi tidak ditemukan korosi celah maupun korosi lubang. Mini implan ortodontik yang direndam dalam kitosan menunjukkan permukaan yang lebih halus. Komposisi elemental hanya menunjukkan perbedaan bermakna pada elemen titanium dan aluminium antara kelompok sodium fluorida dan kitosan.
Kesimpulan: Mini implan ortodontik titanium alloy menunjukkan ketahanan korosi yang baik setelah pemaparan dalam larutan klorheksidin glukonat, sodium fluoride, dan kitosan selama 28 hari. Mini-implan ortodontik yang direndam dalam kitosan menunjukkan permukaan yang lebih halus dan komposisi elemen titanium dan aluminium yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.

Objectives: Orthodontic mini-implants are widely used as an intraoral skeletal anchorages. Titanium alloy orthodontic mini-implants are known to have high corrosion resistance, but studies have found some corrosion behavior after contact with mouthwashes. The current in- vitro study aimed to examine surface topography and elemental composition as parameters of corrosion resistance for titanium alloy orthodontic mini-implants after being immersed in three different types of mouthwashes.
Methods: A total of 28 titanium alloy orthodontic mini- implants were divided equally into four groups and immersed for 28 days in chlorhexidine gluconate 0.2% mouthwash, sodium fluoride 0.2% mouthwash, chitosan 1.5% mouthwash, and distilled water. All the orthodontic mini-implants’ heads and necks were then examined for surface topography using a scanning electron microscopy (SEM) and the elemental composition was assessed using energy-dispersive x-ray spectroscopy (EDS).
Results: Surface topography of the orthodontic mini-implants immersed in chlorhexidine gluconate, sodium fluoride, chitosan, and distilled water exhibited some manufacturing defects and rough surfaces, but no signs of crevices or pitting corrosion on the heads and necks. The elemental composition of all groups was comparable, but there was a statistically significant difference between titanium and aluminum (at%) between the sodium fluoride group and the chitosan group.
Conclusion: Titanium alloy orthodontic mini-implants exhibited good corrosion resistance after immersion for 28 days in chlorhexidine gluconate 0.2%, sodium fluoride 0.2%, and chitosan 1.5%. Orthodontic mini-implants immersed in chitosan showed a smoother surface and higher titanium and aluminum (at%) than other groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Garg, Arun K.
Chicago: Quintessence Books, 2004
617.693 GAR b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina Hasriati
"

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas antibakteri obat kumur klorheksidin dan larutan kitosan terhadap total bakteri dan bakteri Red-Complex pada daerah leher Mini Implan Ortodontik (MIO) yang digunakan oleh pasien yang sedang menjalani perawatan ortodontik.

Metode: Desain penelitian ini adalah eksperimental klinis dan laboratorik. Penelitian dilakukan di Klinik Ortodonti RSKGM FKG UI dan laboratorium Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada bulan Februari 2019 – Juli 2019. Penelitian ini merupakan double blinded test yang melibatkan 30 subjek penelitian yang terbagi menjadi tiga kelompok uji. Setiap kelompok berkumur dengan larutan kumur kitosan/ obat kumur klorheksidin/ aquadest steril (kontrol) yang disamarkan, sebanyak 10 ml dua kali sehari selama empat hari. Jumlah koloni bakteri Red-complex (terdiri dari Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythia, dan Treponema denticola) yang didapat dari sampel plak di leher MIO, baik sebelum dan sesudah menggunakan obat kumur, dianalisis di laboratorium menggunakan Real-time Polymerase Chain Reaction. Kemudian data diolah dan dianalisis secara statistik.

Hasil: Obat kumur klorheksidin dan larutan kitosan efektif secara signifikan menurunkan total bakteri peri-MIO (P<0,05). Penurunan total bakteri peri-MIO setelah berkumur selama empat hari dengan larutan kitosan 1% tidak berbeda bermakna dengan berkumur menggunakan obat kumur klorheksidin 0,2% (P≥0,05). Efektivitas antibakteri larutan kitosan terhadap bakteri red-complex menunjukkan hasil yang terbaik pada bakteri T.denticola yaitu penurunan sebesar 58% jumlah bakteri.

Kesimpulan: Kitosan memiliki efektivitas antibakteri yang sebanding dengan klorheksidin untuk digunakan dalam larutan kumur untuk mencegah infeksi peri-MIO.

 

Kata Kunci: Mini Implan Ortodontik; kitosan, klorheksidin; bakteri red-complex; obat kumur.

 

 


Introduction: Inflammation is one of the most common complication occurred when using orthodontic miniscrew. Chlorhexidine mouthwash can be used to prevent and reduce the inflammation, but long-term use of chlorhexidine mouthwash may exhibit some side effects. Chitosan is a biomaterial that has antibacterial properties which may beneficial in maintaining peri-miniscrew hygiene and preventing inflammation.

Objectives: The aim of the study is to evaluate the antibacterial effect of 1% chitosan compare to 0.2% chlorhexidine mouthwash on bacterial level around orthodontic miniscrew.

Materials and Methods: Randomized double-blind clinical trial was conducted in RSKGM University of Indonesia from February to July 2019. Thirty subjects, 25 female and 5 male, were randomly assigned to rinse with 1 % chitosan (n=10), 0.2% chlorhexidine digluconate (n=10), and aquadest (n=10) in addition to their usual oral hygiene procedure for four days. Peri-miniscrew clinical inflammation signs were recorded and peri-miniscrew plaque were collected before and after four days rinsing. The total bacterial and red-complex bacteria count in plaque samples were evaluated by real-time PCR.

Results: Chitosan and Chlorhexidine has antibacterial activity to reduce total bacterial count in peri-miniscrew (P < 0,05). Antibacterial activity of chitosan on total bacteria is not different significantly with chlorhexidine (P ≥ 0,05). Antibacterial activity of chitosan on red-complex bacteria shows best result on T.denticola with 58% bacteria count reduction.

Conclusion: Chitosan has potential antibacterial activity to be used in mouthwash to maintain the peri-miniscrew hygiene.

Keywords: orthodontic miniscrew; chitosan; chlorhexidine; red-complex bacteria; mouthwash

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>