Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97902 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadiah Suhaima Ghina
"Taman Nasional Kepulauan Seribu termasuk ke dalam Kawasan Perlindungan Laut di Indonesia dan dikelompokkan ke dalam beberapa zonasi, salah satunya yakni zona inti. Pada tahun 2010-2012, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu menjalankan program Kampanye Pride yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat agar tidak menangkap ikan di kawasan zona inti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak program terhadap perilaku nelayan setelah dua tahun program selesai dijalankan. Skripsi ini membahas dampak Program Kampanye Pride di Kelurahan Pulau Harapan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan menggunakan analisis metode kuantitatif terhadap 30 responden. Teori yang digunakan adalah teori dimensi-dimensi dampak oleh Agustino yang terdiri dari dimensi pengaruh program terhadap kelompok sasaran, keadaan program di masa kini, serta pengaruh tidak langsung program terhadap kelompok sasaran. Simpulan yang didapatkan dari penelitian adalah Program Kampanye Pride memberikan dampak positif terhadap perilaku masyarakat nelayan di kelurahan Pulau Harapan.

Kepulauan Seribu National Park is one of the Marine Protected Area in Indonesia which is grouped into several zones, one of which is the core zone. In 2010-2012, Kepulauan Seribu National Park’s Office ran Pride Campaign program that aims to change fishermen’s behavior so they do not to catch fish in the core zone. This study aims to determine the impact of the program on fishermen’s behavior after two years this program is finished. This study discusses the impact of the Pride Campaign Program at Kelurahan Pulau Harapan in Kepulauan Seribu, DKI Jakarta by using quantitative analysis method to 30 respondents. The theory used is dimensions of the impact’s theory by Agustino which consists: the impact of a program to target groups, present state of the program, and the indirect impact of a program to target groups. The conclusions obtained from the research is the Kampanye Pride program had a positive impact on fishermen’s behavior in Kelurahan Pulau Harapan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S58686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Ihsan
"Higiene dan sanitasi dasar yang tidak memadai dapat menjadi salah satu faktor risiko penyakit menular lingkungan seperti diare. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang paling banyak ditemui di daerah pesisir seperti di Kelurahan Pulau Harapan. Selain higiene dan sanitasi, lantai yang merupakan bagian dari bangunan rumah, dapat menjadi faktor risiko lain dari penularan penyakit diare. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi higiene dan sanitasi dasar serta kondisi lantai rumah dengan kejadian diare di Kelurahan Pulau Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta Desain studi yang digunakan adalah pada penelitian ini adalah cross-sectional, dengan metode pengambilan data berupa wawancara menggunakan instrumen kuesioner dan observasi langsung pada kondisi higiene dan sanitasi dasar serta kondisi lantai rumah rumah tangga penduduk. Dari total 96 responden pada penelitian ini, ditemukan kasus kejadian diare dalam sebulan terakhir, sebanyak 25 orang dan yang tidak mengalami kasus kejadian diare sebanyak 71 orang. Dengan kelompok anak-anak (dibawah 17 tahun) menjadi yang terbanyak yaitu berjumlah 13 kasus. Hasil analisis uji chi square menyatakan bahwa, terdapat hubungan yang signifikan pada variabel: jamban sehat (p-value 0,005), kualitas air (fisik) (p-value 0,005), dan fasilitas tempat sampah (p-value 0,019). Penentuan variabel yang paling dominan terhadap kejadian diare menggunakan uji regresi logistik didasarkan dari nilai Exp (B) atau Odds Ratio pada pemodelan multivariat akhir, yang terbesar adalah 6,389 pada variabel kondisi jamban (p-value 0,002), sehingga variabel kondisi jamban memiliki kecenderungan paling dominan yang berhubungan dengan penyakit diare. Dari penelitian ini, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat berkolaborasi untuk saling memperhatikan kebersihan lingkungan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kemudian, untuk penelitian selanjutnya dapat menggali lebih dalam terkait variabel lain yang mungkin berhubungan dengan kejadian diare di pulau lainnya dalam wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.

Inadequate basic hygiene and sanitation can be a risk factor for environmental infectious diseases such as diarrhea. Diarrhea is one of the diseases most commonly found in coastal areas such as Pulau Harapan Village. Apart from hygiene and sanitation, the floor which is part of the house building, can be another risk factor for transmitting diarrheal diseases. This study aims to determine the relationship between basic hygiene and sanitation conditions and the condition of house floors with the incidence of diarrhea in Harapan Island Village, North Seribu Islands District, Seribu Islands Administrative Regency, DKI Jakarta Province. The study design used in this research is cross-sectional, with data collection methods in the form of interviews using questionnaire instruments and direct observation of basic hygiene and sanitation conditions as well as the condition of the floors of residents' households. The number of total respondent in this research (96), 25 people found cases of diarrhea in the last month and 71 people did not experience cases of diarrhea. Children (under 17 years) are the most group by age (13 cases) found cases of diarrhea. The research analysis with chi square test stated that there was a significant relationship with the variables: healthy latrines (p-value 0.005), water quality (physical) (p-value 0.005), and waste bin facilities (p-value 0.019). Determining the most dominant variable in the incidence of diarrhea using the logistic regression test was based on the Exp (B) or Odds Ratio score in the final multivariate modeling, the biggest score was 6.389 in the latrine condition variable (p-value 0.002), that conclude the latrine condition variable is the most dominant to the relationship of diarrhea case. From this research, hopefully the government and the people can collaborate to pay attention to environmental cleanliness to improve the level of public health in Kelurahan Pulau Harapan. Then, for further research, hopefully other researcher can dig deeper into other variables that may be related to the incidence of diarrhea on other islands in North Seribu Islands District"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Syukur
"Fokus penelitian ini adalah meneliti tentang isteri-isteri yang ditinggal suami yang bekerja sebagai nelayan samudera selama 3 s/d 4 bulan melaut, di Kelurahan Pulau Tidung Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan seribu Provinsi DKI Jakarta, faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kemandirian kehidupan istri-istri tersebut saat suami mereka pergi ke laut? serta sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam kehidupan para isteri tersebut. Kemudian penelitian ini juga melihat bagaiamana proses interaksi antara aktor para istri dengan masyarakat dalam struktur sosial masyarakat, saat istri-istri tersebut menjalankan kehidupannya.
Pola-pola pembagian kerja secara umum yang terjadi pada keluarga batih, pada keluarga nelayan ini tidak berlaku, semua itu terjadi oleh karena pekerjaan suami sebagai nelayan samudera, mengharuskan isteri berperan menggantikan posisi suaminya dalam berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. Seperti persoalan ekonomi kebutuhan hidup sehari-hari, pengasuhan anak dan pendidikan anak, serta persoalan-persoalan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah Kualitatif-Deskriptif, yaitu jenis penelitian yang akan menggambarkan/mendeskripsikan fenomena sosial. Fenomena yang dimaksud dalam hal ini, adalah fenomena kehidupan perempuan sebagai kepala keluarga dalam waktu tertentu (3 s/d 4 bulan). Penelitian ini juga menggunakan pendekatan studi kasus, pendekatan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang kehidupan istri-istri yang ditinggal suami mereka yang bekerja sebagai nelayan samudera dalam jangka waktu relatif panjang. Adapun data lapangan yang dipergunakan dalam penelitian ini, berupa wawancara (pedoman wawancara terbuka), dan pengamatan yang mendalam terhadap informan utama.
Berdasarkan data primer dan data sekunder serta telaah kepustakaan terhadap beberapa literatur yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang didapat; Pertama kemandirian yang dilakukan para isteri nelayan samudera didorong oleh pendapatan suami yang serba tidak cukup, artinya pendapatan suami mereka yang bekerja selama 4 bulan di laut, tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya untuk waktu tersebut. Kedua kemandirian yang terjadi juga didukung oleh budaya setempat yang menganggap kegiatan yang dilakukan oleh isteri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti berjualan keliling disekitar Pulau Tidung, mencari remis, mencari kayu bakar, kuli nyuci, kuli gosok atau membantu di rumah orang, tidak bertentangan dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di kelurahan Pulau Tidung.
Untuk membantu menganalisa terhadap kasus ini, penelitian ini menggunakan pendekatan Struktural Fungsionalnya Talcott Parsons. Meski Parsons tidak secara langsung menyinggung masalah perempuan, namun dia membahasnya dengan empat fungsi penting untuk semua sistem "tindakan" yang kemudian terkenal dengan skema AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency), Pola AGIL yang dipergunakan ini mampu menolong para isteri, yang secara umum dalam penelitian digambarkan sebagai sosok yang mampu bertahan dan mempertahankan hidupnya dengan cara ber-adaptasi (Adaptasion=A) dengan keadaan dan situasi yang dihadapinya, dengan caranya sendiri tentunya. Dampaknya dapat terlihat dalam kehidupannya yang serba kekurangan, dia mampu membuat hidup dirinya dan keluarganya yang ditinggalkan oleh suaminya yang bekerja sebagai nelayan, mampu di hadapinya, tentunya dengan cara-caranya sendiri (Goal=G), untuk keperluan itu para isteri juga melakukan kerjasama dengan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya (Latency=L), sehingga terjalin hubungan yang baik antara isteri dengan masyarakat yang sudah pasti, hal tersebut sejalan dengan aturan dan norma yang berlaku di masyarakat (Integration=I)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Satrio Utomo
"Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu bentuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi usia 0-6 bulan, tidak diberi makanan atau minuman tambahan apapun sejak lahir sampai usia 6 bulan. Capaian ASI eksklusif di Propinsi DKI Jakarta tahun 2009 mencapai 58,7%. Sedangkan capaian cakupan perilaku pemberian ASI eksklusif pada bayi di Kepulauan Seribu pada tahun 2009 sebesar 46%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku pemberian ASI eksklusif dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Pulau Untung Jawa tahun 2011.
Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan respondennya seluruh populasi ibu-ibu yang memiliki bayi umur 6-18 bulan sebanyak 35 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian dianalisa menggunakan chi-square dan multivariat (regresi logistik ganda).
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada variabel yang dominan dan berhubungan dengan perilaku pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan. Adanya faktor lain yang mempengaruhi ibu khususnya peran aktif dari kader-kader PKK dan seluruh jajaran Pemerintahan di Kabupaten Kepulauan Seribu serta tingginya kepedulian masyarakatnya.
Dengan penelitian ini maka disarankan bagi Kementerian Kesehatan untuk membuat kebijakan serta pelatihan pemberdayaan masyarakat terus menerus khususnya bagi kader-kader kesehatan dan petugas kesehatan agar perilaku pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan semakin meningkat.

The exclusive breastfeeding is the one of the clean living and healthy behaviors (PHBS). It is defined as to give breastfeeding only to the babies, without giving any additional foods or beverages from birth until age 6 months. The achievement of the exclusive breastfeeding in the DKI Jakarta and Kepulauan Seribu had reached 58.7% and 46% in 2009.
The objective of this study is to determine the behavior of exclusive breastfeeding and factors associated with exclusive breastfeeding behavior in the Kepulauan Untung Jawa Village in 2011.
The methods of this study is used a quantitative data research by using questionnaires. It collects 35 respondents which are the entire population of mothers who had babies aged 6-18 months. Then the data will be analysed by chi-square and multivariate analysis (multiple logistic regression).
The findings showed that there is no significant variable related with exclusive breastfeeding behaviors of 0-6 month's babies. But there are other factors that related to breastfeeding in particular such as the active role of PKK cadres, the community, and all levels of government in The Kepulauan Seribu Districts.
The suggestion from this study is that the Ministry of Health should develop policies and training for community empowerment, especially to strengthen the health cadres and health workers to improve the number of exclusive breastfeeding.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T30114
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tery Astyaningsih
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2010
S5339
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
"Salah satu kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia yang kegiatan pariwisatanya berkembang cepat adalah wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu di Jakarta Utara. Sebanyak 14 dari 110 pulau-pulau kecil di wilayah ini, telah dikembangkan sebagai pulau wisata. Tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan relatif besar, mencapai rata-rata 11,21% per tahun. Pada tahun 1993, jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai 119.278 orang, dan 27,68% di antaranya wisatawan mancanegara. Wilayah ini khususnya perairan laut bagian utara, memiliki keanekaragaman karang yang tinggi, meliputi 67 genera dan subgenera yang mencakup paling sedikit 123 spesies karang, serta habitat penyu sisik dan hutan mangrove. Sehingga bagian wilayah tersebut yang mencakup 108.000 Ha perairan laut dan 72 pulau, ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 dan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982. Pembagian zona TNL Kepulauan Seribu ditetapkan kemudian melalui Surat Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986, serta dipertegas lagi di dalam Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) Kecamatan Keputauan Seribu Tahun 1985-2005 (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 1987). Ekosistem terumbu karang memiliki nilai estetika sangat tinggi, sehingga menjadi atraksi penting bagi jenis pariwisata yang berorientasi kepada 3 S (Sea, Sun, Sand).. Pengembangan pulau sebagai pulau wisata dilakukan dengan pembangunan prasarana, fasilitas peristirahatan dan rekreasi serta fasilitas pendukungnya di pulau tersebut. Pulau-pulau di Kepulauan Seribu sendiri, terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang.
Pulau merupakan sebuah lingkungan khusus yang berbeda dari lingkungan daratan luas apalagi kontinental. Pulau kecil (small island), memiliki sumber daya alam (lahan, air tanah, flora dan fauna) sangat terbatas, rasio yang tinggi antara panjang keliling pantai dan luas tanah, areal tanah relatif sempit, daerah tangkapan air hujan kecil, proporsi air hujan dan material tanah (soil) yang hilang tererosi ke laut umumnya besar, kapasitas air tawar sangat terbatas dan rawan kekeringan, spesies endemik lebih tinggi dibanding daratan luas apalagi kontinental, dan secara terns menerus terbuka terhadap aksi gelombang laut pada semua sisi.
Pulau karang, memiliki ekosistem yang sederhana. Letaknya rendah, tanah dasarnya terdiri atas endapan karang, fertilitas tanah rendah, tidak memiliki air permukaan, air tanah sangat terbatas dan mudah habis. Karena tanahnya banyak pori, perembesan air dari permukaan sangat cepat sehingga cadangan air tanah sangat mudah terkontaminasi. Lingkungannya bersifat mudah luka (vulnerable) dan rapuh (fragile), dan kemudahlukaan serta kerapuhan lingkungan tersebut berkaitan erat dengan kecilnya ukuran pulau. Mudahnya keseimbangan ekologi lingkungan pulau terganggu, membuat pulau terlalu kecil untuk dikembangkan sebagai basis bagi aktivitas berskala besar, serta memerlukan cara pengelolaan yang diserasikan dengan karakteristik lingkungan. Sehingga pulau kecil, merupakan sebuah kasus khusus di dalam pembangunan.
Mengingat Kepulauan Seribu relatif dekat dari Kota Jakarta, pariwisata di kawasan ini akan terns meningkat, yang diimplementasikan dalam bentuk pengembangan pulau-pulau lain menjadi pulau wisata, peningkatan intensitas bangunan pada pulau-pulau wisata yang ada, serta peningkatan aktivitas wisata itu sendiri, yang kesemuanya akan mendorong pengubahan lingkungan pulau yang semakin besar disertai peningkatan tekanan dan dampak terhadap lingkungan pulau. Usaha pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang berorientasi kepada keuntungan, sehingga sangat mementingkan omzet usaha, yang dengan demikian cenderung mengikuti perkembangan permintaan pasar dengan peningkatan kapasitas fasilitas pariwisata. Di lain pihak, kelangsungan usaha pariwisata tersebut sangat dipengaruhi oleh kelestarian lingkungan yang justru menjadi asset pariwisata itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian: seberapa besar kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan di pulau-pulau wisata di Kepulauan Seribu dikaitkan dengan daya dukung lingkungan pulau, bagaimana pola pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan, serta bagaimana seharusnya pengelolaan lingkungan dilakukan sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau-pulau wisata tersebut.
Dibanding pulau-pulau wisata di luar kawasan TNL Kepulauan Seribu, pulau-pulau wisata yang berada di dalam kawasan TNL Kepulauan Seribu lebih representatif sebagai kawasan wisata bahari karena memiliki kualitas lingkungan lebih baik (terutama perairan dan biota lautnya) sehingga atraksi wisata bahari yang tersedia lebih lengkap. Di samping itu, sehubungan dengan fungsinya sebagai daerah konservasi, tuntutan terhadap upaya pelestarian lingkungannya lebih tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada pulau-pulau wisata yang berada di dalam Zona Pemanfaatan kawasan TNL. Kepulauan Seribu, yang memang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata secara intensif. Dari 6 pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata di zona tersebut, dipilih 3 (tiga) pulau sebagai obyek penelitian, yaitu Pulau-pulau Putri, Petondan Barat, dan Macan Besar.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan berupa penerapan pengertian "Pengelolaan Lingkungan" menurut definisi yang tercantum di dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yaitu, pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu di dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan lingkungan hidup. Sehingga di dalam penelitian ini, pengelolaan lingkungan pulau wisata disebut di atas ditinjau dari aspek-aspek pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan. Pertanyaaan penelitian mengenai besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan pada pulau-pulau wisata, dilihat dari segi besaran-besaran pemanfaatan areal daratan pulau, kapasitas fasilitas peristirahatan, dan kepadatan wisatawan.
Penelitian pengelolaan lingkungan pada pulau-pulau wisata ini, dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan komponen-komponen lingkungan atau aktivitas yang berkenaan dengan setiap aspek pengelolaan lingkungan. Baru kemudian dari setiap komponen lingkungan/aktivitas tersebut, ditetapkan indikator dan variabelnya masing-masing. Dari identifikasi tersebut, ternyata, ketujuh aspek pengelolaan lingkungan, memiliki sebanyak 33 indikator, dan keseluruhannya terdiri atas 92 variabel. Berdasarkan daftar variabel tersebut kemudian diinventarisasi data yang diperlukan untuk setiap variabel.
Penelitian bersifat deskriptif ini tergolong sebagai penelitian survei (nonexprimental). Informasi dan data dikumpulkan secara sistematis dan bertahap, mulai dari studi kepustakaan, survei instansional untuk memperoleh data sekunder, kemudian observasi lapangan, serta dilanjutkan dengan pencarian data primer secara terinci. Data primer diperoleh melalui data kuesioner dari para pengelola pulau, wawancara mendalam dengan para manajer dan staf di pulau, serta penelitian dan pengukuran komponen-komponen panting lingkungan pulau di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Juni - Juli 1994.
Data ketiga pulau yang menjadi obyek penelitian, disusun dalam bentuk tabel dan sebagian dilengkapi peta, untuk menggambarkan kondisi dari masing-masing pulau untuk setiap variabel. Analisisnya diungkapkan secara deskriptif, berurutan menurut ketujuh aspek pengelolaan lingkungan, sekaligus untuk ketiga pulau.
Untuk menafsirkan hasil analisis pengelolaan lingkungan di ketiga pulau, maka kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel dari ke 92 variabel diletakkan dalam kontinum dari setiap variabel tersebut, masing-masing dengan skala yang sesuai, untuk kemudian, dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Skala dari kontinum variabel ditetapkan berdasarkan batasan-batasan dari peraturan yang ada, teori, dan jarak perbedaan kondisi masing-masing ketiga pulau untuk variabel yang bersangkutan. Berdasarkan posisinya di dalam skala kontinum, kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel dinyatakan dalam nilai kualitatif, dengan 2 gradasi nilai (misal "Tidak Sesuai" dan "Sesuai"), 3 gradasi nilai (misaI "Kecil", "Sedang", "Besar"), atau 5 gradasi ("Sangat Kecil", "Kecil", "Sedang", "Besar", "Sangat Besar"). Penggunaan 2, 3 atau 5 gradasi nilai kualitatif, ditentukan berdasarkan jumlah skala dari kontinum masing-masing variabel. Nilai kualitatif tersebut kemudian ditetapkan nilai kuantitatifnya, berupa nilai nominal dari 1 sampai 5. Nilai tertinggi (5) diberikan kepada nilai kualitatif paling sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau, dan nilai terendah (1) diberikan kepada nilai kualitatif paling tidak sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata.
Dengan asumsi bahwa bobot nilai dari setiap variabel sama, maka jumlah nilai kuantitatif maupun nilai rata-rata setiap pulau untuk setiap aspek pengelolaan, dapat dihitung. Begitu pula nilai total pengelolaan lingkungan secara keseluruhan pada masing-masing pulau, serta nilai rata-rata dari ketujuh aspek pengelolaan lingkungan. Untuk membedakan status nilai pengelolaan lingkungan dari ketiga pulau, maka terhadap nilai rata-rata dari semua variabel dari setiap aspek pengelolaan maupun nilai rata-rata dari ke 92 variabel pengelolaan lingkungan, dilakukan kategorisasi sebagai berikut:
Nilai rata-rata 1, kategori Sangat Buruk.
Nilai rata-rata 2, kategori Buruk.
Niiai rata-rata 3, kategori Sedang.
Nilai rata-rata 4, kategori Baik.
Nilai rata-rata 5, kategori Sangat Baik.
Berdasarkan nilai kualitatif dan nilai kuantitatif yang diperoleh masing-masing pulau, maka besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan di setiap pulau, dapat dinilai secara jelas khususnya dikaitkan dengan ambang batas yang diperkenankan sesuai tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Begitu pula kesesuaian dan ketidaksesuaian dari pola pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan pada masing-masing ketiga pulau wisata tersebut, baik menurut ketujuh aspek pengelolaan maupun terperinci menurut variabel pengelolaan lingkungan. Dari hasil identifikasi atas ketidaksesuaian dan kesesuaian pengelolaan lingkungan pulau-pulau tersebut, dapat diketahui bagaimana seharusnya pengelolaan lingkungan pulau wisata dilakukan, sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Selain itu, bertolak dari kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel, dibandingkan dengan kondisi yang seharusnya, dapat dikemukakan saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan, baik pengelolaan lingkungan kawasan taman nasionai laut secara umum, begitu pula pengelolaan lingkungan masing-masing pulau.
Sesuai hasil penilaian dengan tata cara dikemukakan di atas, maka terhadap ketiga pertanyaan penelitian dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan secara ringkas sebagai berikut:
1. Besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan pada pulau-pulau wisata. Dari segi intensitas bangunan dan kemampuan suplai air tanah dangkal setempat, pengembangan pariwisata di Pulau-pulau Putri, Petondan Barat dan Macan Besar sudah mencapai Batas maksimum daya dukung lingkungan, walaupun dari segi kepadatan wisatawan masih relatif rendah. OIeh karena itu, peningkatan jumlah wisatawan masih dimungkinkan, namun harus didukung oleh suplai air bersih dari sumber lain;
2. Pola pengelolaan lingkungan pulau-pulau wisata di kawasan TNL Kepulauan Seribu.
Dari penilaian terhadap ke 92 variabel pengelolaan lingkungan pulau wisata, diperoleh kesimpulan bahwa nilai pengelolaan lingkungan PuIau Putri memperoleh kategori Sedang dengan nilai rata-rata 3,62, dan Pulau Petondan Barat memperoleh kategori Sedang dengan nilai rata-rata 3,40, sedangkan Pulau Macan Besar memperoleh kategori Buruk dengan nilai rata-rata 2,46.
Keberhasilan Pulau Putri mencapai nilai rata-rata 3,62, terutama diperoleh dari kategori baik pada aspek penataan lingkungan (dengan nilai rata-rata 4,29) dan aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 4,09), serta kategori Sedang pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 3,91).
Pulau Petondan Barat memperoleh kategori Baik{ pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 4,27) dan aspek penataan lingkungan (nilai rata-rata 4,00), serta kategori Sedang pada aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 3,86).
Sedangkan Pulau Macan Besar hanya memperoleh kategori Sedang pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 3,18), aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 3,04), dan aspek pengawasan lingkungan (nilai rata-rata 3,00). Pada keempat aspek pengelolaan lainnya, memperoleh kategori Buruk.
Dari identifikasi terhadap nilai yang diperoleh masing-masing pulau untuk setiap variabel dari ke 92 variabel, maka jumlah variabel yang bernilai masih kurang dari 3 (belum mencapai kategori Sedang) pada masing-masing pulau adalah sebagai berikut:
Pulau Putri, sebanyak 19 variabel;
Pulau Petondan, sebanyak 29 variabel;
Pulau Macan Besar, sebanyak 55 variabel.
3. Pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata
Pengelolaan lingkungan pulau wisata, sebagaimana dikemukakan sebelumnya dinilai dari ke 92 variabel. Karena itu, pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata, didasarkan kepada rumusan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata terhadap setiap variabel dari masing-masing ketujuh aspek pengelolaan lingkungan. Berdasarkan rumusan tersebut dikemukakan bagaimana pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata, yang dirinci masing-masing untuk aspek pemanfaatan lingkungan, penataan lingkungan, pemeliharaan lingkungan, pemulihan lingkungan, pengawasan lingkungan, pengendalian lingkungan, dan pengembangan lingkungan.
Di dalam penelitian ini juga diperoleh temuan-temuan lain yang menyangkut pengelolaan kawasan taman nasional laut dan komponen-komponen lingkungan pulau bersifat strategis. Berdasarkan temuan-temuan ini, serta hasil penilaian terhadap ke 92 variabel pada masing-masing pulau, dirumuskan implikasinya terhadap kebijaksanaan pengelolaan lingkungan, meliputi:
1. Kebijaksanaan pengelolaan kawasan taman nasional laut dan pembangunan pulau wisata; Kebijaksanaan terhadap pulau-pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata;
2. Kebijaksanaan terhadap pulau-pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata
3. Pengembangan peraturan yang. sudah ada (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara).
Selain itu, berdasarkan identifikasi terhadap variabel-variabel yang masih bernilai kurang dari 3 (tiga) pada masing-masing pulau, maka dikemukakan saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan, yang spesifik untuk masing-masing pulau serta saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan yang berlaku untuk ketiga pulau.
Terakhir dikemukakan saran tentang penelitian lanjutan yang perlu dilakukan berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan pulau wisata yang tidak bisa dijangkau oleh penelitian ini, yaitu:
1. Neraca air dan alternative pengembangan sumber air bersih di pulau-pulau wisata, pengolahan air asin, serta persyaratan minimal proses pengolahan air buangannya;
2. Jenis-jenis flora spesies pulau paling sesuai untuk diprioritaskan pengembangannya di pulau-pulau wisata untuk kepentingan pemeliharaan kelestarian lingkungan pulau sekaligus keperluan fungsi pulau sebagai obyek wisata.

One of Indonesian small island areas that have rapid growth in tourism is KepuIauan Seribu area, located in northern Jakarta. At present, 14 of 110 small islands in Kepulauan Seribu area have been developed as resort islands, with the growth of visitors about 11.21% per year. In 1993, the amount of visitors was 119,278 persons, and 27.68% of them are international tourists. This area -- especially the northern area -- has high diversity of coral, consists of 67 genera and subgenera with 123 coral species, turtles habitat, and mangrove ecosystem. The northern area that covered 108,000 Ha marine area and 72 islands, has determined as Kepulauan Seribu Marine National Park by the Decree of Agriculture Minister Number 527IKpts1Um/7/1982, and Statement Letter of Agriculture Minister Number 736IMentan/X11982. Later the zone of this marine national park is determined in the Decree of Director of National Park and Forestry Resort Number 02NIITN-211986, and reconfirmed in the District Plan of Kecamatan Kepulauan Seribu 1985 - 2005 (Regional Regulation of DKI Jakarta Number 311987). Coral reef ecosystems with its high aesthetic value become the most attractive and valuable things in "3S" oriented tourism sector (Sea, Sun, Sand). The development of an island to be a resort island, implemented by construction the infrastructures, provide accommodation and recreation facilities and also supporting facilities for the island. Historically, islands in Kepulauan Seribu, were formed by the growth and development of coral reef.
An island has unique environment, that different from large area and continent. Small island has limited resources such as: land, groundwater, flora and fauna, high ratio between the length of the coast lines and the square of the land, the area is very limited, small catchments area, the proportion of rainfall and eroted soil that bring to the sea is high, endemic species, and continually are opened to the wave action at all sites.
Coral island has a simple ecosystem. Located in low area, the basement consist of coral cays with low fertility level, has no surface water, limited groundwater that wiped out easily and high risk of contamination by pollutant because of porous soil. The environment of coral island is vulnerable and fragile. These conditions are relates directly to the size of the island. The delicate ecological balance, makes small island only has little possibility to be improved as a center for large scale activities. To change ordinary small island to be a resort island with common plan is not possible to be implemented. There for, small island is a special case in development and need special management based on the characteristic of its environment.
Considering the location of the area that relatively closed to the city of Jakarta, the development of tourism sector in Kepulauan Seribu will continue to increase. The increasing of tourism will be implemented on the development the other islands to be resort island, increasing the intensity of the building construction on existing resort island, and also improve tourist activities. These will encourage rapid changing of the island environmental and followed by increasing of pressures and impacts to the environment of island. Basically, tourism sector is a commercial activity with profit orientation, by enlarging tourism activity, so that tend to fulfill the demand on tourism sector by extending capacity of the facilities in the resort island. In the contrary, the sustainability of this business is very much affected by the conservation of natural environment, which has role as the tourism asset itself.
The objective of this research is to answer the following questions: how far the tourism activities have been developed in the resort island of Kepulauan Seribu Area, how is the existing environmental management on each island resort, and how is the management of the island environment should be implemented that suitable to the characteristic of the island environment.
Resort islands in the boundary of Kepulauan Seribu National Marine Park, are more representative as marine tourism than those islands resorts out of boundary, due to better environmental quality (especially for their seas and coral reef ecosystems). Therefore they able to provide more attractive and complete activities. Relate to its function as the conservation area, the requirement on the effort for the conservation of Kepulauan Seribu Marine National Park area is high. Therefore, this research was focussed in the resort island located in Tourism Development Zone of Kepulauan Seribu Marine National Park, which planned for intensive use for tourism. From 6 islands which have developed as resort island in that zone, 3 islands were chosen as the object of this research, i.e.: Putri Island, Petondan Barat Island, and Macan Besar Island.
This research was done with an approach on the application of the concept on environmental management based on the definition of Act Number 411982 about The Basics Provision for Environmental Management (Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup). That Act defined that Environmental Management is an integrated effort on the utilization, planning, preservation, restoration, controlling, provision, and enhancement of the environment. So in this research, the environmental management of Resort Island will be focused only on the seven aspects of environmental management.
This research was started by indentifying environmental elements or activities that were exposured to each aspect of the enviromental management started this research. Then, indicators and variables from each environmental elements or activities were defined one by one. Actually, seven aspects of environmental management consist of 33 indicators, and as the whole there are 92 variables. As the next step is listing needed data based on the variables.
This descriptive research is classified as a survey research (non - experimental). All information and data were collected systematically and gradually, started from library studies, institutional surveys to get secondary data, and field observation. Then looking for primary data followed it. Primary data were gained from questionnaires, depth interview with managers and staffs in Resort Island, surveys and measurement of many important elements of island environmental in the fields. Field surveys were doing in June through July 1994.
The data of three islands that have been collected was compiled and written to tables and many of them also completed by maps to explain the present condition of each island for each variable. The analysis was elaborated descriptively based on the sequence of the seven aspects of environmental management of the three islands.
To interpret the results of the environmental management analysis of these three islands, the condition of 92 variables for each island, was placed in the continuum of each variable with appropriate scale, and then was measured by qualitative and quantitative value. The determination on the scale of each variables continuum is based on the restriction of the existing regulation, theory, and differences of existing condition for each variable for each island. Based on the position in the continuum scale, the condition of the variable for each island was stated in qualitative value, in 2 grade values (example: "Unsuitable" and "Suitable"), 3 grade values (example: small, medium, large), or 5 grade values (example: very small, small, medium, large, very large). The use of 2, 3, or 5 grade of qualitative value is counted based on the total scale of the continuum of each variable. That qualitative value, then, was transferred to quantitative value, with nominal value, from 1 to 5. The highest score (5) was given to qualitative value that most suitable to the characteristics requirement of island environment, and the lowest score (1) was given to qualitative value that most unsuitable to the characteristics requirement of island environment.
By assuming that each variable has equal weight, the total of quantitative value and the average of these scores for each island in each aspect of environmental management, was counted. And for the average and total scores of seven aspects of environmental management for each island.
To distinguish the status of the value of environmental management of those three island resorts, the average score of variables included in each aspect of environmental management and average score of the 92 variables of environmental management, are categorized as follows:
- Average score 1, categorized as Very Bad; - Average score 2, categorized as Bad;
- Average score 3, categorized as Moderate; - Average score 4 categorized as Good;
- Average score 5, categorized as Very Good;
Based on qualitative and quantitative value that obtained for each island, the quantity of tourist activities that have developed in each island, could be remarked clearly, especially thing that related with the maximum limit available to the characteristic requirements of island environment. By the same way, the suitable and unsuitable of environmental management that has been carried out in each island, either to the seven aspects of environmental management or to the detailed variables of environmental management could be remarked. Resorts Island based on the characteristic requirements of island environment, could be settled up. Beside that, with reference to existing condition of each island according to each variable, compared to the desired condition, recommendations for the improvement of environmental management, can be highlighted, either environmental management to national marine park area in generally or environmental management to each resort island.
Based on the assessment using the procedure written previously, for three research question stated in beginning of this report, could be concluded as follows:
1. The quantity of tourism activities that have been developed in the resort islands of Kepulauan Seribu especially in Kepulauan Seribu National Marine Park: In the side of building intensity and the ability of groundwater supply, the development of tourism in the three islands have reached to the maximum of the environmental carrying capacity. But in the side of tourist density, is still low. Therefore, increasing the amount of tourists is still available, but must be supported by supply of fresh water from the other sources.
2. Existing environmental management in resort islands of KepuIauan Seribu National Marine Park. By assessing to 92 variables of environmental management in resort island, it can be concluded that the score of environmental management in Putri Island reach the moderate category with average score of 3.62. The same category reached by Petodan Barat Island with average score of 3.40. Macan Besar Island only gets bad category with average score of 2.46.
The successful of Putri Island gets average score 3.62, because the island has good category in environmental planning (average score 4.29), environmental preservation (average score 4.09), and moderate category in environmental utilization (average score3.91).
Petondan Barat Island gets good category in environmental utilization (average score 4.27), environmental planning (average score 4.00), and medium category in environmental preservation (average score 3.86).
Macan Besar Island gets medium category in environmental utilization (average score 3.18), environmental preservation (average score 3.04), and environmental controlling (average score 3.00). For another four aspects, gets only bad category.
From the identification on the score for each island on the 92 variables, the amount of variables that have score less than 3 (have not reached moderate category) in each island, were as follows:
Putri Island, in 19 variables;
Petondan Barat Island, in 29 variables;
Macan Besar Island, in 55 variables.
3. The Appropriate Environmental Management in Resort Island.
Environmental management in Resort Island as explained formerly, was assessed from the 92 variables. Therefore, the appropriate environmental management in resort islands is based on the formulation of characteristic requirements of resort island environment due to each variable of the seven aspects of environmental management. Based on that formulation, the environmental management that appropriate to be carried out in resort islands can be elaborated individually' for the utilization, planning, preservation, restoration, controlling, provision, and the enhancement of environment.
The research also gets the other findings related to the management of national marine park area and strategic component of environmental island. Based on these findings, and the results of the assessment on 92 variables in each island, the implication to the policy for environmental management can be formulated, that covered:
1. Policy on the management of national marine park area and resort island development;
2. Improving existing regulation (DKI Jakarta Regulation Number 111 1992). Based on identification for variables that get score less than 3 in each island, improvement of environmental management can be stated, either specific for each island or for the three islands.
At last, it was proposed the recommendation to do further research related to the effort for environmental sustainability of resort island that can not be touched in this research.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tonih Usmana
"Kawasan pesisir sebagai ekosistem alami memberikan empat fungsi terhadap kebutuhan dasar manusia dan pembangunan ekonomi, yaitu mendukung kegiatan sebagai sumber kehidupan, keindahan dengan keramahan, sumber bahan baku, dan sebagai penampungan limbah. Dalam mendukung fungsi tersebut, diperlukan suatu perencanaan pengelolaan kawasan pesisir yang terintegrasi dan berkelanjutan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama dan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Sehingga partisipasi masyarakat pesisir secara aktif muliak diperlukan dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaan lingkungan di daerah. Adanya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat secara langsung diharapkan akan terjalin suatu hubungan yang harmonis, sinergis dan saling ketergantungan satu sama lainnya dalam usaha untuk mengurangi tekanan-tekanan dari kegiatan yang mempunyai potensi merusak lingkungan baik tekanan dari dalam maupun tekanan dari luar.
Kawasan Kepulauan Seribu yang merupakan kawasan konservasi laut khususnya di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, banyak sekali menerima tekanan dari luar dalam menjaga kelestarian lingkungannya, antara lain dari sektor industri pariwisata, overlshing, penggunaan bahan peledak dan racun ikan, limbah industri dan domestik, pertambangan, perusakan hutan mangrove dan penggunaan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan.
Bertitik tolak dari permasalahan yang ada dan melihat kondisi, persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir Kepulauan Seribu dalam penentuan pengelolaan lingkungan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana partisipasi masyarakat dan kegiatan-kegiatan yang berpotensi merusak kawasan pesisir dan ekosistemnya serta sejauh mana usaha pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan dan dukungan terhadap pelaksanaan program pengelolaan lingkungan di wilayah studi.
Penelitian telah dilaksanakan di Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa dan Kelurahan Pulau Harapan yang berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS). Penelitian dilapangan di mulai bulan April 2002 sampai dengan September 2002. Metode penelitian yang digunakan adalah metode partisipatif dengan Metode Participatory Rural Appraisal (PRA), dan metode survei dengan bantuan kuesioner atau wawancara. Teknis pengambilan sampel untuk pengumpulan data dan informasi dilakukan secara purposive random sampling yang digabungkan dengan metode PRA, terutama untuk data-data kondisi ekologi/lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan budaya wilayah studi. Jumlah responden yang diambil sekitar 10 % dari jumlah populasi atau tergantung kondisi yang ada dilapangan yang disesuaikan dengan keperluan pelaksanaan PRA.
Berdasarkan hasil studi telah teridentifikasi beberapa kegiatan atau tekanan yang berpotensi merusak lingkungan pesisir dan ekosistemnya di wilayah studi antara lain yang disebabkan oleh penambangan karang, kegiatan penggunaan bahan peledak dan racun ikan dalam penangkapan ikan, akibat pencemaran dan abrasi pantai, penggunaan alat tangkap ikan yang merusak atau tidak selektifnya penggunaan alat tangkap ikan. Hasil PRA menunjukan bahwa pada tahun 1970 an (80 %) kondisi mangrove di wilayah studi masih baik, kemudian menurun dan hingga tahun 1995.
Bertitik tolak dari permasalahan yang ada dan melihat kondisi, persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir Kepulauan Seribu dalam penentuan pengelolaan lingkungan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana partisipasi masyarakat dan kegiatan-kegiatan yang berpotensi merusak kawasan pesisir dan ekosistemnya serta sejauh mana usaha pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan dan dukungan terhadap pelaksanaan program pengelolaan lingkungan di wilayah studi.
Namun demikian masyarakat pesisir kepuluan seribu sudah mempunyai persepsi dan ikut partisipasi dalam usaha menekan kerusakan-kerusakan lingkungan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain status pendidikan dan status di masyarakat sehingga berani melakukan teguran secara langsung apabila melihat nelayan dari luar atau dari dalam yang melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan. Sekitar 17,7% yang berani menegur langsung, kemudian ada pula yang melapor ke RT atau pamong adalah 15,5% tetapi yang kebanyakan mereka diam saja atau masa bodoh sekitar 67%. Kebanyakan penduduk yang berani menegur dan mengingatkan secara langsung kepada yang yang melakukan kegiatan yang merusak, bila dilihat statusnya adalah sebagai tokoh masyarakat (11,1 %) dan berpendidikan SLA (8,8%).
Berdasarkan hasil studi PRA ternyata lembaga lokal yang memiliki hubungan dekat dan diterima masyarakat baik fungsi dan manfaatnya adalah lembaga RT/RW dan Kelurahan sedangkan lembaga LPM, LSM, Koperasi sudah cukup jauh dari masyarakat. Sehingga lembaga-lembaga tersebut sebagai alternatif pertama yang harus dilibatkan apabita ada program pembangunan di wilayah studi.
Kesadaran masyarakat pesisir wilayah studi dalam pengelolaan sampah masih belum baik, hal ini ditunjukan masih banyak penduduk yang mempunyai kebiasaan membuang sampah ke pantai sekitar (93%), dikumpul di lubang dan dibakar (9%) dan dikumpul dan dibakar (9%). Sedangkan penggunaan air bersih untuk minum masih banyak yang menggunakan air hujan (97%) kemudian air sumur (95%), dan ada di beberapa tempat yang menggunakan air dan hasil penyulingan dengan membelinya. Pembuangan limbah rumah tangga masih banyak yang di pantai, walau pun sudah ada WC umum dan punya sendiri di rumah, karena merubah kebiasaan yang sudah turun temurun itu perlu proses dan waktu.
Dalam rangka mengurangi tekanan-tekanan yang berpotensi merusak lingkungan tersebut, perlu dikembangkan suatu sistim usaha alternatif selain penangkapan ikan dan sifat kearifan lokal yang ada, sehingga dapat menurunkan tekanan yang khususnya datang dari irang dalam. Berdasarkan hasil studi, masyarakat Kepulauan Seribu lebih tertarik dengan usaha budi daya Rumput Laut dan budi daya ikan dengan keramba. adapun sistim pengelolaannya lebih tertarik dengan sistim bapak angkat atau dibentuk KUB (Kelompok Usaha Bersama). Hal ini disebabkan kekurangan modal dan kemampuan teknologi pengelolaannya.
Berdasarkan hasil diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
Teridentifikasi kegiatan-kegiatan masyarakat yang bersifat merusak lingkungan pesisir di wilayah studi yang dilakukan oleh masyarakat/nelayan lokal dan masyarakat pendatang/luar terutama kegiatan penambangan batukarang, penambangan pasir laut, penebangan mangrove, penggunaan bahan peledak dan Potasium Sianida (KCN) dalam penangkapan ikan, penggunaan alat tangkap yang merusak, dan pencemaran pesisir dan laut. Sebenarnya apabila dibandingkan tekanan yang datang dari dalam dengan dari Iuar, lebih besar dari Iuar. Seperti yang menggunakan bahan peledak sekitar 95% dilakukan oleh orang Iuar, dan hanya 8% oleh orang dalam. Kemudian yang menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan adalah nelayan dari luar sekitar 95% dan nelayan lokal 11%.
Berdasarkan hasil PRA, masyarakat Kepulauan Seribu masih mempunyai kearifan sosial dengan persepsi yang lama tentang pentingnya kelestarian lingkungan di daerah, hal tersebut berdasarkan dari jawaban beberapa peserta PRA bahwa mereka tidak - setuju dan mengecam perbuatan penggunaan bahan peledak/racun ikan dalam penangkapan ikan dan penggunakan alat tangkap yang bersifat merusak lingkungan serta paham bulan dan kapan boleh melaut serta daerah mana yang dilarang.
Berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan di wilayah studi dari tahun ke tahunnya, sejalan dengan terus menurunnya atau rusaknya kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan alat yang bersifat merusak lingkungan.
Persepasi dan partisipasi masyarakat Kepulauan Seribu dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan pesisir sudah teriihat, hal ini dapat ditunjukan sudah adanya keberanian dari sebagian masyarakat yang berani menegur langsung atau melapor ke pamong desa apabila melihat ada kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan di daerahnya.
Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan sebagai berikut:
Setiap program atau proyek pembangunan di Kawasan Kepulauan Seribu disarankan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dan mempunyai manfaat secara signifikan untuk peningkapan pendapatan atau ekonominya.
Adanya seleksi dalam pemanfaatan alat tangkap yang ramah lingkungan, dan adanya pembagian wilayah penangkapan ikan antara nelayan tradisional dan modern, dan disarankan adanya pengembangan usaha ekonomi altematif bagi masyarakat pesisir
Apabila akan memberikan bantuan atau program pembangunan sebaiknya melalui atau melibatkan lembaga yang paling dekat dan diterima oleh masyarakat yaltu altematif pertama melalui RT/RW dan Kelurahan, altematif kedua melalui LSM, LPM, Dewan Kelurahan dan Serikat Nelayan.
Daftar kepustakaan: 50 (Tahun 1967 - Tahun 2002).

Coastal area as a natural ecosystem has four functions for human basic needs and economic development, such as, to support activity of living resources, as natural view and amenities, as raw material resources and as waste location. In order to support those functions, it is needed an integrated and sustainable coastal area management plan, which development is based on the same interest and implemented together with the community. Therefore active coastal community participation is absolutely needed to take part in arranging environment plan and management for its area. By the participation and empowerment of the community it is expected to be able to create a relation which is harmonious, synergy and mutual dependency in order to decrease that activity, which has a potency to damage the environment even from in side or out side of area. Seribu Islands are one of marine conservation area, especially in sub-district of North Seribu Islands, which has number of interference from outside, amongst offers from tourism sector, over-fishing, explosive usage and fish poisoning, domestic and industrial waste, mining, mangrove damage and fishing tools which are able to damage the environment. Based on those problems and the condition, perception and participation of the community in Seribu Islands in determining their environment management, this research proposed to identify coastal community participation and the activities which have potency to damage coastal area and its ecosystem as well as to analyze community participation and perception to give input and support for implementing environment management program in the study area.
This study was carried out in Kelurahan of Panggang island, Kelapa Island, and Harapan Island, which were located in Sub-District of North Seribu Islands, Administrative District of Seribu Islands (KAKS = Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Study started from April 2002 up to September 2002. The study used participation method with Participatory Rural Appraisal (PRA) is a technical approach, and survey activity using questioners or interview method. Sampling collection for data and information collection are conducted by using purposive random sampling that combined with PRA method, especially for ecological/environmental condition, social economy, and culture of study area. Number of respondent was 10 % of the total population or depending on the condition in the field, which was based on the PRA implementation need.
Based on the study result, number of activities or interferences have been identified which has a potency for damaging coastal ecosystems in the study area. Amongst others are coral reefs mining, the use of explosive material and cyanide poison for fishing, pollution, and coastal abrasion, fishing tools that able are destroy environment or non selective use of fishing tools. Based on PRA result showed that in 1970 (80%) mangrove condition in the study area was still good, then it keep going to decrease until 1995 by more than (10-20%) In fact, based on the answer of respondent showed that mangrove damage caused by cutting them for firewood and building material around 80°Io, pollution and abrasion around 82% and conversion fishpond 16°fo. Note, that the answer received from respondent in most cases more than one answer.
In fact, the number of coral reefs damage are caused by using explosive material and fish a poison (rCN), pollution, and fishing tool usage. Based on PRA, before 1975, the condition of coral reefs was still good. It was characterized with number of Stone fish and the fishermen were easy to find fishes around their living area. In 1975, fishermen from out side of Thousands Islands came and caught fish by using explosive material and other damaging fishing equipment.
Thus, in 1980, most of the coral reef condition was bad, only 40% coral reefs were in good condition. It was getting worse in 1985, when government projects used coral reefs as its building materials. In 1995 to present days, probably, there are only 15-20% coral reefs in good condition in the study area.
Fishing capture using catching equipment that could damage environment are Trawl net, Gardan net, "Hanyur net and other fishing gear used by outside fishermen. Most fishermen who used that equipment used to come from outside of study area (95%), which has enough capital, while local fishermen were only (11%). Most of local fishermen did not have enough capital and still used traditional equipment in catching fish, such as Mayang net, Bubu (trap net) and Tonda fishing in study area.
Nevertheless, coastal community in Seribu Islands has a perception and participation in order to decrease environmental damage. There were number of factors, which influence them such as education and status level in society, so they could give warning whenever they saw fishermen from in or out side of Seribu Islands conducted the activities, which caused environmental damage. It was around (17,7°!o) people, who were brave to give warning directly, (15,5%) report to RTor Pamong, but most of all did 82% and conversion fishpond 16°fo. Note, that the answer received from respondent in most cases more than one answer.
Based on the result of research, it concludes as follows: It had been identified communities activities, which were able to destroy coastal environment in study location conducted by local society/fishermen and outsider especially Coral Reefs and sand mining, mangrove felling, explosive and Potassium cyanide (KCN) usage in catching fishes, damageable fishing tools usage, and marine and coastal pollution. In fact, interference from outside were bigger than from inside of the study area. Such as explosive usage, (95%) were conducted by outsider, (8%) by local communities, then the use of fishing equipment that were able to damage environment, (95%) conducted by outside fishermen and (11°k) by local fishermen.
Based on PRA result, 5eribu Islands society still had social wisdom with the same perception of the importance of environment preservation for their area. It is based on the answer of some PRA participants that they did not agree and criticize the activities, which used explosive/chemical in catching fishes and using fishing gears, which were able to destroy environment.
Based on the study result showed that fishing in study area is decreasing from time to time, in line with the damage of coral reefs ecosystem condition, mangrove, and higher intensity in using fishing tools, which were able to destroy environment.
Perception and participation of Seribu Islands community in coastal management implementation has been recognized. It could be known by seeing their bravery to warn directly or report to the village chief whenever they saw the activity, which could destroy their environment.
Based on the conclusion, it was suggested that; each program for developing project in Seribu Islands should involve local community actively for significant benefit to improve community income or economy.
There is a selection in implementing fishing tools, which was save for the environment, fishing region allocation between traditional and modern fishermen, and alternative economy business development for coastal community.
If some are want to provide aid or development program, it would be better. to use or to involve the closest institution and acceptable by local community such as RT/RW and Kelurahan as first alternative, and LSM, LPM, Kelur4aahan Board, and Fishermen association as second alternative.
Bibliography: 50 (year 1967 - 2002)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T9519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Taufik Nuryadin
"Kemiskinan sosial ekonomi yang membawa dampak sulitnya keluarga nelayan di Pulau Tidung dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari disebabkan oleh faktor-faktor yang sangat kompleks.
Kompleksitas permasalahan tersebut diperparah dengan adanya kebijakan pemerintah yang cenderung mengabaikan kepentingan nelayan dalam menjangkau aksesbilitas ekonomi laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan penghidupannya.
Dalam kaitan tersebut, maka LSM Sekretariat Bina DesaIINDHRRA Jakarta melakukan upaya pemberdayaan melalui Program Pendampingan Sosial sebagai suatu strategi pemberdayaan komunitas pesisir dengan Cara memfasilitasi masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar secara wajar, mengartikulasikan berbagai pandangan dan kepentingan, serta menumbuhkan kemandirian secara politis dan ekonomis. Tujuan utama dari program tersebut adalah terbentuknya institusi sosial masyarakat sebagai wadah atau sarana untuk menggugah kesadaran kritis masyarakat sehingga sadar akan hak-hak ekonomi yang dimilikinya.
Perumusan masalah yang diajukan dalam studi ini adalah : "Bagaimanakah proses dan hasil-hasil pemberdayaan yang dapat dicapai dalam pelaksanaan Program Pendampingan Sosial oleh Sekretariat Bina Desa/INDHRRA Jakarta sehingga dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Pulau Tidung".
Adapun konsep pemberdayaan yang digunakan dalam studi ini adalah menurut Cornell University Empowerement Group yang menyatakan bahwa "pemberdayaan adalah suatu proses yang disengaja dan terus menerus dipusatkan di dalam komunitas lokal, meliputi saling menghormati, sikap refleksi kritis, kepedulian dan partisipasi kelompok masyarakat yang merasa kurang memiliki rasa secara bersama sumber-sumber yang berharga, memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumber-sumber tersebut" (dalam Seeelebey, 1992:85).
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah dengan jenis deskriptif dan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan pengamatan terlibat yang kemudian dianalisis secara induktif. Data-data tersebut diperoleh melalui informan dengan Cara non probability sampling dan teknik sampel bertujuan (purposive sampling), yaitu terhadap warga masyarakat dan keluarga nelayan di Pulau Tidung, khususnya nelayan samudera, nelayan pantai, nelayan rumput laut, pemuka masyarakat, dan lembaga peyelenggara yaitu Sekretariat Bina Desa/INDHRRA Jakarta.
Hasil studi menunjukkan bahwa keberadaan institusi sosial yang telah terbentuk belum cukup membantu dirinya sendiri dalam mengatasi persoalannya. Tekanan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh kondisi kemiskinan struktural yang memang telah lama mereka jalani belum cukup mampu merespon dengan tindakan-tindakan sosial yang nyata membawa ke arah perubahan. Mereka lebih bersifat konservatif dan adaptif dalam menyikapi atau menyiasati terhadap dampak negatif perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di lingkungannya. Dalam kaitan tersebut, perubahan yang terjadi dalam masyarakat masih terbatas sebagai awarenes campaign daripada perubahan yang substantif pemberdayaan.
Persoalan atau isu-isu marjinal yang menjadi gagasan awal program yang dirumuskan oleh Sekretariat Bina Desa, kurang menyntuh dan dirasakan sebagai suatu masalah. Kebijakan pemerintah yang sistemik dari pusat hingga wilayah telah melembaga untuk mengemban misi pembangunan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara.
Dalam kaitan tersebut persoalan-persoalan sosial ekonomi yang diangkat sebagai isu utama, masih berakar dari faktor-faktor yang kompleks sehingga upaya-upaya untuk mengatasinya juga bertitik tolak dari masing-masing faktor tersebut. Namun demikian diakui bahwa dengan terbentuknya beberapa institusi sosial masyarakat di Pulau Tidung telah mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi pemecahan masalahnya secara mandiri. Bagi masyarakat nelayan di Pulau Tidung, pencarian sumber ekonomi yang beragam (diversifikasi usaha) merupakan persoalan krusial untuk menunjang kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang.
Untuk menggalang pengorganisasian masyarakat sebagai bentuk kesadaran komunitas, perlu upaya tindak lanjut terhadap terbentuknya institusi sosial tadi dan mempertimbangkan pembinaan dan pengembangan usaha ekonomi sebagai titik awal yang langsung menyentuh persoalan dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, jika usaha yang tengah dilakukan institusi sosial di Pulau Tidung dapat berkembang dan berhasil dengan baik maka akan memicu anggota untuk memperkuat kerjasama dalam organisasi. Pada saatnya nanti institusi tersebut tidak saja merupakan institusi usaha ekonomi, tetapi merupakan wadah perjuangan rakyat dalam merespons berbagai persoalan yang berkembang, sebagai penyalur aspirasi anggota, sebagai tempat rakyat mengartikulasikan kepentingan secara utuh, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, teknologi dan lingkungan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T5048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Kusnadi
"Pulau kecil merupakan pulau yang memiliki keanekaragaman yang spesifik, sumberdaya aiam yang terbatas dangan masyarakat yang memiliki karakteristik sosial budaya yang beradaptasi dengan kehidupan pulau. Ekosistem kapulauan memiliki karakteristik adanya keterbataaan daya dukung Iingkungan baik lahan maupun air sebagai kebutuhan dasar.
Pulau Panggang merupakan pulau dengan Iuas 9 Ha, pada tahun 2001 dihuni oleh 3.275 jiwa dengan kepadatan 364 jiwa/ha adalah melebihi kepadatan kota Jakarta (144 jiwa/ha). Kepadatan penduduk, di pulau kecil akan mengakibatkan terjadinya tekanan tarhadap Iingkungan dan berdampak pada penurunan sumberdaya pulau. Air bersih akan semakin langka dan mahal yang pada akhimya akan membebani perekonomian masyarakat pulau. Untuk mengatasi masalah tekanan penduduk terhadap sumberdaya air maka di pulau kecil harus dilakukan pengelolaan air bersih dengan tujuan untuk mempertahankan ketersadiaan air bersih yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk pulau.
Pangelolaan air bersih di Pulau Panggang menjadi masalah penting karena keterbatasan sumber air bersih dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Hingga saat ini penduduk Pulau Panggang memanfaatkan air bersih dari air hujan yang ditampung daiam tangki/bak penampungan. Penurunan kualitas Iingkungan dapat teridentifikasi dan penurunan kuantitas dan kualitas air sumur dangkal yang telah tercemar oleh Iimbah rumah tangga dan air laut.
Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan belum dilakukan pengelolaan air bersih secara Iestari, membuat model pengelolaan air bersih secara Iestari dan mengidentifikasi faktor-faktor yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan air bersih secara lestari. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah: Bila curah hujan total Iebih besar atau sama dengan jumlah kebutuhan air bersih penduduk puiau kecil, dengan melakukan pengelolaan air bersih secara Iestari maka kebutuhan air bersih penduduk dapat terpenuhi dan air hujan (air hujan dan air tanah dangkal).
Peneiitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah ex post facto dan survei. Pengambilan sampel untuk kuesioner dilakukan dengan metode simple random sampling, dan kualitas air ditentukan berdasarkan uji fisik, kimia, dan bakteri coli.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui kebutuhan air bersih penduduk Pulau Panggang sebanyak 70 Iiter/orang/hari atau sebanyak 6.877,5 m3/bulan. Jumlah curah hujan rata-rata yang jatuh di wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 127,5 mm/bulan atau 11.473,5 m3/bulan. Air Iarian sebanyak 3.442,05 m3/buIan. Neraca air di Pulau Panggang dengan laju pertambahan penduduk 1,8%/tahun maka hingga tahun 2026 akan terjadi surplus air bersih, dan pada tahun 2027 akan terjadi defisit air bersih.
Penerapan teknologi RO di Pulau Panggang di nilai tidak Iestari karena, tujuan pembangunan RO hanya untuk memenuhi kebutuhan air minum sebesar 8 Iiter/jiwa/hari. Kebiasaan masyarakat adalah mengkonsumsi air hujan sehingga pada musim hujan penduduk Pulau Panggang tidak memanfaatkan air RO sehingga akan menjadi beban pemerintah dalam mengoperasikan unit pengolahan air bersih tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan di Pulau Panggang belum dilakukan pengelolaan air bersih secara Iestari, disebabkan:
1). Pengelolaan air bersih masih bersifat sektoral oleh antar instansi.
2). Belum adanya konsep -pengelolaan air bersih dengan biaya murah sehingga tidak membebani anggaran pemerintah atau sesuai dengan tingkat ekonomi penduduk pulau Panggang.
3). Keterbatasan sumberdaya manusia dan sumber ekonomi masyarakat Pulau Panggang.
Untuk mengatasi masalah kebutuhan air bersih di Pulau Panggang harus melakukan pengelolaan air bersih secara Iestari, meliputi:
1). Teknologi tepat guna Teknologi pengelolaan air bersih yang diterapkan dengan berdasarkan pada sifat dan fungsi Iingkungan alami pulau, dapat diterapkan dan sesuai dengan Iingkungan binaan dan lingkungan sosiai. Teknologi yang digunakan dapat dilaksanakan oleh masyarakat dan memberikan manfaat sesuai tujuan pengelolaan air bersih.
2). Pengelolaan kuantitas air bersih, yaitu untuk meningkatkan jumlah relatif air bersih terhadap jumlah penduduk. Meliputi:
a). Pemanenan air hujan, yaitu melakukan penangkapan air hujan dari atap dan ditampung dalam tangki/bak penampungan. Tempat penampungan air hujan harus dimiliki oleh setiap rumah dan di dalamnya dapat diberikan treatment sehingga air yang masuk ke dalam tangki tidak tercemar oleh pencemar yang ada pada Iingkungan dan dapat menambah mineral yang dibutuhkan oleh manusia.
b). Penataan ruang dan mengatasi masalah kepadatan jumlah penduduk, melakukan penghijauan pada daratan pantai yang sesuai dengan Iingkungan pulau.
c). Hemat dalam memanfaatkan air bersih.
3). Pengelolaan kualitas air bersih.
Bertujuan untuk mencegah bahan pencemar masuk ke dalam air bersih, baik yang ada dalam penampungan atau yang tersimpan sebagai air tanah dangkal. Pengeloaan kualitas air bersih dapat dilakukan dengan: perbaikan sanitasi dan pengendalian pengambilan air tanah.
Hal berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan air bersih secara lestari adalah:
1). Adanya konsep pengelolaan air bersih secara Iestari dengan menyesuaikan dengan sifat Iingkungan alam, Iingkungan binaan dan Iingkungan sosial.
2). Adanya koordinasi antara dinas terkait dalam melakukan kegiatan pengelolaan air bersih.
3). Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan air bersih secara lestari.
4). Sosialisasi pengelolaan air bersih secara menerus sehingga pengelolaan air bersih secara lestari dapat menjadi salah satu bagian dari aktivitas kehidupan penduduk pulau.

Small islands are islands that possess spesific diversity, limited natural resources with its people having social and cultural characteristics that adapts to the archipelago life. The island ecosystem has the characteristic of the limited environment condition to support their basic needs, both land and water.
Panggang is an island with an area of 9 Ha. ln 2001, 3.275 people live here and its density population of 364 people/Ha outnumbered the density population of Jakarta (144 people/Ha). Such a high population in a small island can cause pressures on the environment and contribute to the deterioration of the island?s natural resources. Clean water will become rare and unaffordable and therefore burden the economic of the local community. To overcome the problem of the people?s pressures toward water resources, a management of clean water has to be conducted in the purpose of preserving the clean water supply that is useful for the local community.
Clean water management has become an important issue on Panggang lsland because of the limited resources of clean water and the people?s lacking ability to pay for it. The people on Panggang Island have been using clean water that comes from rain, which is restored in reservoir. The environment quality deterioration can be identified from the decreasing quantity and quality of the land water, which has been contaminated by house waste pollution and seawater.
The objectives of this research are for identification some factors which causes there is no sustainability of clean water management; for create a sustainability of clean water management model; and for identitication. which factors that, can causes this sustainability of clean water management to be succeed.
The proposed hypothesis in this research is: When total rainfall is bigger than or is the same as total of clean water that people need on small island, with a sustainability of clean water management, the need of clean water of those people can be fulfilled by using water from rainwater (rain and shallow groundwater).
This research is descriptive with a qualitative and quantitative approach. The research method used is ex-post facto and survey. The sampling for the questionnaire is completed by using the simple random sampling, and the water quality is determined from its physical and chemical test and also we do on colli bacteria test.
Based on the result of this research, it is known that the need of clean water of the people on Panggang Island is 70 Iiter/people/day or approximately 6.877,5 m3/month. The amount of the rainfalls in Kepulauan Seribu area is approximately 127,5 mm/month or 11.473, 5 m3/month. The water flow is 3.442,06 m3/month. Based on the clean water scales in Panggang island and 1,8%/year the people rapid population growth, it is assumed that there will be a surplus of clean water in 2026, and will be a deficit in 2027.
The use of the reverse osmosis technology on Panggang island is considered because the purpose ofthe reverse osmosis enstabilishment is merely to fulfill the need of clean water for 8 liter/people/day. The people usually consume rainwater, therefore in the rainy seasons the Panggang lsland?s local communities do not use the osmosis-reversed water, and this becomes a burden for local govemment in operating the clean water management.
Based on the result of this research, it can be concluded that in Panggang Island, the clean water management has not been yet conducted in a sustainable way. This is caused by :
1). The clean water management on small islands is still sectional and conducted merely by certain institutions.
2). There has not been a concept of clean water management with a small budget that does not burden the local govemmenfs fiscal year, nor that suites the economy level of the Panggang Island community.
3). The limit of human resources and financial sources for Panggang lsland's community.
To overcome problem of clean water necessity in Panggang island, a sustainable management of clean water must be conducted. this includes :
1). Efficacious technology.
The technology of clean water management, which is used based on the characters and functions of the natural environment, shall be accepted and also be suited in the developed and social environment. So it can be conducted by the community and thus give advantages adjusted to the purpose of the clean water management
2). The clean water quantity management, is to increase the relative amount of clean water toward the people which includes :
a). Rain water harvesting, is to seize rainwater from roofs and restore them in the reservoir. Every house has to have a reservoir for rain water. They can give treatment inside of the tank to prevent water that fall into the reservoir from being contaminated by environmental contamination and to add minerals needed by human.
b). Reforestation the whole island and solving the population problem, planting on the coastline that is suitable with the island's environment
c). Economizing the clean water.
3). Clean water quality management
The purpose of the clean water quality management is to prevent clean water, which is restored in the reservoir and in around shallow water, from being contaminated by environmental contamination. The clean water quality management could e conducted with repairing the sanitary equipments and controlling the the ground extraction.
Things that give contributions to the successfulness of a sustainable clean water management of clean water are :
1). The concept of clean water management by adjusting to the natural environment characters as well as to the developed and social environment.
2). An obligation to have a good social coordination between the relative institutions in conducting the activities of the clean water management.
3). Including the people in managing the clean water in sustainable way.
4). A continous socialization of the clean water management in order to make it as one of the activities that becomes a habit ofthe people in doing their activities."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Viandika Suryana
"Secara luas pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang mempunyai multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Salah satu wisata yang terkenal di Indonesia adalah Kepulauan Seribu. Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki letak yang strategis karena berada di Provinsi DKI Jakarta. Kepulauan Seribu juga sudah masuk sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan mendapat dukungan dari Pemprov DKI dan Kementrian PUPR dalam pengembangannya. Banyaknya variasi objek dan atraksi wisata di daerah ini memicu pergerakan wisatawan yang beragam. Penelitian ini meneliti mengenai pola pergerakan wisatawan dan hubungan faktor profil perjalanan, faktor motivasi pribadi, faktor konfigurasi fisik tujuan, faktor aksesibilitas, faktor pengalaman berkunjung dan faktor lama kunjungan dengan tipe pergerakan wisatawan. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dan analisis statistik korelasi chi-square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat pola pergerakan wisatawan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Pola pergerakan Destination Region Loop banyak di temukan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yang memiliki jumlah atraksi lebih banyak dibanding selatan, sedangkan pola pergerakan Base Site, Stop Over, Single Point dan Chaining Loop banyak ditemukan di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pola yang paling banyak ditemukan adalah Destination Region Loop dan yang paling sedikit adalah Chaining Loop. Hampir seluruh faktor memiliki hubungan yang signifikan dengan tipe pergerakan, hanya terdapat satu faktor yang tidak memiliki hubungan yaitu faktor pengalaman berkunjung karena wisatawan yang sudah pernah maupun belum pernah mengunjungi Kabupaten Kepulauan Seribu tidak memiliki pengaruh dengan tipe pergerakan yang terbentuk. Wawasan mengenai pergerakan wisatawan dianggap bermanfaat dalam pariwisata seperti merancang sebuah paket perjalanan wisata yang maksimal dan menjadi awal perencaan dalam pengembangan pariwisata agar dapat memaksimalkan kegiatan wisata serta memenuhi permintaan pengunjung.

Tourism is widely considered as an activity with multiple dimensions of a process of development. One of the most popular tourist destination in Indonesia is Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu is strategically located at the north of DKI Jakarta Province. Its also listed as National Tourism Strategic Area (Kawasan Strategis Pariwista Nasional KPSN) and has gained support both from the DKI Jakarta local government and the Ministry of Public Works and Housing (PUPR) in its development. Various objects and tourist attractions in it provoke various tourists activities. This research covers the patterns of tourists movements along with the relation between the factors of travel profile, personal motivation, physical purpose configuration, accessibility, visiting experience, and the period of visit based on the types of the movements of the tourists. The methods that are used are spacial analysis and chi-square correlated statistic analysis. The results of this research reveal that there are four patterns of tourists movements in the district of Kepulauan Seribu. The pattern Destination Region Loop is often found in the northern sub-districts of Kepulauan Seribu which have more tourist attractions than the ones in the southern sub-districts, in which the patterns Base Site, Stop Over, Single Point, and Chaining Loop are often found. The pattern that is most commonly found is Destination Region Loop and the least is Chaining Loop. Almost all of the factors have a significant relation with the types of the movements, only one of them does not, which is visiting experience because the tourists who have or have not visited the district of Kepulauan Seribu do not have any influence with any types of the movements that are built. Knowledge of tourism movement is considered essential in tourism such as for designing a trip package for maximum enjoyment and to be the pioneer of tourism development to maximize tour agendas and fulfill tourists expectations.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>