Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Renny Permatasari
"ABSTRAK
Makanan terfortifikasi yang merupakan salah satu pendekatan berdasar makanan dapat dijadikan salah satu intervenesi untuk mengurangi angka kejadian pendek sedang pada anak dibawah lima tahun. Pada studi ini, level fortifikasi dihitung berdasarkan kesenjangan antara kebutuhan nutrisi dan pengoptimalan makanan pendamping yang dikembangkan berdasarkan pendekatan linear programming. Studi ini dibagi menjadi tiga fase; 1) pengembangan rekomendasi makanan pendamping menggunakan perangkat lunak OPTIFOOD , 2) pengembangan biskuit terfortifikasi, dan 3) uji penerimaan biskuit dengan desain tiga lengan silang acak. Lima puluh satu anak ikut serta pada uji penerimaan. Tepung jagung, tepung kacang kedelai, dan bubuk daun kelor digunakan sebagai bahan baku utama biskuit. Sembilan zat gizi ditambahkan sebagai fortifikan yang ditambahkan pada high nutrient dense fortified biscuit (zatbesi, seng, kalsium, B1, B3,B6 asam folat, B12, dan vitamin A) dan delapan zat gizi (kecuali vitamin A) ditambahkan pada standard nutrient dense fortified biscuit. Anak-anak dapat mengonsumsi 80%, 75%, dan 70% biskuit tidak terfortifikasi, standard nutrient dense fortified biscuit, and high nutrient dense fortified biscuit. Kebanyak pengasuh menyukai aroma dan warna dari biskuit tetapi kurang menyukai teksturnya (dengan nilai uji pengindaraan berurutan 2.08 dan 2.20). tidak ada perbedaan yang nyata pada ketiga jenis biskuit tersebut.

ABSTRACT
Fortified food as one of food based approach can be used as intervention to reduce prevalence of moderate stunting. In this study, fortificant level was calculated based on the gap between requirement nutrient intakes (RNI) and optimized complementary feeding developed using linear programming approach. This study was divided into three phases; 1) developing optimized complementary feeding recommendation using OPTIFOOD software, 2) developing the fortified biscuits, 3) biscuit acceptability trial with three arms randomized cross over design. Fifty one children participated in acceptability trial. Corn flour, soy flour, moringa leaves powder were used as the main ingredients of biscuits. Nine nutrients (iron, zinc, calcium, B1, B3,B6, folate, B12, Vit A) were added as fortificants in high nutrient dense fortified biscuit and eight nutrients (except Vit A) were added in standard nutrient dense fortified biscuit. The children could consume 80%, 75% and 70% of unfortified, standard nutrient dense fortified biscuit, and high nutrient dense fortified biscuit respectively. The majority of caregiver liked the aroma and color of biscuits but less of texture for standard and high nutrient dense fortified biscuit (with organoleptic score 2.08 and 2.20, respectively). There was no significant difference among the three types of biscuits."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Klara Yuliarti
"ABSTRAK
Latar belakang.Masa pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), yaitu usia 6 sampai 24 bulan, merupakan salah satu periode kritis untuk mencegah malnutrisi. Growth faltering banyak terjadi pada fase ini, disebabkan kandungan nutrisi MPASI yang tidak lengkap dan tidak seimbang serta tingginya angka infeksi.Prevalensi defisiensi seng pada usia 6-24 bulan tinggi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Mayoritas MPASI pertama yang diberikan di Indonesia berupa produk nabati, yaitu beras, beras merah, kacang-kacangan, buah, dan sayur yang memiliki kandungan seng yang rendah dan fitat yang tinggi sehingga merupakan faktor risiko defisiensi seng. Hati ayam merupakan sumber seng, protein, dan zat besi yang baik. Perlu dilakukan evaluasi pemberian hati ayam sebagai MPASI pertamadalam hal akseptabilitas, toleransi, serta efektivitas terhadap status seng.
Tujuan. Mengevaluasi MPASI buatan rumah berbahan dasar hati ayam dalam hal akseptabilitas, toleransi, dan efektivitas terhadap status seng.
Metode. Uji klinis acak dengan pembanding MPASI tepung beras fortifikasi dilakukan di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Koja, dan Kramat selama Februari sampai Juni 2014. Terdapat tiga kelompok intervensi, yaitu kelompok MPASI hati ayam, MPASI bubur susu (tepung beras fortifikasi, mengandung susu), dan MPASI single grain (tepung beras fortifikasi tanpa susu). Intervensi dilakukan selama 30 hari. Sebelum dan sesudah intervensi dilakukan pengukuran antropometri dan pemeriksaan seng plasma. Setiap hari dilakukan pencatatan volume MPASI yang dihabiskan dan efek samping. Analisis Anova dan Bonferroni dilakukan untuk menilai perbedaan antar kelompok. Korelasi Pearson dan regresi linear digunakan untuk menilai faktor-faktor yang memengaruhi status seng plasma.
Hasil. Sebanyak 90 bayi diikutsertakan dalam penelitian, namun terdapat 7 subjek drop-out dan 17 sampel darah lisis sehingga data yang dapat dianalisis adalah 66 bayi. Akseptabilitas ketiga jenis MPASI setara. Tidak didapatkan efek simpang pada semua kelompok. Ketiga jenis MPASI dapat memenuhi kebutuhan harian seng sebesar 3 mg/hari. Efektivitas terhadap status seng ditunjukkan dari selisih seng plasma pra-intervensi dan pasca-intervensi. Perbedaan selisih sengplasma (μg/dL) hati ayam dan bubur susu adalah 12,0 (IK 95% 0,6;23,4), hati ayam dan single grain adalah 12,0 (-23,4;-0,6), serta bubur susu dan single grain 8,5 (-2,3;19,3). Pertambahan berat badan dan panjang badan berbeda bermakna antara ketiga kelompok.
Simpulan. Akseptabilitas MPASI hati ayam setara dengan tepung beras fortifikasi. Tidak didapatkan efek samping selama pemberian MPASI hati ayam dan tepung beras fortifikasi. Efektivitas MPASI hati ayam terhadap status seng plasma lebih baik dibandingkan tepung beras fortifikasi. Faktor yang memengaruhi efektivitas MPASI terhadap status seng plasma adalah jenis MPASI, yang mungkin berkaitan dengan rasio molar fitat/seng, dan asupan kalsium.

ABSTRACT
Background.High prevalence of zinc deficiency and growth faltering were observed during the complementary feeding perioddue to low quality complementary food and high prevalence of infection. Most of first complementary food given to Indonesian infants were plants sources which contain low zinc and high phytate, thus put Indonesian babies into high risk of zinc deficiency. Chicken liver is a good source of zinc, protein, and iron, making it a good option for complementary food.
Objective. To evaluate chicken liver based complementary food in terms of acceptability and effectivity on zinc status.
Method. Randomized clinical trial comparing three groups of complementary food:chicken liver, fortified rice cereal containing milk, and fortified rice cereal without milk given to predominantly breastfed infant aged around 6 month old. This study took place in primary health care of Jatinegara, Koja, and Kramat District during February to June 2014. Intervention was given for 30 days. Anthropometric measurement and plasma zinc investigation were performed before and after intervention. Amount of consumed complementary food was recorded daily. Anova and Bonferroni test were used to evaluate difference between groups. Factors influencing plasma zinc status were evaluated with Pearson correlation and linear regression.
Results. Ninety babies were enrolled, 7 subjects refused to continue study and 17 blood samples were hemolyzed thus only 66 subjects were analyzed. The three groups shown similar acceptability and were able to met daily requirement of zinc of 3 mg/day. No adverse effect was observed during study period. The increment of pra-intervention and pasca-intervention plasma zinc was used as an indicator of effectivity on zinc status. Mean difference of zinc increment (μg/dL) between two groups were 12,0 (95% CI 0,6;23,4) for chicken liver and rice cereal containing milk, 12,0 (-23,4;-0,6) for chicken liver and rice cereal without milk, and 8,5 (-2,3;19,3) for rice cereal containing milk and without milk. Weight and length increment showed significant difference between three groups.
Conclusions. The three groups showed no difference in acceptability and were able to met daily requirement of zinc of 3 mg/day. Chicken liver group demonstrated better effectivity on zinc status compared to fortified rice cereal groups. Dietary factors influencing plasma zinc status were type of complementary food, which probably correlated with molar ratio of phytate/zinc, and calcium intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Fitria Utami
"Baby-Led Weaning (BLW) menjadi salah satu metode pengenalan makanan yang baru-baru ini menjadi trend di kalangan ibu-ibu. Tujuan dari studi kualitatif ini adalah untuk menggali pegalaman ibu yang melakukan pengenalan makanan pendamping dengan metode BLW. Desain penelitian yang digunakan adalah fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Partisipan yang didapat hingga mencapai saturasi adalah berjumlah 13.
Tema yang didapat sebanyak 10 antara lain membebaskan anak membuat keputusan, merasa khawatir dengan kondisi anak, anak tidak picky eater, menjaga kondisi yang kondusif selama anak makan, mencari tahu informasi sebelum dan selama menerapkan BLW, anak pernah tersumbat (gagging), anak mengalami tersedak (choking), merasa stress di awal BLW, anak lebih mandiri ketika proses makan, dan merasa senang walaupun sulit di awal saat melaksanakan BLW. Kendala dalam penelitian ini adalah susahnya perekrutan partisipan dan kurang variatifnya latar belakang partisipan.

Baby-Led Weaning (BLW) becoming one of the most happening methods in introducing complementary food among mothers nowadays. The aim of this qualitative study was to explore the mothers experience in introducing complementary food with a Baby-Led Weaning Method. The study design was descriptive phenomenology. In-depth structured interviews were conducted with 13 participants until we reached data saturation.
We identified 10 themes: letting the child make a decision, feeling worried about child condition, the children not being picky eater, the need to keep a conducive condition during the eating process, the need to looking for information before and after applying BLW, the child having gagged, the child having choked, stressful feeling at the beginning, the child becoming more independent at the eating process, and feeling happy about the achievement. The limitation of this study was the limited variety of the participants background.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentinus Gregorius Winarno
Bogor: M-BRIO press, 2002
641.302 WIN k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Octavita Dwi Yuliani
"Studi ini berangkat dari minimnya hasil proses sosialisasi yang menggunakan pendekatan komunikasi yang bersifat transaksional dalam mengubah perilaku sasaran. Dengan tujuan mengetahui pemaknaan Ibu sebagai peserta sosialisasi pencegahan penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan, serta faktor yang pembentuk makna tersebut, penelitian dengan menggunakan pendekatan komunikasi sebagai proses produksi dan pertukaran makna, dilakukan.
Penelitian ini menelusuri penerimaan pesan dengan teori Audience Reception, menurut Stuart Hall dan teori perkembangan kognitif sosial menurut Vygotsky. Oleh karena penerima pesan adalah pengguna sebagai konsumen pangan, faktor yang memengaruhi perilaku konsumen dapat membentuk kondisi penerimaan pesan.
Berdasarkan kompleksnya pemaknaan pesan, melalui studi fenomenologi dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, didapatkan 3 posisi penerimaan pesan : Dominant-hegemoni, Negotiable, dan Opposition. Sedangkan faktor yang diduga membentuk penerimaan pesan dengan pada unit analisis, adalah faktor budaya dan sosial.

This study departs from the lack of results of the socialization process that uses transactional approach in changing the target behavior. In order to determine how mother to interpret message of misuse hazardous substances in food as a socialization participant, as well as the factors that shape the meaning, this study used a different approach, namely communication as a process of production and exchange of meaning.
The research used the Audience Reception Theory developed by Stuart Hall, supported by other theory from Vygotsky called, Social Development Theory through interaction and discussion with the social group. Therefore, the message recipient is the user, the factors that influence consumer behavior can create conditions receiving messages.
Based on the complexity of the meaning of the message , through a phenomenological study with data collection through interviews , obtained 3 position receiving messages: Dominant - hegemony, Negotiable, and the Opposition . While the factors that allegedly form the receipt of the message by the unit of analysis, is the cultural and social factors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardelia
"Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) didefinisikan sebagai proses yang dimulai ketika ASI tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi, dan oleh karena itu makanan dan cairan lain yang diperlukan, bersama dengan pemberian ASI. Pemberian MP-ASI yang lebih dini dari yang seharusnya berdampak buruk bagi anak, antara lain infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran cerna, diare serta alergi dan obesitas di kemudian hari. Selain itu, mempersembahkan MP-ASI dini juga dapat menyebabkan penurunan produksi ASI pada ibu serta meningkatkan risiko stunting pada bayi. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder SDKI tahun 2017 dengan total sampel 527 responden ibu dengan bayi berusia 4-5 bulan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional. Penelitin ini bertujuan untuk melihat prevalensi pemberian MP-ASI dini pada bayi berusia 4-5 bulan di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi perilaku mempersembahkan MP-ASI dini pada bayi berusia 4-5 bulan di Indonesia mencapai 49,5%. Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square menemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan perilaku pemberian MP-ASI dini pada bayi berusia 4-5 bulan di Indonesia adalah usia ibu (OR = 1.585; 95% CI 1.071 - 2.347), paritas ( OR = 1,568; 95% CI 1,074 - 2,288), dan makanan prelakteal (OR = 2,144; 95% CI 1,513 - 3,040). Hasil analisis multivariat dengan analisis regresi logistik menemukan bahwa makanan prelakteal merupakan satu-satunya faktor yang memiliki hubungan dengan perilaku pemberian MP-ASI dini pada bayi berusia 4-5 bulan di Indonesia setelah dikontrol oleh variabel usia ibu dan paritas (OR = 2,105; 95% CI 1.481 - 2.991). Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan yaitu menggencarkan penyebaran informasi tentang ASI eksklusif dan MP-ASI terutama pada ibu yang masih muda dan ibu yang baru hamil atau melahirkan anak pertama serta meningkatkan peran penolong persalinan untuk mengedukasi ibu yang baru melahirkan agar tidak memberikan makanan prelakteal pada bayi.
Complementary Feeding is defined as a process that begins when breast milk is no longer sufficient to meet the nutritional needs of infants, and therefore food and other fluids are needed, along with breastfeeding. Early introduction of complementary feeding have a bad impact on children, such as respiratory infections, gastrointestinal infections, diarrhea, allergies and obesity later in life. In addition, early introduction of complementary feeding can also cause a decrease in breast milk production in the mother and increase the risk of stunting in infants. This study is a secondary data analysis of the 2017 IDHS with a total sample of 527 mothers with infants aged 4-5 months in Indonesia. This research was conducted with a quantitative approach using cross sectional method. This research aims to determine the prevalence of early introduction of complementary feeding for infants aged 4-5 months in Indonesia and the factors that influence it. The results showed that the prevalence of behavior of early breastfeeding for infants aged 4-5 months in Indonesia reached 49.5%. The results of the bivariate analysis with the chi-square test found that the factors significantly related to the behavior of early breastfeeding for infants aged 4-5 months in Indonesia were maternal age (OR = 1,585; 95% CI 1,071-2,347), parity (OR = 1.568; 95% CI 1.074 - 2.288), and prelacteal food (OR = 2.144; 95% CI 1.513 - 3.040). The results of multivariate analysis with multiple logistic regression analysis found that practical food was the only factor that had a significant relationship with the behavior of early breastfeeding for infants aged 4-5 months in Indonesia after being controlled by variables of maternal age and parity (OR = 2.105; 95% CI 1.481 - 2.991). Based on the results of the study, the advice that can be given is to intensify the dissemination of information about exclusive breastfeeding and complementary feeding especially to young mothers and mothers who are pregnant or giving birth to their first child and increase the role of childbirth helpers to educate newborn mothers so as not to provide practical food."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endar Purnawan
"Tesis ini membahas tentang pengembangan UMKM Olahan Pangan Lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa gerakan ODNR telah mendorong munculnya UMKM yang bergerak di bidang kuliner dan kemudian menyediakan menu pangan lokal non beras dan non terigu. Peran UMKM olahan pangan lokal dalam gerakan ODNR adalah memproduksi, menyuplai, mendistribusikan, memasarkan pangan lokal, melakukan inovasi, mensosialisasikan ODNR, memunculkan UMKM baru dan membuka lapangan kerja. Hal-hal yang mendukung perkembangan UMKM pangan lokal adalah tempat usaha, peralatan, modal, tenaga kerja, keterampilan, bahan baku, dan gerakan ODNR itu sendiri, sedangkan faktor penghambatnya adalah pergantian pegawai dan pengaturan waktu kerja, kurangnya kreatifitas, kurangnya pengetahuan dan kelangkaan bahan baku tertentu.

This thesis reveals the development of micro, small and medium local food entreprise. Furthermore, this descriptive research uses a qualitative approach. The result of this research show that ODNR action has encouraged the appearance of UMKM in a culinary sector and it also provided local food - non rice and non wheat. The roles of UMKM in a ODNR action is producing, supplying, distributing, marketing local food, conducting inovation, socializing ODNR action, creating new UMKM and job vacancies. Things supporting the development of UMKM are place, equipment, capital, human resources, skills, raw materials, and ODNR action itself. On the other hand, there are some factor that inhibit its development, such as the alteration of human resources and setting of working time, lack of creativity, lack of knowledge and scarcity of raw materials."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nuraeni
"Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Pemberian makanan pendamping sebelum usia 6 bulan dapat berisiko terhadap gangguan tumbuh kembang bayi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemberian MP-ASI dini dan faktor yang berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI dini. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional dan jumlah sampel sebanyak 191 ibu yang memiliki bayi umur 2-12 bulan di wilayah Kecamatan Makasar. Penelitian dilakukan di tiga Puskesmas di wilayah Kecamatan Makasar, yaitu Puskesmas Kelurahan Cipinang Melayu, Puskesmas Kelurahan Kebon Pala, dan Puskesmas Kecamatan Makasar. Analisa hubungan menggunakan uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi pemberian MP-ASI dini di Kecamatan Makasar sebanyak 53,9%. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status pekerjaan ibu dan tingkat pengetahuan ibu mengenai dampak pemberian MP-ASI dini dengan pemberian MP-ASI dini. Namun, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, pendidikan, paritas, praktik IMD, dan berat lahir bayi dengan pemberian MP-ASI dini.

Complementary foods are foods or drinks that contain nutrients, given to infants or children aged 6-24 months in order to meet the nutritional needs other than breast milk. Complementary feeding before the age of 6 months can be at risk for impaired growth and development of infants.
This study aims to describe the giving early complementary feeding and factors that influence of giving early complementary feeding. This study is a quantitative cross-sectional design and a sample size of 191 mothers of infants aged 2-12 months in the Districts Makasar. The study was conducted in three health centers in the Districts Makasar, namely Cipinang Melayu Health Centers, Kebon Pala Health Centers, and Makasar Health Centers. Analysis of the relationship using the chi square test.
The results showed that the prevalence of giving early complementary feeding in the Districts Makasar as much as 53,9%. Statistical test results showed significant relationship between maternal employment status and mother's level of knowledge about the impact of giving early complementary feeding in the giving early complementary feeding. However, there is no significant relationship between age, education, parity, early initiation of breastfeeding practices, and birth weight infants with giving early complementary feeding.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54505
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utariny Nurin Nasywa
"Pengaruh globalisasi dan urbanisasi menyebabkan penyebaran informasi dan budaya yang sangat cepat. Pola makan menjadi salah satu aspek yang turut terdampak akibat tersebarnya budaya barat ke seluruh dunia secara cepat. Saat ini makanan siap saji menjadi salah satu jenis makanan yang digemari banyak orang, termasuk anak-anak. Hal ini menimbulkan masalah baru karena kandungan makanan siap saji yang tinggi akan kalori, sodium, serta rendah serat dapat menimbulkan masalah kesehatan jika dikonsumsi berlebihan. Kelebihan kalori dalam tubuh dapat menyebabkan peningkatan simpanan lemak tubuh yang apabila terjadi dalam waktu lama akan menjadi penyebab berbagai masalah kesehatan. Penelitian menggunakan data sekunder sub-sampel dari penelitian South East Asian Nutrition Surveys (SEANUTS) 2.0 dengan jenis studi potong lintang dengan total sampel sebanyak 95 anak, terdiri atas 39 anak laki-laki dan 56 anak perempuan. Kebiasaan konsumsi makanan siap saji dinilai menggunakan kuesioner Child Food Habit Questionairre (CFH), sedangkan persentase lemak tubuh diukur menggunakan Body Composition Analyzer. Karakteristik subjek penelitian merupakan anak usia 7—12 tahun yang berasal dari wilayah Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. Konsumsi makanan siap saji sebanyak 1 bulan sekali menjadi konsumsi terbanyak pada populasi dengan persentase 15,8% serta nilai persentase lemak tubuh dengan median 14,2%. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, didapatkan korelasi yang signifikan antara Kebiasaan konsumsi makanan siap saji (p=0,001), usia (p=0,047), IMT (p=0,001), aktivitas fisik (p=0,001), dan pendidikan ayah (p=0,010) dengan persentase lemak tubuh. Selain itu, berdasarkan uji regresi linear berganda diketahui bahwa IMT (p=0,001) dan aktivitas fisik (p=0,001) memiliki pengaruh yang signifikan terhdap persentase lemak tubuh. Kebiasaan konsumsi makanan siap saji berhubungan dengan persentase lemak tubuh pada anak usia sekolah di Provinsi DKI Jakarta. Faktor yang memengaruhi persentase lemak tubuh adalah IMT dan aktivitas fisik.

The influence of globalization and urbanization causes the spread of information and culture very quickly. Diet is one aspect that is also affected by the rapid spread of western culture throughout the world. Currently, fast food has become a type of food that is popular with many people, including children. This creates new problems because fast foods that are high in calories and sodium and low in fiber can cause health problems if consumed in excess. Excess calories in the body can cause increased body fat stores. If this occurs for a long time, it will cause various health problems. The research used secondary data from the South East Asian Nutrition Surveys (SEANUTS) 2.0 research with a cross-sectional study design. This study used subsample data from the SEANUTS study with a total sample of  95 children, consisting of  39 boys and 56 girls. Fast food consumption habits were assessed using the CFH questionnaire, while body fat percentage was measured using the Body Composition Analyzer. The characteristics of the research subjects were children aged 7-12 years who came from Jakarta Utara and Kepulauan Seribu. Consuming fast food once a month is the highest consumption in the population with a percentage of 15.8%, as well as the median value of body fat percentage was 14.2 percent. Based on the Kruskal-Wallis test, a significant correlation was found between fast food consumption habits (p=0.001), age (p=0.047), BMI (p=0.001), physical activity (p=0.001), and father's education (p= 0.010) with body fat percentage. Apart from that, based on the multiple linear regression test, it is known that BMI (p=0.001) and physical activity (p=0.001) have a significant influence on body fat percentage. The habit of consuming fast food is related to the percentage of body fat in school-aged children in DKI Jakarta Province. Factors that influence body fat percentage are BMI and physical activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duma Octavia Fransisca
"Pendahuluan. Anak perawakan pendek mempengaruhi sekitar sepertiga dari anak-anak balita di negara berkembang dan berhubungan dengan kesehatan dan pembangunan yang buruk. Golden 2009 mengusulkan bahwa anak perawakan pendek mungkin perlu MP-ASI densitas gizi lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal untuk mengejar pertumbuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh MP-ASI densitas standard SND-CF dan lebih tinggi HND-CF yang dikembangkan dari Rekomendasi MP-ASI dioptimalkan dan makanan fortifikasi pada pertumbuhan anak perawakan pendek berusia 12-23 bulan dibandingkan dengan kontrol.
Metodologi. Sebuah percobaan terkontrol berbasis masyarakat, acak-ganda-buta, dilakukan di antara anak perawakan pendek berusia 12-23 mo. Penelitian ini terdiri dari dua tahap: Tahap I untuk mengembangkan Rekomedasi MPASI dioptimalisasi menggunakan pendekatan program linear LP dan merumuskan tingkat densitas gizi yang berbeda dari MP-ASI. Tahap II, intervensi 6 bulan dengan 3 kelompok intervensi a HND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit fortifikasi lebih tinggi, b SND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit fortifikasi standar dan c ND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit tidak difortifikasi/kontrol. Panjang badan dan berat badan diukur setiap bulan. Konsumsi biskuit dicatat pada kunjungan mingguan.
Hasil. Survei pola makan menunjukkan bahwa niasin diidentifikasi sebagai zat gizi masalah sebagian dan tujuh nutrisi tidak bisa mencapai 65 kebutuhan diet. Ada peningkatan proporsi anak yang memenuhi frekuensi konsumsi makanan padat gizi mingguan yang direkomendasi oleh Rekomendasi MP-ASI, seperti makanan fortifikasi, buah semua kelompok, hati ayam SND-CF dan HND-CF dan ikan teri ND-CF. Energi, protein, vit B1, intake B6 meningkat pada semua kelompok. Kelompok HND-CF cenderung memiliki episode yang lebih tinggi dan durasi diare dan demam. Studi ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pertambahan panjang dan LAZ antara kelompok intervensi setelah disesuaikan untuk faktor perancu. Dibandingkan dengan ND-CF, ukuran efek pada pertambahan panjang -0,39 dan -0,39 untuk HND-CF dan SND-CF, masing-masing. Tidak ada pertambahan yang nyata pada berat badan, WAZ dan WHZ antara kelompok intervensi antara HND-CF dibandingkan dengan SND-CF dan kontrol. Tapi ada tren bahwa SND-CF memiliki pertambahan WAZ lebih besar. Dalam semua kelompok ada 8,5 ND-CF, 8,7 SND-CF dan 11,1 HND-CF anak perawakan pendek menjadi normal setelah intervensi 6-mo.
Kesimpulan dan Rekomendasi. Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari MP-ASI densitas lebih tinggi pada pertumbuhan anak perawakan pendek dibandingkan dengan SND-CF dan ND-CF. Studi lebih lanjut harus menyelidiki efek MP-ASI dioptimalisasi dengan kecukupan gizi dirancang pada Estimated Average Requiement EAR dibandingkan dengan Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dengan makanan fortifikasi. Program fortifikasi harus dirancang setelah mengidentifikasi kesenjangan zat gizi antara kebutuhan dan asupan gizi dioptimalkan.

Introduction. Stunting affects about one third of children underfive in developing countries and is associated with poor health and development. Golden 2009 proposed that stunted children may need higher nutrient density diets as compared to normal children to catch up their growth. The purpose of this study is to investigate the effect of Standard SND CF and higher HND CF nutrient density complementary food diets developed from optimized complementary feeding recommendation CFR and fortified foods. on growth of stunted children aged 12 23 month compare to control.
Methodology. A community based, double blind randomized, controlled trial was conducted among stunted children aged 12 23 mo. This study consisted of two phases Phase I to develop optimized CFR using linear programming LP approach and to formulate different nutrient density level of CF. Phase II, 6 month intervention with 3 intervention groups a HND CF received optimized CFR and higher fortified biscuit, b SND CF received optimized CFR and standard fortified biscuit and c ND CF received optimized CFR and unfortified biscuit control. Body length and weight were measured every month. Biscuit consumption was recorded on weekly visit.
Results. Dietary survey shows that niacin was identified as partial problem nutrient and seven nutrients could not achieve 65 dietary requirements. There were improvement on proportion of children meeting the recommended weekly frequency of promoted nutrient dense foods such as fortified foods, fruits all groups, chicken liver SND CF and HND CF groups and anchovy ND CF group. Energy, protein, vit B1, B6 intakes increased in all groups. HND CF group tend to have higher episode and duration of diarrhea and fever. Findings show there were no significant differences on length gain and LAZ gain between intervention groups after adjusting for covariates. Compared to ND CF, effect size on length gain were 0.39 and 0.39 for HND CF and SND CF, respectively. There was no significant weight gain, WAZ gain and WHZ between intervention groups between the HND CF as compared to SND CF and control. But there is a trend that SND CF has better WAZ gain. In all groups there were 8.5 ND CF, 8.7 SND CF and 11.1 HND stunted children became non stunted normal after 6 mo intervention.
Conclusion and Recommendation. Our data shows that there is no significant difference of higher nutrient density CF on the growth of stunted children as compared to SND CF and ND CF. Further study should investigate the effect of optimized CFR with nutrient adequacies designed at Estimated Average Requirement level in comparison to optimized CFR with fortified food. Fortification program should be designed after identifying nutrient gaps between the requirements and optimized intakes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>