Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Munawwaroh
"ABSTRAK
Pemekaran daerah yang menghasilkan daerah-daerah otonom baru
menjadi fenomena yang menarik di Indonesia saat ini. Dalam 10 tahun
desentralisasi, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan 2009, daerah otonom di
Indonesia sudah bertambah mencapai 205, yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten, dan 34 kota. Kini, hingga akhir tahun 2013 tercatat jumlah daerah
yang ada di Indonesia sebanyak 539 daerah otonom, terdiri dari 34 provinsi, 412
kabupaten, dan 93 kota. Demokrasi pasca reformasi memang memberi ruang yang
besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke melalui munculnya daerah-daerah otonom baru. Tapi di sisi lain,
kinerja daerah hasil pemekaran tersebut tidak berjalan secara maksimal. Sejumlah
evaluasi yang dilakukan pemerintah maupun lembaga kredibel lainnya
membuktikan bahwa pemerintahan daerah otonom baru tidak berjalan secara
efektif dan efisien. Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang mengalami
penambahan daerah otonom baru yang jumlahnya cukup siginifikan juga layak
untuk dievaluasi. Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah
daerah otonom baru menggunakan skala indeks dan ketimpangan dengan
menyertakan daerah otonom lama sebagai pembanding. Hasilnya, kinerja
pemerintah daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008-
2012 masih berada di bawah kinerja pemerintah daerah otonom lama. Namun
demikian, pembangunan di daerah otonom baru sudah berjalan cukup baik yang
dibuktikan dengan sejumlah indeks kinerja yang selisih angkanya tidak begitu
jauh berbeda dengan daerah otonom lama.

ABSTRACT
Rapid proliferation of regional administrations has resulted new
autonomous regions becomes an interesting phenomena in Indonesia nowadays.
In 10 years of decentralization, from 1999 to 2009, the autonomous region in
Indonesia has increased to reach 205, which consists of 7 provinces, 164
regencies, and 34 cities. Now, until the end of 2013 there are 539 autonomous
regions, consists of 34 provinces, 412 regencies, and 93 cities. Democracy in the
post reform does give a large space to improve the welfare of Indonesian people
from Sabang to Merauke through the emergence of new autonomous regions. But
on the other hand, the performances were not running optimally. A number of
evaluations by government or other credible institutions proved that the new
autonomous regional governments do not run effectively and efficiently. South
Sumatra province as one of province having new autonomous regions should be
evaluated. This study evaluated the government performance of the new
autonomous regions using the index scale and imbalance by including old
autonomous regions as a comparison. As a result, the performance of the new
autonomous regions in South Sumatra Province in 2008-2012 is still under the old
autonomous regions performance. However, the development of new autonomous
regions has been running quite well, as proved by index numbers, is not really
different from the old autonomous regions."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
"Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing.
Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance.
Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB.
1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah:
(a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan.
3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik.
4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB;
(a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara.
Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat.
Rekomendasi penelitian ini meliputi:
(a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 44(2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 44(2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mukti Cahyani
"ABSTRAK
Penataan Daerah Otonom Baru di Indonesia merupakan hal yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan sampai dengan saat ini Indonesia masih belum mempunyai arah kebijakan yang berkelanjutan terkait dengan penataan daerah. Terbukanya opsi pemekaran daerah atas dasar usulan dari daerah membuat banyaknya pembentukan Daerah Otonom Baru yang terbentuk dalam kurun waktu 15 tahun. Perubahan konstitusi yang salah satunya mengenai kewenangan legislasi juga memberi pengaruh dalam berkembangnya pemekaran daerah. Di sisi lain, Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dibentukan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD sebagai pemberi pertimbangan kebijakan kepada Presiden tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, termasuk salah satunya mengenai Penataan Daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu berlakunya 4 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Indonesia masih mencari konsep yang tepat dalam penataan daerah. Peran DPOD dalam penataan daerah pun belum maksimal karena tidak semua usulan pembentukan daerah melalui kajian dan rekomendasi dari DPOD. Oleh karena itu perlu adanya penguatan peran DPOD dalam memberikan pertimbangan terkait penataan daerah dan diterbitkannya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

ABSTRACT
The arrangement of new autonomous region in Indonesia is a very important and crucial issue. It is caused by up to the moment Indonesia still does not possess the sustainable policy direction related to the regional arrangement. The chance to do the regional expansion based on the proposal from the region drives to the high number of the New Autonomous Region created within the last fifteen years. The Constitutional change related to legislative authority also affects the development of regional expansion. On the other side, The Law of Local Governance delivers a mandate to form Advisory Council of the Regional Autonomy DPOD as a giver of policy consideration to the President regarding the matters related to the implementation of the regional autonomy, including the Regional Arrangement. The research result shows that within four years implementation of The Law of Local Governance, Indonesia remains seek for the right concept in the regional arrangement. The role of DPOP in the regional arrangement has not been maximized yet due to not all of the regional expansion proposals are going through the review and recommendation from the DPOD itself. "
2018
T50872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Amrida Syahrani
"Skripsi ini membahas penilaian kapasitas fiskal dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah pada pembentukan Kabupaten Pangandaran serta kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalamnya. Kelayakan kapasitas fiskal menjadi faktor dominan dalam pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 untuk menjamin kelangsungan hidup daerah. Penelitian ini dilakukan menggunakan post positivist melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam analisis penelitian ini diantaranya teori otonomi daerah, pembentukan daerah otonom, dan kapasitas fiskal daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian kapasitas fiskal pembentukan Kabupaten Pangandaran dkategorikan kurang mampu, karena tidak memenuhi syarat minimum penilaian kemampuan keuangan. Namun dari segi kemampuan ekonomi, daerah induk dan calon kabupaten Pangandaran berada pada kategori mampu. Di samping itu, dalam penilaian kemampuan keuangan dan ekonomi pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 terdapat beberapa ketentuan yang kurang jelas dan longgar.

This thesis is discusses the assessment of fiscal capacity in the establishment a new autonomous regions based on PP No. 78 Tahun 2007 about Procedure of Establishment, Abolition, and Unification Region that is used in the establish of Pangandaran Regency, as well as the weaknesses contained therein. The proper fiscal capacity became a dominant factor in establish a new autonomous region based on PP No. 78 Tahun 2007 to ensure the survival of the region. This research used the post-positivist approach through data collection techniques with in-depth interview and document study. The theory is used to analyze this research include regional autonomy, the establishment autonomous regions, and local fiscal capacity.
The results showed that the assessment of the fiscal capacity of the establishment the Pangandaran Regency categorized less capable, because it does not achieve the minimum level of financial capability assessment. But in terms of the ability of economy, main region and new region are capable. In addition, in the assessment of the financial and economic capability to the establishment autonomous regions based on PP 78 of 2007, there are several provisions that are less obvious and loose.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Futuhal Arifin
"Nowadays, there are many robotic applications being developed to do tasks autonomously without any interactions or commands from human. Therefore, developing a system which enables a robot to do surveillance such as detection and tracking of a moving object will lead us to more advanced tasks carried out by robots in the future. AR.Drone is a flying robot platform that is able to take role as UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Usage of computer vision algorithm such as Hough Transform makes it possible for such system to be implemented on AR.Drone. In this research, the developed algorithm is able to detect and track an object with certain shape and color. Then the algorithm is successfully implemented on AR.Drone quadcopter for detection and tracking.
Saat ini, ada banyak aplikasi robot yang telah dikembangkan untuk melakukan suatu tugas secara autonomous tanpa interaksi atau menerima perintah dari manusia. Oleh karena itu, mengembangkan sistem yang memungkinkan robot untuk melakukan tugas pengawasan seperti deteksi dan tracking terhadap suatu objek yang bergerak akan memungkinkan kita untuk mengimplementasikan tugas-tugas yang lebih canggih pada robot di masa mendatang. AR.Drone adalah salah satu platform robot terbang yang dapat berperan sebagai UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Penggunaan algoritma com-puter vision seperti Hough Transform memungkinkan sistem semacam itu dapat terimplementasi pada AR.Drone. Pada penelitian ini, algoritma yang diterapkan mampu melakukan deteksi dan tracking ter-hadap suatu objek berdasarkan bentuk dan warna tertentu. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini me-nunjukkan sistem deteksi dan tracking objek secara autonomous dapat diimplementasikan pada quad-copter AR.Drone."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Jovi Prasetyo
"ABSTRACT
Since the development of a Highly Automated Vehicle HAV has been refined rapidly in the last couple years, for which it has shifted today rsquo s automotive paradigm, hence, it is possible to apply HAV for daily commute in the near future. The aim of this research is to understand what infrastructure that is best to improve in Brisbane, so that it is enabled to support the HAV activities. In the first leg of this research, I learnt to understand the implications of HAV performed in the daily commute, in which I need to pay attention to the problem being made that is still occurring with current Semi Automated Vehicle. From there, then I am able to find out which infrastructure that needs to be well improved to support HAV.

ABSTRAK
Dikarenakan perkembangan kendaraan otonom HAV yang semakin meningkat dengan dalam beberapa tahun terakhir, yang juga telah menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir terhadap dunia otomotif, oleh karena itu, sangatlah mungkin untuk mengaplikasikan HAV dalam melakukan perjalanan sehari-hari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami jenis infrastruktur apa yang dapat berkembang di Brisbane, sehingga itu dapat mendukung aktifitas HAV. Pada tahap pertama dalam penelitian ini, saya belajar untuk mengetahui tujuan dari HAV dalam perjalanan sehari-hari, dimana saya perlu memerhatikan permasalahan yang sedang dihadapkan dengan semi kendaraan otomatis saat ini. Dari situ, kemudian saya dapat menemukan jenis infrastruktur apa saja yang harus dikembangkan dengan baik untuk merespon tren perkembangan HAV."
2017
S67187
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John William Horasia
"ABSTRACT
The purpose of this journal report is to understand the current development of the Autonomous Vehicle Technology, Drawback that could disadvantageous to the community and what Solutions that can be beneficial to both parties. This project is taking the Brisbane city condition as the parameter. The project started by reviewing the current stage of the autonomous technology that scientist and engineer has achieve. Analyzing the drawback of the technology and current situation of the commuting system around the city will be the next step before assigning the objectives and goals that create a concept idea by implementing the autonomous technology to the transport system, exclusively in Brisbane City.

ABSTRAK
Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengerti tahap dari pengembangan teknology kendaraan otonom, kekurangan yang dapat merugikan masyarakat dan solusi apa yang dapat dihasilkan dengan menguntungkan kedua belah pihak. Parameter kondisi dari proyek in berlokasi di kota Brisbane. Penulisan dimulai dengan meninjau tahap dari teknologi otonom yang telah berhasil di capai oleh peniliti dan insinyur. Kemudian di lanjut dengan menganalisa kekurangan dari teknologi dan cara masyarakat melakukan komuter mereka di kota. Langkah terakhir menetapkan tujuan dan sasaran dari Analisa yang dilakukan untuk membuat sebuah ide konsep yang dimana menerapkan teknologi otonom ke sistem transport khususnya di kota Brisbane."
2017
S68909
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abimanyu T. Alamsyah
"Berdasarkan konvensi hukum laut perserikatan bangsa-bangsa (united nations convention on the law of the sea) 1982, indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau (DKP 2000). Menurut UNESCO (RI 1997an) pulau kecil adalah pulau yang lebih kecil daripada 10.000 km2 penduduk kurang dari 500.000 orang. Namun terminologi pulau kecil tersebut terlalu besar untuk mewakili ke khasan permukiman di gugus pulau mikro, termasuk di Kepulauan Seribu dan pulau-pulau mikro di perbatasan Indonesia. Luas pulau-pulau mikro tersebut banyak yang kurang dari 1 km2 (DKP 2006). Luas total sekitar 110 pulau di Kepulaluan Seribu hanya 8,69 km2 di dalam laut seluas 6.979,50 km2 (Rayaconsult 2001).
Nelayan diidentifikasi sebagai termasuk miskin di Indonesia (RI 1997a). Agar turut brperan dalam penyelamatan lingkungan hidup, penataan ruang perlu merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan (WCED 1988) untuk peningkatan kualitas hidup komuniti lokal dan lingkungannya (ICPQL 1996), termasuk nelayan yang tinggal di region gugus pulau mikro kepualauan seribu.
Dalam kenyataannya sukar untuk mengukur kualitas hidup. Mengikuti paradigma kebersamaan (Fischer-Kowalsky et al. 1992), kualitas hidup pergantung kepada keramahan hubungan manusia dengan lingkungannya. Sebaliknya, daya dukung lingkungan hidup juga dipengaruhi oleh keefektifan metabolisme industri dan teknologi dapat mengubah limbahnya sehingga metabolisme alam dapat mengkonsumsinya sebagai makanan atau zat hera ( McDonough dan Braungart 1998). Hanya dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat untuk memelihara maka kualitas lingkungan mereka dapat meningkat.
Suatu region adalah suatu bagian dari lingkungan hidup. Region diidentifikasi untuk keperluan penataan, sedangkan regionisme penataan adalah konsep dasar untuk menentukan batas-batas suatu region.
Sepanjang sejarah, esensi suatu region telah diidentifikasi melalui berbagai pendekatan, teori dan paradigma untuk berbagai tujuan dan bidang ilmu. Dalam mengidentifikasi keterkaitan antara ekologi dengan kultur di suatu tempat, Berg dan Dasmann (1977) menganjurkan untuk penggunaan konsep bioregion, region yang mengacu kepada kawasan geografis maupun kawasan kesadaran kultural penghuninya. Regionisme ini berkembang menjadi bioregioalisme, suatu pemahaman mengenai bagaimana untuk hidup di bioregion. Namun penerapan yang berkembang selama ini lebih beriorientasi kepada region daratan dan belum menyentuh masalah pulau-pulau mikro.
Paradigma laut sebagai milik umum mengantar nelayan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya kelautan, Friedheim menyatakan perlunya institusi pentadbiran laut agar dapat mengalokasikan pemanfaatan dan pelestariannya secara lebih adil, efektif dan efisien (Friedheim 1999a, Bengen 2003). Namun pentadbiran sumberdaya laut tidak dapat meninggalkan kepentingan pemukim pulau yang kehidupannya berbasisi laut.
Fokusdisertasi ini adalah mempelajari keberlanjutan permukiman gugus pulau mikro di bioregion Kepulauan Seribu, serta mengevaluasi fungsi kebijakan penataan permukiman setempat selama ini dalam meningkatkan kualias hidup pemukim dan lingkungan setempat. Disertasi ini akan membuktikan bahwa kelemahan hasil penataan dapat dimulai sejak pemilihan regionisme penataannya. Beberapa temuan akan bermanfaat sebagai acuan penataan gugus pulau mikro lain yang serupa.
2. MASALAH PENELITIAN
Berbagai kebijakan, perencanaan dan penataan telah dilakukan untuk membangun daerah metropolitan jakarta, termasuk untuk Kepulauan Seribu. Walaupun demikian kondisi kehidupan penduduk gugus pulau mikro setempat tidak meningkat secara nyata.
Penataan ruang Kepulauan Seribu selama ini tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupan pemukim dan lingkungan setempat.
3. HIPOTESIS
Daya dukung terhadap kehidupan di permukiman gugus pulau mikro menyangkut daya dukung manusia selain lingkungan alamnya, yang berinteraksi dan berproses secara berkelanjutan antara metabolisme sistem kehidupan manusia dengan metabolisme sistem alamnya. DI Kepualauan Seribu, metabolisme manusia termasuk penerapan iptek pendukung kehidupan pulau-pulaunya, sedangkan metabolisme alam termasuk kehidupan di pulau maupun di laut sekitarnya. Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hipotesis 1:
Penataan ruang selama ini masih didominasi oleh regionisme daratan, sehingga tida memperhatikan bioregion gugus pulau mikro yang ada di dominasi laut.
Hipotesis 2:
Peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungan gugus pulau mikro di Kepualauan Seribu selama ini tidak dapat berkelanjutan karena penataan ruang selama ini tidak terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam suatu pentadbiran bioregion gugus pulau mikro.
4. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengungkapkan kelemahan penataan permukiman di Keluapauan Seribu.
2. Mengkaji secara kritis kelemahan penerapan regionisme penataan yang lama terhadap keberlanjutan permukiman di gugus pulau mikro.
3. Mengkonstruksi regionisme penataan yang baru untuk gugus pulau mikro.
4. Menawarkan prinsip-prinsip penataan permukiman di gugus pulau mikro yang lebih memiliki kemampuan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungannya.
5. Mengindikasikan konsekuensi regionisme penataan yang baru terhadap pentadbiran gugus puau mikro di Kepulauan Seribu.
5. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian deskriptif dan penelitian penjajagan (Neuman 1997:19-21, 31-34). Sebagai penelitian deskriptif, gejala setempat akan diperlakukan sebagai gejala umum, dalam kasus ini kekhasan permukiman dibgugus pulau mikro. Penelitian ini dapat dianggap sebagai penelitian awal karena, dari hasil penelusuran peneliti, hingga kini penelitian mengenai regionisme penataan permukiman di gugus pulau mikro serta kaitannya dengan pentadbiran bioregion gugus pulau mikro belum pernah dilakukan.
Sesuai dengan esensi studi dan keterbatasan data pada awal studi, penelitian ini menggunakan kombinasi antara metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif dan metode kritik-eideografis (positive social science, interperlatif social science dan critical social science, Neuman 1997:60-80). Walaupun metode kuantitatif digunakan dalam pengolahan data awal, pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yang bersifat kualitatif, yang dilakukan dari tahun 2002 hingga 2004. Relevansi dengan perkembangan hingga tahun 2006 ditelusuri melalui informasi tambahan dari data sekunder dari pemerintah kabupaten Kepualauan Seribu maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kritik-ideografis dilakukan terhadap regionisme produk penataan ruang yang lama.
Identifikasi siapa yang termasuk komuniti pulau, serta pengungkapan regionisme yang digunakan pakar penataan ruang selama ini, melalui pengungkapan korelasi antara profil responden dengan persepsinya, dengan menggunakan metode uji korelasi variabel non-parametrik spearman.
Temuan ini kemudian dapat mengungkapkan peluang dan keterbatasan regionisme penataan uang digunakan dalam produk perencanaan tata ruang selama ini, hubungannya dengan pentadbiran gugus pulau mikro serta kondisi komuniti lokal dan lingkungan kehidupannya.
6. HASIL PENELITIAN
1. Kelemahan penataan ruang selama ini
Sebagai suatu ekoregion gugus pulau mikro, Kepualauan Seribu adalah suatu kesatuan lingkungan hidup terdiri dari pulau-pulau yang sangat kecil, relatif berdekatan, dengan total daratan tidak lebih dari 10km2, terpisah dari pulau besar atau pulau induknya, serta unsur lautan di sekitarnya yang jauh; lebih luas daripada daratannya. Kondisi ini menyebabkan pengaruh ekosistem laut dan perubahan iklim setempat lebih dominan daripada daya dukung ekosistem daratannya.
Tidak semua pulau mikro berpenduduk. Bagian terbesar pemukim gugus pulau mikro adalah nelayan atau bekerja mendukung kehidupan berbasis sumberdaya lingkungan laut. Di masa lalu tidak semua pulau dipilih sevagai pulau perumahan. Mereka tinggal terutama di satu atau lebih pulau yang berada di tengah ekoregionnya. Beberapa pulau dan karang di sekitarnya merupakan pelindung alami, penyedia air bersih, dan lainnya dapat menjadi pulau penyedia cadangan sumberdaya alam.
Setiap komuniti pulau laut pada awalnya memilih tempat tinggal di kesatuan gugus pulau mikro yang berbeda. Kesatuan gugus pulau permukiman ini dapat disebut sebagai suatu antroporegion gugus pulau ikro. Antroporegion yang menyatu dengan ekoregion gugus pulau mikro dapat disebut sebagai bioregion gugus pulau mikro. Bioregion pulau mikro pertama di kepualauan Seribu adalah bioregion gugus pulau Kelapa dan gugus pulau Panggang yang dihuni oleh komuniti turunan Mandar-Banten. Kemudian berkembang pula bioregion gugus pulau Genteng dihuni oleh komuniti Bugis. Kemudian komuniti lain datang dan tinggal di bioregion gugus pulau mikro lama dan baru. Ini membuat bioregion gugus.
Demi mewujudkan suatu Cagar Alam Laut, yang kemudian menjadi Taman Nasional Laut, sekitar tahun 1980-an pemukim di bioregion gugus pulau mikro Pulau Genteng di pindahkan ke Pulau Sebira dan Pulau Kelapa Dua. Setelah lebih dari 20 tahun, nelayan Bugis di Pulau Kelapa Dua tetap miskin (TCP 2004). Disisi lain, Pulau Sebira sangat terpencil di bagian Utara Kepulauan Seribu. Ini membuat tindakan penyelamatan kegiatan mereka di laut dari pembajakan seolah-olah di luar tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim daerah setemat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim pulau Genteng ke kedua pulau baru tersebut, terbukti tidak meningkatkan kesejahteraan maupun kualitas hidup mereka.
2. Kelemahan regionisme penataan ruang selama ini
Berdasarkan undang-undang penataan ruang No. 24/1992 (RI 1992), penataan ruang yang lama mengacu kepada regionisme administrasi dan fungsional. Penataan ruang DKI Jakarta, termasuk kepualauan Seribu, cenderung didominasi regionisme daratan. Hasil kajian peta, studi lapangan, wawancara mendalam, dan kajian kritis terhadap londisi setempat dan produk penataan ruang sejak 1964-1999 menunjukkan rencana yang dibuat tidak konsisten, banyak kontradiksi dan potensi konflik antara rencana tata ruang yang ada.
Region administrasi lama tidak saja mengabaikan kondisi ekoregion laut namun juga antroporegion setempat. Tanpa referensi mengenai daya dukung laut setempat, rencana zonasi Taman Nasional Laut mengurangu era oenghidupan nelayan tradisional. Area eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk area tanggung jawab terhadap dampak tumpahan minyak ke laut sekitarnya. Penataan berdasarkan region fungsional sangat sektoral dan tidak terintegrasi dengan penataan ruang lain di region yang sama (Dephut 1986, 1995, 2002). Tidak ada penjelasan mengenai waktu-ruang pekerjaan komuniti lokal yang mempengaruhi masa pemanfaatan suatu bagian pulau dan laut sekitar pulau.
Persepsi pakar tata ruang juga menunjukkan bahwa regionisme penataan selama ini cenderung berbasis daratan. Regionisme daratan tidak mampu mengantisipasi perubahan lingkungan akibat aktifitas pembangunan berbasis laut.
Asumsi dasar dan aplikasi bioregionisme selama ini berbeda dengan kondisi permukiman di gugus puau mikro. Cakupan penerapannya masih terbatas kepada bioregion sebagai daratan luas dan sebelumnya dihuni oleh komuniti yang relatif homogen. Bioregionisme selama ini belum cukup mengidentifikasi regionisme penataan bagi permukiman yang berbais laut di gugus pulau mikro, semacam di Kepulauan Seribu.
3. Regionisme penataan untuk peningkatan gugus pulau mikro
Waktu-ruang unsur ekoregion suatu gugus pulau mikro selalu berubah. Oleh karena itu kehidupan di lingkungan Kepulauan Seribu selalu berubah sehubungan dengan perubahan kondisi dan perilaku ekoregion setempat. Antroporegion setempat juga berubah bersama dengan perubahan kondisi dan perilaku penduduk untuk mengantisipasi perubahan kondisi ekoregion, perkembangan ilmu dan teknologi kepulauan, serta perubahan kultur pemukim gugus pulau mikronya.
Dalam mengantisipasi perubahan kondisi ekoregionnya, setiap kelompok pemukim memiliki waktu-ruang dan strategi mempertahankan kehidupan masing-masing yang tidak selalu ramah lingkungan dan tidak semua berkelanjutan.
Upaya pemulihan atau peningkatan kearifan lingkungan dan kapasitas pemukim setempat hanya dapat bermanfaat bila pemukim sendiri terlibat dalam proses peningkatan kualitas kehidupannya dalam jangka panjang. Pendekatan ramah lingkungan dan kegiatan peningkatan kualitas hidup hanya dapat efektif bila komuniti pulau-laut setempat menjadi pelaku kunci dalam mengembangkan region gugus pulau mikronya sendiri, termasuk dalam proses penataannya.
Pengertian bioregion sebagai acuan dasar regionisme penataan gugus pulau mikro dapat digunakan, namum berbeda dengan fungsi awal bioregionalisme. Dalam bentuk baru, bioregion gugus pulau mikro dapat berfungsi secara operasional sebagai regionisme penataan gugus pulau mikro secara berkelanjutan. Bioregionisme gugus pulau mikro bukan sekadar untuk memahami ekoregion dan antroporegion setempat, namun juga sebagai dasar upaya bagaimana agar proses
penalaan betul-betul untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan lingkungan
gugus pulau mikro setempat. Oleh karena itu bioregionisme gugus pulau mikro
sebagai regionisme penataan merupakan acuan utama proses pentadbiran bioregion
gugus pulau mikro yang dapat mendorong l-ceterlibatan pemukim setempat.
4). Prinsip-prinsip penataan dan pentadbiran gugus pulau mikro
Beberapa prinsip yang perlu diperhatilcan dalam penataan dan pentadbiran
bioregion gugus pualu mikro, adalah sebagai berikut:
1. Region penataan harus berbasis bioregion gugus pulau mikro,
2. Tujuan utama penataannya adalah meningkatkan kualitas hidup setempat,
3. Penataan perlu mengacu kepada waktu-ruang metabolisme unsur-unsur
bioregionnya
4. Pelaksanaannya perlu melaiui proses yang ramah lingkungan,
5. Penataan permukiman merupakan bagian dari proses berlanjut pentadbiran
bioregion gugus pulau mikro,
6. Komuniti pulau-laut setempat berperan dalam menentukan hari depan
region permukimannya sendiri.
7. Hasilnya harus merupakan peningkatan kualitas permukiman di gugus
pulau mikro secara berkelanjutan.
5). Konsekuensi bioregionisme gugus pulau mikro
Mengacu kepada kondisi dan potensi setempat, paling kurang ada tiga strategi
potensial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan
lingkungan gugus pulau mikro.
1. Dasar Konsepruai : Mengubah regionisme penataan yang semula berbasis
daratan menjadi berbasis bioregion gugus pulau mikro yang meliputi
ekoregion dan antroporegion pulau-laut setempat.
2. Pendekatan Penatrmn: Mengubah pendekatan penataan yang semula
berorientasi produk menjadi berorientasi proses sebagai bagian dari pruses
pentadbiran bioregion gugus pulau mikro; proses belajar bersama
berkelanjutan untuk mewujudkan peluang untuk meningkatkan kualitas
hidup setempat
3. Kelembagaan: Pengembangan institusi untuk memfasilitasi proses
perubahan dari berbasis regioisrne daratan menjadi bioregionisme gugus
pulau mikro, melalui peningkatan keberdayaan dan peran komuniti pulau-
laut setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D626
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>