Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 225513 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lolita Dian Evayani
"[Latar Belakang : Katup velofaringeal memiliki peranan penting dalam mengontrol aliran udara saat pasien berbicara. Penutupan katup velofaringeal yang tidak sempurna menimbulkan masalah pada saat pasien berbicara. Terdapat beberapa modalitas dalam menilai insufisiensi velofaringeal, antara lain menggunakan mirror test dan radiografi sefalometri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas mirror test dan radiografi sefalometri sebagai modalitas pemeriksaan adanya insufisiensi velofaringeal pada pasien celah langit-langit pasca dilakukannya rekonstruksi celah langit-langit. Metode : Merupakan penelitian cross-sectional analitik dengan desain khusus untuk suatu uji diagnostik dan dikelompokan dalam tabel 2x2 dengan pemeriksaan gold standard nasoendoskopi. Data diambil dari pasien berusia 5 – 11 tahun pasca rekonstruksi celah langit-langit dan mengikuti terapi bicara di Program SEHATI RSAB Harapan Kita Jakarta. Hasil : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas lebih tinggi (100%) dibandingkan mirror test, namun demikian nilai spesifitas sefalometri lebih rendah (33.3 %) dibandingkan mirror test. Sedangkan false negative dari radiografi sefalometri adalah 66.66 %. Kesimpulan : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan mirror test. Sehingga radiografi sefalometri dapat digunakan sebagai modalitas pemeriksaan insufisiensi velofaringeal bersama dengan mirror test yang selama ini telah digunakan sebagai modalitas awal pemeriksaan insufisiensi velofaringeal. , Background :Velopharyngeal valve has an important role in controlling the flow of air when the patient is speaking. Incomplete velopharyngeal closure cause problems when patient is speaking. There are several modalities in assessing velofaringeal insufficiency, among others, using the mirror test and cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the sensitivity and specificity of the test mirror and cephalometric radiographic as the modality of the insufficiency velopharyngeal examination in patients with cleft palate after performing cleft palate reconstruction. Methods: A cross-sectional analytic study with a specific design for a diagnostic test and grouped in a 2x2 table with the gold standard endoscopic examination. Data taken from patients aged 5-11 years post-reconstruction of cleft palate and speech therapy in SEHATI Program in Harapan Kita Hospital Jakarta. Results: Cephalometric radiographs have higher sensitivity (100%) compared to the mirror test, however cephalometric values lower specificity (33.3%) compared to the mirror test. While the false negative of cephalometric radiographs was 66.66%. Conclusion: Cephalometric radiographs have a higher sensitivity than the mirror test. Cephalometric radiographs can be used as a modality examination velofaringeal insufficiency along with mirror test which has been used as the initial modality examination velofaringeal insufficiency.]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Hapsari
"Latar belakang: Pasien celah bibir dan langit-langit (CLP) memiliki karakteristik ukuran maksila dan mandibula yang lebih kecil, posisi maksila dan mandibula yang retrognati, dimensi faring yang lebih kecil, dan posisi tulang hyoid yang lebih inferior. Gangguan pada struktur wajah dan jalan napas ini meningkatkan risiko gangguan napas saat tidur terutama Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA merupakan gangguan tidur berupa episode berulang sumbatan jalan napas baik parsial dan total. OSA pada anak berakibat gangguan perkembangan, gangguan kognitif, kelelahan di siang hari, gangguan perilaku, dan komplikasi kardiovaskular. Walaupun memiliki banyak dampak negatif, OSA pada anak-anak terutama pada pasien CLP kurang menjadi perhatian.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan struktur wajah dan jalan napas secara sefalometri terhadap risiko terjadinya OSA pada pasien CLP.
Metode: Sefalometri lateral dari 18 pasien celah bibir dan langit-langit pasca labioplasti dan palatoplasti baik unilateral maupun bilateral dengan usia 6 sampai 8 tahun di poli CLP RSAB Harapan Kita di-tracing. Orang tua atau wali pasien mengisi kuesioner uji tapis OSA Brouillette dan Pediatric Sleep Questionnaire. Hasil tracing dan kuesioner dilakukan uji korelasi Spearman dan Kendall.
Hasil: Pasien CLP memiliki dimensi faring yang lebih kecil, maksilomandibular retrognati, ukuran maksila dan mandibular yang pendek, posisi hyoid yang lebih anterior dan adenoid yang besar. Dari kuesioner Brouillette tidak didapatkan risiko OSA pada pasien CLP. Satu pasien CLP memiliki risiko tinggi OSA dari hasil kuesioner PSQ. Semua variabel sefalometri tidak memiliki korelasi bermakna dengan risiko OSA (p>0,05).
Kesimpulan: Penelitian ini tidak mendapatkan adanya korelasi antara variabel-variabel sefalometri dengan risiko OSA walaupun hasil analisis sefalometri mendukung terjadinya OSA.

Background: Cleft lip and palate (CLP) patients have characteristic of smaller maxilla and mandible, bimaxillary retruded, smaller pharyngeal dimension, and inferiorly position hyoid. Facial structural and airway abnormalities increase sleep-disordered breathing especially obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA is a sleep disturbance characterized by repeated episodes of total or partial upper airway obstruction. OSA in children results in developmental disorders, cognitive impairments, daytime fatigue, behavioral disorders, and cardiovascular complications. Although it has many detrimental effects, OSA in children especially in CLP patients is underrecognized.
Objective: This study aims to determine the relationship between cephalometric facial and airway structures and the risk of OSA in CLP patients.
Methods: Lateral cephalometry of 18 patients with cleft lip and palate which had undergone labioplasty and palatoplasty according to treatment protocol, both unilateral and bilateral, aged 6 to 8 years in cleft lip and palate clinic, Harapan Kita Hospital were traced. Patient’s parent were asked to fill out Brouillette's questionnaire and the Pediatric Sleep Questionnaire. Spearman and Kendall correlation test were used to asses the colleration cephalometric analysis and questionnaires’ result.
Results: CLP patients have smaller pharyngeal dimensions, bimaxillary retruded, shortened maxillary and mandibular length, anteriorly positioned hyoid and relatively large adenoids. Brouillette failed to demonstrate OSA risk in CLP patients. One CLP patient has a high risk of OSA from the results of the PSQ questionnaire. All cephalometric variables did not have a significant correlation with OSA risk (p> 0.05).
Conclusion: This study did not show any correlation between cephalometric variables and OSA risk, although the results of cephalometric analysis supported the occurrence of OSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 348-352
The influenced of respiration to dentocraniofacial growth and development is still controversial. The accurate radiologic examination is important factor for proper diagnosis. Deviation of upper airway (i.e. nasopharynx, oropharynx and nasal cavity) could be evaluated by lateral and anteroposterior cephalometric projection technique. This paper explains several methods to evaluate upper respiratory tract by lateral radiograph."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gema Paramesti Putri
"Pendahuluan: Interpretasi asimetri dentokraniofasial sangat penting dalam penegakkan diagnosis dan pembuatan rencana perawatan ortodonti. Walaupun sefalometri PA merupakan standar prosedur asimetri dentokraniofasial, namun memberi tambahan paparan radiasi bagi pasien, serta memerlukan biaya tambahan. Apabila OPG dapat digunakan sebagai interpretasi dentokraniofasial, maka akan lebih efektif dan efisien. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis perbedaan interpretasi asimetri dentokraniofasial antara OPG dan sefalogram PA dengan analisis linear vertikal dan angular. Metode: Interpretasi asimetri dentokraniofasial analisis linear vertikal dan angular menggunakan Winceph 11 dari 30 subjek penelitian didapatkan sesuai kriteria inklusi. Terdapat 5 parameter yang dianalisis, yaitu Orbitale, Condyle, Sigmoid Notch Point, Gonion, Menton. Uji McNemar digunakan untuk menguji perbedaan kedua metode. Bland-Altman plot dan Kappa digunakan untuk menguji reliabilitas antara kedua metode. Hasil: Interpretasi asimetri dentokraniofasial dengan parameter orbitale, condyle, dan sigmoid notch point tidak terdapat perbedaan bermakna pada pengukuran linear vertikal dan angular, namun pada parameter gonion dan menton didapatkan berbeda bermakna (p<0.05) antara gambaran OPG dan Sefalometri PA pada analisis angular. Seluruh parameter menunjukkan kesepakatan hampir sempurna antara kedua metode (Kappa>0.81). Kesimpulan: OPG dapat digunakan sebagai alat bantu interpretasi awal asimetri dentokraniofasial, namun untuk penegakan interpretasi asimetri dentokraniofasial utamanya menggunakan sefalogram PA.

Introduction: Interpretation of dentocraniofacial asymmetry is crucial in establishing the orthodontic diagnosis and treatment plans. Although PA cephalometry is the standard procedure for dentocraniofacial asymmetry, it provides additional radiation exposure for patients and requires additional costs. If OPG can be used as a dentocraniofacial interpretation, it will be more effective and efficient. Objective: This study aims to analyze the differences in dentocraniofacial asymmetry interpretation between OPG and PA cephalogram with vertical and angular linear analysis. Methods: Interpretation of dentocraniofacial asymmetry vertical and angular linear analysis using Winceph 11 of 30 subjects were obtained according to the inclusion criteria. The parameters are Orbitale, Condyle, Sigmoid Notch Point, Gonion, and Menton. McNemar test was used to evaluate the differences between the two methods. Bland-Altman plot and Kappa were used to evaluate the reliability between the two methods. Results: Interpretation of dentocraniofacial asymmetry with orbitale, condyle, and sigmoid notch point parameters presented no significant differences in vertical linear and angular measurements, but in gonion and menton parameters, there was a significant difference (p<0.05) between OPG and PA cephalometry in angular analysis. All parameters showed almost perfect agreement between the two methods (Kappa> 0.81). Conclusion: OPG can be used as an aid in the initial interpretation of dentocraniofacial asymmetry, but PA cephalogram is mainly used to enforce the interpretation of dentocraniofacial asymmetry."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parade, Magdalena
"Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Rosalina, Author
"Bertambah majunya teknik perawatan dan material di bidang ortodonsi, memungkinkan perawatan ortodonsi dilakukan dalam tiga arah yaitu anteroposterior, vertical, dan lateral. Oleh karena itu diagnosis harus ditegakkan pada ketiga arah tersebut, sehingga pemilihan teknik perawatan dan materialpun tepat, dan di dapat basil perawatan yang sesuai dengan harapan.
Maloklusi dalam arah vertikal dapat terjadi dalam bentuk gigitan dalam dan gigitan terbuka. Kesulitan mengoreksi gigitan dalam telah lama diketahui. Selama ini terdapat banyak perbedaaan pendapat mengenai etiologi gigitan dalam dan juga bagaimana merawatnya.
Pengurangan gigitan dalam biasanya dilakukan pada tahap awal perawatan ortodontik yang dapat dicapai dengan cara intrusi insisif ekstrusi molar, proklinasi insisif atau kombinasi dari semuanya. Intrusi gigi insisif lebih disukai pada pasien dengan muka anterior bawah yang lebih besar dari rata-rata. Dengan menghindari ekstrusi molar maka dimensi vertikal wajah tidak berubah, ruang interoklusal tidak hilang serta memperbalki estetika karena insisal gigi depan dapat ditempatkan ke posisi yang harmonis dengan garis bibir. Posisi tepi insisal pada akhir perawatan idealnya kira-kira 3 mm di bawah garis bibir pada regio anterior.2
Pada teknik Begg intrusi gigi depan dicapai dengan pembuatan tekukan penjangkaran pada kawat busur, dan diletakkan di mesial tube M, kurarig lebl antara gigi P2 dan Mi , yang biasanya disertai pemakaian karet pada kasus malaklusi klas I dan klas II div I. Pemberian tekukan penjangkaran untuk mengintrusi gigi depan, yang disertai pemakaian karet klas II untuk menggeser gigi depan, tidak terlepas dari aksi dan reaksi antara gigi molar dan gigi depan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Latif
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk menganalisis perbedaan sefalometri morfologi wajah di antara orang dewasa dengan UCLA, UCLP, BCLA dan BCLP yang tidak dioperasi dibandingkan dengan kelompok kontrol (non-cleft). Bahan dan metode: Penelitian retrospektif ini menganalisis sefalogram dari subjek dengan UCLA (n= 160), UCLP (n=59), BCLA (n=21) dan BCLP (n=13) dibandingkan kelompok kontrol/non-cleft (n= 52). Sefalogram dipindai pada 16-bit scanner flat bed (EPSON Expression 10000XL) pada resolusi 300 dpi. Semua sefalogram yang diubah menjadi digital oleh seorang pengamat komersial memakai software (Viewbox 3 dhal Software, Kiffisia, Yunani). Sefalometri dianalisis sesuai dengan protokol modifikasi Eurocleft. Perbedaan sefalometri morfologi wajah di antara mereka dianalisis secara statistik. Hasil: Posisi maksila (s-n-ss/SNA), posisi mandibula (S-N-Pg) dan hubungan rahang sagital (ss-n-sm/ANB) berbeda secara signifikan antara kelompok kontrol dan semua kelompok cleft (nilai p antara 0.001 dan 0.042); kelompok cleft sudutnya lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Posisi maksila dan mandibula arah antero posterior berbeda antara kelompok UCLA dan UCLP, juga antara kelompok BCLA dan BCLP. Inklinasi gigi insisif atas terhadap palatal plane (ILS/NL) dan sudut interincisal tidak berbeda secara signifikan antara kelompok kontrol dan semua kelompok cleft. Kesimpulan: Pada kelompok cleft dewasa yang tidak dioperasi, rahang atas menunjukkan secara morfologis lebih ke depan (s-n-ss / SNA) daripada kelompok kontrol. Morfologi wajah kelompok cleft dewasa yang tidak dioperasi tampaknya dapat tumbuh normal pada arah anteroposterior. Setiap jenis cleft memiliki karakteristik sefalometri morfologi sendiri.

ABSTRACT
Objective: To analyze cephalometric facial morphology among adult, unoperated UCLA, UCLP, BCLA. BCLP and the control group (non-cleft). Materials and methods: This retrospective study analyzed the cephalograms of 160 subjects with UCLA, 59 with UCLP, 21 with BCLA, 13 with BCLP and 52 the control (non-cleft group). The cephalograms were scanned on a 16-bit flatbed scanner (EPSON Expression 10000XL) at a resolution of 300 dpi. All cephalograms were digitized by one observer with commercially available software (Viewbox 3 dHal Software, Kiffisia, Greece). The lateral cephalograms were analyzed according to a modified Eurocleft protocol. Differences in cephalometric facial morphology among them were analyzed statistically. Results: Maxillary prominence (s-n-ss/SNA), mandibular prominence (S-N-Pg) and sagittal jaw relationship (ss-n-sm/ANB) differed significantly between the control group and all cleft groups (p-values between 0.001 and 0.042), being larger in the cleft groups. Maxillary and mandibular prominence differed between UCLA and UCLP and either BCLA and BCLP. Upper incisor inclination to palatal plane (ILS/NL) and the interincisal angle did not differ significantly between the control and all cleft groups. There was also no significant difference between the unilateral cleft groups and between the bilateral cleft groups. Conclusions: In the adult unoperated cleft groups, the maxilla showed more prominent (s-n-ss/SNA) than the control group. The facial morphology of adult untreated cleft groups seems potentially normal development in anteroposterior direction. Each type of cleft has its own characteristic cephalometric morphology"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia , 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Semi Riawan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Operasi orthognatik merupakan tahapan akhir dari perawatan fungsional dan rehabilitasi pada penderita celah bibir dan langit-langit, disebabkan karena tingginya prevalensi dari rahang atas yang mengalami hipoplasi, sehingga banyak penderita yang memerlukan osteotomi maksila. Tujuan: Mengetahui kebutuhan operasi orthognatik pada penderita celah bibir dan langit - langit usia pasca perawatan orthodontik konvensional usia 18–25 tahun pada RSAB Harapan Kita Unit Celah Bibir dan Langit-langit. Metode: Analisis antropometri dengan mengukur besar sudut nasolabial dan facial contour, analisis sefalometri dengan mengukur besar sudut ANB dan jarak Wits Appraisal, analisis model studi dengan mengukur jarak inter insisal dan inter molar. Hasil perbandingan antar kelompok dianalisa menggunakan uji T – Test tidak berpasangan .Hasil: Kebutuhan bedah orthognatik usia 18–25 tahun cukup tinggi dibandingkan yang dapat dirawat dengan perawatan orthodontik konvensional. Kesimpulan: Untuk meningkatkan pelayanan di unit CLP RSAB Harapan Kita pasien celah bibir dan langit-langit harus diedukasi ke arah bedah orthognatik untuk mendapat hasil akhir yang lebih baik.

ABSTRACT
Background: Orthognathic surgery is the final stage of treatment and functional rehabilitation in patients with cleft lip and palate, due to the high prevalence of maxillary hipoplasia that require osteotomy. Purpose: Measure the need for orthognathic surgery in 18-25 years old patients with cleft lip and palate after orthodontic treatment at Harapan Kita Hospital. Method: Anthropometric analysis with a large measure the nasolabial angle and facial contour, cephalometric analysis with a large measure ANB angle and Wits appraisal distance, analytical study of the model by measuring the inter-incisal distance and inter molar. The results of comparisons between groups were analyzed using T test - Test. Result: Surgical needs orthognatik age 18-25 years is quite high compared to that can be treated with conventional orthodontic treatment. Conclusion: To improve services in the CLP unit RSAB Harapan Kita patients cleft lip and sky - the sky should be educated towards orthognatik surgery to get a better end result."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Khairiyah
"Pendahuluan: Pengukuran parameter sefalometri lateral adalah bagian penting dalam perencanaan perawatan ortodonti. Pengukuran metode konvensional dilakukan secara manual, namun teknik ini memakan waktu. Metode digital dapat dilakukan menggunakan aplikasi yang saat ini semakin banyak dikembangkan dan disebarluaskan seperti aplikasi OrthoCeph yang dapat digunakan secara semi-otomatis dan aplikasi WebCeph secara otomatis dan semi otomatis. Dokter gigi dapat menggunakan aplikasi tersebut pada smartphone ataupun web agar lebih efisien dengan memastikan adanya keakuratan antara pengukuran pada radiografi sefalometri metode digital dan metode konvensional sebagai gold standard. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengukuran parameter sefalometri lateral (skeletal, dental, dan jaringan lunak) antara metode digital (OrthoCeph dan WebCeph) dengan konvensional. Metode: Radiografi sefalometri lateral dari 36 subjek penelitian didapatkan sesuai kriteria inklusi. Terdapat 14 parameter skeletal, dental, dan jaringan lunak sefalometri lateral yang dianalisis. Uji paired t-test digunakan untuk menguji perbedaan antar metode. Interclass correlation coefficient (ICC) dan Bland-Altman plot digunakan untuk menguji reliabilitas antar metode. Hasil: tidak terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital OrthoCeph dan konvensional pada sebagian besar parameter pengukuran parameter sefalometri lateral, antara lain SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, dan II (p≥0,05). Terdapat perbedaan secara statistik pada parameter SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls dan Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital WebCeph dan konvensional pada seluruh parameter (p≥0,05) kecuali E-Line Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode OrthoCeph dengan WebCeph pada seluruh parameter (p<0,05). Sebagian besar parameter menunjukkan kesepakatan baik hingga hampir sempurna antar metode (ICC≥0.61). Kesimpulan: Sebagian besar parameter menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penggunaan OrthoCeph dan WebCeph masih diperlukan penyempurnaan.

Introduction: Measurement of lateral cephalometric parameters is an important part of orthodontic treatment planning. Conventional measurement methods are performed manually, but this technique is time-consuming. Digital methods can be performed using applications that are currently being increasingly developed and disseminated, such as the OrthoCeph application which can be used semi-automatically and the WebCeph application both automatically and semi-automatically. Dentists can use these applications on smartphones or the web to be more efficient by ensuring accuracy between measurements on digital cephalometric radiography and conventional methods as the gold standard. Objective: This study aims to determine and analyze the differences in lateral cephalometric parameter measurements (skeletal, dental, and soft tissue) between digital methods (OrthoCeph and WebCeph) and conventional methods. Method: Lateral cephalometric radiographs from 36 research subjects were obtained according to inclusion criteria. There are 14 skeletal, dental, and soft tissue lateral cephalometric parameters that were analyzed. Paired t-test was used to test the differences between methods. Interclass correlation coefficient (ICC) and Bland-Altman plot were used to test the reliability between methods. Results: There were no statistically significant differences between the digital method OrthoCeph and conventional method in most lateral cephalometric parameter measurements, including SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, and II (p≥0.05). There were statistically significant differences in the SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls, and Li parameters (p<0.05). There were statistically significant differences between the digital method WebCeph and conventional method in all parameters (p≥0.05) except for E-Line Li (p<0.05). There were statistically significant differences between the OrthoCeph method and WebCeph in all parameters (p<0.05). All parameters showed good to almost perfect agreement between methods (ICC≥0.61). Conclusion: Most parameters show significant differences. The use of OrthoCeph and WebCeph still requires refinement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurensia Limas
"Latar Belakang: Kualitas pencitraan 3 dimensi salah satunya bergantung pada resolusi voxel dan diduga dapat mempengaruhi proses identifikasi titik anatomis. Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh variasi ukuran voxel terhadap ketepatan diagnosis sehingga belum terdapat suatu protokol dalam pemilihan ukuran voxel yang dapat digunakan dalam memanfaatkan CBCT sebagai perangkat diagnostik dalam bidang kedokteran gigi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai reprodusibilitas identifikasi titik anatomis pada gambar volumetrik hasil pemindaian CBCT dengan mempertimbangkan parameter pemindaian yang mempengaruhi kualitas gambar (ukuran voxel) sehingga pemindaian dapat dilakukan dengan dosis radiasi yang optimal sesuai dengan prinsip ALARA. Metode: Objek penelitian berupa satu buah tengkorak kering yang dipindai dengan CBCT i-CAT 17-19 (Imaging Science, Amerika Serikat) pada ukuran voxel 0,4 mm dan 0,25 mm. Hasil pemindaian ditampilkan dengan perangkat lunak OsiriX dalam bentuk MPR. Identifikasi 9 titik anatomis sefalometri oleh 34 orang ortodontis pada bidang sagital, aksial dan koronal secara berurut sebanyak 2 kali untuk tiap gambar dengan selang waktu 1 minggu. Koordinat titik-titik anatomis tersebut dicatat dan reprodusibilitas masing-masing titik pada kedua gambar diuji dengan menghitung simpangan koordinat yang ditentukan oleh subjek penelitian terhadap ODM dan kemudian diuji t berpasangan. Hasil: Hasil uji t berpasangan pada kedua kelompok data berdasarkan resolusi voxel menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna simpangan koordinat yang di tentukan oleh subjek penelitian terhadap rerata koordinat yang didapat dari penelitian ini kecuali pada titik Pog dalam arah medio-lateral. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan reprodusibilitas dalam menentukan titik anatomis sefalometri pada gambar 3D yang direkonstruksi dengan ukuran voxel 0,25 mm dan 0,4 mm.

Background: 3D imaging quality was assumed to be influenced by its voxel resolution. Up to now, there has only been few studies on how voxel sizes influence the accuracy of diagnosis, hence there is no concensus of voxel sizes protocol to utilize CBCT as a diagnostic imaging in dentistry, especially in the field of Orthodontics. This study was aimed to assess the influence of voxel sizes to the reproducibility of cephalometric landmarks obtained from a CBCT in order to achieve optimum radiation dose according to  the ALARA principle. Methods: One dried skull was scanned by CBCT machine (i-CAT 17-19; Imaging Science, USA) with 0.4 mm and 0.25 mm voxel sizes. The images were saved in DICOM format to be observed and traced by 34 orthodontists using OsiriX software. Landmark identification was undertaken twice by each subject on MPR view using 3D landmark definition. Deviation of each landmark was calculated to the observers’ mean for each data set. Reproducibility of each landmark was identified on those two data sets and was tested using paired t-test. Result: This study showed that there were no significant differences on those two data sets of coordinate deviation from the observers’ mean except only for Pog (medio-lateral). Conclusion: Voxel size did not seem to influence the landmark identification reproducibility in 3D cephalometric obtained from CBCT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>