Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41899 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Mulya Verakadita
"[Latar belakang: Konsumsi MRDPG meningkat secara paralel dengan peningkatan prevalens obesitas di seluruh dunia sehingga diduga menjadi salah satu faktor risiko obesitas yang bermakna. Data di Indonesia terbatas. Tujuan: Mengetahui pola konsumsi MRDPG dan hubungannya dengan obesitas pada anak sekolah usia 10-12 tahun. Metode: Penelitian ini terdiri dari 2 tahap. Tahap I (studi potong lintang) didesain untuk mengetahui pola konsumsi MRDPG (total sampling). Uji hipotesis dilakukan pada Tahap II (studi kasus kontrol) secara purposive sampling (subjek obes dan gizi baik) dengan matching (usia dan jenis kelamin). MRDPG yang diteliti adalah soda, fruit drink, sport drink, energy drink, teh manis, dan kopi instan/siap saji. Konsumsi MRDPG dinilai dengan semi kuantitatif FFQ yang telah divalidasi sebelumnya. Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara standar sesuai protokol. Risiko obes karena konsumsi MRDPG dianalisis dengan conditional logistic regression bersama dengan faktor perancu. Hasil: Sebanyak 421 dan 182 subjek memenuhi kriteria penelitian tahap I dan II. Proporsi subjek yang mengonsumsi MRDPG adalah 92,2% dan 63,9% di antaranya mengonsumsi 1 kali atau lebih setiap hari. Konsumsi MRDPG pada anak lelaki lebih banyak dibandingkan perempuan (P<0,001). Rerata konsumsi MRDPG berdasarkan volume, kalori, dan gula tambahan adalah 348 ml, 117 kkal, dan 26,6 gram per hari (≈ 5 sdt gula pasir setiap hari). Kontribusi kalori terbesar adalah teh manis dan yang terkecil soda. Subjek mengonsumsi MRDPG di antara 2 waktu makan dan di semua tempat. Setelah mengontrol faktor perancu, subjek yang mengonsumsi MRDPG 1 kali atau lebih setiap hari memiliki risiko obes sebesar 2,54 kali (RO 2,54; IK 95% 1,07-6,05; P=0,03). Risiko tersebut bertambah sebesar 45% untuk setiap konsumsi 1 porsi (RO 1,45; IK 95% 1,08-1,94; P=0,01)(1 porsi=240 ml). Teh manis dan kopi instan/siap saji menunjukkan hubungan yang bermakna dengan obesitas. Simpulan: Pola konsumsi MRDPG pada anak sekolah usia 10-12 tahun mengkhawatirkan. Semakin sering seorang anak mengonsumsi MRDPG, semakin besar kemungkinannya menjadi obes;Background: there is a global parallel increased between SSB consumption and obesity prevalence. Therefore, SSB consumption has been hypotized as one of risk factors of obesity. Limited data found in Indonesia. Aim: to describe the pattern of SSBs consumption and its association with obesity in school children age 10-12 years old. Method: a two phase study has been studied. Phase I (a cross sectional study) was designed to describe the pattern of SSB consumption as a total sampling. Hypotesis test was done in phase II (a case control study) as a purposive sampling (obese and healthy weight subjects) with individual matching (sex and age) between groups. SSBs were include reguler soda, fruit drink, sport drink, energy drink, sweat tea, and instant/ready to drink coffee. SSBs consumption were measured with a previously validated FFQ. Anthropometrical measures were taken using standardize protocol. Obesity risk related to SSB consumption was assesed together with confounding factors in a conditional logistic regression multivariate analysis. Result: There were 421 and 182 subjects fullfilled the criteria of study in phase I and II. The proportion of subject to consume SSBs was 92,2% and 63,9% of them consumed it one or more daily. Boys were more in drinking SSBs than girls (P<0,001). Mean of SSBs consumption based on volume, calories, and added-sugar were 348 ml, 117 kkal, and 26,6 gram per day (≈ 5 tsp of table sugar per day). The highest contribution of energy was found in sweat tea and the lowest was soda. All subjects consumed SSBs between 2 time meal at all place. After controling the confounding factors, We found a risk of obesity related to SSB consumption as 2,54 higher (RO 2,54; 95% CI 1,07-6,05; P=0,003) if they drank SSBs one or more daily. Besides, each additional daily serving was associated with a 45% relative increased in the risk of obesity (RO 1,45; 95% CI 1,08-1,94; P=0,01)(1 serving=240 ml). Sweat tea and instant/ready to drink coffee were significantly associated with obesity in this study. Conclusion: The pattern of SSBs consumption in school children age 10-12 years old is concerned. The more frequent in drinking SSBs the more likely a child to become obese., Background: there is a global parallel increased between SSB consumption and obesity prevalence. Therefore, SSB consumption has been hypotized as one of risk factors of obesity. Limited data found in Indonesia. Aim: to describe the pattern of SSBs consumption and its association with obesity in school children age 10-12 years old. Method: a two phase study has been studied. Phase I (a cross sectional study) was designed to describe the pattern of SSB consumption as a total sampling. Hypotesis test was done in phase II (a case control study) as a purposive sampling (obese and healthy weight subjects) with individual matching (sex and age) between groups. SSBs were include reguler soda, fruit drink, sport drink, energy drink, sweat tea, and instant/ready to drink coffee. SSBs consumption were measured with a previously validated FFQ. Anthropometrical measures were taken using standardize protocol. Obesity risk related to SSB consumption was assesed together with confounding factors in a conditional logistic regression multivariate analysis. Result: There were 421 and 182 subjects fullfilled the criteria of study in phase I and II. The proportion of subject to consume SSBs was 92,2% and 63,9% of them consumed it one or more daily. Boys were more in drinking SSBs than girls (P<0,001). Mean of SSBs consumption based on volume, calories, and added-sugar were 348 ml, 117 kkal, and 26,6 gram per day (≈ 5 tsp of table sugar per day). The highest contribution of energy was found in sweat tea and the lowest was soda. All subjects consumed SSBs between 2 time meal at all place. After controling the confounding factors, We found a risk of obesity related to SSB consumption as 2,54 higher (RO 2,54; 95% CI 1,07-6,05; P=0,003) if they drank SSBs one or more daily. Besides, each additional daily serving was associated with a 45% relative increased in the risk of obesity (RO 1,45; 95% CI 1,08-1,94; P=0,01)(1 serving=240 ml). Sweat tea and instant/ready to drink coffee were significantly associated with obesity in this study. Conclusion: The pattern of SSBs consumption in school children age 10-12 years old is concerned. The more frequent in drinking SSBs the more likely a child to become obese.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudikno
"Latar belakang: Peningkatan status sosial ekonomi masyarakat dan perubahan gaya hidup, termasuk dalam perubahan pola makan serta kurangnya aktivitas fisik meningkatkan prevalensi kegemukan dan obesitas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan obesitas pada orang dewasa di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar 2007 dengan disain cross-sectional. Populasi penelitian adalah semua anggota rumah tangga yang berumur ≥ 18 tahun. Sedangkan sampel adalah semua anggota rumah tangga yang berumur ≥ 18 tahun dengan kriteria inklusi tidak cacat fisik dan mental, tidak dalam keadaan hamil, dan mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) minimal 18,5 kg/m2. Responden dikatakan obesitas jika IMT lebih dari 27 kg/m2. Aktivitas fisik diukur dengan menanyakan jenis aktivitas fisik (berat dan sedang) dan durasinya per minggu. Regresi logistik digunakan untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan obesitas.
Hasil dan simpulan: Prevalensi obesitas (IMT>27 kg/m2) pada orang dewasa ditemukan sebesar 12,47 persen (CI 95%: 12,28 ? 12,66). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada orang dewasa setelah dikontrol oleh variabel penganggu (wilayah, umur, jenis kelamin, status kawin, pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok). Aktivitas fisik yang kurang memiliki risiko lebih besar untuk obesitas dibandingkan aktivitas fisik yang cukup.
Rekomendasi: Untuk mengurangi kejadian obesitas disarankan agar melakukan aktivitas fisik yang cukup seperti: jalan kaki, joging, lari pagi, dan bersepeda. Selanjutnya Departemen Kesehatan perlu mengembangkan pedoman baku terkait dengan kecukupan aktivitas fisik.

Background: The enhancement of social economy status and the life style changes, including changes in eating habits and reduction of physical activities increased overweight and obesity prevalence.
Objective: The research objective is to know the relationship of physical activity and adult obesity in Indonesia.
Method: This research used Basic Health Research (Riset Kesehatan Dasar) 2007 data with cross-sectional design. The populations were all household members aged ≥ 18 years. The samples were all household members aged ≥ 18, physically and mentally healthy, non-pregnant, and their BMI at least 18.5 kg/m2. The respondent was obese if his BMI was at least 18.5 kg/m2. Physical activity was assessed with questions about its type (vigorous and moderate) and its duration per week. Logistic regression was used to study the relationship of physical activity and adult obesity.
Result and Conclusion: Obesity prevalence (BMI>27kg/m2) in adult was 12.47% (CI 95%: 12.28 ? 12.66). The result showed that there was a relationship between physical activity and adult obesity, controlled by confounder variable (area, age, sex, marital status, education, occupation, and smoking habits). People who had insufficient physical activity had more risk to become obese than those who had sufficient physical activity.
Recommendation: To reduce the risk of becoming obese, it is advisable to have sufficient physical activity such as, walking, jogging, running, and biking. It is also necessary for Health Department to develop guidance of sufficient physical activity.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T31362
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia
"Pendahuluan: WHO menyatakan pada tahun 2013 terdapat lebih dari 42 juta anak-anak mengalami obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pola makan dengan obesitas pada anak usia sekolah dasar.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang yang dilakukan pada Juli-September 2015 di SDN 01 Menteng Jakarta. Pengambilan data dilakukan dengan antropometri dan kuesioner food recall 48 jam. Data yang diperoleh kemudian di analisis dengan menggunakan uji Chi-Square.
Hasil: Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pola makan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan obesitas dengan nilai p>0.05.
Diskusi: Hasil ini berbedadengan beberapa penelitian terdahulu yang mungkin disebabkan oleh pro.

Introduction: WHO states that in 2013 there were more than 42 million children are obese. This study aims to determine whether there is a relationship between diet and obesity in primary school age.
Method: This study uses a crosssectional study design conducted in July-September 2015 at SDN 01 Menteng Jakarta. Data taken from anthropometry and 48-hour food recall questionnaire. The data analyzed using Chi-Square test.
Result: Statistical analysis showed that the diet has no significant association with obesity with p> 0.05.
Discussion: This result is in contrast to some previous studies that might be caused by inappropriate proportion of subjects, information bias, and low questionnaires return rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafid Sugiarto
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Suryaputra
"Obesitas pada remaja merupakan akumulasi lemak pada tubuh yang terjadi secara bertahap. Obesitas terjadi karena interaksi yang sangat kompleks antara parental fatness, pola makan, dan gaya hidup. Prevalensi obesitas pada remaja di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pola makan dan aktivitas fisik antara remaja obesitas dan non obesitas.
Jenis penelitian ini adalah observational analitik dengan desain penelitian cross sectional. Sampel yang diambil sebanyak 40 orang dengan usia 15-17 tahun di SMAK Santa Agnes Surabaya secara simple random sampling, yang terdiri atas 20 orang obesitas dan 20 orang non obesitas. Data dianalisis dengan uji Mann Whitney untuk tingkat pengetahuan gizi remaja, pengeluaran jajan remaja, frekuensi makan, pola konsumsi makanan cepat saji, pola konsumsi kudapan, tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak, tingkat aktivitas fisik, serta parental fatness.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pada tingkat pengetahuan gizi remaja, pengeluaran jajan remaja, frekuensi makan, pola konsumsi makanan cepat saji, pola konsumsi kudapan atau makanan ringan, serta tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak, antara kelompok obesitas dan kelompok non obesitas. Demikian juga untuk tingkat aktivitas fisik dan parental fatness, terdapat perbedaan antara remaja pada kelompok obesitas dengan non obesitas. Adanya perbedaan parental fatness, pola makan dan aktivitas remaja antara kelompok obesitas dengan non obesitas. Oleh karena itu, disarankan pemberian informasi dan pendidikan tentang pola makan yang sehat dan aktivitas fisik yang cukup untuk mencegah terjadinya obesitas.

Obesity in teenage is a syndrome that happened because of fat accumulation in the body. Obesity occured because of complex interaction between parental fatness, food pattern, and physical activity. In Indonesia, prevalence of teenage obesity is gradually increasing. The aim of this research was to analyze about the difference of food pattern and physical activity between obesity and non obesity teenage group.
This study was an analytical observational research with cross sectional design. The samples were 40 teenage from Santa Agnes senior high school Surabaya (age 15-17) that was taken by simple random sampling, that divers to 20 obese and 20 non obese teenage group. The data were analysed by Mann Whitney test for nutrition knowledge, pocket money, food pattern, fast food's consumption, snack?s consumption pattern, consumption level of energy, carbohydrat, protein, and fat, physical activity and parental fatness.
The result of the statistic test showed that variables significant difference are nutrition knowledge, pocket money, food pattern, fast food?s consumption, snack?s consumption pattern, energy consumption level, carbohydrate consumption level, protein consumption level, fat consumption level, physical activity and parental fatness between obese and non obese teenage group. The conlusion is that significant differences are food pattern and physical activity between obese and non obese teenage group. Recommendation is necessary to provide information and education to teenage about healthy food and adequate physical activity to prevent obesity.
"
Depok: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI, 2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Obesitas telah menjadi masalah pandemik global di seluruh dunia, WHO mengatakan sebagai masalah kesehatan kronis terbesar pada orang dewasa. Data Riskedas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas nasional berdasarkan IMT pada kelompuk umur lebih kurang 15 tahun sebesar 10,3%. Tujuan: Penelitian ini untuk mengkaji faktor determinan PJK dengan yaitu faktor sosiodemografi, faktor risiko perilaku, dan hasil pemeriksaan darah. Metode: Cross sectional dengan melakukan analisis lanjut dari subses hasil evaluasi data penelitian “Studi Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular” di kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah, Kota Sampel sebanyak 1079 responden Penderita PJK dengan obesitas. PJK ditentukan berdasarkan pemeriksaan EKG (tahun 2013) dan mengalami obesitas (IMT > 25 cm atau LP > 80 cm pada perempuan dan 90 cm pada laki-laki). Analisis uji Chi-square dan regresi logistik. Hasil: Penelitian menunjukkan hipertensi memberikan risiko 1,8 kali dibandingkan yang tidak hipertensi pada responden PJKyang obesitas dengan 95% CI 1,31-2,53; LDL akan memberikan risiko 1,6 kali dibandingkan responden dengan LDL tidak berisiko pada kelompok PJK yang obesitas dengan 95% CI 1,18-2,32; HDL akan memberikan risiko 1,66 kali pada responden dengan HDL berisiko pada kelompok PJK yang obesitas dengan 95% CI 1,07-2,22. Kesimpulan: Bahwa pada kelompok masyarakat yang berumur tua, berjenis kelamin perempuan, status perkawinan cerai, pekerjaan ibu rumah tangga, berpendidikan tinggi dan sosial ekonomi tinggi akan mempunyai risiko PJK. Saran: Diperlukan kajian lebih lanjut tentang PJK dengan obesitas dengan kualitas asupan makanan khususnya lemak pada minyak yang digunakan untuk menggoreng agar dapat diketahui lebih rinci jenis-jenis asam lemak jenuh yang dapat mempengaruhi memburuknya profil lipid darah."
BULHSR 17:4 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Primacakti
"Latar Belakang: Obesitas saat ini sudah menjadi masalah epidemik global. Angka kejadian obesitas yang meningkat dikaitkan dengan meningkatnya sedentary behaviour dan rendahnya aktivitas fisis. Penelitian mengenai perbedaan aktivitas fisis pada remaja obes dan non-obes memiliki hasil yang bervariasi. Penelitian mengenai hal ini sangat jarang di Indonesia. Tujuan: Mengetahui pola aktivitas fisis remaja usia 10-15 tahun dan mengetahui perbedaan rerata keluaran energi, intensitas aktivitas fisis, dan durasi aktivitas fisis intensitas sedang-berat, serta screen time remaja obes dan non-obes serta mengetahui kesesuaian aktivitas fisis remaja dengan rekomendasi. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap siswa/i kelas VII dan VIII SMPN 216 Jakarta Pusat usia 10-15 tahun. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama untuk melihat pola aktivitas fisis remaja usia 10-15 tahun sedangkan tahap kedua untuk melihat perbedaan rerata keluaran energi, intensitas aktivitas fisis, durasi aktivitas fisis intensitas sedang-berat, dan screen time remaja obes dan non-obes. Aktivitas fisis dinilai menggunakan buku harian Bouchard yang diisi selama 2 hari sekolah dan 1 hari libur. Hasil: Pekerjaan sekolah, menonton TV, jalan, renang, dan sepak bola merupakan aktivitas fisis yang sering dilakukan oleh remaja. Tidak terdapat perbedaan keluaran energi antara remaja obes dan non-obes (median 4752,9 (2950-8065,8) vs 4435,4 (2753,4-8134,7) kkal/hari, p 0,160). Intensitas aktivitas fisis remaja obes lebih rendah dibandingkan non-obes (median 1,5 (0,8-1,8) vs 2 (1,6-2,8) MET, p <0,001). Durasi aktivitas fisis intensitas sedang-berat remaja obes lebih pendek dibandingkan remaja non-obes ( 19.3 ± 6.9 vs 26.4 ± 3.4 menit, p 0,000). Screen time remaja obes lebih lama dibandingkan remaja non-obes (median 2,8 (1-6,6) vs 1,8 (0,3-6,1) jam, p 0,000). Tidak ada remaja yang memenuhi rekomendasi berdasarkan kriteria intensitas dan durasi aktivitas fisis, 15,5% remaja obes dan 79,8% remaja non-obes memenuhi rekomendasi berdasarkan screen time (p,0,001) . Simpulan: Aktivitas fisis bervariasi pada remaja usia 10-15 tahun. Tidak terdapat perbedaan keluaran energi antara remaja obes dan non-obes. Terdapat perbedaan intensitas aktivitas fisis, durasi aktivitas fisis intensitas sedang-berat, dan screen time antara remaja obes dan non-obes. Aktivitas fisis sebagian besar remaja tidak sesuai rekomendasi.
Background: Obesity is now a global epidemic problem. Increased prevalence of obesity is associated with increased sedentary behaviour and low physical activity. Research on differences in physical activity pattern in obese and nonobese adolescents have varying results. Research on this is very rare in Indonesia. Purpose: Knowing the physical activity patterns of adolescents aged 10-15 years old and know the difference between the mean energy output, physical activity intensity and duration of physical activity of moderate-vigorous intensity, and screen time obese and non-obese adolescents and determine the suitability of adolescents physical activity with recommendation. Method: Cross sectional study conducted on 6th and 7th grade students aged 10- 15 years old in 216 Junior High Schools. The study consisted of 2 phases. The first stage to see the physical activity patterns of adolescents aged 10-15 years, while the second stage to see the difference in mean energy output, intensity of physical activity, duration of physical activity of moderate-vigorous intensity, and screen time obese and non-obese adolescents. Physical activity was assessed using Bouchard diary for 2 days school and 1 day off. Results: School working, watching TV, walking, swimming, and football is a physical activity that is often done by adolescents. There was no difference in energy output between obese and non-obese adolescents (median 4752.9 (2950 to 8065.8) vs. 4435.4 (2753.4 to 8134.7) kcal / day, p 0.160). The intensity of physical activity of obese adolescents is lower than non-obese adolescents (median 1.5 (0.8 to 1.8) vs 2 (1.6 to 2.8) METs, p <0.001). Duration of physical activity of moderate-vigorous intensity obese adolescents shorter than non-obese adolescents (19.3 ± 6.9 vs 26.4 ± 3.4 minutes, p 0.000). Screen time obese adolescents longer than non-obese adolescents (median 2.8 (1 to 6.6) vs 1.8 (0.3 to 6.1) hours, p 0.000). There were no adolescents who meet recommendation based on the intensity and duration of physical activity criteria, 15.5% obese adolescent and 79.8% non-obese adolescents meet recommendations based on screen time (p, 0.001). Conclusion: Physical activity varies among adolescents age 10-15 years old. There are no difference in mean energy output but there are differences in intensity of physical activity, duration of physical activity of moderate-vigorous intensity, and screen time between obese and non-obese adolecents. Most of adolescents physical activity are not appropriate with recommendation."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmayuni
"Kejadian kegemukan pada perempuan lebih sering dibandingkan pada laki-laki, sehingga menjadi permasalahan yang panting untuk dipertimbangkan. Dampak ditimbulkan akibat kegemukan terutama pada perempuan adalah risiko penyakit degeneratif seperti diabetes melilus, hypertensi, cardiovasculer, osteoartritis dan lain sebagainya. Status kegemukan dapat dikctahui dengan Indcks Massa Tubuh (IMT) aimzung dad pcfbfmdingan berat badan aengan tinggi baaan dam kg/mz, indikasi ina menggunakan indikator IMT dengan nilai ambarlg batas > 25,0 kg/m2. Prevalensi perempuan yang gcmuk (IMT >25.0) terdapat pada golongan umur 30-49 tahun. Data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat tahun 2004 melaporkan kegcmukan (IMT >25) pada perempuan di Kota Padang Panjang adalah 53,3 %, angka ini adalah angka tertinggi diantara kabupaten/kota di Swnbar, dengan status kegemukan pada perempuan 33,5%.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan pada perempuan umur 25 - S0 tahun di Kota Padang Panjang tahun 2007, yang diukur dengan Indcks Massa Tubuh (IMT). Data yang digunakan adalah data primer dengan pendekatan kuantitatif observasional, dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Pcnelitian dilaksanakan pada Bulan April-Mei 2007. Rcsponden dalam penelitian ini dipilih dengan acak sederhana dari tiap-tiap kelurahan, dan jumlah responden masing-masing kelurahan ditetapkan secara proporsi dari jumlah populasi per kehuahan. Jumlah sampel minimum ditempkan sebanyak 192 ormg, dan disebar kc 16 kelurahan di Kota Padang Panjang. Variabcl dcpcndcn adalah kegemukan (IMT), dan varibcl indcpcndcn adajah umur, riwayat kegemukan dari orang tua, paritas, konsumsi makanan, alctiiitas iisik, pola makan, status ekonomi, status perkawinan, dan pengetahuan gizi. Analisis data dilakukan sccara bcrtahap dimulai dengan univariat, bivariat (chi square) dan multivariat (multiple logistic regression).
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata IMT pada perempuan umm' 25-50 tahun adalah 26,60 i 6,03 kg/mz, perempuan gemuk IMT >25 adalah 54,2%. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan bennakna antara konsumsi karbohidrat, riwayat kegemukan dari orang tua, dan status ckonomi dengan kegemukan pada perempuan umur 25 - 50 tahun di Kota Padang Paniang (p<0,05). Faktor yang dominan berhubungan dcngan kegemukan adalah status ckonomi (OR 2,2), riwayat kegemukan dari orang tua (OR 2,0) dan konsumsi karbohidrat (OR 0,4).
Kesimpulan dari penelitian ini, antara lain adalah perempuan yang keluarganya pada tingkat status ekonomi tinggi berisiko 2,2 kali menjadi kegemukan tiibandingkan perempuan dengan status ckonomi rendah. Dcmikian pula halnya dengan perempuan yang ada ketunman gemuk dari orang tua 2 kali akan menjadi gemuk dari pada perempuan yang tidak ada riwayat gemuk dad orang tua. Disamping itu pcrempuan dengan konsumsi karbohidrat tinggi berisiko gemuk 0,4 kali dari pada perempuan yang konsumsi karbohidrat rendah. Keadaan ini disebabkan dengan mempertimbangkan indeks glikemik pangan yang dikonsumsi, karena konsumsi rendah karhohidrat tapi indeks glikemik pangannya tinggi, akan berisiko kegemukan dibandingkan dengan konsumsi karbohidrat tinggi dengan indeks glikemik pangannya rendah.
Disarankan agar institusi kesehatan bersama dinas instansi terkait seperti Dinas Sosial, Keluarga Berencana, dan Tenaga Katja, BAPPEDA, Dinas Penanian, dan Pcndidikan tergabung pada kelompok ketja (pokja) Perbaikan Gizi masyarakat, mcrencanakan program pengendalian kegemukan terhadap masyarakat Kota Padang Panjang dengan selalu mclakukan pemantauan status gizi (kegemukan) sebulan sekali bempa kelompok posyandu atau sanggar senam aerobik dan timess, untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif.

i>Obesity is more often experienced by women than men. This is very important to be analyzed. The effects of obesity, especially for women, is degenerative illness such as diabetes, hypertension, cardiovascular, osteoarthritis, etc. Obesity status can be known through Body Mass Index (BMI) by comparing body weight with body height in kg/mz. This indication is using BMI indicator with > 25,0 kg/m2 limits. Prevalence of obesity women (BMI > 25,0) experienced by the women group of 30 - 49 years old. The data of Health Department of West Sumatera Province in 2004 show that obesity (BMI > 25) experienced by the women in Padang Panjang city is 53.3%. This is the highest figure throughout the regions in West Sumatera, where obesity status for the women is 33.5%.
The objective of this research is to fmd description of obesity of 25 - 50 year old women in Padang Panjang City In 2007 through Body Mass hidex (BMI) and other related factors. This research uses primary data with observational quantitative approach and cross sectional method. This research was done in April- May 2007. Respondents for this research is selected based on simple random technique from each village. The numbers of respondents fiom each village is proportional of the population. The minimum sample in this research is 192 women in 16 villages in Padang Panjang City. Independent variable is obesity (BMI) and independent variables are age, descent obesity, parity, food consumption, physical activities, eating habits, economic status, marriage status, and knowledge of nutrition. Data analysis is done in stages begins from partial regression, chi square and then multiple logistic regression.
The result of this research shows that the average of Body Mass Index (BMI) for 25 - 50 years old women is 26.60 :t 6.03 kg/1112, respondents of obesity BMI > 25 is 54.2%. This analysis shows that there is a significant correlation between carbohydrate consumption, descent obesity and economic status with obesity for 25 - 50 years old women in Padang Panjang City ( p > 0.05). Dominant related factor with obesity is economic status with OR 2.2, for descent obesity with OR 2.0 and OR 0.4 for carbohydrate consumption. The conclusion of this research is the women of high economic status have 2.2 times risk of experiencing obesity compared to the women of low economic status. The women with descent obesity also have 2.2 times risk of experiencing obesity compared to the women with no descent obesity. ln addition, the women with high carbohydrate consumption have 0.4 times of experiencing obesity compared to the women with low carbohydrate consumption. Although the women with low carbohydrate consumption but high glikemik index will have risk of experiencing obesity compared to low glikemik indeks.
The results of this research recommends to health department with other related departments such as social department, family planning, manpower department, Regional Development Board, agricultural department and education department cooperate to deal with public health, obesity restraint planning, in Padang Panjang City by controlling nutrition status once in a month in small social units like aerobic, fitness to prevent degenerative illness. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaufi Zahrah
"Prevalensi obesitas di Indonesia menunjukkan peningkatan yang bermakna dari tahun ke tahun, termasuk di dalamnya prevalensi obesitas sentral yang dapat diukur melalui lingkar pinggang. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan energi total, asupan lemak, dan lingkar pinggang dengan kadar HbA1c pada obesitas. Penelitian dilakukan di kantor Balai Kota DKI Jakarta dari akhir bulan November sampai Desember 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara consecutive sampling, didapatkan 47 subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Karakteristik subyek yang diambil adalah usia, jenis kelamin dan indeks massa tubuh (IMT). Variabel data yang diteliti adalah asupan energi total, asupan lemak, lingkar pinggang, dan kadar HbA1c.
Hasil penelitian didapatkan subyek terbanyak berusia antara 36-50 tahun (93,6%), sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 27 subyek (57,4%), dan sebanyak 35 subyek (74,5%) termasuk kategori obes I, karena sebagian besar subyek berada pada rentang usia 36 sampai 50 tahun, maka selanjutnya analisis data dan pembahasan dilakukan pada 44 subyek dengan rentang usia tersebut. Asupan energi total 32 subyek (72,7%) dibawah AKG (˂ 70% AKG). Median (min-maks) asupan energi total adalah sebesar 1225,8(766,0-4680) kkal. Sebagian besar subyek penelitian mengonsumsi lemak lebih dari persentase KET yang dianjurkan yaitu sebanyak 42 orang subyek (95,5%). Seluruh subyek laki-laki dan sebagian besar subyek perempuan (84%) memiliki LP lebih. Rerata kadar HbA1c pada subyek laki-laki adalah 6,3±0,2% dan perempuan 6,3±0,3%, dan hampir sebagian besar (68,2%) memiliki kadar HbA1c berisiko tinggi. Terdapat korelasi negatif tidak bermakna antara asupan energi total dengan kadar HbA1c pada subyek laki-laki (r=-0,15, p=0,536) dan korelasi positif tidak bermakna pada subyek perempuan (r=0,28, p=0,898). Korelasi negatif tidak bermakna dijumpai antara asupan lemak dengan kadar HbA1c pada seluruh subyek (r=-0,06, p=0,687). Korelasi positif tidak bermakna antara lingkar pinggang dengan kadar HbA1c terdapat pada seluruh subyek (r=0,18, p=0,236).

The prevalence of obesity in Indonesia is increasing and also the prevalence of central obesity which can be measured by waist circumference. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between total energy intake, fat intake, and waist circumference with HbA1c levels in obes subject. Data collection was conducted during November to December 2013 in the institution of Balaikota DKI Jakarta. The subjects was obtained by consecutive sampling, and 47 subjects who meet study criteria were enrolled in this study. The data collection were characteristics of the subjects including age, gender and body mass index (BMI), as well as total energy intake, fat intake, waist circumference, and HbA1c levels.
The results showed the highest age between 36-50 years (93.6%), majority of the subjects were female (57.4%), and catagorized as obese I (74.5%). Because most of the subjects were in the range of age 36 to 50 years, the data analysis and discussion conducted on 44 subjects. Most of the subject had total energy intake under RDI requirements, i.e., 13 people (68.4 %) of male and 19 subjects (76%) of female subjects. Most of the subjects (42 subjects, 95.5%) had fat intake over recommended percentage of total energy requirement. All of the male and most of female subjects (84%) have waist circumference greater than the normal criteria. Mean of HbA1c levels were 6.3±0.2%, for male subjects and almost the same levels for female subjects, while 68.2% of the subjects were categorized as high risk. The were no significant negative correlation between total energy intake and HbA1c levels in male subjects (r =-0.15, p=0,536) and no significant in female subjects (r=0.28, p=0.898). There were no significant negative correlation between fat intake and HbA1c levels in all subjects (r=-0.06, p=0.687), while non significant positive correlation between waist circumference and HbA1c levels were found in all subjects (r=0.18, p=0.236).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidartawan Soegondo
"Leptin yang diketemukan oleh Zhang dan Friedman pada tahun 1994, dihasilkan oleh adiposit dan berhubungan dengan obesitas. Pada hewan coba, selain mempengaruhi homeostasis berat badan, leptin juga mempengaruhi metabolisme lipid pada jaringan perifer, seperti lipolisis dan lipogenesis. Peningkatan lipolisis dan penurunan lipogenesis menyebabkan peningkatan asam lemak bebas, yang kemudian diikuti oleh peningkatan konsentrasi trigliserida. Pada saat konsentrasi trigliserida tinggi, terjadi pembentukan small dense LDL, yang merupakan komponen dari dislipidemia aterogenik, terutama pada individu obes. Penelitian ini berusaha memperlihatkan perbedaan antara konsentrasi leptin dan profil lipid pada obes dan non-obes, dan terdapatnya hubungan antara leptin dan small dense LDL pada obesitas.
Subyek: Berhasil dikumpulkan 297 laki-laki subyek penelitian, yang terdiri dari 205 subyek dengan obesitas sentral dan 92 subyek non-obes, yang presentase terbesar berusia antara 30-59 tahun. Variabel yang diamati pada penelitan ini antara lain, Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut, konsentrasi leptin, trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol LDL, ApoB, ratio kolesterol LDL dan ApoB, kolesterol HDL, glukosa puasa dan insulin.
Metodologi: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang, Hubungan antara leptin dengan variabel-variabel seperti IMT, lingkar perut, leptin, trigliserida asam lemak bebas, kolesterol LDL, ApoB, kolesterol HDL dan insulin dianalisis dengan unpaired Nest, dibandingkan antara kelompok obes sentral dan non-obes. Sedangkan hubungan antara leptin dan small dense LDL dianalisis dengan menggunakan regresi logistik.
Pemeriksaan laboratorium dari tiap variabel dilakukan dengan metode antara lain, konsentrasi trigliserida dan asam lemak bebas diukur dengan metode kolorimetri enzimatik, kolesterol LDL dan kolesterol HDL diukur dengan metode homogenisasi. Konsentrasi insulin diukur dengan metode ELISA, kadar leptin diukur dengan metode immunoassay.
Hasil dan Pembahasan: Terdapat perbedaan karateristik antara kelompok obes dan non-obes, antara lain plasma leptin lebih tinggi pada kelompok obes sentral dibandingkan dengan kelompok normal; 9,71 (1,92) ng/mL vs. 2,63 (2,09) ng/mL, (P<0,001); rerata trigliserida 159,1 (6,97) mg/dL vs. 119,4 (4,8) mg/dL; (P<0,001), asam lemak bebas 0,42 (0,01) mmol/L vs. 0,36 (0,02) mmol/L; (p=0,001), apoB 108,05 (21,1) mg/dL vs. 101,4 (20,4) mg/dL(p=0,012) juga lebih tinggi pada kelompok obes dibandingkan non-obes, kolesterol HDL lebih rendah pada kelompok obes yaitu 40,6 (1,2) mg/dL vs. 46,2 (1,2) mg/dL; (P<0,001). Sedangkan rerata kolesterol LDL tidak berbeda bermakna antara kelompok obes dan non-obes 138,9 (32,2) mg/dL vs. 137,8 (31,9) mg/dL; (P=0,792). Pada subyek dengan Inleptin < 7,5 pg/mL (1,8 ng/mL) peningkatan kemungkinan didapatkannya small dense LDL sebesar 5,92 kali dibandingkan dengan subyek dengan lnleptin > 9,87 pg/mL (19,34 ng/mL).
Penentuan indeks massa tubuh sebagai kriteria obesitas; penelitian ini memperkuat pendapat untuk menggunakan kriteria Asia Pasifik (1MT > 25 kg/m2) sebagai klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) untuk populasi orang Indonesia.
Hubungan lingkar perut dengan small dense LDL, leptin, IMT, dan HOMA-IR; Lingkar perut mempunyai korelasi yang baik dan bermakna secara statistik dengan konsentrasi leptin (r=0,72 dan P<0,05) dan HOMA-IR (r~0,53 dan P<0,05). Lingkar perut pada subyek dengan dan tanpa small dense LDL berbeda bermakna (P=0,016).
Nilai normal konsentrasi leptin bagi IMT normal adalah 2,04 ng/mL dengan kisaran: 0,45 - 9,26 ng/mL. dan rerata konsentrasi leptin pada subyek obes sentral adalah 9,71 ng/mL dan subyek non-obes : 2,63 ng/mL.
Resistensi dan defisiensi leptin pada obesitas; pada obesitas sentral dapat terjadi resistensi leptin atau defisiensi leptin dan mungkin ambang terjadinya resistensi leptin pada subyek penelitian ini lebih rendah (< 20 ng/mL) dibandingkan etnik Kaukasia.
Peran enzim lipase hepatik (HL) pada pembentukan small dense LDL; hubungan peningkatan konsentrasi leptin dengan didapatkannya small dense LDL dapat dihubungkan dengan efek enzim lipase hepatik. Bila pengaruh leptin terhadap didapatkannya small dense LDL terjadi dengan bantuan enzim lipase hepatik (HL) sebagai katalisator dapat dibuktikan, maka akan memperkuat bukti adanya hubungan antara leptin dengan didapatkannya small dense LDL.
Hipotesis baru penelitian ini adalah, leptin mempunyai efek inhibisi terhadap enzim lipase hepatik di hati, atau analog dengan efek inhibisi insulin terhadap enzim HSL pada adiposit.
Hasil penelitian dibandingkan dengan penelitian lipid sebelumnya; hasil penelitian ini dapat membuktikan perbedaan leptin dan profil lipid, yaitu konsentrasi asam lemak bebas, trigliserida dan kolesterol HDL pada kelompok subyek obesitas sentral dan subyek non-obes. Beberapa penelitian sebelumnya memberikan hasil yang berbeda.
Simpulan: Penelitian ini adalah penelitian pertama yang membandingkan konsentrasi leptin dan hubungannya dengan small dense LDL pada kelompok obes dan non-obes pada populasi di Indonesia maupun di dunia. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi leptin lebih tinggi secara bermakna pada kelompok obes sentral dibandingkan dengan kelompok non-obes, serta berhubungan secara bermakna dengan konsentrasi trigliserida, asam lemak bebas, apoB dan kolesterol HOL. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga memperlihatkan hubungan antara leptin dan didapatkannya small dense LDL, di mana makin rendah leptin akan makin meningkatkan kemungkinan terdapatnya small dense LDL, Pada laki-laki dengan obesitas sentral, leptin berhubungan dengan prediksi didapatkannya small dense LDL. Leptin secara independen mempunyai efek protektif terhadap didapatkannya small dense LDL.

Background: Leptin which is discovered by Zhang and Friedman (1994) is secreted by adipocytes and associated with obesity. In animals it has been shown that beside its effect on weight homeostasis, leptin also exerts peripheral effects that include lipid metabolism, i.e. lipogenesis and lipolysis. The results of studies on humans are conflicting. The increased lipolysis and decreased lipogenesis resulted in an increase synthesis of fatty acids which is followed by triglycerides. At a certain level of triglycerides, small dense LDL formation occur, an established component of atherogenic lipoprotein phenotype (ALP). Leptin has been implicated in this process especially in central obese individuals. The aim of the study is to show that leptin and lipid levels are higher in central obese as compared to non-obese individuals and to investigate the relationship between leptin levels and small dense LDL in central obese individuals.
Subjects: A total of 297 male subjects comprising 205 central obese and 92 nonobese age 30-59 years were enrolled in the study. Variables under study includes body mass index (BMI), serum leptin, triglyceride, free fatty acids, LDL-cholesterol, apoB, LDL-cholesterollapoB ratio, HDL-cholesterol and insulin levels.
Methods: This is a cross sectional study. The correlation between leptin and some variables, such as body mass index (BMI), triglycerides, free fatty acids, LDL-cholesterol, apoB, LDL-cholesterollapoB ratio, HDL-cholesterol and insulin levels was analyzed by unpaired t-test. Correlation between leptin and small dense LDL was analyzed by logistic regression. Plasma tryglycerides and free fatty acids were measured by enzymatic colorimetry method; apoB by immunoturbidimetry, LDL-cholesterol and HDL-cholesterol by homogenous method, insulin level by enzym-linked immunosorbent assay (BLISA), Plasma leptin was measured by immunoassay.
Results & Discussion: The characteristics between obese and nonobese subjects were different, such as mean plasma leptin levels were significantly higher in central obese than in nonobese individuals 9.71 (1.92) ng/mL vs. 2.63 (2.09) ng/mL, (P<0.001); mean triglycerides 159.1 (6.97) mg/dL vs. 119.4 (4.8) mg/dL; (P<0.001), free fatty acids 0.42 (0.01) mmol/L vs. 0.36 (0.02) mmol/L; (P=0.001), apoB 108.05 (21.1) mg/dL vs. 101.4 (20.4) mg/dL (P=0.012) were also higher in central obese than in nonobese individuals, and HDL-cholesterol is lower 40.6 (1.2) mg/dL vs. 46.2 (1.2) mg/dL; (P<0.001). LDL-cholesterol 138.9 (32.2) mg/dL vs. 137.8 (31.9) mg/dL (P=0.792). Among subjects with lnleptin < 7.5 pg/mL (L8 ng/mL) the risk of having small dense LDL increases by 5.92 times compared to subjects with lnleptin 9.87 pg/mL (19.34 ng/mL).
In regard to body mass index and the classification of obesity, the present study is in favor with the Asia Pacific classification and criteria for obesity, i.e. BMI > 25 kg/rn2 to be used for Indonesian population.
Relationship between waist circumferences, small dense LDL, leptin, BMI, dan HOMA-IR. There is a statistically significant strong relationship between waist circumference and leptin (r=0.72; P<0.05) and HOMA-IR P<0.05). Furthermore, mean of waist circumference differ significantly between subjects with and without small dense LDL (P=0.016).
Normal leptin levels for subjects with normal BMI is 2.04 ng/mL (range 0.45-9.26 ng/mL); and mean leptin levels for obese and nonobese were 9.71 and 2.63 ng/mL, respectively.
In regard to leptin resistance and leptin deficiency in obese subjects. Both leptin resistance and leptin dificiency is found in obese subjects, and the result indicate that leptin resistance in this population developed at lower leptin level (<20 ng/mL) as compared to Caucasian.
The possible role of hepatic lipase in small dense LDL formation. The relationship of increased leptin levels and the presence of small dense LDL could possibly be due to hepatic lipase (HL) effect. If the effect of leptin on small dense LDL formation is by way of HL as catalysator can be proven, this finding will then support the evidence of relationship between leptin and small dense LDL.
The hypothesis generated from the present study is that leptin inhibits the effect of HL in the liver in analogy with the inhibitory effect of insulin on HSL in the adipocyte.
Results arising from the present study support the view that leptin levels and lipid profile, i.e. free fatty acids, triglycerides, dan HDL cholesterol in obese differ from nonobese subjects, whereas other studies give different results.
Conclusion: This is the first study that compare leptin levels and determine the relationship between leptin and small dense LDL in central obese and nonobese male Indonesian subjects. The results showed that leptin levels are significantly higher in central obese as compared to nonobese individuals, and is correlated with triglycerides, free fatty acids, apoB and HDL-cholesterol in central obese individuals. Furthermore, this study also showed a relationship between leptin levels and small dense LDL in central obese individuals, in which lower leptin levels carries a higher probability of having more small dense LDL. Leptin has an independent protective effect for the occurrence of small dense LDL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D781
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>