Ditemukan 70209 dokumen yang sesuai dengan query
"MKRI adalah badan pemerintah baru yang dibentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945. Sesuai dengan itu maka artikel ini membahas tentang fungsi seyogyanya yang mendasari kewenangan MKRI dalam menguji konstitusionalitas undang-undang. Sesuai dengan isu tersebut maka artikel ini berargumen bahwa MKRI harus diposisikan sebagai human rights court manakala menjalankan kewenanganya untuk menguji konstitusionalitas undang- undang. Fungsi MKRI sebagai human rights court menjustifikasi eksistensinya dan juga mempreskripsi prinsip operasionalnya. Hal ini bermakna bahwa dalam menguji konstitusionalitas undang-undang MKRI seyogyanya memajukan perlindungan HAM melalui judical policy dan interpretasi konstitusinya"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
JK 11:1 (2014)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
"Keberadaan pasal-pasal tentang HAM dalam UUD 1945 membuktikan bahwa indonesia adalah negara hukum yang berkomitmen mengakui dan menghormati HAM. Dalam rangka memberikan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia, UUD 1945 memberikan kewenangan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa putusan MK dapat dijadikan bukti untuk menilai bahwa uji materil yang dilakukan MK adalah untuk melindungi dan memajukan HAM. MK tidak saja bertindak sebagai lembaga pengawal konstitusi (guardian of the constitution), melainkan juga sebagai lembaga pengawal tegaknya HAM. Melalui kewenangan uji materil yang dimilikinya, MK tampil sebagai lembaga penegak hukum yang mengawal berjalannya kekuasaan negara agar tidak terjebak pada tindakan sewenang-wenang dan melanggar HAM"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Sutjipto
"Pada tesis ini dibahas mengenai Mahkamah Konstitusi khususnya mengenai pembentukan, kewenangan, pengangkatan dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Tesis ini dibuat dengan menggunakan metode pendekatan normatif empiris, oleh karena itu akan diteliti data sekunder dan data primer. Dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi Negara Indonesia diatur dalam Perubahan ke-3 UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 dalam Bab IX, Pasal 24 ayat (2) serta Perubahan ke-4 UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 dalam Aturan Peralihan Pasal III. Untuk dapat menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah mudah dan harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan untuk menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi ada yang bersifat terukur dan tidak terukur. Khusus kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia yang sangat berbeda dengan Mahkamah Konstitusi negara lain adalah dalam hal pemberhentian/impeachment terhadap Presiden dan Pejabat Tinggi Negara lainnya. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan Hukum Acara Badan Peradilan Umum."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36284
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"Seringnys mahkamah konstitusi melahirkan sebuah putusan yang kontroversial mengakibatkan munculnya gagasan untuk membatasi kekuasaan kehakiman. Salah satu gagasan yang mengemuka untuk membatasi kekuasaan kehakiman tanpa mengganggu independensinya adalah gagasan mengenai judicial restraint. Gagasan mengenai judicial restraint mengedepankan pembatasan pada bentuk-bentuk tertentu. Bentuk-bentuk pembatasan menurut judicial restraint dapat berupa pembatasan berdasarkan norma konstitusi, pembatasan berdasarkan kebijakan untuk melakukan pengekangan diri (self restraint), dan pembatasan yang dilakukan berdasarkan doktrin-doktrin tertentu. Judicial restraint menghendaki kekuasaan kehakiman untuk mengekang diri dari kecenderungan bertindak layaknya sebuah miniparliament yang dapat bermuara pada juristocracy. Judicial restraint juga menghendaki kekuasaan kehakiman untuk tidak mengganggu cabang kekuasaan yang lain"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
M. Najib Ibrahim
"Tesis ini membahas tentang pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan sebagai upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan negara bagi hak asasi warga negara. Wacana pembubaran organisasi masyarakat ini muncul sebagai reaksi terhadap berbagai macam aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan. Sejauh ini, pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan di Indonesia diatur melalui Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985, yang dinilai telah tidak sesuai lagi, karena dapat mengancam kebebasan berserikat dan tidak sesuai dengan prinsip negara hukum serta demokrasi. Oleh karena itu, pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak dilakukan oleh pemerintah, tetapi melalui proses peradilan. Proses peradilan yang dinilai berkompeten untuk memutuskan pembekuan dan pembubaran adalah Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan fungsinya menafsirkan dan menjaga konstitusi.
This thesis discusses the deactivation and dissolution of civil society organizations as a means of protection, respect, and fulfillment of state for the rights of citizens. Discourse of the dissolution of this civil society organizations emerged as a reaction to the various acts of violence carried out by civil society organizations. So far, deactivation and dissolution of civil society organizations in Indonesia are regulated by Law Number 8/1985 on Civil Society Organizations and Government Regulation Number 18/1986 on the Implementation of Law Number 8/1985, which have been regarded as no longer appropriate, because it can threaten the freedom association and not in accordance with the rule of law and democracy. Therefore, deactivation and dissolution of civil society organizations is not done by the government, but through the judicial process. Judicial process is considered competent to decide on clotting and dissolution of the Constitutional Court, in accordance with its function to interpret and to guardian of the constitution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28610
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Lumbanraja, Hasan Tua
"Kewenangan pengujian konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bersumber dari atribusi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan dalam Konstitusi tersebut hanya menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Menurut teori hukum administrasi negara, penerima atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi menafsirkan sendiri jangkauan kewenangannya dalam pengujian konstitusionalitas melalui setiap Putusannya. Selain kewenangan sebagai negative legislator, Mahkamah Konstitusi juga berwenang sebagai positive legislator, bahkan memperluas obyek pengujiannya. Pengaturan dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas negative legislator dan membatasi obyek pengujian konstitusionalitas menjadi tidak serta merta mengikat bagi Mahkamah Konstitusi. Dalam praktik pengujian konstitusionalitas dewasa ini, perluasan kewenangan peradilan konstitusi dari sebatas negative legislator menjadi positive legislator dan perluasan obyek pengujian menjadi kecenderungan yang umum terjadi diberbagai negara. Perluasan kewenangan peradilan konstitusi memiliki kecenderungan dapat mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang. Keadaan ini disebut pathology pengujian konstitusional. Oleh karena itu dilakukan penelitian secara yuridis normatif untuk mengetahui bagaimanakah pengujian konstitusionalitas yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi.
Hasil penelitian berupa konsep pengujian konstitusional yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi, akan digunakan untuk menganalisa praktik pengujian konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pengujian konstitusionalitas yang dilaksanakan oleh Peradilan konstitusi dinyatakan masih dalam lingkup kewenangannya apabila memenuhi empat kriteria yaitu: 1).Melalui Proses Peradilan; 2). Secara Umum Berperan Sebagai Negative Legislator; 3). Dalam Keadaan Tertentu dan Batasan Materi Tertentu Sebagai Positive Legislator; dan 4). Materi muatan norma yang termasuk dalam kategori doktrin political question bukan Obyek Pengujian Konstitusionalitas. Praktik pengujian konstitusionalitas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ada yang memenuhi empat kriteria tersebut sehingga masih berada dalam lingkup kewenangan peradilan konstitusi. Namun ada pula putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak memenuhi empat kriteria kewenangan pengujian konstitusionalitas peradilan konstitusi. Putusan yang demikian memposisikan Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangan peradilan konstitusi, sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi pathology karena mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang.
The jurisdiction of the constitutional judicial review of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia came from the attribution of Article 24C paragraph (1) NRI Constitution of 1945. The setting in the Constitution mentions only Constitutional Court jurisdiction to hear at the first and last decision is final, the laws against the Constitution. According to the theory of administrative law, the beneficiary attribution can create new or expand existing jurisdiction. In practice the Constitutional Court to interpret its own range of jurisdiction over the constitutionality through each Decision. In addition to the jurisdiction as negative legislator, the Constitutional Court also authorized as a positive legislator, even extending the test object. The settings in the Law of the Constitutional Court as the implementing regulations of Article 24 C of paragraph (1) NRI Constitution of 1945 which limits the jurisdiction of the Constitutional Court and limiting the extent of negative legislator constitutionality object becomes not necessarily binding on the Constitutional Court. In the practice of the constitutional judicial review of today, the expansion of the jurisdiction of the constitutional court be limited from a negative legislator to be a positive legislator and expansion of test objects become a trend that is common in many countries. The expansion of the jurisdiction of a constitutional court may have a tendency to take over the legislative functions of the legislators. This condition is called constitutional pathology testing. Therefore normative juridical research to determine how the constitutional judicial review of which is still under the jurisdiction of a constitutional court. The results of research in the form of concept constitutional judicial review is still the constitutional jurisdiction of the constitutional court, will be used to analyze the practice of constitutional judicial review carried out by the Constitutional Court in Indonesia. Judicial review carried out by the Constitution Court declared still within the scope of its jurisdiction if it meets four criteria: 1) Through the Judicial Proceedings; 2). In General Role In Negative Legislator; 3). In Specific Circumstances and Limitation of Certain Material For Positive Legislators; and 4). The substance of the norms included in the category of the political question doctrine is not Object Testing Constitutionality. Practice constitutional judicial review conducted Indonesian Constitutional Court there that meet these four criteria so that they are within the scope of jurisdiction of the constitutional court. But there is also a Constitutional Court ruling does not satisfy the four criteria of the jurisdiction of the constitutionality of the constitutional court. The verdict thus positioning the Constitutional Court exceeded the jurisdiction of the constitutional court, so it has a tendency to be a pathology due to take over the legislative functions of the legislators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45983
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Bambang Sutiyoso
"Society and justiciabellen whose rights and constitutional authority are disadvantaged can defend their rights by requesting to the constitutional court. The problem raises because there is not clear regulation in the mechanism of requesting to the constitutional court, especially on the procedural law. In order the request is not dismissed by the constitutional court, is should be estabilised the regulation relates to the case."
Universitas Islam Indonesia, 2006
345 JHUII 13:2 (2006)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Nurudin Hadi
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007
342.06 NUR w
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Meyrin
"Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU/VII/2010 tentang anak yang lahir di luar perkawinan merupakan putusan yang bersejarah bagi hukum perkawinan Indonesia. Putusan ini membuka peluang kepada anak yang lahir di luar perkawinan untuk mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Tesis ini membahas mengenai apakah latar belakang terbitnya putusan tersebut juga bagaimanakah dampak berlakunya putusan terhadap akta pengakuan anak dan surat keterangan hak waris. Sebagai perbandingan, tesis ini juga memaparkan gambaran umum mengenai anak luar kawin di negeri Belanda. Penyusunan tesis ini dilakukan dengan metode penelitian normatif. "
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30371
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library