Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9566 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Currently even though regional regulations contravvene certain provisions or aspects of existing laws and the presidential governmental system, they remain valid unless canccelled by the Supreme Court pursuant to the preasumptio iustae causa principle thereby allowing the ex nunc validity of such regultios. this acticle addresses the legal issues concerning the annulment of regionals and finds that the process may indeed be inconsistent with existing laws and the presidential goverment system. thus there is a nee to clarify (a) the scope of Article 145, paragraph (3) of law No. 32vyear of 2004 upon regional goverment, particularly since regional regulations are a form of "delegated legislation," (b) the standartd or threshold of " contravention of law" by which they may be annulled, and (c) the legal effects of annulment in order to crete legal certainty."
LRUPH 12:3 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Eka NAM
"ABSTRACT
Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal
251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan
pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi
bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur.
Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan
pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan
untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi.
Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan
persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan
peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah
Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi
dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah
yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana
kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan
Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUUXIV/2016.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan
bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah
yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang
lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut
dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada
daerah melalui penguatan executive preview atau
pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah
mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh
ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945."
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Sonia Ivana
"Nama : SONIA IVANA BARUSNPM : 160 693 4613Program Studi : Ilmu Hukum-Hukum KenegaraanJudul : ldquo;Kewenangan Pembatalan Peratuan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri sebagai Executive Control terhadap Pemerintah Daerah rdquo; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri dengan instrumen berupa Peraturan Menteri, diberikan kewenangan untuk membatalakan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan, adanya dualisme pandangan mengenai keabsahan penggunaan Peraturan Menteri untuk membatalkan perda juga memunculkan persoalan tersendiri. Belumselesai perdebatan mengenai keabsahan penggunaan Peraturan Menteri untuk membatalkan peraturan daerah, Putusan Mahkamah MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2016 yang telah mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah perda menibulkan permasalahan baru seputar eksistensi lembaga eksekutif pusat dalam hal membatalkan suatu peraturan daerah. Penulisan ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data-data skunder sebagai sumber datanya dan bersifat presfiktif yakni untuk memberikan saran penyelesaian terhadap topik yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pada dasarnya, penggunaan peraturan menteri untuk membatalakan peraturan daerah kurang tepat, hal itu dikarenakan Menteri dengan Pemerintah Daerah tidak memiliki hubungan secara struktural, meskipun secara hiearki pearaturan menteri bisa saja berada diatas pearturan daerah, sehingga penggunaan instrumen hukum berupa Peraturan Presiden dianggap sebagai solusi paling ideal seperti yang digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, Putusan MK yang kini menghilangkan kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah, dianggap perlu dikaji lebih lanjut. Pasalnya, secara tidak langsung MK sudah menghilangkan kewenangan pusat eksekutif untuk melakukan kontrol terhadap daerahnya, padahal Indonesia adalah negara kesatuan dimana campur tangan pemerintah pusat kepada daerahnya adalah hal yang wajar dan bukanlah sesuatu yang melanggar konstitusi. Kata Kunci : Kewenangan, Peraturan Daerah, executive control

Name SONIA IVANA BARUSNPM 160 693 4613Study Program Ilmu Hukum Hukum KenegaraanTitle ldquo Regional Regulation Annulment by Minister Of Internal Affairs as Executive Control for Regional Government rdquo Law of Republic Indonesia Number 23 of 2014 about Regional government state that Minister of Internal Affairs with Ministerial Regulation, have an authority for annuling Regional regulation which is contradict higer rule of law provisions, public interest and or decency. Meanwhile, the duality of views about validity of Ministerial Regulation for annul Regional regulation creates contentions. Beside the contention about validity of Ministerial Regulation for annul Regional regulation, verdict of Constitutional Court number 137 PUU XIII 2015 and number 56 PUU XIII 2016 which has been revoked Minister of Internal Affairs authority for annul Regional regulation caused problem about the existance of executive in terms of annuling Regional regulation.This researchis in the form of juridical normative which is used secondary data as the resources and prespective point of view with the intention of providing solution towards the topic.The result of this research shows, basicly, the utilization of Ministerial Regulation for annul Regional regulation is not proper, because the Minister and Regional government are not related in a structural scheme, in despite of, Ministerial Regulation maybe higher than Regional regulation, with the result of that the most ideal solution is to use Presidential Regulation as in Law No. 32 of 2004.Moreover, verdict of Constitutional Court which is revoked the authority of Minister of Internal Affairs for annul Regional regulation, need to be reviewed. Because of that verdict, Contitutional Court undirectly revoked the authority of executive for controlling its region, considering Indonesia is an unitary state the central government intervention to the region is reasonable and not violating the constitution. Key Words Authority, Regional regulation, Executive Control"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Djaja Sembiring
Bandung: Binacipta, 1984
346.074 MEL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Djaja Sembiring
Jakarta: Binacipta, 1984
340.159 MEL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kusmito Gunawan
"ABSTRAK
ini, bertujuan
untuk meneliti, mempelajari serta mengetahui dasar
kewenangan Pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri dalam membatalkan Peraturan Daerah di Indonesia,
penerapan Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah serta alasan dan
pertimbangan yuridis Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam
membatalkan Peraturam Daerah di Propinsi Bengkulu.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif-empiris, sifat penelitian
deskriptif-analitik-preskriptif, alat pengumpulan data yang
dipergunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari studi
kepustakaan (library research), meliputi: Bahan hukum
primer, Bahan hukum sekunder dan Bahan hukum tertier.
Metode analisis data dalam penelitian ini, terlebih
dahulu dikelompokan berdasarkan kualitas, pola, tema, dan
katagori tertentu sesuai kebutuhan pembahasan. Data yang
sudah dikatagorikan tersebut dianalisis untuk memahami dan
menjelaskan gejala-gejala hukum dengan cara melakukan
penafsiran dengan model penafsiran surface structure dan
deep structure. Penafsiran surface structure dilakukan
terhadap teks dan fakta yang dalam ini pemaknaan difokuskan
terlebih dahulu pada persoalan yang tertuang dalam teks dan
realitas yang muncul. Berdasarkan penafsiran ini kemudian
dikembangkan kepada penafsiran deep structure yang
bertujuan untuk mengungkap makna-makna yang tersirat di
balik suatu aktivitas penafsiran.
Hasil dan simpulan penelitian ini ialah, Menteri dalam
menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kekuasaan dan
kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan,
baik yang berasal dari delegasi, atribusir Peraturan
Kebijakan (beleidsregel), maupun kebebasan bertindak
(freies Ermessen, discretainr discretionary power).
Berdasarkan kajian teori mengenai jenjang norma hukum
(Stufentheorie) yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen dan
dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky. A. Hamid S.
Attamimi mengkolerasikan dengan kontek Negara Indonesia,
serta disesuaikan dengan perkembangan penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia pada saat ini. Atas landasan
teori dan ilmu perundang-undangan serta hasil penelitian
Tesis ini, jenjang norma hukum (Stufentheorie) masih sangat relevan dan tetap menjadi acuan/patokan dalam menafsirkan
hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan rumusan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Penerapan Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pembatalan
Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Pada
pelaksananaannya, rumusan yang mengharuskan pembatalan
Peraturan Daerah melalui Peraturan Presiden tersebut di
atas, dari hasil penelitian didapat bahwa setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kurun waktu 15 Oktober 2004 sampai
dengan 8 Mei 2007, hanya 1 (satu) Peraturan Daerah yang
dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2006 yakni pembatalan Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal
34 ayat (8) Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Alasan
atau pertimbangan yuridis pembatalan Qanun Aceh tersebut
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Alasan dan pertimbangan yuridis Keputusan Menteri
Dalam Negeri dalam membatalkan Peraturan Daerah di Propinsi
Bengkulu, karena Peraturan Daerah tentang retribusi dan
pajak daerah tersebut, antara lain: a. Bertentangan dengan
kepentingan umum, yaitu jika Peraturan Daerah tersebut
diberlakukan maka akan berakibat terganggunya kerukunan
antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan
terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan
yang bersifat diskriminasi, b. Bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
meliputi:1). Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah; 2). Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3) . Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah; 4) .
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah; 5) . Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1998
tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang
Perdagangan; 6) . Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995
tentang Izin Usaha Industri; 7). Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor:590/MPP/Kep/10/1999
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha
Industri, dan 8). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor:09/MDag/
Per/3/2005 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Izin Usaha Perdagangan."
2007
T37843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan Soejito
Jakarta: Bina Aksara, 1989
350 IRA t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muntoha
"Lahirnya dua undang-undang di bidang pemerintahan daerah yailu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, merupakan respons pemerintah terhadap tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan desentralisasi yang Iebih luas kepada daerah Implikasi dari kebijakan desentralisasi itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam lcuat, mulai menuntut diberlakukannya syari?at Islam secara formal untuk diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa peraturan daerah (Perda) yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim dipersepsikan sebagai ?Perda-perda Bernuansa Syari?ah?.
Perda-perda bernuansa syari?ah? itu, telah menimbulkan pro clan kontra di kalangan umat Islam sendiri sehingga dalam penelitian ini diaiukan satu rnasalah pokok: Bagaimana merespons aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberlakuan syari?at Islam scara formal ? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif sedangkan kerangka teoritis yang dibangun untuk pemecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori reoeptio a contrario, teori hirarki nonna hukum, dan teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan: Perrama, teori recepixb a contrario harus dipahami bahwa berlakunya syari?at Islam adalah sebuah keniscayaan; Kedua, teori hirarki norma hukum dimaksudkan untuk mengkaji aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan keberlakuan hukum secara yuridis, yang ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan harus diposisikan dalam konteks pelimpahan kewenangan penmdangan dari pemerintah kepada daerah-daerah otonom.
Dalam penlitian yang dilakukan terhadap beberapa produk ?Perda dan Qanun bernuansa Syari?ah?, baik pada daerah otonomi khusus maupun daerah lain yang berstatus ownomi biasa ditemukan adanya berbagai hal sebagai berikut: Perramag formalisasi pemberlakuan syari?at Islam di Indonesia memiliki landasan historis-yuridis yang sangat kuat sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UU`D 1945; Kedua, kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasoa reformasi berimplikasi pada adanya peluang bagi daerah-daerah untuk memberlakukan corak hukumnya masing-masing, termasuk pemberlakuan syari?at Islam; Ketiga, jenis-jenis ?Perda dan Qanun bemuansa syari?ah? yang telah diproduk beberapa pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari empat klasifikasi: (1) jenis perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti pelacuran dan perzinaan), (2) jenis perda yang terkait dengan fashion (keharusan mernakai jilbab dan jenis pakaian laixmya di tempat-tempat tertentu), (3) jenis perda yang terkait dengan ?keterampilan beragama (keharusan pandai baca-tulis A1-Qur?an), dan (4) jenis perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah). Hal ini pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan karena merupakan produk bersama antara eksekutif dan legislatif, tetapi dari aspek materi-muatan yang diatur di dalamnya banyak yang overlap dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat atasnya.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu ditinjau kembali atas beberapa produk perda dan qanun tersebut, baik melalui judicial review maupun executive review.
The establishment of two legislations on local government, namely Act No. 22 Year 1999 and Act No. 32 Year 2004, highlights government?s response toward demand of democratization during Reformation era by issuing more decentralization policy for local govemment. The policy of decentralization has also shown robust implication particularly on several regions which possess strong Islamic character. They inquired to enforce legal Islamic syari?ah formally to be implemented locally. Accordingly, local regulation or laws were issued to lay down some aspects of Islamic teaching which is otten labeled as ?syari?ah based local laws".
The ?syari?ah based local laws? has attracted public attention specially among Muslim communities which is focused on this research by presenting a basic question; I-low to respond communities aspiration toward formally Shari 'a-isation of PERDA (Process of Making Regional Regulations based on Islamic Syari ?ah) ? This research adopts a normative judicial approach, while theoretical framework is based on the theory of reception a contrario, theory of hierarchy of legislation, and theory of decentralization in the context of unitary state system. First, theory of reception a contrario must be tmderstood in the context of basic value which obviously requires the formalization of syari?ah Secondly, that of hierarchy of legislation aims to examine aspect of rule of law in terms of legal enforcement which is determined by validity of legislation hierarchy. Finally, that of decentralization in the context of unitary state system must be positioned in the context of distribution of authority from central to local governments.
Based on this research, either in selected local governments with normal autonomy or in special autonomy, some basic Endings that can he described are as follow; first, forrnalization of syari?ah law enforcement in Indonesia has got it strong historical-judicial principle according to Article 29 (2) of the 1945 Constitution; Secondly, decentralization or autonomy policy in Indonesia after the Reformation era has brought to condition where some local government might produce their local laws in accordance with their characteristics including Islamic syari?ah. Thirdly, types of Perda and Qonun with Syari?ah basis issued by local govemments in Indonesia could be classified into four segments; (1) Type of Perda which deals with morality of communities in general (Perda of Anti-Prostitution and Adultery), (2) that of Perda which deals modesty and fashion (obligation to wear scarf or modesty in public places), (3) that of Perda which deals with religious skills (ability to read and write Al-Qur?an), and (4) that of Perda which deals with social charity funds raising (zakat, infaq and shadaqah). Those Perda must not be seen as problematic matters since those are joint products between local legislative and executive bodies. However, the matters stipulated in those Perda have overlapped with other higher legislations.
Based on that proposition, it needs to be considered that all Perda and Qonun should be reviewed, either through judicial review or executive review.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D1062
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Misdyanti
Jakarta : Bumi Aksara, 1993
352 MIS f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>