Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135345 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This study is about the readiness and willingness of stakeholders to upgrade slum areas through the construction of flats. The results of this study are expected to provide more information and new ideas on the subject. The study includes four principal issues, namely the readiness of local governments in providing a flat area; willingness of the developer in the construction of flats; willingness of agencies to support the construction of flats, and the willingness of the people living in the slums to occupy flats. The study was concluded in Semarang.
The conclusion of this study is that in general the stakeholders (local government, Developer, PLN, PDAM, Society) has the readiness to rejuvenate rundown areas through the construction of flats. In order to rejuvenate, it is required cooperation and incentives. In addition, some recommendatios need to be followed up that is the socialization and coordination on planning and implementation of regional rejuvenation through the flats so that each stakeholder understands and support the steps that can be implemented in a secure, peaceful and constitutional."
JPUKIA 4:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan dilaksanakan kajian adalah untuk menyusun :Strategy Nasional Pembangunan Perdesaan" yang akan digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka menyusun strategy/program dan kegiatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 -2014 bidang Pembangunan Perdesaan. Kajian ini memberikan penekanan yang cukup penting terhadap tinjauan teoritik dan pengalaman-pengalaman empirik yang relevan dengan topik kajian . Hal ini agara dapat diperoleh pemahaman konseptual yang benar dan kuat tentang pembangunan perdesaan . Pemahaman konseptual yang akan memberikan landasan yang kuat pula dlm mengiterpretasi dan menganalisis berbagai data kualitatif ataupun kuantatif . Untuk mendukung adan memperkuat tinjauan teoritis dan empirik dan kajian ini dilakukan juga penyusunan model dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Alat analisis yang dipergunakan adalah Analythical Hierarchy Process (AHP). Wilayah yg menjadi sample tinjauan lapangan kajian ini sebanyak sepuluh provinsi dengan total responden sebanyak 200 orang.Lingkup kajian difokuskan pd 5 bidang dlm kerangka pembangunan perdesaan dengan fokus pd masing -masing bidang . Hal ini disesuaikn dengan UU No. 17 th. 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional th. 2005 - 2025 dan mengkombinasikannya dengan UU No. 26 th. 2007 tentang Penataan Ruang . Setelah mengkonbinasikan hasil analisis model AHP dengan tinjauan teoritik dan empirik, maka pertama pembangunan ekonomi perdesaan difokuskan pd pengembangan sistem agribisnis (yg di dlmnya termasuk agroindustri). Pengembangan sistem agribisnis ini perlu didukung dengan berbagai faktor penggerak ekonomi . Jika merujuk pd RPJMN 2005-2025, maka penggerak tsb adalah akses informasi & pemasaran, lembaga keuangan , kesempatan kerja & teknologi; kedua pembanguna bidang sumber daya alam (SDA) & lingkunga hidup (LH) difokuskan pd upaya pemenuhan energi perdesaan dr sumber daya alam terbarukan yg ada; ketiga penbangunan bidang politik & kebijakan difokuskan pd upaya penciptaan iklim yg konduksif untuk beraktivitas & berusaha; keempat pembangunan bidang sosial & budaya difokuskan pd upaya pemberdayaan masyarakat; kelima pembangunan bidang fisik & tata ruang difokuskan pd upaya penciptaan keseimbangan hubungan perdesaan - perkotaan & keenam pembangunan bidang ketahanan pangan difokuskan pd upaya penyediaan lahan pertanian pangan yg berkelanjutan."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Sriyanto
"Semakin terbatasnya lahan dan mahalnya harga tanah di lokasi-lokasi strategis di kota-kota besar seperti di Jakarta ini, mengakibatkan dibangunnya gedunggedung tinggi untuk memanfaatkan semaksimal mungkin lahan yang ada dan semakin tinggi suatu gedung dibangun, akan semakin Was Pula kebutuhan parkir yang harus disediakan. Untuk memenuhi kebutuhan parkir tersebut basemen merupakan altematif penyelesaian yang tidak dapat dihindarkan, walaupun dalam pelaksanaanya sering kali menimbulkan berbagai macam masalah. Kebutuhan basemen yang Was dan dalam, kondisi tanah yang lunak, letak tanah keras yang relatif dalam dari permukaan tanah dan muka air tanah yang relatif tinggi membutuhkan penanganan tersendiri dalam pelaksanaannya. Masalah utama yang sering dihadapi adalah adanya bangunan-bangunan tinggi di sekitamya sehingga dibutuhkan stru.ktur dinding penahan tanah dan penunjangnya yang kokoh, karena dalam pelaksanaan galian basemen pada suatu proyek pada prinsipnya harus menjaga stabilitas tanah yang artinya tidak diperbolehkan adanya pergeseran, pergerakan ataupun deformasi tak terduga pada gedung-gedung di sekitarnya yang dapat mengakibatkan keretakan atau krusakan bahkan keruntuhan gedung tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, digtinakan dinding diafragma yang merupakan dinding beton bertulang yang umumnya dicor secara in-situ dan terns menerus sepanjang tepi galian yang direncanakan, setelah terlebih dahulu dipersiapkan lobang berbentuk jalur memanjang sampai kedalaman yang direncanakan serta dipersiapkan juga baja tulangannya yang umumnya berbentuk kurungan. Walaupun dinding diafragma bukan merupakan hal Baru tetapi dianggap sebagai dinding penahan tanah yang merupakan system yang tepat untuk kondisi seperti tersebut di atas dibandingkan dengan turap beton, turap Baja ataupun bored pile menerus 1 soldier pile. Sasaran dalam penelitian pada proyek Pembangunan Gedung Teater Besar Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marcuki yang berlokasi di R. Mini Raya No. 73 - Jakarta ini akan dibahas khususnya mengenai analisa stabilitas dinding diafragma sebagai dinding penahan tanah untuk mendapatkan suatu struktur yang kuat, aman dan ekonomis sesuai dengan fungsinya yaitu menjaga stabilitas bangunan yang berdekatan dengan lokasi proyek tersebut. Dinding penahan tanah yang digunakan pada proyek tersebut terdapat dua jenis yaitu sheet pile beton yang digunakan sebagai dinding penahan tanah untuk lokasi yang relatif jauh dari gedung bertingkat sehingga beban yang ditahan relatif kecil dan dinding diafragma yang digunakan sebagai dinding penahan tanah yang dekat dengan gedung Planetarium Jakarta karena menahan beban yang relatif besar. Pengguna n dua jenis dinding penahan tanah ini dimaksudkan untuk mendapatkan efisiensi biaya pelaksanaan dengan menyesuaikan pembebanan yang tedadi, karena bagaimanapun biaya merupakan komponen terpenting dalam pelaksanaan proyek dan merupakan sumber Jaya yang terbatas jwnlahnya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S35689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobari
"ABSTRAK
Perhatian terhadap polusi udara ruangan meningkat karena adanya fakta bahwa polusi yang terjadi di dalam ruangan tidak mudah untuk disebar atau diencerkan, sehingga polusi yang terjadi dapat lebih besar dibanding dengan polusi yang terjadi di udara bebas (outdoor). Faktor lain yang turut mendukung meningkatnya perhatian terhadap polusi udara ruangan adalah kenyataan bahwa manusia menghabiskan waktunya 93% dalam ruangan, 5% dihabiskan dalam perjalanan, dan hanya 2% dihabiskan di udara bebas (Nriagu, 1992).
Faktor panting lain yang menyebabkan menurunnya kualitas udara ruangan adalah karena adanya sifat toksis kontaminan yang ada, baik berupa gas maupun partikulat kecil. Kontaminan toksis ini dapat berasal dari materi penghias ruangan, furnitur, peralatan kantor, adanya kebocoran senyawa kimia yang berbahaya, adanya kontaminasi pada bagian gedung, atau dari luar gedung, hasil pembakaran seperti asap rokok, pemakaian gas (asap dapur), adanya bioefluen dari manusia, dan materi dari produk-produk perawatan gedung.
Environmental Protection Agency (1988) menyatakan bahwa, Sick Building Syndrome (SBS) merupakan fenomena yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan kenyamanan bekerja atau berada di dalam sebuah gedung. Istilah SBS biasanya digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah yang terkait dengan polusi udara ruangan.
Rendahnya kualitas udara ruangan yang menimbulkan fenomena SBS disebabkan oleh sejumlah faktor utama yang saling berinteraksi, yaitu : a. ventilasi udara yang tidak baik, b. adanya polusi yang terjadi di dalam gedung, c. kontaminasi dari luar gedung, serta d. kontaminasi biologi. Faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan kondisi lingkungan fisis seperti suhu yang kurang sesuai, kelembaban yang tidak memadai, dan kurangnya penerangan (Baechler et al, 1991).
Sebuah gedung dikatakan sakit tergantung kepada prevalensi SBS pada populasi penghuni gedung tersebut. Menurut WHO, keluhan-keluhan pada kasus SBS sangat luas, yaitu meliputi iritasi mata, hidung tenggorokan, saluran pernafasan, reaksi pada kulit, reaksi hipersensitivitas yang kurang spesifik, kelelahan mental, sakit kepala, mual, dan pusing-pusing (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Sedangkan Jackson et al (1991), menyatakan bahwa keluhan-keluhan SBS sangat samar, dan sering diabaikan karena dianggap sebagai pilek atau flu biasa.
Prevalensi SBS dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga faktor individu. Faktor-faktor lingkungan adalah kondisi ruangan yang bersifat fisis seperti kelembaban, suhu, dan pencahayaan, atau karena adanya materi toksis, adanya partikulat, serta kondisi mikrobiologis ruangan. Faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi besarnya angka prevalensi SBS antara lain adalah umur, seks, pendidikan, status gizi, status kesehatan, ada tidaknya penyakit alergi, kebiasaan merokok, jenis pekerjaan dan lain-lain (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) Jakarta merupakan salah satu gedung perkantoran di Jalan Jenderal Gatot Subroto yang memakai sistem pengatur udara (AC) sentral. Gedung perkantoran berlantai lima ini pada awal bulan Agustus tahun 1994 mulai mengalami pekerjaan renovasi struktur, serta pergantian komponen-komponen gedung yang perlu.
Dengan adanya kegiatan renovasi, lingkungan dalam gedung PDII mengalami perubahan fisik yang cukup besar. Pada pertengahan tahun 1995, seluruh pegawai PDII Jakarta telah mengalami perubahan lingkungan tempat kerja karena mereka menempati ruangan-ruangan yang telah selesai direnovasi atau ruangan-ruangan darurat.
Para pegawai tidak bisa lepas dari gangguan yang timbul akibat kegiatan renovasi tersebut. Beberapa keluhan berupa gangguan kenyamanan dan kesehatan di lingkungan kerja pernah terjadi. Di samping itu, kondisi udara AC juga pernah dikeluhkan oleh para pegawai. Namun demikian, angka kejadian timbulnya kesakitan dan keluhan-keluhan akibat kondisi ruang kerja di gedung PDII sampai sekarang belum ada dokumentasi yang jelas.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui prevalensi SBS yang dialami oleh para pegawai yang bekerja di gedung PDII.
2. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan karakteristik sosial individu pegawai yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, pola perjalanan, dan kondisi psikososial.
3. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan faktor-faktor lingkungan tempat kerja yang meliputi tingkat ventilasi, kadar partikulat, kadar C02, kadar NCx, aliran kecepatan udara, kelembaban, dan suhu ruangan.
4. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh faktor-faktor risiko tertentu secara relatif menyebabkan munculnya SBS.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologik dengan pendekatan cross-sectional untuk mencari hubungan antara faktor risiko dengan prevalensi SBS. Faktor risiko dapat berupa faktor lingkungan dan faktor individu.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner, dan pengukuran variabel kondisi lingkungan fisik dengan menggunakan alat ukur yang telah ditetapkan. Analisis data yang dilakukan adalah distribusi frekuensi, rasio prevalensi, uji Chi-Square, dan koefisien kontingensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi SBS di gedung PDII Jakarta adalah sebesar 53,62%. Sedangkan prevalensi SBS sesuai dengan kelompok gejala adalah keluhan pada mata 19,56%, hidung 32,61%, tenggorokan 34,78%, kulit 13,04%, dan umum 39,14%.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan jenis kelamin dan kondisi psikososial responden, dan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan olah raga, kebiasaan merokok, lama perjalanan, dan jenis kendaraan responden.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kelembaban, dan suhu kering ruangan kerja gedung PDII Jakarta, dan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kadar partikulat dan kadar CO2 di dalam ruangan kerja gedung PDII Jakarta. Prevalensi SBS tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat ventilasi, kadar NOx, kecepatan aliran udara, dan suhu basah ruangan gedung PDII Jakarta.
Rasio prevalensi faktor risiko karakteristik sosial responden masing-masing adalah jenis kelamin 1,57, umur 1,18, pendidikan 0,78, status atopi 1,42, kebiasaan olah raga 1,28, kebiasaan merokok 0,70, lama perjalanan 1,02, jenis kendaraan 1,13, dan kondisi psikososial 1,79.
Rasio prevalensi faktor risiko lingkungan fisik masing-masing adalah tingkat ventilasi 1,14, kadar partikulat 1,55, kadar CO02 0,86, kadar NOx 1,46, kelembaban 0,82, kecepatan aliran udara 1,70, suhu kering 1,72, dan suhu basah 1,42,

ABSTRACT
The attention towards indoor air pollution is increasing due to the fact that indoor air pollution is not easy to be diluted. It makes the pollution could be greater indoor than outdoor. Another factor supported that argument was the fact that the people spend their time 93% indoor, 5% traveling, and approximately 2% outdoor (Nriagu, 1992).
The most important factor that caused of decreased indoor air quality is the toxicity of contaminants such as gaseous or particulate form from a variety of sources, including the building materials, furnishings, office equipments and incidental spill of hazardous chemical substances, contaminants generated from other parts of the building or outdoors, tobacco smoke, gas appliances, and human's bioeffluents (Godish, 1991).
Environmental Protection Agency (EPA) declared that Sick Building Syndrome (SBS) refered to health and comfort problems associated with working in a particular building. The term generally applied to problems related to indoor air pollution.The poor indoor air quality that cause SBS phenomenon, may caused by a number of factors, such as : (a) inadequate ventilation; (b) pollution; (c) contamination from outside sources; and (d) biological contamination. These factors will interact with other environmental factors such as temperature, humidity, or lighting (Baechler et al, 1991).
A building will be classified as a sick building on the basis of the prevalence of the symptoms of population in the building. According to WHO, the Sick Building Syndrome (SBS) includes a broad range of symptoms such as eyes, nose, throat, and lower airways irritation, skin reaction, unspecific hypersensitive reactions, mental fatigue, head-ache, nausea, and dizziness (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Jackson et al (1991) described in his paper that SBS were so vague, and it disparaged because it was considered as ordinary flu symptoms.
The prevalence of each SBS can be influenced by several environmental and individual factors. Environmental factors were physical room condition such as humidity, temperature, and lighting, or the content of toxic substance, particulate, and microbiological condition of the room. The individual factors were age, sex, education, nutritional status, health status, allergic condition, smoking habits, job categories, etc. (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Centre for Scientific Documentation and Information (PDII) Building Jakarta has five floors located at J'1. Jenderal Gatot Subroto Jakarta using central air conditioning (AC) system, at early of August 1994 was being renovation and changing of building component. This activity was carried out with office activities remain in that building. At the middle of 1995, all of office workers move to newly renovation room with some of them still worked in the emergency rooms.
Due to this conditions some of office workers complain of discomfort and health problems in the workplace, included the air from AC system. However, the prevalence of sickness and complaints caused by workplace environment condition in PDII building has not been clearly documented.
The objectives of this research :
1. to identify the prevalence of SBS among the office workers in PDII building.
2. to identify the association between SBS and the individual caracteristics of office workers including sex, age, education, hypersensitivity, smoking habits, exercising habits, traveling mode, and psychosocial condition.
3. to identify the association between the prevalence of SBS and workplace environment factors included ventilation rate, respirable suspended particulate, C02, NOx consentration, air flow rate, humidity, and temperature of the room.
4. to identify how far certain risk factors relatively cause SBS.
The study method used is survey, using questionnaire and measurements of physical environmental condition variable using pre-determined measurement tools. Data analysis carried out were frequency distribution, prevalence ratio, Chi-Square test, and Coefficient Contingency.
This was cross-sectional epidemiologic study looking for the associations between risk factors and the prevalence of SBS. The risk factor can be in the form of individual or environmental factors.
The result of the study showed that the prevalence of SBS in PDII building is 53.62%. According to symptom group are 19.56% for eyes; 32.61% for nose, 34.78% for throat, 13.04% for skin symptoms, and 39.14% for general symptoms.
The prevalence of SBS was highly significant in association with sex and psychosocial condition of respondences, and there is no significant association with age, education, hypersensitivity, exercising habits, length of transportation transportation, and the type of responden's vehicle.
The prevalence of SBS was highly significant association with humidity and dry temperature of workplace of PDII building Jakarta, and has significant association with concentration of respirable suspended particulate and CO2 in workplace of PDII building Jakarta.
The prevalence of SBS does not show a significant association with ventilation rate, concentration of NOx, air flow rate, and wet temperature of workplace in PDII building Jakarta.
The prevalence ratio of risk factors from despondence?s social caracteristics respectively : sex 1.57; age 1.18; education 0.78; hypersensitivity 1.42; smoking habits 0.70; exercising habits 1.28; length of transportation 1.02; the type of responden's vehicle 1.13; and psychosocial condition 1.79. The prevalence ratio of risk factors from physical environmental condition respectively ventilation 1.14; concentration of respirable suspended particulate 1.55; concentration of CO2 0.86; concentration of NOx 1.46; air flow rate 1.70, humidity 0.82; dry temperature 1.72; and wet temperature 1.42.
E. Total of References : 45 (1957 - 1995).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afra Ghaniy Yoko Putri
"Istana Ali Marhum Kantor di Pulau Penyengat merupakan bangunan cagar budaya peninggalan masa Kesultanan Riau-Lingga (1900–1912) yang belum pernah difungsikan kembali secara permanen sejak ditinggalkan oleh Kesultanan Riau-Lingga. Bangunan ini mengalami degradasi fisik ringan secara konstan seperti pengelupasan cat bangunan, lepasnya lantai-lantai kayu, serta kotornya dinding yang ditutupi lumut-lumut dan jamur yang dibiarkan dan dibersihkan menyeluruh ketika ada pemugaran (biasanya setiap 10 tahun sekali). Bangunan ini juga memiliki riwayat pemugaran yang menyalahi panduan pelestarian karena menghilangkan ornamen Melayu pada fasad bangunan. Artinya, dengan tidak dimanfaatkannya bangunan ini mengancam pelestarian dan otentisitas bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, melalui pendekatan manajemen sumber daya, sebuah bentuk alternatif pemanfaatan diajukan sebagai upaya optimalisasi bangunan Cagar Budaya. Penelitian terapan ini menggunakan tahapan penelitian Sharer dan Ashmore (2010), yakni formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Alternatif pemanfaatan dikaji berdasarkan rekomendasi pengelolaan Cagar Budaya yang dirumuskan oleh UU CB (2010) dan BPCB Sumbar (2017) serta studi komparatif dengan Istana Kampong Gelam Singapura. Keduanya merupakan bangunan cagar budaya tingkat nasional yang memiliki keterkaitan latar belakang sejarah dan budaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk alternatif pemanfaatan sebagai Pusat Informasi Kebudayaan Melayu dapat diterapkan di Istana Ali Marhum Kantor.

The Istana Ali Marhum Kantor, a cultural heritage building on Penyengat Island, dates back to the Riau-Lingga Sultanate era (1900-1912). Despite its historical significance, the structure has remained unused since the Sultanate's departure. It has experienced gradual physical degradation, including peeling paint, detached wooden floors, and moss-covered walls. Past restoration efforts have removed Malay ornaments from the facade, further jeopardizing its preservation and authenticity. To address these challenges, a resource management approach is proposed for the optimal utilization of the Cultural Heritage building. Following the research stages by Sharer and Ashmore (2010), an alternative utilization plan is developed. It aligns with recommendations for Cultural Heritage management, adhering to the Cultural Heritage Law (2010) and the Regional Center for Cultural Heritage Preservation of West Sumatra (2017). A comparative study is conducted with the Istana Kampong Gelam in Singapore, another national-level cultural heritage building. The results of this study indicate that an alternative form of utilization as an Information Center for Malay Culture can be implemented at the Ali Marhum Palace Office."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Eka Apriyanti
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S48290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyana, translator
"ABSTRAK
"Proyek adalah merupakan suatu usaha temporan yang dilakukan untuk mendapatakan suatu produk atau jasa yang khusus. Temporari berarti bahwa setiap proyek mempunyai waktu mulai dan waktu akhir yang tertentu. Khusus maksudnya adalah bahwa produk atau jasa tersebut memerlukan penanganan atau memiliki kondisi yang berbeda untuk produk atau jasa yang sejenis. Di dalam proyek pada dasamya tercakup pengelolaan biaya, waktu pelaksanaan dan kualitas produk atau jasa.
Komponen biaya adalah salah satu faktor yang terpenting dalam suatu proyek dikarenakan bahwa biaya ini juga merupakan sumber daya yang sangat dibatasi jumlahnya_ Qleh karena itu dalam studi kasus pada pembangunan struktur sipil Kantor dan Pabrik PT. Herlina Indah di Kawasan Lippo Cikarang akan dibahas khusus mengenai perhitungan, perencanaan dan pengendalian biayanya. Data-data utama yang dibutuhkan untuk perhitungan biaya proyek pada dasarnya diperoleh dari identifikasi pekedaan, metoda pelaksanaan yang dipakai dimana ada kaitannya dengan penggunaan tenaga kerja dan alat, serta jaringan kerja untuk memperoleh jadwal pelaksanaan peker aan. Data pendukung lainnya adaiah adanya harga material, upah pekeda dan alat.
Perkiraan biaya yang dihitung adalah Rencana Biaya Qperasional (RBO), Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Biaya Penawaran untuk Tender. Dari jaringan kerja dan jadwal waktu pelaksanaan yang disusun dalam diagram batang maka dibuat kurva ""S"" yang selanjutnya menjadi dasar untuk penyusunan cash flow baik untuk pengeluaran biaya (cash out) maupun pencrima n biaya (cash in). Cash flow tersebut ditinjau terhadap Rencana Biaya Qperasionai dan Rencana Anggaran Biaya baik tanpa kredit Bank maupun dengan Kredit Bank. Pada akhimya kita dapat menyimpulkan alternative cash flow yang paling menguntungkan sesuai dengan kondisi yang ada dan akan menjadi pengontrol kondisi keuangan proyek."

"
2000
S35620
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apriansyah Saputra
"ABSTRAK
Peremajaan bangunan, wilayah maupun kota sering menjadi solusi dalam masalah penataan kota agar memiliki kualitas yang lebih baik. Kegiatan peremajaan, dalam pengertian yang lebih umum, merupakan kegiatan yang menyangkut upaya untuk menata ulang struktur dan morfologi lahan secara menyeluruh. Jakarta, sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, bisnis, industri, menjadi tujuan utama para pendatang untuk mencari pekerjaan. Hal itu menyebabkan pesatnya peningkatan jumlah penduduk Jakarta dari tahun ke tahun dan ruang kota yang tersedia berbanding terbalik dengan kebutuhan akan perumahan. Keterbatasan ruang kota tersebut ditambah nilai lahan yang tinggi tidak memungkinkan pembangunan perumahan baru di pusat kota. Hal itu menyebabkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki hunian di tengah kota sehingga harus tersingkir ke pinggiraan dan menimbulkan masalah baru seperti kebutuhan biaya transportasi dan waktu yang lama untuk mereka sampai ke lokasi kerja, kemacetan dan polusi udara. Solusi dari permasalah tersebut adalah peremajaan bangunan dengan pemanfaatan bangunan yang sudah ada. Dalam hal ini, penulis mengangkat kasus peremajaan rumah susun Kebon Kacang XI yang sudah hampir memasuki batas umur bangunan dan terlihat kumuh menyebabkan kesenjangan visibilitas antara rusun dengan bangunan lainnya dan dapat mengakibatkan rusun terkena dampak gentrifikasi. Selain itu, rumah susun Kebon Kacang XI terletak di pusat kota Jakarta dan mengalami peningkatan koefisien luas bangunan KLB yang tinggi sehingga bisa memaksimalkan kapasitas unit yang bisa dibangun demi memenuhi kebutuhan penyediaan tempat tinggal yang terjangkau di pusat kota. Tujuan dari paper ini adalah untuk mencari tahu dan membandingkan tiga bentuk peremajaan yang tepat sebagai solusi dari penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di pusat kota melalui pendekatan revitalisasi, rehabilitasi dan redevelopment.

ABSTRACT
Rejuvenation of buildings, land, and cities are usually being the solution to the problem of arranging the city to have a better quality. Rejuvenation activities, in a more general sense, are activities involving efforts to rearrange the structure and morphology of the land as a whole. Jakarta, as the center of government, commerce, business, industry, became the main destination of migrants to find employment. That caused the rapid increase in the population of Jakarta from year to year and the availability of city space is inversely proportional to the need for housing. The limitation of the city space plus the high value of land does not allow the construction of new housing in the center of city. It causes people have no ability to live in the middle of the city so that it should be pushed out to the outskirts and cause new problems such as the need for transportation costs and a long time for them to get to their workplace, causes traffic jam, and air pollution. This problem can be cured by rejuvenation of buildings with the utilization of existing buildings. In this case, the authors raised the case of rejuvenation Kebon Kacang XI flats that have almost entered the age limit of the building and becoming slum cause the visibility gap between the flats with other buildings in the neighborhood and can lead it to be gentrified. In addition, the Kebon Kacang XI flats are located in downtown Jakarta and have increased the high coefficient of a building so that it can maximize the capacity of units that can be built in order to meet the needs of affordable housing in the city center. The purpose of this paper is to find out and compare three appropriate forms of rejuvenation as a solution of housing procurement for low income communities in the city center through revitalization, rehabilitation, and redevelopment of Kebon Kacang XI flats."
2018
T50859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparman
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Efektifitas Pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang, dan Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Efektifitas Pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan. Variabel yang diamati adalah Struktur Organisasi Kecamatan, Kewenangan yang dilimpahkan kepada Kecamatan dan Kualitas Pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Kecamatan.
Pemilihan variabel atau faktor dimaksud, didasarkan pemikiran dan pertimbangan, dilihat dari kepentingan Pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya, bahwa efektifitas organisasi atau efektifitas pelayanan IMB merupakan tujuan yang harus dicapai oleh Pemeintah Kota khususnya, dalam mewujudkan tertib perijinan bangunan sesuai dengan rencana tata ruang kota dan memberikan kepastian hukum dalam membangun bangunan, serta memberikan pelayanan yang lebih dekat dan mudah dijangkau, cepat dan murah. Dari kepentingan masyarakat, efektifitas pelayanan dicerminkan adanya kepuasan masyarakat menerima pelayanan yang diharapkan. Disadari penulis, bahwa banyak variabel atau faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi atau efektifitas pelayanan, sebagaimana pendapat atau teori yang diungkapkan para ahli, seperti faktor kepemimpinan, kultur, lingkungan, teknologi, motivasi dan lainnya. Akan tetapi, Penulis ingin membatasi pokok bahasan yang difokuskan pada teori yang mendukung dan relevan dengan kondisi nyata dilapangan.
Data yang digunakan untuk pembahasan, adalah data yang diperoleh melalui penyebaran angket kepada 196 responden yang terdiri dan masyarakat Kecamatan Ciledug baik yang pernah berhubungan dengan Kecamatan, maupun yang belum pernah berhubungan dengan Kecamatan, serta aparat Kecamatan dan aparat Kota Tangerang. Disamping itu data sekunder diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah, Pemerintah Kecamatan dan studi kepustakaan.
Metode analisis yang digunakan adalah Deskriptif Analisis bersifat kualitatif yang dikuantitatifkan, dengan cara setiap pertanyaan dalam angket sesuai dengan variabel yang diamati diberi bobot. Bobot tersebut dijumlahkan dan dibandingkan dengan bobot maksimal dari masing-masing variabel, sehingga persepsi responden dari masing-masing variabel, maupun secara menyuluruh dapat diukur efektifitasnya. Untuk memudahkan perhitungan efektivitas masing-masing variabel yang diamati, ditetapkan bobotnya dengan asumsi, jika bobot efektifitasnya 0%-50% efektifitasnya kurang. Jika bobotnya 51%-75% efektifitasnya cukup. Jika bobot efektifitasnya antara 76%-85% efektifitasnya baik dan jika bobot efektifitasnya 86%-100% efektifitasnya sangat baik.
Dari hasil penelitian membuktikan bahwa pelayanan ijin mendirikan bangunan di Kecamatan Ciledug belum memuaskan dan tidak sesuai dengan harapan. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis terhadap efektifitas pelayanan, dilihat dari variabel struktur organisasi mendapat skor cukup atau 70,89 %, efektifitas pelayanan dilihat dari variabel kewenangan memiliki skor baik atau 84,25 % , dan efektifitas pelayanan dilihat dari kualitas pelayanan memperoleh skor baik atau 84,53 %. Sedangkan efektivitas pelayanan dilihat secara menyeluruh dari gabungan persentase atau skor masing-masing variabel yang diamati menunjukkan skor cukup atau 73,8 %. Dengan hasil skor cukup tersebut membuktikan, bahwa faktor struktur organisasi, kewenangan dan kualitas pelayanan berpengaruh terhadap efektifitas pelayanan ijin mendirikan bangunan di Kecamatan Ciledug, sehingga pelayanan ijin mendirikan bangunan yang diberikan oleh Kecamatan Ciledug belum baik, atau belum memenuhi harapan dan memuaskan masyarakat.
Sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Tangerang, diharapkan menetapkan langkah kebijakan untuk melakukan perubahan atau penataan struktur organisasi dan kewenangan Pemerintah Kecamatan, serta penempatan pegawainya secara selektif. Disamping itu, perlu kebijakan khusus untuk memberdayakan Pemerintah Kecamatan sebagai perangkat daerah, untuk berfungsi sebagai back office atau front office dalam memberikan pelayanan ijin mendirikan bangunan di wilayah kerjanya, dalam rangka mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Disamping itu, diharapkan kepada lembaga pendidikan tinggi khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia dapat melakukan diskusi dan pengkajian secara ilmiah, mengenai masalah kewenangan atau desentralisasi kewenangan yang saat ini menjadi issue yang mengganggu integrasi bangsa, sebagai akibat perbedaan persepsi dan penafsiran dikalangan praktisi pemerintah, politisi maupun akademisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T8959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugraha Putra Hutama
"Pemindahan Ibu Kota Indonesia dari DKI Jakarta menuju ke Ibukota Nusantara (IKN) pertama kali disampaikan pada Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 16 Agustus 2019. Kegiatan ini dilanjutkan dengan serangkaian proses baik secara hukum serta undang-undang sehingga secara resmi Ibukota Negara telah berpindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Pembangunan IKN telah dimulai sejak tahun 2022 dan selesai secara fungsional pada 17 Agustus 2024 untuk menggelar upacara kemerdekaan pertama di Ibukota Nusantara. Kesuksesan penyelenggaraan ini adalah hasil dari kerja keras dan komitmen yang tinggi dari seluruh komponen stakeholder serta insinyur-insinyur terbaik bangsa termasuk didalamnya peran vital seorang Site QHSE Manager. Tujuan dari laporan ini adalah untuk melaporkan peran seorang Site QHSE Manager dalam menyelesaikan Gedung Sekretariat Presiden di IKN dengan hasil konstruksi yang berkualitas dan mengedepankan aspek K3L. Keberhasilan ini dicapai dengan menerapkan Metode PDCA (Plan, Do, Check, Action) sehingga proyek pembangunan Gedung Sekretariat Presiden ini sukses untuk mendukung terlaksananya Upacara Bendera 17 Agustus pertama di Ibukota Nusantara. Pembangunan IKN tidak hanya sekedar selesai, namun pembangunan juga dikerjakan secara profesional, memperhatikan kode-kode etik keinsinyuran serta terbukti berhasil dengan mendapatkan pencapaian Zero accident, P2HIV oleh Kemenaker dan Gubernur Kaltim, serta mendapatkan predikat Bangunan Gedung Hijau (BGH) Utama dalam Perencanaan.

The relocation of Indonesia’s capital city from Jakarta to Ibu Kota Nusantara (IKN) was first announced during the State Address at the Annual Session of the People's Consultative Assembly of the Republic of Indonesia by President Joko Widodo on August 16, 2019. This initiative was followed by a series of legal and regulatory processes, officially transferring the capital city from DKI Jakarta to East Kalimantan. The construction of IKN began in 2022 and was functionally completed on August 17, 2024, in time to hold the first Independence Day ceremony of Indonesia in the Nusantara Capital. This success is the result of hard work, strong commitment from all stakeholders and the nation’s best engineers, including the vital role of a Site QHSE Manager. The purpose of this report is to highlight the role of a Site QHSE Manager in completing the Presidential Secretariat Building in IKN with high-quality construction that prioritizes K3L (Occupational Health, Safety, and Environment) aspects. This achievement was made possible by implementing the PDCA (Plan, Do, Check, ction) method, ensuring the successful construction of the Presidential Secretariat Building to support the first Independence Ceremony of Indonesia on August 17 in the Nusantara Capital City. The project was not only completed successfully but also executed professionally, adhering to engineering ethical codes. The results were proven with remarkable achievements, including Zero Accident, P2HIV awards from the Ministry of Manpower and the Governor of East Kalimantan, and the Bangunan Gedung Hijau (BGH) Utama predicate for Planning for Green Building."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>