Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lamuri, Aly
"Terkait pertambahan usia, penurunan fungsi paru dapat terjadi karena adanya perubahan struktur histologis alveolus. Tujuan penelitian ini adalah : untuk mengetahui korelasi ketebalan septum interalveolar paru tikus Sprague dawley terhadap pertambahan usia. Metode penelitian ini adalah penelitian berbasis laboratorium dengan desain cross sectional. Sebagai subjek penelitian, digunakan tikus Sprague-dawley yang terbagi dalam empat kelompok usia : 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, di atas 12 bulan. Sesuai dengan kelompok usia, kemudian dilakukan pengambilan jaringan paru dan diwarnai dengan metode pewarnaan trichrome-masson. Penghitungan nilai tebal septum dilakukan dengan membandingkan jumlah total tebal septum dengan lebar lapang pandang. Dengan metode saphiro-wilk didapatkan nilai persebaran data yang normal dan dilanjutkan dengan uji korelasi. Hhasil analisis data penelitian yang didapat berdasarkan kelompok usia, diperoleh ketebalan septum alveolus sebesar 0.436 ± 0.059 m untuk kelompok usia 2 hari, 0.399 ± 0.022 m pada kelompok usia 16 hari, 0.474 ± 0.043 m pada kelompok 3-4 bulan, serta 0.512 ± 0.020 m pada kelompok tikus usia lebih dari 12 bulan. Kesimpulan penelitian berdasarkan hasil uji korelasi pearson, diperoleh nilai r=0,375 yang menandakan adanya korelasi lemah antara pertambahan usia dengan ketebalan septum interalveolar.

As age goes by, changes in intrapulmonary condition may result in respiratory disorders. This research aims to find correlation between interalveolar septal thickness and age. Research method used in this study was laboratorim-based study with cross sectional design. As a subject used in this study, Sprague dawley rat sorted in age-related order : 2 days group, 16 days group, 3-4 months group, more than 12 months group. In accordance with the age-related grouping, alveolar tissue sampling was done and stained by trichrome-masson staining method. Measurement was done by comparing interalveolar septal thickness with microscope field of view. Result data normality evaluated by Shapiro-wilk test then tested with Pearson correlation test. Calculation of mean alveolar wall thickness value from each age-related groups gives following results: 2-days group: 0.436 ± 0.059 m thick, while 16-days group: 0.399 ± 0.022 m thick, 3-4 months old group: 0.474 ± 0.043 m thick, and >12 months old group: 0.512 ± 0.020 m thick. Pearson correlation test gave result of r=0,375 which marked a weak correlation between age and interalveolar septum thickness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyid Mawardi
"Latar belakang: Penuaan paru ditandai dengan perubahan struktur dan fisiologi paru. Secara struktural, terjadi perubahan ketebalan septum interalveolar dan komponen di dalamnya, salah satunya adalah serat kolagen interstisial, sehingga dapat memengaruhi fungsi paru sebagai organ respirasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara jumlah serat kolagen interstitial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analytic correlative. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague-Dawley sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian terdiri atas empat kelompok usia, yaitu 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan >12 bulan yang ditentukan dengan m ± 0.043 μm, dan 0,512 ± 0.020 μm. Uji korelasi non parametrik Spearman (p = 0,03) antara jumlah serat kolagen interstisial dengan ketebalan septum interalveolar menunjukkan nilai koefisien korelasi (r = 0,213). Kesimpulan: Pada penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang lemah antara jumlah serat kolagen interstisial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Dengan demikian, dapat dipikirkan bahwa serat kolagen interstisial dapat mempengaruhi ketebalan septum interalveolar paru tikus yang menua, meskipun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi.
Background: Lung aging is characterized by structure and physiologic changes of the lung. Structurally, the interalveolar septum thickness and all of its components including collagen fiber are change, so that affect the lung function as a respiratory organ. This study is aimed to determine the correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum thickness on Sprague-Dawley rat aging. Method: The design of this research is cross sectional analytic correlative. The data was taken from the lung tissue preparations of 24 rats in 4 groups based on age, 2 days, 16 days, 3-4 months, and >12 months using single blind randomization technique. The methods of preparation making are based on the literatures. Data that was assessed were the histology of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum. Then, they were analized using SPSS 20.0. Result: Sequentially, the modes of interstitial collagen fiber are 1, 2, 2, and 3; while the interalveolar septum thickness means are 0,436 ± 0.059 μm, 0,399 ± 0.022 μm, 0,474 ± 0.043 μm, and 0,512 ± 0.020 μm. By using non parametric Spearman correlation test (p = 0.03), it was obtained the correlation coefficient (r = 0.213) between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness. Conclusion: There is a weak correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness of Sprague- Dawley rat aging. Thus, it can be thought that pulmonary interstitial collagen fiber may affects interalveolar septum thickness of rat aging, although it’s not as the only one factor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vito Filbert Jayalie
"Serat kolagen merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam memberi struktur pada dinding alveolus dan mempengaruhi proses fisiologis paru. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara jumlah serat kolagen dalam jaringan interstisial dengan ketebalan septum interalveolar pada perkembangan paru tikus neonatus. Desain penelitian yang digunakan adalah metode observasional analitik dengan studi cross-sectional (n=24). Perhitungan serat kolagen berdasarkan warna hijau atau biru keunguan pada satu lapang pandang (pewarnaan Trichrome Mason), sedangkan septum interalveolar diukur berdasarkan proporsi. Serat kolagen cenderung menetap (terdistribusi <30%), sedangkan ketebalan septum interalveolar menurun pada usia perkembangan neonatus usia 2 hari (0,434±0,145), 4 hari (0,412±0,064), 10 hari (0,394±0,118) dan 16 hari (0,407±0,058). Korelasi Spearman untuk distribusi serat kolagen dan ketebalan septum interalveolar bersifat positif berkekuatan sedang dan bersifat signifikan (r = 0,586; p = 0,003). Dapat disimpulkan bahwa dalam proses perkembangan paru neonatus, perubahan distribusi serat kolagen berhubungan dengan perubahan ketebalan septum interalveolar.

Collagen fibre is one of the most important structure in alveolus, which influences lung physiology. This study aimed to find the correlation between distribution of interstitial collagen fiber and thickness of interalveolar septum in Sprague Dawley neonatal rats’ lung. We used observational analytic method with cross-sectional study (n=24). Collagen fibre was calculated based on green or purplish blue (Trichrome Mason staining), and interalveolar septum was measured by proportional method. The distribution of collagen fibre between all ages of neonatal rats have no difference (low distributed/<30%). However, interalveolar septum thickness decrease as the age increase (0,434±0,145 on day 2; 0,412±0,064 on day 4; 0,394±0,118 on day 10 and 0,407±0,058 on day 16). Spearman correlation of collagen fibre distribution and interalveolar septum thickness showed a medium and significant positive correlation (r = 0.586; p = 0,003). In conclusion, during neonatal rats’ lung development, there is a correlation between distribution of collagen fibre and thickness of interalveolar septum.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Primadian Suprapto
"Pada paru yang menua, terjadi perubahan pada komponen penyusun jaringan alveolus dan jaringan interstitial paru. Perubahan morfologi ini berpengaruh terhadap proses pertukaran gas yang terjadi di alveolus serta penurunan fungsi faal paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ketebalan septum dan rongga udara alveolus pada paru yang mengalami penuaan dengan menggunakan model hewan coba tikus Sprague-Dawley. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectionalanalitic observational. Pengukuran ketebalan septum dan rongga udara alveolus dilakukan pada jaringan paru tikus Sprague-dawley yang dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: kelompok usia 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Hasil pengukuran rata-rata ketebalan septum interalveolar sesuai dengan urutan kelompok usia adalah 0,436 ± 0,059 μm , 0,399 ± 0,022 μm, 0,474 ± 0,043 μm, 0,512 ± 0,020 μm. Sedangkan rata-rata diameter rongga udara alveolus secara berurutan adalah 0,467 ± 0,038 μm, 0,410 ± 0,052 μm, 0,370 ± 0,046 μm, 0,378 ± 0,028 μm. Berdasarkan uji korelasi Pearson, didapatkan hasil bahwa ketebalan septum alveolus mempunyai berkorelasi sedang dengan rongga udara alveolus (r = -0,528). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penuaan tikus Sprague-Dawley, ketebalan septum interalveolar akan bertambah dan rongga udara alveolus akan berkurang.

Aging process on the lung gives a result in morphological changes of alveolus and its interstitial components. These changes alter the respiratory function of the lung as marked as increasing lung residual volume and decreasing lung vital capacity. The aim of this research is to study the morphological changes of alveolus including septum thickness and alveolar air space changes in aging lung. We used cross sectional-analitic observational study to conduct this research. The microscopic observation has been done on Sprague-Dawley rats’ lung preparation from different age group of rats (2 days, 16 days, 3-4 months, and more than 12 months). The means of interalveolar septum measurement are 0.436 ± 0.059 μm, 0.399 ± 0.022 μm, 0.474 ± 0.043 μm, and 0.512 ± 0.020 μm respectively. The means of alveolar air space measurement are 0.467 ± 0.038 μm, 0.410 ± 0.052 μm, 0.370 ± 0.046 μm, and 0.378 ± 0.028 μm respectively. The Pearson correlation study show that there is a moderate correlation between septum thickness and alveolar air space (r = -0.528). As the age of the rats increased, the alveolar septum thickness increased and alveolar air space reduced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Aprilia Asthasari
"Alveolus neonatus mengalami perkembangan dalam hal jumlah dan ukuran pada masa pascanatal. Pada perkembangan tersebut, jumlah alveolus bertambah dan dimensi alveolus – dalam hal diameter – meningkat bersama dengan peningkatan volume total paru. Penelitian ini bertujuan mencari korelasi panjang diameter alveolus dengan usia pada perkembangan paru neonatus. Desain penelitian merupakan potong lintang dalam studi analitik observational. Empat kelompok tikus Sprague-Dawley usia 2, 4, 10, dan 16 hari digunakan sebagai model coba. Paru tikus yang telah dijadikan sediaan histologis difoto di bawah mikroskop untuk kemudian diukur dengan program Optilab Image Raster. Panjang diameter alveolus paru tikus Sprague-Dawley diukur pada sepertiga tengah lapang pandang dengan metode proporsi, yaitu membandingkan total panjang diameter alveolus pada satu lapang pandang dengan total panjang lapang pandang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata panjang diameter alveolus mengalami penurunan dari 0,466 (SD 0,093) pada usia 4 hari menjadi 0,401 (SD 0,126) pada usia 16 hari. Namun, korelasi usia dan panjang diameter alveolus tidak signifikan dengan kekuatan korelasi lemah (Spearman, p = 0,451 dan r = -0,162). Disimpulkan bahwa panjang diameter alveolus paru tidak berkorelasi dengan usia perkembangan neonatus tikus Sprague-Dawley.

Alveolar changes in amount and size occur in lung morphogenesis during post-natal development. During the development, the amount of alveolar multiplies and the alveolar dimension – measured in diameter – expanses as the total lung volume increases until alveoli reach its mature age. This study aimed to find a correlation between alveolar diameter and age during post-natal development. The research design was cross sectional, an analytic observational study. Four groups of Sprague-Dawley rats, i.e. 2, 4, 10, and 16 days-old were used as model. Rats' lungs that have been processed histologically were captured as photos under light microscope, and were measured using Optilab Image Raster. The alveolar diameter was measured using ratio of the total length of the diameter and total length of horizontal field on one-third middle of the field. Mean length proportion of alveolar diameter were found decreasing from 0,466 (SD 0,093) at age 4 day to 0,401 (SD 0,126) at age 16 day. However, correlation between alveolar diameter sizes in post-natal ages was insignificant with low correlation power (Spearman p = 0,451 and r = -0,162). In conclusion, alveolar diameter has no correlation with age during lung development of Sprague-Dawley rat's neonates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Margiana
"Pendahuluan: Perubahan fisiologi paru pascanatal berkaitan dengan berbagai perubahan mikroskopik paru, terutama jaringan alveolar paru, baik pada komponen interstisial maupun epitelnya. Interstisial paru akar mengalami penebalan yang diduga disebabkan oleh perubahan komposisi serat-seratnya, terutama kolagen. Namun, perubahan tersebut masih dalam perdebatan dan proses yang mendasarinya masih belum jelas. Komponen epitelium yang mengalaml perubahan adalah pneumoslt II. Rasio pneumosit II terhadap pneumosit I diduga menurun dengan bertambahnya usia. Penurunan ini tentunya akan berpengaruh pada fungsinya dalam menjaga ketersediaaan surfaktan paru. Untuk memelihara fungsi vital dan normal sintesis surfaktan, jaringan paru juga bergantung pada ketersediaan glukosa karena glukosa merupakan komponen pembentuk batang tubuh gliserol (glycerol backbone) surfaktan. Pada proses penuaan, telah dilaporkan terjadinya akumulasi glikogen pada otak, otot rangka dan ginjal, sehingga ada pendapat bahwa glikogen merupakan penanda sel yang menua (senescence cell). Meskipun demikian, penelitian tentang akumulasi glikogen pada jaringan paru yang menua belum pemah dilaporkan. Penelltian ini bertujuan untuk mengamati perubahan gambaran" mikroskopik parenkim paru, terutama jaringan interstisial dan pneumosit II pada tikus Sprague-dawley berbagai kelompok usia pascanatal. Desaln: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional untuk mengetahui korelasi antara usia dengan ketebalan jaringan interstisial, jumlah serat kolagen interstisial, penumpukan glikoprotein dan glikogen dalam jaringan interstisial, rasio pneumositll terhadap pneumosit I, dan akumulasi glikogen dalam pneumosit II. Uji korelasi dilakukan dengan uji korelasi Spearman ~0,05) dengan bantuan program SpSS 17. Metode: Penelitian dilakukan pada tikus Sprague-dawley usia 2 han (n=6) , 4 hari (n=6), 10 hari (n=6), 16 hari (n=6), 3-4 bulan (n=6) dan lebih dan 12 bulan (n=6). Setelah difiksasi, jaringan paru dipotong dengan ketebalan 5~m dan dlwama dengan trichrome Mason untuk memvisualisasikan kolagen dan dengan periodic acid Schiff untuk memvisualisasikan glikoprotein dan glikogen. Hasll: Terdapat korelasi kuat antara usia dengan penumpukan glikoprotein dan glikogen dalam interstisial (r=0,712), korelasi sedang antara usia dan jumlah serat kolagen interstisial (r= 0,687) dan korelasi lemah antara usia dengan ketebalan jaringan interstisial (r=0,291 pada sediaan trichrome Mason, dan r=O,365 pada sediaan PAS), dan akumulasi glikogen dalam pneumosit II (r=O,266). Namun, tidak ada korelasi antara usia dan rasio pneumosit " terhadap pneumosit I (r=0,123). Keslmpulan: Dengan bertambahnya usia, maka pada jaringan interstisial paru akan terjadi peningkatan ketebalan, peningkatan serat-serat kolagen, serta penumpukan glikoprotein dan glikogen. Sedangkan pada epitel paru, terdapat akumulasi glikogen dalam pneumosit II, tetapi tidak terbukti adanya penurunan rasio pneumosit " terhadap pneumosit I.
.....Background: Physiological changes in postnat4nQ'Are associated with a variety of microscopic changes in the lung, especially th~lar lung tissue, both in the interstitial and epithelial component. The thickness of interstitial tissue will increase, which is supposed to be due to changes in the fiber composition, particularty collagen. However, that change is still in debate and the underlying process is stili unclear. The epithelial component changes in its pneumocyte II. The ratio of pneumocyte II against pneumocyte I is supposed to decline with age. This decrease will certainly affect their function in maintaining the supply of pulmonary surfactant. To maintain normal vital function and synthesis of surfactant, lung tissue depends on the availability of glucose because glucose is the building blocks of surfactnanfs glycerol backbone. In the aging process, glycogen accumulation in th~ brain, skeletal muscle and kidney has been reported. This leads to the idea that, glycogen is a marker for senescenCe cells. Nevertheless, studies on glycogen accumulation in aging lung tissue have not been reported yet. This study aims to observe the microscopic changes of the lung tissue, both the interstitial tissue and pneumocyte II of various postnatal ages groups of Sprague-dawley rats. Design: This was an observational analytical study to analyze the correlation between age and the thickness of the interstitial tissue, the thickness of interstitial collagen fibers, glycoprotein and glycogen accumulation in the interstitial, pneumocyte 1111 ratio, and glycogen accumulation in pneumosit II. Correlation tests were performed with Spearman correlation test (p ~ 0.05) using SPSS 17 for Windows. Methods: The study was conducted on 2 days (n = 6), 4 days (n = 6),10 days (n = 6), 16 days (n = 6), ~ months (n = 6) and more than 12 months (n = 6) Spraguedawley rats. Lung tissue was fixed, cut with a thickness of 5JJm and stained with Mason's trichrome to visualize collagen and with periodic acid Schiff to visualize glycoprotein and glycogen. Results: There was a high correlation between age and glycoprotein and glycogen accumulation in the interstitial (r=0.712), a moderate correlation between age and the amount of interstitial collagen fibers (r = 0.687), and a low correlation between age and the thickness of the interstitial tissue (r = 0.291 for the trichrome Mason preparation and 0.365 for the PAS preparation) and glycogen accumulation in pneumocyte II (r = 0.266). However, there was no correlation between age and pneumocyte 1111 ratio (r=0.123). Conclusion: With increasing age, the interstitial lung tissue will Increase in its thickness, collagen fibers, and glycoprotein and glycogen accumulation. Wlereasin the lung epithelium, there is an accumulation of glycogen in pneumocyte II, but there is no evidence of pneumositlill ratio decline."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T58024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
"Salah satu komponen alveolus yang berperan penting dalam proses pertukaran gas adalah septum interalveolar. Diketahui bahwa dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan-perubahan dalam komponen interstitial seperti serat elastin dan kolagen yang dapat berpengaruh pada ketebalan septum interalveolar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi perubahan ketebalan septum interalveolar dengan usia selama proses pematangan paru. Desain penelitian ini berupa analitik observasional menggunakan metode cross sectional dengan subjek penelitian tikus Sprague-Dawley berusia 2, 4, 10, dan 16 hari. Paru tikus yang sudah dijadikan sediaan histologis dan diwarnai dengan pewarnaan Trichrome Masson difoto di bawah mikroskop cahaya, kemudian diukur dengan Optilab Image Raster. Ketebalan septum interalveolar diukur menggunakan proporsi panjang total septum interalveolar dengan panjang total lapang pandang di garis sepertiga tengah lapang pandang foto. Data dari pengukuran ketebalan septum interalveolar (0,434 pada usia dua hari, 0,412 pada usia empat hari, 0,394 pada uia 10 hari, dan 0,407 pada usia enam belas hari) diolah dengan program IBM SPSS Statistics 11.5 dan diuji dengan uji korelasi Spearman; didapatkan p= 0,861 dengan nilai r= -.038. Disimpulkan bahwa terdapat penurunan ketebalan septum interalveolar seiring bertambahnya usia, namun tidak terdapat korelasi signifikan antara keduanya.

One of the alveoli component that plays an important role in oxygen and carbon dioxide gas exchange is interalveolar septum. It is known that with increasing age, changes occur in the interstitial components such as elastin and collagen fibers that can affect the thickness of the interalveolar septum. This study aimed to determine the correlation of interalveolar septum thickness changes with age during lung maturation. This research is an analytic observational with cross-sectional method to study the subject of Sprague-Dawley rats aged 2, 4, 10, and 16 days. Rats’ lung histological preparations that have been made and stained with Trichrome Masson staining were photographed under a light microscope and then measured with an Optilab Image Raster. Interalveolar septum thickness was measured using the proportion of one-third the length of the visual field divided by the total length of visual field. Data from the measurement of interalveolar septum thickness (0,434 at the age of two days, 0,412 at the age of four days, 0,394 at the age of ten days, and 0,407 at the age of sixteen days) processed by the IBM SPSS Statistics 11.5 program and tested with Spearman's test, p = 0.861 obtained with a value of r = -.038. From these results, it can be concluded that there is a decrease in the thickness of the interalveolar septum with age, but there is no significant correlation between the two.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirma I Mada
"Perkembangan paru yang terjadi sejak masa embrio hingga pascanatal menentukan efektivitas pertukaran gas, khususnya pada alveolus. Penelitian mengenai struktur ketebalan dinding alveolus paru dan kaitannya dengan diameter alveolus pascanatal belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ketebalan dinding alveolus paru dengan panjang diameter alveolus pada perkembangan paru neonatus tikus Sprague-Dawley. Jaringan paru tikus Sprague Dawley usia 2, 4, 10, dan 16 hari yang telah diproses secara histologis dengan pewarnaan Trichrome Masson, diamati dan difoto di bawah mikroskop, kemudian diukur ketebalan dinding dan panjang diameter alveolus-nya dengan Optilab Image Raster. Data disajikan masing-masing dalam bentuk proporsi total ketebalan dinding alveolus atau panjang diameter alveolus terhadap total panjang horizontal garis di sepertiga lapang pandang foto. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan ketebalan dinding alveolus paru dan penurunan panjang diameter alveolus dengan korelasi negatif sedang (uji Pearson; r=-0,523; p=0,009). Disimpulkan bahwa peningkatan ketebalan dinding alveolus berkorelasi dengan penurunan panjang diameter alveolus pada paru neonatus tikus Sprague Dawley.

Lung development, which happens during embryonic period until postnatal, will determine the effectiveness of the gas exchange process. Until recently, study about the thickness of septum interalveolar and the diameter length of alveolus has not been reported yet. This study aimed to know the correlation between the thickness of septum interalveolar and the diameter length of alveolus on postnatal lung development of Sprague Dawley rat. The Sprague Dawley rats aged 2, 4, 10, and 16 days tissues that were processed histologically with Masson’s Trichrome stain were observed and photographed using microscope. Subsequently, the septum interalveolar and diameter were measured by using Optilab Image Raster. The data were presented each in ratio of total alveolar septum or total alveolar diameter to the horizontal length of one-third visual field. Our study showed that there is a significant moderate correlation between the thickness of septum interalveolar and the diameter length of alveolus on Sprague Dawley rat (Pearson’s test; r=-0.523 ; p=0.009). As summary, the septum interalveolar increase while the diameter decrease on lung development of postnatal Sprague Dawley rat.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aflah Dhea Bariz Yasta
"Latar belakang: Basis data bagian Bedah Jantung Anak RSPJNHK menunjukkan terdapat 133 pasien TGA IVS yang dilakukan ASO primer. Terdapat mortalitas tinggi yaitu 9% dibandingkan dengan mortalitas yang pernah dilaporkan sebelumnya yaitu 5%. Telah banyak penelitian yang memperlihatkan faktor risiko yang memengaruhi keluaran ASO primer pada TGA IVS late presenter, tetapi belum terdapat penelitian yang melaporkan keluaran prosedur tersebut di Indonesia. Jumlah kasus yang banyak di Indonesia dan tingkat mortalitas operasi yang masih tinggi menjadi alasan untuk mencari faktor risiko yang memengaruhi keluaran tersebut. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien TGA-IVS late presenter yang menjalani ASO primer pada tahun 2015-2022 di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK). Variabel yang dinilai meliputi faktor praoperasi seperti usia, indeks massa ventrikel kiri, diameter dinding posterior ventrikel kiri serta faktor intraoperasi seperti lama penggunaan CPB dan klem silang aorta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk menilai hubungan faktor risiko tersebut dengan kejadian mortalitas dini. adjusted Odds Ratio (aOR) dinilai untuk mengidentifikasi seberapa besar pengaruh faktor risiko tersebut apabila faktor lain disamakan (adjusted) Hasil: Terdapat 88 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Median usia subjek adalah 7,2 (4-365) minggu. Kejadian morbiditas dini dialami oleh 11,7% subjek. Indeks massa ventrikel kiri merupakan faktor risiko independen yang memengaruhi keluaran mortalitas dini pasien TGA IVS late presenter yang menjalani ASO primer dengan nilai p = 0,003 serta aOR 14,02 (2,4-83,8). Lama penggunaan klem silang aorta dan mesin CPB memengaruhi keluaran mortalitas dini dengan nilai p 0,035 dan 0,011. Usia dan diameter dinding posterior ventrikel kiri tidak memengaruhi keluaran mortalitas dini pasien TGA IVS late presenter yang menjalani ASO primer. Kesimpulan: Indeks massa ventrikel kiri merupakan faktor independen yang memengaruhi mortalitas dini pada pasien TGA-IVS late presenter yang dilakukan ASO primer. Sedangkan lama penggunaan klem silang aorta dan lama penggunaan mesin CPB menjadi faktor risiko yang memengaruhi mortalitas dini untuk ASO primer pada Transposition Great Arteries–Intact Ventricular Septum late presenter.

Background: The Pediatric Cardiac Surgery database of RSPJNHK showed that there were 133 TGA-IVS patients who underwent primary ASO. There was a high mortality rate of 9% compared to the previously reported mortality rate of 5%. There have been many studies showing risk factors affecting the outcome of primary ASO in TGA IVS late presenters, but there are no studies reporting the outcomes of the procedure in Indonesia. The large number of cases in Indonesia and the high operative mortality rate are the reasons to search for risk factors affecting the outcomes. Methods: This study was a retrospective cohort study involving the Primary Arterial Switch Operation for Late Presentation of Transposition of the Great Arteries With Intact Ventricular Septum between 2015 and 2022 at Harapan Kita National Heart Center Hospital (RSPJNHK). The variables assessed included preoperative factors such as age, left ventricular mass index, and left ventricular posterior wall diameter, and intraoperative factors like the duration of CPB use and aortic cross-clamp time. Bivariate and multivariate analyses were conducted to evaluate the association of these risk factors with the incidence of early mortality. The adjusted Odds Ratio (aOR) was calculated to determine the extent of influence these risk factors had when other variables were controlled for. Results: A total of 88 subjects were included in this study. The median age of the subjects was 7.2 (4-365) weeks. Early morbidity events were experienced by 11.7% of subjects. Left ventricular mass index was an independent risk factor affecting early mortality outcomes of late presenter TGA IVS patients undergoing primary ASO with a p value = 0.003 and aOR 14.02 (2.4-83.8). Length of use of aortic cross clamp and CPB machine influenced early mortality outcomes with p values of 0.035 and 0.011. Age and left ventricular posterior wall diameter did not affect early mortality outcomes of late presenter TGA IVS patients undergoing primary ASO. Conclusion: Left ventricular mass index, is an independent risk factor that affect early mortality of patient with TGA-IVS late presenter underwent primary ASO. While duration of aortic cross clamp use, and duration of CPB machine use are risk factors that affect early mortality of the Primary Arterial Switch Operation for Late Presentation of Transposition of the Great Arteries With Intact Ventricular Septum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila

ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>