Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Citra Rheeyaninda
"Pengobatan massal filariasis sudah dilakukan sejak tahun 2008, namun kasus filariasis masih ditemukan dan angka cakupan pengobatan filariasis di Kelurahan Limo dari tahun ke tahun terus menurun. Pelaksana pengobatan massal filariasis adalah kader kesehatan, disebut sebagai Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) Filariasis.
Penelitian ini membahas tentang kinerja TPE/kader filariasis dalam pelaksanaan pengobatan massal di Kelurahan Limo pada tahun 2014 serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja tersebut. Data dicari menggunakan kuesioner pada sampel berjumlah 44 TPE filariasis di Kelurahan Limo dan wawancara mendalam dengan Penanggung jawab Program Filariasis di Puskesmas Limo. Variabel yang diteliti adalah faktor karakteristik individu dan faktor organisasi (pelatihan, ketersediaan sarana, kecukupan sarana, imbalan, supervisi, dan evaluasi).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh TPE filariasis (56,8%) memiliki kinerja rendah. Secara statistik, terdapat hubungan antara motivasi dan imbalan dengan kinerja TPE filariasis di Kelurahan Limo. Saran dari penelitian ini untuk Puskesmas adalah dengan memberikan imbalan yang sesuai dan hal-hal yang dapat memotivasi TPE/kader dalam meningkatkan kinerja dan tidak selalu harus dalam bentuk uang.

Filariasis mass treatment was carried out since 2008, but filariasis cases were still found and the treatment coverage in Kelurahan Limo was declining from year to year. Executors of the mass treatment were the health cadres.
The focus of this study is to analyze the performance of the TPE/health cadres in implementating filariasis mass treatment in 2014 and factors related to their work performance on the mass treatment of filariasis in Kelurahan Limo. Data was collected using structured questionnaire to 44 TPE/health cadres followed by indepth interview to the Head of Filariasis Program. Variables involved were individual characteristics and organizational factors (training, availability and adequacy of facilities, rewards, supervision and evaluation).
The study results showed that more than half of TPE/health cadres filariasis (56,8%) had low performance. Statistically, there is a relationship between motivation and reward to the performance of TPE filariasis in Kelurahan Limo. The study recommends to the health center to provide appropriate rewards, not always in."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S60353
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duwi Basuki
"Angka kematian dan kecacatan semakin meningkat akibat kesalahan dalam pemberian obat, dapat dicegah dengan supervisi secara optimal. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan persepsi perawat pelaksana tentang supervisi pimpinan ruang dengan pelaksanaan SOP pemberian obat. Desain penelitian menggunakan rancangan cross sectional. Jumlah sampel penelitian 73 perawat pelaksana dan 12 pimpinan ruang. Hasil observasi pelaksanaan kegiatan supervisi pimpinan ruang (58,33%) tidak baik dan pelaksanaan sop pemberian obat (39,7%) tidak baik.
Hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan bermakna supervisi pimpinan ruang terhadap pelaksanaan SOP pemberian obat ( p= 0,566). Upaya untuk meningkatkan pelaksanaan SOP pemberian obat dengan meningkatkan supervisi pimpinan ruang secara terencana dan terjadwal, penambahan fasilitas alat dan pendidikan non formal melalui pelatihan berkesinambungan.

Mortality and disability is increasing due to errors in drug administration can prevent with optimum supervision. The purpose of this study was to relationship between nurses staff? perceptions toward head nurses? supervision and the implementation of standard operating procedure for drug administration. This was a cross sectional study involving 73 nurse staff and 12 head nurses. It was observed that lack of an appropriate supervision led not good (58,33%) and to the implementation of drug delivery was also not good (39,7%).
It was found that there was no significant effect of head nurses? supervision and the implementation of standard operating procedures for drug administration (p = 0.566). Efforts to improve the implementation of standard operating procedures for drug administration could be done by a planned and scheduled head nurse?s supervision as well, to facilitates for drug administration and non formal education through continuous training.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T30588
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mustofa
"Toko obat berijin sebagai bagian dari sistem distribusi obat dalam upaya pemerataan ketersediaan obat sehingga obat mudah diperoleh pada saat yang diperlukan dan terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan salah satu kebijakan nasional dibidang obat.
Kepatuhan pemilik toko obat berijin dalam menyalurkan obat-obatan berguna dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pemilik toko obat dalam melaksanakan ketentuan pokok operasional toko obat berijin yaitu Keputusan Menteri Kesehatan nomor 167 tahun 1972.
Penelitian dilakukan dengan rancangan cross-sectional , pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, penentuan patuh dan tidak patuh berdasarkan ditemukan atau tidaknya obat keras, obat palsu atau diduga palsu di toko obat yang dijadikan sampel. Responden adalah 70 pemilik toko obat berijin yang tersebar di sembilan Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi dan faktor-faktor yang dilihat hubungannya dengan kepatuhan adalah faktor pendidikan, pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, penerapan sangsi, supervisi, tingkat kehadiran asisten apoteker penaggung jawab serta faktor lingkungan.
Hasil penelitian menunjukan 44 responden (62,8%) patuh, sedangkan sisanya 26 responden (37,8%) kurang patuh. Dart sembilan faktor yang diteliti ternyata empat diantaranya mempunyai hubungan dengan kepatuhan pemilik toko obat berijin yaitu faktor motivasi, supervisi, kehadiran asisten apoteker dan lingkungan. Pemilik toko obat berijin yang memiliki motivasi tinggi 5,6 kali lebih patuh dari yang memiliki motivasi rendah; yang menyatakan supervisi bermanfaat 3,4 kali lebih patuh dari yang menyatakan supervisi kurang bermanfaat; toko obat yang sering dikunjungi oleh asisten apoteker penangung jawab, lebih patuh 7,6 kali dari yang jarang dikunjungi oleh asisten apotekernya dan pemilik toko obat yang berada dalam lingkungan kondusif 23 kali lebih patuh dari pemilik toko obat yang berada dalam lingkungan kurang kondisif. Faktor lingkungan diketahui merupakan faktor paling dominan yang mempengaruhi kepatuhan pemilik toko obat berijin.
Untuk menekan persentase pelanggaran di toko obat diharapkan Balai POM di Jambi lebih menekankan pada perbaikan lingkungan berupa penyebaran informasi kepada masyarakat tentang efek samping obat dan cara pemakaian obat yang benar serta rasional; Pemerintah daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) mampu memberikan arahan baik kepada asisten penanggung jawab maupun kepada pemilik toko obat tentang tugas dan tanggung jawab selaku pengelola toko obat berijin sebelum ijin dikeluarkan dan kepada Badan POM diharapkan dapat menambah frekuensi supervisilpengawasan di lapangan secara lebih proporsional sesuai dengan luas wilayah kerja dan jumlah sarana yang harus diawasi oleh Balai POM."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karenna
"Nanoemulsi donepezil yang dihantarkan dari hidung ke otak dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak dan menghindari efek samping di saluran cerna. Namun, penelitian sebelumnya masih menggunakan konsentrasi surfaktan yang dapat menimbulkan sitotoksisitas. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanoemulsi donepezil dengan droplet berukuran di bawah 200 nm, nilai potensial zeta lebih besar dari 30 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH mendekati pH fisiologis nasal, serta fluks permeasi in vitro yang lebih tinggi dari kontrol. Nanoemulsi m/a yang mengandung donepezil, asam oleat, Tween 80, PEG 400, BHT, dan air demineralisata dibentuk dengan metode homogenisasi kecepatan tinggi dan ultrasonikasi. Parameter organoleptis, ukuran, indeks polidispersitas, potensial zeta, pH, permeasi in vitro melalui mukosa nasal kambing, dan stabilitas tiga formula nanoemulsi yang mengandung 3%, 4%, dan 5% surfaktan dinilai dan dibandingkan. Ketiga nanoemulsi memiliki ukuran droplet di bawah 110 nm, potensial zeta mencapai -29,77 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH masih ditoleransi mukosa nasal, dan stabil dalam penyimpanan pada suhu 30 ± 2 °C maupun 5 ± 2 °C selama sebulan. Melalui studi ini disimpulkan bahwa nanoemulsi F2 memiliki karakteristik fisik yang baik dan fluks permeasi terbaik (9,51 ± 2,64¼g/cm2.jam) sehingga berpotensi digunakan untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak.

Donepezil nanoemulsion delivered via the nose to brain route can be an alternative to increase donepezil accumulation in the brain and avoid gastrointestinal side effects. However, previous study still used high surfactant concentrations which can cause cytotoxicity. This study aims to produce donepezil nanoemulsions with droplet sizes below 200 nm, zeta potential values greater than 30 mV, polydispersity index less than 0.3, pH nearing nasal physiological pH, and higher in vitro permeation compared to control. An o/w nanoemulsion comprising of donepezil base, oleic acid, Tween 80, PEG 400, BHT, and demineralized water was formed by high-speed homogenization and ultrasonication. Organoleptic, size, polydispersity index, zeta potential, pH, in vitro permeation through goat nasal mucosa, and the stability of three formulas containing 3%, 4%, and 5% surfactant were compared. All three nanoemulsions had droplet sizes below 110 nm, zeta potential up to -29.77 mV, polydispersity index less than 0.3, pH tolerated by nasal mucosa, and stable in storage at 30 ± 2 °C and 5 ± 2 °C for a month. This study concludes that the F2 nanoemulsion had good physical characteristics and the best permeation flux (9,51 ± 2,64¼g/cm2.hour), thus having potential to increase donepezil accumulation in the brain."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnawilis
"Biaya belanja obat pada tahun 2000 di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru sebesar Rp 2.784.442.315,00 atau 31,29% dari seluruh biaya operasional rumah sakit (Rp 8.894.418.879,00). Meskipun biaya yang dikeluarkan untuk pembelanjaan obat tersebut sudah cukup besar tetapi masih ditemukan masalah berupa belanja obat ke apotek luar sebesar Rp 325.687.400,00 atau 11,69%, dari biaya belanja obat. .Obat yang dibeli secara kontrak menumpuk sebesar Rp 249.059.000,00 atau 49,18% dari nilai obat yang dibeli secara kontrak yaitu sebesar Rp 600.000.000,00. Sejumlah obat deadstock sebesar Rp. 22.603.827,00 atau 0,8% dari biaya belanja obat. Penulis berasumsi masalah tersebut terjadi karena belum memadainya perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mendapatkan gambaran perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru pada Januari 2000 sampai dengan Desember 2000.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam yang mencakup informasi dari informan yang terkait, observasi dengan menelusuri data yang terdokumentasi. Penelitian ini dilaksanakan dari awal Mei sampai akhir Juni 2001.
Hasil wawancara mendalam dari observasi yang dilakukan terhadap variabel-variabel terkait dengan perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000, didapatkan hal-hal yang sudah dipertimbangkan, yaitu pemakaian obat periode sebelumnya, stok akhir, masa tenggang (lead time), kapasitas gudang, stok pengaman, usulan dokter, usulan kepala kamar operasi, dan anggaran. Dengan catatan belum adanya data yang mendukung perhitungan terhadap hal-hal yang dipertimbangkan tersebut. Didapatkan juga hal-hal yang seharusnya sudah dipertimbangkan, tetapi pada kenyataannya belum dipertimbangkan, yaitu usulan komite medik, usulan panitia farmasi dan terapi, usulan kepala IGD, usulan kepala ruangan perhitungan analisis ABC pemakaian, perhitungan analisis ABC investasi, perhitungan indeks kritis ABC, perhitungan Economic Order Quantity (EOQ), pertimbangan Length of Slay, pola penyakit, formularium, dan standar terapi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000 belum efektif, mengingat hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan obat belum sepenuhnya dipertimbangkan, dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat belum dilibatkan.
Agar perencanaan obat lebih efektif dan efisien, maka penulis menyarankan kepada pihak manajemen dalam membuat perencanaan kebutuhan obat sebaiknya mempertimbangkan hal-hal yang semestinya dipertimbangkan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Selain itu, perlu dibuat prosedur tetap dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perencanaan obat.

The Process of Planning for Medical Supplies at IBNU SINA Moslem Hospital, Yarsi Riau - Pekanbaru, 2000.The medicine expenditure in the year 2000 at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru was Rp 2,784,442,315.00 or 31.29% from the whole operational costs (Rp 8,894,418,879.00). Although the medicine expenditure is quite large, there still are prescriptions filled to other pharmacies amounting to Rp 325,687,4000.00 or 11.69% from the total medicine expenditure. Unused medication bought through contracts reached Rp 249,059,000.00 or 49.18% from the Rp 600,000,000.00 spent on medicine. The amount of dead stock medicine was Rp 22,603,827.00 or 0.8% from the total medicine expenditure. The author assumes that inadequate medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, caused it. Based on those facts, the author aims to achieve an illustration of the medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru in January 2000 to December 2000.
This study was a case study that applies a qualitative approach. The data obtained through in-depth interviews that comprised of the information from related informants, observation by tracing documenting data, and Discussion Group Focus (FGD). This study began in early May to the end of June 2001.
The in-depth interviews, Discussion Group Focus, and observations on related variables against medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, these aspects were already being considered: the use of medical supplies during the previous period, final stocks, lead time, warehouse capacity, safety stock, doctor recommendations, recommendations from the head of the surgery room, and budget. However, there is no data that supports the calculations on the aspects above. There were also several items that should be considered, but were not, such as the recommendations from the medical committee, pharmacy and therapy committee, the head of the IGD, the head of the room, calculations analysis of the ABC use, calculations analysis of the ABC investing, calculations on the ABC critical index, the Economic Order Quantity (ECQ), the Length of stay, disease pattern, Hospital drug standard, and therapy standard.
The study indicated that the medical supplies planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, was ineffective, since the aspects that should be considered had not been considered, and the parties that should be involved were not involved.
To make the planning more effective and efficient, the author suggests the management to take into consideration the aspects above and involve the related parties. In addition to that, create a standard procedure and policies that is related to the planning.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyanto Utomo
"Obat merupakan salah satu sumber daya penting yang diperlukan dalam upaya pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Pengadaan obat oleh pemerintah jumlahnya terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah perencanaan, pengelolaan obat yang baik dan yang lebih penting adalah penggunaannya harus rasional.
Penggunaan obat yang tidak rasional akan berdampak buruk pada sisi ekononni (pemborosan sumber daya), pada sisi medik (efek samping, resistensi dan penyakit iatrogenik), dan pada sisi psikososial di masyarakat yaitu ketergantungan masyarakat pada obat tertentu (injeksi).
Berbagai upaya untuk mengurangi penggunaan obat tidak rasional telah dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek Kesehatan IV yang disponsori oleh Bank Dunia di 5 Provinsi termasuk Provinsi Kalimantan Barat yang dimulai pada tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun anggaran 1999/2000, diantaranya adalah Pelatihan Penggunaan Obat Rasional pada dokter dan paramedis di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas se Kabupaten Sambas Kalimantan Barat tahun 1999 menggunakan 3 indikator peresepan obat yaitu; 1)% peresepan antibiotik, 2)% peresepan injeksi dan 3)polifarmasi. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional juga dilihat.
Total sampel dalam penelitian ini adalah 423 resep yang berasal dari semua Puskesmas di Kabupaten Sambas yang berjumlah 29 buah yang diambil dengan menggunakan stratified proportional random sampling method dari resep yang ditulis oleh 30 tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan pengobatan. Penefitian ini menggunakan disain penelitian potong lintang dan dilaksanakan selama 1 bulan (Desember 1999),
Sebagai variabel terikat adalah penggunaan obat tidak rasional dengan 3 indikator peresepan tersebut di atas; sebagai variabel babas adalah Karakteristik individu tenaga kesehatan (jenis tenaga, masa kerja, penetapan diagnosis, -sikap terhadap Pedoman Pengobatan, sikap terhadap penggunaan obat rasional dan sikap terhadap manajemen obat), dan Karakteristik lingkungan (Karakteristik pasien/pengantarnya meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat pengetahuan pada antibiotik dan injeksi, serta tingkat motivasi untuk suntik), tingkat kecukupan obat, manajemen obat dan jumlah kunjungan poliklinik Puskesmas per hari.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi penggunaan obat tidak rasional adalah 46,6%. Pelayanan pengobatan 65,7% dilakukan oleh perawat/bidan.
Dari analisis bivariat diketahui beberapa variabel yang secara bermakna (p<0,05) berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas yaitu; 1)jenis tenaga kesehatan (p-0,000), 2)masa kerja (p-0,000), 3)sikap terhadap Pedoman Pengobatan (p =0,007), 4)sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,001), 5)umur c 44 tahun (p-0,401), 6)motivasi untuk suntik (p-O,021), 7)tingkat kecukupan obat (p=0,007) dan 8)jumlah kunjungan poliklinik per hall (p=0,023),
Pada analisis multivariat dihasilkan 5 variabel dominan dan 3 variabel interaksi yang bermakna (Likelihood Ratio Test p-X2=0,0000 di-8) secara bersama-sama berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional yaitu; 1)jenis tenaga kesehatan (perawat/bidan), 2)jumlah kunjungan poliklinik per hail (sedikit), 3)Tingkat kecukupan obat (cukup), 4)umur (5 44 tahun), 5)sikap terhadap Pedomam Pengobatan (negatif), .6)interaksi jenis tenaga kesehatan (perawat/bidan)*jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit), 7)interaksi jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit)*tingkat kecukupan obat (cukup) dan 8)interaksi-interaksi jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit)*umur (S 44 tahun).
Rekomendasi dari penelitian ini adalah legislasi tenaga paramedis dalam melakukan upaya pengobatan dasar di Puskesmas, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan paramedis di bidang upaya pengobatan melalui pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan, penyusunan Pedoman Pengobatan yang bersifat lokal yang melibatkan seluruh dokter Puskesmas dengan melakukan penyesuaian (adjusting) Pedoman Pengobatan dari Depatemen Kesehatan, meningkatkan peran dokter dalam supervisi dan sebagai pelatih di bidang upaya pengobatan terhadap paramedis, pendidikan kesehatan masyarakat untuk mengurangi penggunaan injeksi dan memperbaiki perencanaan kebutuhan obat dengan menggunakan metode epidemiologi di samping metode konsumsi yang selama ini dipakai dengan peningkatan kemampuan perencana di Kabupaten melalui pelatihan di bidang perencanaan, penelitian lanjutan dengan melihat indikator penggunaan obat tidak rasional lain yang belum diteliti, dan yang lebih penting adalah komitmen yang tinggi dari Kepala Dinas Kesehatan Dati II Sambas untuk meningkatkan penggunaan obat rasional dengan cara memperbaiki pola peresepan obat di Puskesmas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlina Prima Putri
"Alginat adalah salah satu polisakarida alami yang dapat ditemukan pada sejumlah aplikasi biomedis. Hal ini didukung oleh sifatnya, yaitu biokompatibel, rendah kadar toksisitas, kelimpahan ketersediaannya, dan kemudahan proses gelasinya. Untuk meningkatkan sifat biodegradasi dan kemampuan interaksinya dengan sel tubuh, maka diperlukan modifikasi lanjut untuk senyawa alginat. Pada penelitian ini ditelaah metoda konjugasi alginat dengan reaksi oksidasi periodat dan reduksi aminasi. Penelitian diawali dengan pemetaan potensi protein dari sejumlah koleksi alga Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan konjugasi alginat dengan benzilamina dan ?-lisin. Kondisi reaksi optimal konjugasi dipelajari dengan menelaah pengaruh rasio substrat dengan oksidator dan reduktor. Alginat yang dikonjugasikan dengan benzilamina, mampu bertindak sebagai surfaktan karena membentuk misel pada pH asam, sedangkan dari senyawa alginat terkonjugasi ?-lisin, diperoleh produk berupa hidrogel dengan metoda pembentukan ikatan silang basa Schiff menggunakan gelatin. Hidrogel ini memiliki keunggulan karena ikatan yang terbentuk berupa pseudokovalen, menghasilkan hidrogel sifat self-healing. Dengan menggunakan kondisi konjugasi optimal, maka metoda modifikasi selanjutnya digunakan untuk membentuk alginat terkonjugasi lektin wheat germ aggulitinin (WGA). Mikropartikel dari alginat terkonjugasi WGA disintesis dengan metoda emulsifikasi dan ikatan silang ionik. Mikropartikel kemudian dimuat dengan kurkumin, pola pelepasan, hemakompatabilitas dan sitotoksisitinya diamati. Hasil penelitian menunjukkan enkapsulasi kurkumin dengan mikropartikel menghasilkan model pelepasan yang diperpanjang, dan pada konsentrasi rendah mikropartikel menunjukkan sifat hemakompatibel.

Alginates are one of the natural polysaccharides that are found in numerous applications in biomedical science and engineering. This is due to the favorable properties of alginates, including biocompatibility, low toxicity, abundant availability, and ease of gelation. Chemical functionalization is one way to generate alginate derivatives with low molecular weight and high cell interactions. In this research conjugation method via periodate oxidation and reductive amination was studied. The research began with algae protein’s potential mapping from a few of Indonesian algae collection. The second part of the research was to conjugate the alginate with benzylamine and ?-lysine. We studied the effect of substrates against oxidation and reduction agents towards reaction yields. The benzylamine conjugated alginate was producing micelle on acidic pH, makes it suitable to acts as surfactant. From the ?-lysine conjugated alginate, we produced hydrogel by using gelatin to form Schiff base crosslinking. This hydrogel was linked by pseudocovalent linker which generates its self-healing properties. With conjugation optimum condition, alginate was conjugated with WGA lectin. Microparticles from alginate conjugated WGA were prepared through emulsification and ionic crosslinking. The microparticle was loaded with curcumin. The released pattern, hemacompatability and cytotoxicity of microparticle were investigated. The results show that encapsulation of curcumin with microparticle was released in prolonged manner and at low concentration, microparticle was hemocompatible."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulya Fauziah
"Amoksisilin trihidrat memiliki waktu tinggal yang singkat di dalam lambung. Penghantaran obat dengan sistem mengapung dikembangkan agar sediaan dapat dipertahankan di lambung dalam waktu yang lama. Pada penelitian ini, disintesis hidrogel full-IPN kitosan-PNVP sebagai sediaan penghantar obat amoksisilin trihidrat dengan sistem mengapung yang mengandung agen pembentuk pori NaHCO3 dan CaCO3 dengan komposisi kitosan:PNVP 70:30 (% b/b), 2% asetaldehida 0,1 M, 1% inisiator amonium persulfat (APS), 1% MBA, waktu polimerisasi 0,5 jam, dan variasi konsentrasi 0%; 1%; 5%; 10%; dan 15% NaHCO3 dan CaCO3. Karakterisasi hidrogel dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR, dan mikroskop stereo optik. Pengujian yang dilakukan diantaranya adalah uji porositas, uji daya apung in vitro, efisiensi penjerapan serta pelepasan amoksisilin trihidrat pada pH 1,2. Hidrogel full-IPN NaHCO3 menunjukkan porositas yang lebih besar dengan waktu awal mengapung yang lebih singkat daripada hidrogel full-IPN CaCO3 dan keduanya dapat membuat matriks mengapung lebih dari 12 jam. Hidrogel full-IPN CaCO3 menunjukkan pola pelepasan yang terkontrol dan efisiensi penjerapan amoksisilin yang lebih tinggi daripada NaHCO3. Konsentrasi agen pembentuk pori yang menghasilkan penjerapan dan pelepasan amoksisilin trihidrat yang optimum dari matriks hidrogel yaitu 5% NaHCO3 dan 10% CaCO3.

Amoxicillin trihydrate has a short residence time in the stomach. Floating drug delivery systems were prepared to prolong the presence of the dosage form within the stomach at the desire period of time. In this research, full-IPN hydrogel chitosan-PNVP as carrier for floating drug delivery of amoxicillin trihydrate containing NaHCO3 and CaCO3 as pore forming agents were synthesized with the composition chitosan: PNVP 70:30 (% w/w), 2% acetaldehyde 0.1 M, 1% initiator ammonium persulfate (APS), 1% MBA, 0.5 hours of the polymerization reaction time, and variation of the concentration 0%; 1%; 5%; 10%; and 15% of NaHCO3 and CaCO3. The hydrogels and microcapsules were characterized by FTIR spectrophotometer and stereo microscope. The effect of pore forming agents on the porosity, in vitro bouyancy, drug entrapment efficiency, and in vitro release were investigated. Hydrogel which contained NaHCO3 showed higher porosity with shorter floating lag time than CaCO3 and both been able to make the hydrogels floating more than 12 hours. CaCO3 incorporated hydrogels showed controlled drug release profile and higher drug entrapment efficiency than NaHCO3. The concentration of pore forming agents which had an optimum drug entrapment efficiency and release were found at 5% NaHCO3 and 10% CaCO3 pore forming agents."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65612
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kwok, Kevin
"Pirfenidon yang dihantarkan secara peroral mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga memerlukan dosis tinggi dan berpotensi menyebabkan efek samping sistemik. Oleh karena itu, pengembangan rute alternatif bagi pirfenidon perlu dilakukan. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sistem penghantaran intrapulmonal berbasis solid lipid nanoparticles (SLN) dapat terdeposit dengan baik pada area alveolus paru-paru. Namun, karakteristik SLN dapat dipengaruhi oleh rasio lipid terhadap obat, jenis dan konsentrasi polimer. Oleh karena itu, optimisasi dengan metode permukaan respon perlu dilakukan untuk memperoleh formula SLN pirfenidon (P-SLN) yang optimal untuk penghantaran intrapulmonal. Lima belas formula disusun berdasarkan desain Box Behnken dengan tiga faktor yaitu, rasio lipid terhadap obat, jenis polimer dan konsentrasi polimer, serta tiga respon, meliputi ukuran partikel, PDI dan efisiensi penjerapan. Formula P-SLN optimal dikarakterisasi meliputi morfologi, kadar lembab, performa aerodinamik, studi disolusi dan stabilitas. Hasil optimisasi menunjukkan bahwa P-SLN optimal tersusun dari rasio lipid terhadap obat 6:1 dan 0,5% Plasdone K-29/32 (FO1). P-SLN FO1 memiliki bentuk sferis dengan ukuran partikel 212,67 nm, PDI 0,39, efisiensi penjerapan 95,02%, dan kadar lembab 1,59%. FO1 memiliki mass median aerodynamic diameter berkisar antara 0,54–12,12 μm. Selain itu, FO1 melepaskan pirfenidon sebanyak 89,61% dan 69,28% dalam medium pH 4,5 dan pH 7,4 selama 45 menit. Sebagai kesimpulan, FO1 terbukti memiliki karakteristik yang sesuai untuk menghantarkan pirfenidon melalui rute intrapulmonal.

Orally administration of pirfenidone undergoes first-pass metabolism, hence requires high dose level and leads to systemic side effects. Therefore, it is necessary to develop an alternative route of administration for pirfenidone. Previous research reported that the solid lipid nanoparticle-based (SLN) intrapulmonary drug delivery system (IPDDS) was deposit well in the alveolar region of the lungs. However, the characteristics of SLN could be influenced by lipid-to-drug ratio, polymer type and concentration. Therefore, optimization using response surface methodology was carried out to obtain the optimized pirfenidon-loaded SLN (P-SLN) formula for IPDDS. Box-Behnken design was applied to create 15 formulas comprising three factors, including lipid-to-drug ratio, type and concentration of polymer and three responses, including particle size, PDI and entrapment efficiency. The optimized P-SLN formula was characterized, including morphology, moisture content, aerodynamic performance, dissolution and stability studies. The optimization results yielded an optimized P-SLN comprised a lipid-to-drug ratio of 6:1 and 0.5% Plasdone K-29/32 (FO1). The P-SLN FO1 had a spherical shape with a particle size of 212.67 nm, PDI of 0.39, entrapment efficiency of 95.02%, and moisture content of 1.59%. FO1 had a mass median aerodynamic diameter ranging from 0.54–12.12 μm. In addition, FO1 release 89.61% and 69.28% pirfenidone for 45 minutes in buffer medium pH 4.5 and pH 7.4. In conclusion, FO1 was proven to have an appropriate IPDDS characteristics for delivering pirfenidone."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariloka Danumaya
"Pada penelitian ini, disintesis hidrogel semi-IPN kitosan-poli(N,N-Dimetil Akrilamida) yang akan dijadikan sebagai sediaan penghantar obat amoksisilin trihidrat dengan sistem mengapung yang mengandung agen pembentuk pori K2CO3 dan KHCO3 dengan metode in situ loading dan post loading. Hidrogel yang telah disintesis dievaluasi kemampuan swelling, derajat ikat silang, efisiensi loading obat, porositas, daya apung, efisiensi penjeratan obat, serta pelepasan obat secara in vitro. Enkapsulasi mikrokapsul dilakukan pada hidrogel yang memiliki waktu awal mengapung paling cepat. Karakterisasi hidrogel dilakukan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR), Spektrofotometer UV-vis, dan mikroskop stereo optik. Sifat pelepasan amoksisilin trihidrat akan diteliti secara in vitro pada pH 1,2 dan diukur menggunakan spektrofotometer UV-vis. Agen pembentuk pori yang memberikan hasil waktu awal mengapung terbaik adalah KHCO3 15 %. Berdasarkan hasil yang didapat, porositas yang dihasilkan akan semakin besar seiring kenaikan konsentrasi agen pembentuk pori. Sedangkan KHCO3 memberikan porositas yang lebih besar daripada K2CO3. Pada hidrogel KHCO3 15 % yang tersalut obat dengan metode in situ memberikan efisiensi yang besar tetapi pelepasan tidak terkontrol sedangkan untuk metode post loading memiliki efisien yang rendah namun pelepasan obatnya dapat terkendali. Penelitian ini juga melakukan pembandingan efisiensi dan disolusi terhadap CaCO3 dengan KHCO3, dimana CaCO3 menghasilkan efisiensi lebih besar dan disolusi (pelepasan) obat lebih terkontrol. Jadi diantara CaCO3 dengan KHCO3, hidrogel dengan agen pembentuk pori CaCO3 dapat dijadikan sebagai agen pembentuk pori.

In this study, a semi-IPN chitosan-poly(N,N-Dimethyl Acrylamide) hydrogel was synthesized which would be used as preparations for delivery of amoxicillin trihydrate drug with a floating system containing pore-forming materials K2CO3 and KHCO3 with in situ loading and post-loading methods. The synthesized hydrogels were evaluated for swelling ability, degree of cross-linking, drug loading efficiency, porosity, buoyancy, drug entrapment efficiency, and drug release in vitro. Microcapsule encapsulation was carried out on the hydrogel which had the fastest initial floating time. Hydrogel characterization was carried out using Fourier Transform Infra Red (FTIR), UV-vis spectrophotometer, and optical stereo microscope. The release properties of amoxicillin trihydrate were investigated in vitro at pH 1.2 and measured using a UV-vis spectrophotometer. The pore-forming material that gives the best initial buoyancy time is 15% KHCO3. Based on the results obtained, the resulting porosity will be greater as the concentration of the pore-forming agent increases. While KHCO3 provides greater porosity than K2CO3. In 15% KHCO3 hydrogel coated with drug, the in situ method provides high efficiency but the release is not controlled, whereas the post loading method has low efficiency but controlled drug release. This study also compared the efficiency and dissolution of CaCO3 with KHCO3, where CaCO3 resulted in greater efficiency and more controlled drug dissolution (release). So between CaCO3 and KHCO3, a hydrogel with a pore-forming agent CaCO3 can be used as a pore-forming agent."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>