Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66657 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Amrida Syahrani
"Skripsi ini membahas penilaian kapasitas fiskal dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah pada pembentukan Kabupaten Pangandaran serta kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalamnya. Kelayakan kapasitas fiskal menjadi faktor dominan dalam pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 untuk menjamin kelangsungan hidup daerah. Penelitian ini dilakukan menggunakan post positivist melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam analisis penelitian ini diantaranya teori otonomi daerah, pembentukan daerah otonom, dan kapasitas fiskal daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian kapasitas fiskal pembentukan Kabupaten Pangandaran dkategorikan kurang mampu, karena tidak memenuhi syarat minimum penilaian kemampuan keuangan. Namun dari segi kemampuan ekonomi, daerah induk dan calon kabupaten Pangandaran berada pada kategori mampu. Di samping itu, dalam penilaian kemampuan keuangan dan ekonomi pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 terdapat beberapa ketentuan yang kurang jelas dan longgar.

This thesis is discusses the assessment of fiscal capacity in the establishment a new autonomous regions based on PP No. 78 Tahun 2007 about Procedure of Establishment, Abolition, and Unification Region that is used in the establish of Pangandaran Regency, as well as the weaknesses contained therein. The proper fiscal capacity became a dominant factor in establish a new autonomous region based on PP No. 78 Tahun 2007 to ensure the survival of the region. This research used the post-positivist approach through data collection techniques with in-depth interview and document study. The theory is used to analyze this research include regional autonomy, the establishment autonomous regions, and local fiscal capacity.
The results showed that the assessment of the fiscal capacity of the establishment the Pangandaran Regency categorized less capable, because it does not achieve the minimum level of financial capability assessment. But in terms of the ability of economy, main region and new region are capable. In addition, in the assessment of the financial and economic capability to the establishment autonomous regions based on PP 78 of 2007, there are several provisions that are less obvious and loose.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surabaya: Jawa pos Institute of Pro-otonomi , 2005
352 INO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004
352 INO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Peraturan pemerintah No. 23 Tahun 2011 merestruktur musyawarah pimpinan daerah (Muspida) yang diatur dalam PP No. 19 tahun 2010 menjadi forum koordinasi pimpinan daerah (Forkompimda). PP No. 23/2011 tersebut mengatur komposisi pimpinan daerah yang ikut dalam Forkompimda pada level Provinsi, namun tidak ditingkat kabupaten / kota. Dalam konteks perencanaan pembangunan di daerah, hal ini menimbulkan permasalahan karena desentralisasi dan otonomi daerah berfokus pada wilayah Kabupaten/Kota. Kajian ini menggunakan konsep Centripetal Democratic Governance untuk merekomendasikan elemen pimpinan daerah yang harus duduk dalam forkompimda di tingkat kabupaten/kota. Hasil kajian menunjukkan bahwa keberadaan PP tersendiri (kemudian diikuti dengan kepres) yang menegaskan bentuk hubungan kerjasama dan koordinasi antara kepala daerah provinsi, dan kabupaten/kota dengan unsur-unsur forkompimda mutlak diperlukan. Aturan ini terpisah dan independen tidak menjadi bagian dari aturan alinnya. Sehingga akan terlihat fokus dalam penataan kelembagaan forkompimda yang ada."
JBTI 1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
"Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing.
Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance.
Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB.
1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah:
(a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan.
3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik.
4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB;
(a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara.
Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat.
Rekomendasi penelitian ini meliputi:
(a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yossi Ihsan
"Skrispi ini mengidentifikasi arah perjuangan Bangsa Moro di Filipina mulai dari pasca-Perjanjian Tripoli hingga pembentukan Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM), dari tahun 1976 sampai dengan 1990. Pergerakan Bangsa Moro pasca-Perjanjian Tripoli mengalami diversifikasi, terutama arah perjuangannya. Hal ini didorong oleh faktor internal dan eksternal Bangsa Moro. Sebelum tahun 1976, pergerakan-pergerakan Bangsa Moro mempunyai tuntutan yang sama yaitu, pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Filipina. Setelah itu, muncul tuntutan membentuk
wilayah otonomi Muslim di Filipina Selatan. Jatuhnya kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos di tahun 1986 membuka kembali sistem demokrasi di Filipina. Sistem ini memberikan jaminan suatu daerah membentuk wilayah otonomi. Pada tahun1990 ARMM resmi berdiri, setelah sebelumnya Qorazon Aquino menandatangani Republic Act No. 6734 tahun 1989.

This thesis identifies the direction of the Bangsa Moro struggle in the Philippines from the Tripoli Agreement to the formation of the Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM), from 1976 to 1990. Bangsa Moro movement of post-Tripoli Agreement experiencing diversifying, especially the struggle. This is driven by internal and external factors of Bangsa Moro. Prior to 1976, movements of the Bangsa Moro to have the same demands, that is secession from the Unitary Republic of the Philippines. After that, new demands arise, the establishment of autonomous region of Muslim in South Philippines. The falls of President Ferdinand Marcos in 1986 re-open the democratic systems in the Philippines. This system guarantees a region to form an autonomous region. In 1990 ARMM was established, after previously signed law Republic Act No. 6734 in 1989 by Qorazon Aquino."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S70302
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Futuhal Arifin
"Nowadays, there are many robotic applications being developed to do tasks autonomously without any interactions or commands from human. Therefore, developing a system which enables a robot to do surveillance such as detection and tracking of a moving object will lead us to more advanced tasks carried out by robots in the future. AR.Drone is a flying robot platform that is able to take role as UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Usage of computer vision algorithm such as Hough Transform makes it possible for such system to be implemented on AR.Drone. In this research, the developed algorithm is able to detect and track an object with certain shape and color. Then the algorithm is successfully implemented on AR.Drone quadcopter for detection and tracking.
Saat ini, ada banyak aplikasi robot yang telah dikembangkan untuk melakukan suatu tugas secara autonomous tanpa interaksi atau menerima perintah dari manusia. Oleh karena itu, mengembangkan sistem yang memungkinkan robot untuk melakukan tugas pengawasan seperti deteksi dan tracking terhadap suatu objek yang bergerak akan memungkinkan kita untuk mengimplementasikan tugas-tugas yang lebih canggih pada robot di masa mendatang. AR.Drone adalah salah satu platform robot terbang yang dapat berperan sebagai UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Penggunaan algoritma com-puter vision seperti Hough Transform memungkinkan sistem semacam itu dapat terimplementasi pada AR.Drone. Pada penelitian ini, algoritma yang diterapkan mampu melakukan deteksi dan tracking ter-hadap suatu objek berdasarkan bentuk dan warna tertentu. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini me-nunjukkan sistem deteksi dan tracking objek secara autonomous dapat diimplementasikan pada quad-copter AR.Drone."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Munawwaroh
"ABSTRAK
Pemekaran daerah yang menghasilkan daerah-daerah otonom baru
menjadi fenomena yang menarik di Indonesia saat ini. Dalam 10 tahun
desentralisasi, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan 2009, daerah otonom di
Indonesia sudah bertambah mencapai 205, yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten, dan 34 kota. Kini, hingga akhir tahun 2013 tercatat jumlah daerah
yang ada di Indonesia sebanyak 539 daerah otonom, terdiri dari 34 provinsi, 412
kabupaten, dan 93 kota. Demokrasi pasca reformasi memang memberi ruang yang
besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke melalui munculnya daerah-daerah otonom baru. Tapi di sisi lain,
kinerja daerah hasil pemekaran tersebut tidak berjalan secara maksimal. Sejumlah
evaluasi yang dilakukan pemerintah maupun lembaga kredibel lainnya
membuktikan bahwa pemerintahan daerah otonom baru tidak berjalan secara
efektif dan efisien. Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang mengalami
penambahan daerah otonom baru yang jumlahnya cukup siginifikan juga layak
untuk dievaluasi. Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah
daerah otonom baru menggunakan skala indeks dan ketimpangan dengan
menyertakan daerah otonom lama sebagai pembanding. Hasilnya, kinerja
pemerintah daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008-
2012 masih berada di bawah kinerja pemerintah daerah otonom lama. Namun
demikian, pembangunan di daerah otonom baru sudah berjalan cukup baik yang
dibuktikan dengan sejumlah indeks kinerja yang selisih angkanya tidak begitu
jauh berbeda dengan daerah otonom lama.

ABSTRACT
Rapid proliferation of regional administrations has resulted new
autonomous regions becomes an interesting phenomena in Indonesia nowadays.
In 10 years of decentralization, from 1999 to 2009, the autonomous region in
Indonesia has increased to reach 205, which consists of 7 provinces, 164
regencies, and 34 cities. Now, until the end of 2013 there are 539 autonomous
regions, consists of 34 provinces, 412 regencies, and 93 cities. Democracy in the
post reform does give a large space to improve the welfare of Indonesian people
from Sabang to Merauke through the emergence of new autonomous regions. But
on the other hand, the performances were not running optimally. A number of
evaluations by government or other credible institutions proved that the new
autonomous regional governments do not run effectively and efficiently. South
Sumatra province as one of province having new autonomous regions should be
evaluated. This study evaluated the government performance of the new
autonomous regions using the index scale and imbalance by including old
autonomous regions as a comparison. As a result, the performance of the new
autonomous regions in South Sumatra Province in 2008-2012 is still under the old
autonomous regions performance. However, the development of new autonomous
regions has been running quite well, as proved by index numbers, is not really
different from the old autonomous regions."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Sri Natih Sudhiastiningsih
"Tulisan ini menjabarkan fenomena variasi respons individu petani terhadap realisasi kebijakan pemerintah yang dilaksanakan secara ?top-down? pada masa otonomi daerah sekarang ini. Studi ini bertujuan untuk memahami proses perubahan sosial serta masalah teoretis lainnya dengan memperhatikan faktor-faktor konstekstual dari munculnya variasi tersebut. Individu adalah agen aktif dalam proses interpretasi fenomena dan pengambilan keputusan. Dengan menggunakan pendekatan etnografi dan kontekstualisasi progresif, penulis dapat menjabarkan variasi respons petani Desa Kahuman, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, saat Program Inpari 13 berlangsung. Selama satu musim tanam Inpari 13 di tahun 2011, petani Kahuman memberikan respons berbeda, mulai dari proses penerimaan program, realisasi tanam sampai pengendalian hama melalui penyemprotan. Munculnya variasi respons ini menunjukkan bahwa individu petanilah yang tetap menentukan segala keputusan dalam setiap praktik pengelolaan pertanian yang mereka lakukan.

This manuscript describes the phenomenon of variation in farmers? individual responses to the realization of ?top- down? government policy implemented during regional autonomy. The study aims to understand the process of social change as well as other theoretical problems with attention to contextual factors of the emergence of such variations. Individuals are active agents in interpreting phenomena and make decisions. Using an ethnographic approach and progressive contextualization, I am able to describe the variation in responses of Kahuman village farmers, Polanharjo Subdistrict, Klaten Regency, when Inpari 13 Programme was carried out. During the growing season of Inpari 13 in 2011, Kahuman?s farmers responded differently to program admission process, realization of planting, and pest control through spraying. The emergence of the varied responses indicates that individual farmers still determine all decisions within each farm management practices that they do."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>