Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160469 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christine Ayu
"Resistensi antibiotik yang terjadi secara global memunculkan kekhawatiran dalam keberhasilan terapi pengobatan infeksi bakteri, khususnya bakteri patogen. Bakteriosin adalah Peptida Anti Mikroba (PAM) yang diproduksi oleh bakteri di ribosom, sebagai fungsi pertahanan terhadap bakteri lain yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan bakteri penghasilnya. Awalnya, bakteriosin dimanfaatkan sebagai pengawet makanan alami. Namun, bakteriosintelah diteliti lebih lanjut sebagai terapi pengobatan infeksi bakteri. Lysostaphin diketahui memiliki efek sinergis dalam kombinasi dengan antibiotik Polymixin B terhadap inhibisi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Penelitian ini bertujuan utuk melihat adanya efek yang sinergis dari kombinasi antibiotik lain dengan BLIS yang dihasilkan bakteri Streptococcus macedonicus MBF 10-2 dan Weissella confusa MBF 8-1 terhadap bakteri multiresistensi MRSA.Uji aktivitas dilakukan dengan metode difusi sumur agar dengan menginjeksikan campuran masing - masing larutan BLIS dengan antibiotik ke dalam sumuran logam yang ditancapkan pada medium yang telah ditumbuhkan bakteri. Efek sinergis dilihat dari penambahan zona hambat yang dihasilkan dari masing - masing kombinasi BLIS dan antibiotik yaitu Kloramfenikol, Vankomisin, Ampisilin, dan Tetrasiklin.Peningkatan zona hambat diperoleh dari kombinasi BLIS dari Streptococcus macedonicus MBF 10-2dengan antibiotik Kloramfenikol dan Ampisilin dan dari BLIS dari Weissella confusa MBF 8-1 dengan Kloramfenikol.

Antibiotic resistance, which happening globally, causes a big concern about the success of bacterial-infections treatment therapy, especially caused by pathogens. Bacteriocin is an Anti-microbial peptide (AMP) which produced by bacteria ribosomally as a defense mechanism against other bacteria, which is closely related with the bacteria producer. At the early introduction, bacteriocin wasfirstlyused as food preservatives. Furthermore, bacteriocin is investigated as an anti-microbial agent for infection therapy. Lysostaphin was known its synergistic effect towards inhibitory of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), when combined with antibiotic Polymixin B. The goal of this research was to get know the synergistic effect from combination between BLIS produced by Streptococcus macedonicus MBF 10-2 dan Weissella confusa MBF 8-1 with another antibiotics against multiresistance bacteria MRSA. Well Agar Diffusion Method was used for the activity test by injecting combination of each BLIS and antibiotics inside a well on a medium with bacteria. Synergistic effect was interpreted by the increasing of inhibition zone resulted from each combination between BLIS and antibiotics used which were Chloramphenicol, Vancomycin, Ampicillin, and Tetracycline. The increase of inhibition zone resulted from combination of BLIS from Streptococcus macedonicus MBF 10-2 with Chloramphenicol and Ampicilin and also of BLIS from Weissella confusa MBF 8-1 with Chloramphenicol."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S61168
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Galih Priadi
"Resistensi antibiotik menjadi permasalahan medis yang serius. Salah satu solusi permasalahan resistensi adalah kombinasi antibiotik dengan bakteriosin. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat aktivitas inhibisi bakteriosin dari Weissella confusa MBF8-1 dan Streptococcus macedonicus MBF10-2 yang dikombinasikan dengan ampisilin, tetrasiklin, vankomisin dan kloramfenikol terhadap Streptococcus pneumoniae. Bakteriosin yang diuji belum murni, masih berupa fraksi supernatan sehingga disebut Bacteriocin-Like Inhibitory Substance (BLIS). Pengaruh BLIS dilihat melalui uji aktivitas dengan metode difusi sumur agar. Hasil menunjukkan kombinasi BLIS dari Weissella confusa MBF8-1 menunjukkan peningkatan zona hambat pada kombinasi dengan ampisilin dan tetrasiklin dengan peningkatan terbesar pada tetrasiklin. Kombinasi BLIS Streptococcus macedonicus MBF10-2 menunjukkan peningkatan zona hambat pada kombinasi dengan seluruh antibiotik uji yaitu ampisilin, tetrasiklin, vankomisin dan kloramfenikol dengan peningkatan terbesar pada kloramfenikol.

Antibiotic resistance is a serious medical issues. One of the solution for this issue is by combining the use of antibiotics with bacteriocin. This study was aimed to find the inhibition activity of bacteriocins from Weissella confusa MBF8-1 and Streptococcus macedonicus MBF10-2 in combination with ampicillin, tetracycline, vancomycin and chloramphenicol towards Streptococcus pneumoniae. Bacteriocins used in this study were not pure, so it’s called Bacteriocin-Like Inhibitory Substance (BLIS). The effect of BLIS activity was observed by using well diffusion method. Results showed that combination of BLIS from Weissella confusa MBF8-1 increased inhibition zone in combination with ampicillin and tetracycline with the highest increase in tetracycline. BLIS from Streptococcus macedonicus MBF10-2 in combination with ampicillin, tetracycline, vancomycin and chloramphenicol showed increasing inhibition zone with the highest increase in chloramphenicol."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S61096
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardini Tri Indarti
"ABSTRAK
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang
mengakibatkan peradangan di banyak organ. Prevalensi LES terus meningkat dan
angka mortalitasnya pun tinggi. Etiologi LES sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Namun, beberapa faktor risiko yang diduga dapat mempengaruhi
kejadian LES. Salah satunya adalah riwayat alergi obat, terutama antibiotik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat alergi antibiotik
dengan kejadian LES setelah dikontrol oleh variabel kovariat berupa riwayat
keluarga menderita LES, riwayat menderita penyakit autoimun lain, usia
menarche, dan perilaku merokok di RSUP Dr. Hasan Sadikin Kota Bandung.
Penelitian ini dilakukan bulan April-Juli 2014 dengan menggunakan desain kasus
kontrol. Kasus adalah pasien LES wanita yang berobat ke Poli Rematologi RSUP
Dr. Hasan Sadikin Kota Bandung. Kontrol merupakan pasien wanita yang berobat
ke Poli Penyakit Dalam dengan dilakukan individual matching dengan kasus pada
usia (rentang 3 tahun), dan asal daerah. Data dianalisis dengan analisis univariat,
bivariat, dan multivariat dengan uji regresi logistik conditional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa riwayat alergi antibiotik cenderung meningkatkan risiko
kejadian LES sebesar 2,34 kali (OR=2,34, 95% CI 0,66-8,22) setelah dikontrol
oleh riwayat keluarga LES, riwayat autoimun, dan perilaku merokok. Untuk kelas
antibiotik penisilin/sefalosporin, risiko meningkat menjadi 2,75 kali (OR=2,75,
95% CI 0,65-11,59).

ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus ( SLE ) is an autoimmune disease that results in
inflammation in many organs. The prevalenceof SLE is increasing and the
mortality rate was high. Etiology of SLE has not known. However , several risk
factors could be expected to affect the incidence of SLE . One of them is a history
of drug allergies, especially antibiotics. This study aimed to determine the
relationship between antibiotic allergy history and SLE after controlled by family
history,other autoimmune disease, age of menarche, and smoking behavior in Dr.
Hasan Sadikin Hospital Bandung. This study was conducted from April to July
2014 using case-control design. Cases were women SLE patients who went to
Rheumatology Department Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. Control were a
female patient who went to Internist Department with individually matched at the
age ( 3 years range ), and region. Data were analyzed with univariate, bivariate ,
and multivariate conditional logistic regression. The results showed that a history
of antibiotic allergy tends to increase the incidence of SLE for 2.34 times ( OR =
2.34 , 95 % CI 0.66 to 8.22 ) after controlled by SLE family history, history of
autoimmune, and smoking behavior. For the class of penicillin/cephalosporin, the
risk increased to 2.75 times ( OR = 2.75 , 95 % CI 0.65 to 11.59) ."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T43364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafni Pamela Sari
"lnstalasi farmasi di Rumah sakit pcrlu mendapatkan pengelolaan yang baik, karena instalasi ini bcrperan penting dalam menenlukan baik tidaknya pclayanan Rumah Sakit dan juga pengeluaran Rumah Sakit unluk lnstalasi ini cukup besar. Di Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bekasi pengeluaran unmk Instalasi Faxmasi Tahun 2008 sebesar 36,24 % dari total pengeluaran Rumah Sakil, dan dari jumlah tersebut 46,19 % adalah untuk obat, sedangkan jumlah item obat adalah 11733. Dcngan jumlah investasi yang sangat besar tersebut (Rp. 8.000.000.000,-) dengan jumlah item obat yang cukup banyak memerlukan suatu sistem perencanaan yang akurat. Pengawasan obat dengan jumlah item yang banyak akan lebih mudah dilakukan apabila dibuat pengelompokkan obat tcrsebut menurut tingkat pemakaian, tingkat invcstasi dan tingkat kckritisannya. Sedangkan perencanaan dapat dilakukan dengan melakukan forecasiing menggunakan data tahun yang lalu.
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bckasi dan merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan operation research. Melalui pendekatan kualitatif diharapkan diperoleh informasi tentang Manajemen Farmasi, khususnya perencanaan. Sedangkan dengan operation research didapatkan bahwa dengan suatujumlah persedian yang optimal akan mengcluarkan biaya yang lebih rendah dan sekaligus dapat mengoptimalkan pelayanan. Objek yang akan cliteliti adalah obat golongan antibiotik, karena obat golongan ini banyak dipakai 30,55 % dari total pemakaian obat dan investasi umuk obat ini cukup besar yaitu 24,05 % dari total investasi obat selama tahun 2008. Dilakukan Analisis ABC indeks kritis untuk obat golongan ini dan dihitung prakiraanjumlah kebutuhan bulan januari, Februari dan Maret 2009 untuk antibiotik kelompok A dalam analisis ABC indeks kritis dengan metodc Sinynle Exponenfial Smoothing dengan dengan 0. = 0,3 dan patokan perhitungan adalah MAD. Selanjutnya dibandingkan dengan perencanaan yang dilakukan Rumah Sakit dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon. Untuk antibiotik kelompok Ajuga dilakukan perhitunganjumlah pemesanan optimal.
Hasil yang dipcrolch dari pcnclitian ini dikctahui bahwa lnstalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bekasi. Dalam melakukan perencanaan memakai metode Moving Average dan pemesanan dengan Order Cyrcle Sysrem namun tidak diperolch alasan yang jelas mcngcnai pcmilihan metode ini. Dari analisis ABC indeks kritis diperoleh I2 item antibiotik yang termasuk kelompok A, 50 kelompok B dan 222 kelompok C. Ke-I2 item antibiotik yang termasuk kelompok A tersebut merupakan 51,99 % dari total pemakaian dan 20,73 % dari total invcstasi. Hasil jzrecastmg terhadap kelompok A setelah dibandingkan dengan perencanaan yang dibuat Rumah Sakit ternyata tidak ada perbedaan yang bermakna.
Mengacu pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melakukan pengelompokan antibiotik menurut analisis ABC indeks kritis dapat mcmpcmwdah pcngawasan karena dapat ditentukannya prioritas pengawasan, untuk itu disarankan kepada Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bekasi untuk membuat pengelompokkan semua obat menurut analisis ABC indeks kritis untuk mcmudahkan pcngawasan. Dari hasil _/brecasiing yang dilakukan dan setelah diuji ternyala tidak ada pcrbedaan yang bermakna dengan yang telah dilakukan Rumah Sakit, artinya metode perencanaan yang dilakukan Rumah Sakit telah cukup baik, disarankan untuk dipcrtahankan.

Pharmacy unit should have good management in relation to its role in detemmining the quality of service in the hospital and the cost of this unit is quite high indeed. In Bekasi Public Hospital City 2008, the cost of this unit is about 36,24 % of total cost ofthe hospital from such amount 46,19 % is paid for |.733 items of medicine. Referring a large amount of such invest beside a large number of medicine (Rp. 8.000.000.000,-), the accurate planning is required. Managing of large number of medicine could be simplified by grouping the medicine according to level of use, level of invest and level of critical point. Therefore, the planning could be done by forecasting using the last data.
This reseach was conducted in pharmacy unit of Bekasi Public Hospital City by qualitative and quantitative approach with operation research. By quantitative approach, we expect the information about pharmaceutical management especially planning. More over, operation research could be define that optimal amount of stock would cost less even optimize the sen/ice. Object the research are antibiobics, because the using of this kind of medicine is 30.55 % of total number of all kind of medicine and the invest of antibiotics is quite large number, namely 24.05 % of total invest all kind of medicine a long 2008. Critical index ABC analysis is carried out. Requirement in January, February and March 2009 have been estimated for A group of antibiotics by this analysis using Simple Exponential Smoothing method with U. = 0.3 and calculation point is MAD. Futhennore, the value were compared with the data of planning which done by the hospital by wilcoxon signed ranks test.
The result showed that phamiaceutical instalation in Bekasi Public Hospital City, planning was carried out by Moving Average Method, meanwhile ordering was carried out by Order Cycle System, unfortunately there are no definitive reason in choosing these methods. Critical index ABC analyses found that I2 items of antibiotics were belonging A groups, 50 were belonging B groups and 222 were belonging C groups. All of I2 items of antibiotics belonging A groups were 35.90 % of total using and 28.46 % of total invest. The result of forecasting to A groups compared with planning carried out by hospital showed no significant difference.
The data showed that grouping the antibiotics according to critical index ABC analyses could simply the controlling because the priority of controlling could be determined. Therefore, it could be adviced to the Bekasi Public Hospital City to grouping all the medicine according to the critical index ABC analyses. The result of foreecasting and test showed no significant difference with those carried out by the hospital. It meaned that planning method carried out by hospital is good enough and could be continue.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T34258
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Mustika Sari
"Infeksi daerah operasi (IDO) merupakan infeksi pada sayatan atau organ yang terjadi setelah pembedahan. Upaya pencegahan terhadap infeksi ini menjadi semakin penting dengan jumlah operasi yang semakin meningkat. Pemberian antibiotik profilaksis seringkali dianggap sebagai pencegahan IDO yang paling mudah dilakukan. Namun ketidaktepatan dalam penggunaannya dapat menjadi faktor risiko penyebab terjadinya IDO. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah di RSUD Kota Depok pada periode Januari-Maret 2020. Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan disain penelitian deskriptif cross sectional dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis dilakukan pada sampel sebanyak 139 menggunakan metode Gyssens. Hasil analisis ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis dengan metode Gyssens yaitu pada kategori VI sebanyak 138 sampel (99,28%), kategori V sebanyak 83 sampel (60,14%) kategori IVa sebanyak 52 sampel (94,54%). Untuk kategori IVb sampai IIc memiliki nilai yang sama yaitu sebanyak 0 sampel. Kategori I semua sampel tidak tepat waktu pemberian sehingga analisa berakhir pada kategori I dengan jumlah 3 sampel.(100%). Sedangkan angka kejadian infeksi daerah operasi pada pasien bedah di RSUD Kota Depok periode 1 Januari -19 Maret 2020 sebanyak 2,87%. Faktor penyebab terjadinya infeksi daerah operasi karena ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis pada waktu pemberian, kepatuhan pasien dan penyakit penyerta (komorbid).

Surgery area infection (SSI) is an infection of the incision or organ that occurs after surgery. prevention against this infection is becoming increasingly important with an increasing number of operations. Treatment of prophylactic antibiotics as the easiest prevention of SSIs. However, inaccuracy in its use can be a factor in causing SSI. The purpose of this study was to analyze the inaccuracy of prophylactic use in surgical patients at RSUD Kota Depok in the period January-March 2020. This study was conducted observational with a cross-sectional descriptive study and data collection was carried out retrospectively. The analysis was carried out on a sample of 139 using the Gyssens method. The results of the inaccuracy analysis of prophylactic antibiotics using the Gyssens method were 138 samples (99.28%) in category VI, 83 samples (60.14%) in category IVa as many as 52 samples (94.54%). For categories IVb to IIc, there are 0 samples. Category I all samples are not presented on time so that the analysis ends in category I with a total of 3 samples. (100%). Meanwhile, the incidence of infection in the surgical area in surgical patients at the Depok City Hospital for the period January 1-March 19 2020 was 2.87%. Factors causing regional infection due to inappropriate use of prophylactic antibiotics at the specified time, patient and comorbidities (comorbid)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Indah Pratiwi
"Antibiotik merupakan obat yang digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotik perlu dimonitoring karena penggunaan yang berlebihan dapat meningkatkan terjadinya resistensi. Evaluasi penggunaan obat secara kuantitatif dapat dilakukan menggunakan metode ATC/DDD (ATC/Anatomical Therapeutic Chemical, DDD/Defined Daily Dose) yang merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lima antibiotik yang paling banyak digunakan di Puskesmas Kecamatan Matraman dan di seluruh jaringan Puskesmas wilayah Kecamatan Matraman pada tahun 2022 dengan metode ATC/DDD. Data pemakaian antibiotik didapatkan dari Laporan Penggunaan dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Lima antibiotik yang paling banyak digunakan di Puskesmas Kecamatan Matraman tahun 2022 yaitu amoksisilin kaplet 500 mg (59.2%), ciprofloxacine tablet 500 mg (10.7%), cefadroxil kapsul 500 mg (7.6%), amoksisilin sirup kering 125 mg/5 mL (5.6%), dan thiamfenikol kapsul 500 mg (4.6%). Sementara lima antibiotik yang paling banyak digunakan di seluruh jaringan Puskesmas wilayah Kecamatan Matraman tahun 2022 yaitu amoksisilin kaplet 500 mg (58.0%), ciprofloxacine tablet 500 mg (11.0%), cefadroxil kapsul 500 mg (6.8%), amoksisilin sirup kering 125 mg/5 mL (4.8%), dan isoniazid tablet 300 mg (3.1%).

Antibiotics are drugs used to treat infections caused by bacteria. The use of antibiotics needs to be monitored because excessive use can increase the occurrence of resistance. Quantitative evaluation of drug use can be done using the ATC/DDDD (ATC = Anatomical Therapeutic Chemical; DDD = Defined Daily Dose) method, which is a classification and measurement system for drug use. The purpose of this study is to find out the five most widely used antibiotics in the Matraman District Health Center and in the entire Matraman District Health Center network in 2022 using the ATC/DDDD method. Antibiotic usage data is obtained from the Drug Use Report and Request Sheet. The five most widely used antibiotics at the Matraman District Health Center in 2022 are amoxicillin capsules 500 mg (59.2%), ciprofloxacine tablets 500 mg (10.7%), cefadroxil capsules 500 mg (7.6%), amoxicillin dry syrup 125 mg/5 mL (5.6%), and thiamphenicol capsules 500 mg (4.6%). Meanwhile, the five most widely used antibiotics in the entire Puskesmas network in Matraman District in 2022 are amoxicillin caplets 500 mg (58.0%), ciprofloxacine tablets 500 mg (11.0%), cefadroxil capsules 500 mg (6.8%), amoxicillin dry syrup 125 mg/5 mL (4.8%), and isoniazid tablets 300 mg (3.1%)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliarna Sari Dewi
"ABSTRAK
Hubungan Ketidaktepatan Pemberian Antibiotika Profilaksis denganKejadian Infeksi Daerah Operasi Post Laparatomi di RSPADGatot Soebroto Tahun 2014-2017Pembimbing : dr. Asri C. Adisasmita MPH., M.Phil., Ph.DInfeksi Daerah Operasi IDO termasuk salah satu dari Healthcare AssociatedInfection rsquo;s HAI 39;s yang paling banyak ditemukan seiring dengan meningkatnya jumlahtindakan operasi. Laparatomi merupakan jenis tindakan operasi yang paling berisikountuk terjadinya infeksi. Salah satu upaya pencegahan infeksi daerah operasi denganpemberian antibiotika profilaksis yang diberikan sebelum, saat dan sampai 24 jam setelahoperasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan ketidaktepatan pemberian antibiotika profilaksisdengan kejadian infeksi daerah operasi post laparatomi di RSPAD Gatot Soebroto Tahun2014-2017. Desain penelitian menggunakan studi kasus kontrol dengan pengambilan datasecara retrospektif menggunakan 268 sampel dari data rekam medik pasien post operasilaparatomi di RSPAD Gatot Soebroto pada tahun 2014-2017, kasus yaitu 67 pasien yangterjadi IDO dan kontrol 201 pasien tidak terjadi IDO . Analisa data dengan uji regresilogistik dengan conditional matching. Hasil penelitian menunjukkan waktu pemberianantibiotika profilaksis pre operasi tidak tepat memiliki risiko 5.17 kali terhadap kejadianinfeksi daerah operasi OR= 5.17 ; 95 CI=1.85-14.40 setelah dikontrol dengan variabellain. Variabel kovariat yang berhubungan terhadap kejadian infeksi daerah operasi yaitudiagnosis operasi digestif OR=3.51; 95 CI=1.04-11.83 , kadar albumin OR= 3.83;95 CI= 1.30-11.25 dan penyakit penyerta OR = 4.05 ; 95 CI=1.40-11.66 . Hasilpenelitian ini dapat menjadi masukan bagi RSPAD Gatot Soebroto untuk lebihmeningkatkan kepatuhan penggunaan antibiotika profilaksis secara tepat waktu, jenis,dosis dan durasi pemberian sesuai panduan untuk mencegah kejadian infeksi daerahoperasi.Kata Kunci: Antibiotika Profilaksis, Infeksi daerah operasi, Laparatomi.

ABSTRACT
Correlation of Inappropriate Antibiotic Prophylaxis with PostLaparatomy Surgical Site Infection at Gatot Soebroto Army CentralHospital Year 2014 to 2017Counsellor dr. Asri C. Adisasmita MPH., MPhil., Ph.DSurgical Site Infection SSI is one of the most commonly infection foundHealthcare Associated Infection 39 s HAI 39 s type as surgery procedure increases.Laparotomy is the type of surgery that is the most at risk for infection. One of theprevention efforts of surgical site infection is antibiotic prophylaxis administrationbefore, during and up to 24 hours after surgery in cases of clinically missing signs ofinfection. This study aims to determine the correlation of inappropriate antibioticsprophylaxis with the post laparatomy surgical site infection in Army Central Hospital RSPAD Gatot Soebroto from 2014 to 2017. The research design was case controlstudy with retrospective data retrieval, using 268 samples from medical record data ofpost laparotomy patient at Army Central Hospital RSPAD Gatot Soebroto from 2014to 2017, cases of 67 patients with SSI and control of 201 patients without SSI . Datawas analyzed using regression logistic conditional matching test. The result of thestudy showed that the inappropriate timing of antibiotic administration in preoperativetreatment made a risk of 5.17 times higher on the incidence of surgical site infection OR 5.17 95 CI 1.85 14.40 after control of other variables. Covariate variables,related to the incidence of surgical site infection, was digestive operation diagnose OR 3.51 95 CI 1.04 11.83 , albumin level OR 3.83 95 CI 1.30 11.25 and comorbid disease OR 4.05 95 CI 1.40 11.66 . The results of this studyhopefully can be an input data for Army Central Hospital RSPAD Gatot Soebroto,to improve adherence of correct timing, type, dose and duration of antibioticsprophylaxis according to guidelines of surgical site infection prevention.Key words Antibiotic Prophylaxis, Surgical Site Infection, Laparatomy"
2018
T50778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan dan diresepkan di rumah sakit, salah satunya di Instalasi Gawat Darurat. Tingginya frekuensi penggunaan antibiotik tidak dapat dipisahkan dari risiko meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotik, sehingga dapat menimbulkan kegagalan terapi antibiotik. Pemakaian antibiotik di suatu fasilitas kesehatan harus selalu di evaluasi agar dapat menghindari hal tersebut. Metode Defined Daily Dose merupakan salah satu metode evaluasi pemakaian obat secara kuantitatif yang sudah terstandardisasi oleh WHO. Penelitian ini menghitung estimasi jumlah pemakaian antibiotik di Instalasi Gawat Darurat RSCM pada bulan Januari-Maret 2015. Penelitian menggunakan 109 sampel rekam medik pasien IGD RSCM yang mendapatkan terapi antibiotik. Hasil perhitungan menunjukkan kuantitas pemakaian antibiotik di IGD RSCM diperkirakan sangat tinggi dengan tiga antibiotik yang paling sering digunakan yaitu ampisilin-sulbaktam (33,59 DDD/1000 kunjungan pasien), sefiksim (20,02 DDD/1000 kunjungan pasien), dan seftriakson (14,44 DDD/1000 kunjungan pasien, The antibiotic is one of the most frequently drug that prescribed in the hospital, especially in the emergency room. High frequency of antibiotic usage is related to the risk of antibiotic resistance that can impact to therapy failure. Antibiotic usage in health care facility must be evaluated in order to prevent that problem. Defined Daily Dose is a method to evaluate antibiotic usage quantitatively which is standardized by WHO. This study calculates estimation amount of antibiotic usage in Emergency Room RSCM on January-March 2015. This study includes 109 medical records from patients of emergency room RSCM that got antibiotic therapy. The result showed that the quantity of antibiotics usage in Emergency Department of RSCM is estimated to be very high with the three most frequently used are ampicillin-sulbactam (33,59 DDD/1000 patients visit), cefixime (20,02 DDD/1000 patients visit), and ceftriaxone (14,44 DDD/1000 patients visit).]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Tingginya frekuensi penyakit tropik infeksi di Indonesia dan peran antibiotik yang sangat vital dalam terapinya menyebabkan tingginya pula potensi penggunaan antibiotik dalam jumlah yang besar di Indonesia. Kondisi ini dapat berujung pada resistensi antibiotik jika penggunaan antibiotik tidak dipantau. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kuantitas antibiotik yang diterima oleh pasien rawat inap dewasa di RSCM dengan penyakit tropik infeksi selama periode Juni 2014-2015. Data terkait terapi setiap sampel penelitian diperoleh melalui penelusuran rekam medik, yang kemudian dihitung dengan rumus defined daily dose (DDD). Hasil menunjukkan bahwa secara umum, antibiotik dengan kuantitas tertinggi adalah seftriakson (60,85 DDD/100 pasien-hari). DDD tersebut tergolong tinggi karena terdapat 18 pasien dari 34 sampel penelitian yang menerima terapi seftriakson. Untuk setiap diagnosis yang ditemukan pada sampel penelitian, seftriakson juga menjadi yang tertinggi pada demam tifoid (33,27 DDD/100 pasien-hari). Ditemukan pula penggunaan seftriakson pada pasien DBD (7,83 DDD/100 pasien-hari) dan malaria (3,20 DDD/100 pasien-hari) yang kemungkinan disebabkan oleh adanya infeksi sekunder pada pasien. Sementara itu, pada pasien leptospirosis, kuantitas penggunaan antibiotik tertinggi adalah meropenem (24,91 DDD/100 pasien-hari)., As the frequency of communicable disease in Indonesia is still high and antibiotic’s role as its therapy is vital, there is a possibility that the amount of antibiotic used in Indonesia is also high. This condition may lead to antibiotic resistance. This research was conducted to quantify antibiotic usage of patient with tropical infection diseases in Ward A Building of RSCM during June 2014-2015. Data were collected from Medical Record Unit. Then, then data were calculated using defined daily dose (DDD) formula. The result showed that the highest antibiotic used to treat the patients, generally, was ceftriaxone (60,85 DDD/100 patient-days). This number is high as from 34 patients, 22 of them received ceftriaxone as part of their medication. For each diagnosis found in the sample of population, ceftriaxone was also the highest in thyphoid fever (29,78 DDD/100 patient-days). The use of ceftriaxone was also found in dengue hemorrhagic fever (7,48 DDD/100 patient-days) and malaria (2,55 DDD/100 patient-days). There is probability that those patients also had bacterial infection. Meanwhile, in patient with leptospirosis, the highest antibiotic used was levofloxacin (21,98 DDD/100 patient-days).]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Purwono
"Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat meningkatkan angka kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil extended spectrum beta-lactamase (ESBL). Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL berbeda di berbagai rumah sakit, dan dapat mempersulit pengobatan, memperpanjang lama rawat, dan meningkatkan angka kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM dan hubungannya dengan penggunaan antibiotika. Penelitian merupakan studi cross sectional menggunakan 111 data sekunder hasil uji resistensi ESBL dari pemeriksaan mikrobiologi kultur sesuai standar The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) dan rekam medik pasien ICU Pusat RSCM dalam tahun 2011.
Hasil uji laboratorium menunjukkan 8 dari 111 sampel (7,2%) mengalami infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Data dianalisis dengan uji chi-square, p=0,05. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa RP>1 dengan nilai kemaknaan p=1.000 dan IK95% 1.039; 1.179. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan antibiotika dengan kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM pada tahun 2011.;

Irrational use of antibiotics can increase the incidence of infection by extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) producing Enterobacteriaceae. Prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae varies among hospitals, and which its resistance could complicate the treatment, extend hospital length of stay, and increase the mortality.
The aim of this study is to determine the prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae and its association with antibiotic use. This study was a cross sectional study, involving 111 secondary data derived from ESBL resistance test of culture examinations which used the standardized method according to The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) and patients? medical records in Central ICU RSCM in 2011.
Laboratory test results showed that 8 from 111 samples (7,2%) were infected with Enterobacteriaceae producing ESBL. Data were analyzed using chi-square test, p=0,05. Statistical analysis results were RP>1 with the value of significance p=1.000 and 95% CI 1.039; 1.179. It is concluded that there is no association between antibiotic use and ESBL-producing Enterobacteriaceae infection in Central ICU RSCM in 2011.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>