Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97551 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Devina Esmeralda
"Latar belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronik residif dengan manifestasi utama berupa gatal dan iritasi kulit yang berkepanjangan. Antihistamin oral telah digunakan secara luas untuk mengurangi gatal pada DA namun efektivitasnya masih kontroversial. Setirizin merupakan antihistamin-1 generasi kedua yang digunakan pada penyakit alergi, termasuk gatal yang berhubungan dengan DA.
Tujuan. Untuk menilai efektivitas penggunaan setirizin dibandingkan dengan plasebo dalam terapi DA.
Metode. Studi klinis acak terkontrol dilakukan selama Agustus 2014 sampai Mei 2015. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi usia 6 bulan sampai 15 tahun dengan DA derajat sedang dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan diterapi dengan setirizin (0,25mg/kgBB, dua kali sehari untuk pasien < 2 tahun dan sekali sehari untuk pasien > 2 tahun) sedangkan kelompok kontrol mendapat plasebo. Derajat keparahan DA pada kedua kelompok diukur dengan indeks SCORAD dan kekambuhan DA dievaluasi setiap bulan selama 6 bulan.
Hasil penelitian. Total 38 subjek penelitian (18 plasebo, 20 setirizin) ikut serta dalam penelitian dan dianalisis dengan per protocol analysis. Karakteristik dasar meliputi usia, jenis kelamin dan riwayat atopi tidak berbeda di kedua kelompok. Derajat keparahan DA berdasarkan indeks SCORAD pada kedua kelompok adalah derajat sedang (kelompok kontrol 31,5 vs kelompok perlakuan 34,75). Selama pengobatan 6 bulan derajat keparahan DA menurun bertahap dengan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan (31,5 menjadi 0 vs 34,75 menjadi 0, p=0,200). Kekambuhan DA pada kelompok setirizin tidak lebih rendah daripada kelompok kontrol dengan tidak terdapat perbedaan bermakna (2 dari 17 subjek vs 2 dari 14 subjek, p=1,000).
Simpulan. Pengobatan setirizin selama 6 bulan pada anak dengan DA derajat sedang tidak dapat mengurangi kekambuhan maupun derajat keparahan penyakit.

Background. Atopic dermatitis (AD) is chronic relapsing skin disease, characterized by intense itching and inflammation. Oral antihistamine has been widely used to reduce pruritus of AD but the effectiveness is still controversial. Cetirizine is a second generation H1 selective antagonist that has been used in allergic diseases, including AD-associated pruritus.
Objective. To assess the efficacy of cetirizine compared with placebo for the treatment of AD.
Method. A randomized clinical controlled trial was performed during August 2014 until May 2015. Eligible patients aged 6 months ? 15 years with moderate AD was divided into treatment group and control group. Treatment group were treated for 6 months with cetirizine (0.25 mg/kg twice daily for patients < 2 years old, once daily for patients > 2 years old), while the control group was given placebo. The severity of AD between both groups was measured by SCORAD index and recurrence was evaluated every month for 6 month-period.
Results. A total of 38 subjects (18 with placebo, 20 with cetirizine) participated in this study and a per protocol analysis was performed. The baseline characteristics, including age, gender and atopic history were similar in both groups. The severity of AD according to SCORAD index were moderate (control group 31,5 vs treatment group 34,75). During 6 month-study period, the severity of AD decreased steadily with no statistical differences between placebo and treatment group (31,5 to 0 vs 34,75 to 0, p=0,200). The recurrence of AD in cetirizine group were not lower than control group with no statistical differences (2 from 17 subject vs 2 from 14 subject, p=1,000).
Conclusion. Cetirizine treatment in children with atopic dermatitis for 6 month-period cannot reduce reccurence and disease severity of moderate AD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Halim
"Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak.
Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.
Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851).
Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.

Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak.
Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851).
Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rachmawati
"

ABSTRAK

 

Nama                   : Yenny Rachmawati

Program studi      : Dermatologi dan Venereologi

Judul                    : Perbandingan Efektivitas serta Keamanan antara Krim Pelembap Niasinamid 4% dan Virgin Coconut Oil 30% untuk Pencegahan Sekunder Dermatitis Tangan Akibat Kerja pada Perawat Intensive Care Unit : Uji Klinis Acak Tersamar Ganda

 

Latar belakang:  Dermatitis tangan akibat kerja (DTAK) sering terjadi pada perawat Intensive Care Unit (ICU) terutama pada individu yang rentan akibat pajanan iritan berupa hand rub alcohol dan aktivitas cuci tangan berulang. Penggunaan pelembap adalah salah satu rekomendasi untuk perawatan kulit pada DTAK. Niasinamid memiliki efek antiinflamasi dan dapat memperbaiki fungsi sawar kulit. Vigin coconut oil (VCO) kaya akan kandungan lipid dan asam laurat, serta memiliki efek oklusif. Sampai saat ini belum ada panduan dan referensi jenis pelembap untuk pencegahan sekunder pada DTAK.

 

Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas serta keamanan antara krim pelembap niasinamid 4% dan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU.

 

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap perawat ICU dengan DTAK pada bulan September hingga Oktober 2019. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian, mendapat niasinamid 4% atau VCO 30% sesuai dengan randomisasi blok. Pengolesan pelembap dilakukan dua kali sehari selama 28 hari. Perbaikan klinis dinilai dengan parameter skor Hand Eczema Scoring Index (HECSI) dan penilaian sawar kulit dinilai dengan transepidermal water loss (TEWL) serta hidrasi kulit dengan skin capasitance (SCap) pada hari ke-14 dan hari ke-28. Keamanan dinilai berdasarkan efek samping selama penelitian.

 

Hasil: Didapatkan 46 SP pada masing-masing kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%. Terdapat penurunan skor HECSI pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28. Median skor HECSI  di kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%  pada hari ke-14 yaitu 6,5 dan 6 (p 0,160), serta pada hari ke-28 yaitu 4 dan 3 (p 0,046). Pada hari ke-28, perbedaan skor HECSI kedua kelompok secara statistik bermakna, namun secara klinis tidak bermakna. Terdapat penurunan nilai TEWL pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline, namun pada area palmar di kelompok niasinamid 4% terdapat sedikit peningkatan nilai TEWL pada hari ke-28. Terdapat peningkatan nilai SCap pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline. Kedua pelembap dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal.

 

Kesimpulan: Niasinamid dan VCO efektif memperbaiki klinis DTAK pada perawat ICU, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna antara krim pelembap niasinamid 4% dengan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU

 

Kata kunci: dermatitis tangan akibat kerja, efektivitas, keamanan, pelembap, niasinamid 4%, VCO 30%

 


ABSTRACT

 

Name                 : Yenny Rachmawati

Study Program : Dermatologi dan Venereologi

Title                   : Comparison of the Effectiveness and Safety between Moisturizing Cream Containing Niacinamide 4% and Virgin Coconut Oil 30% for Secondary Prevention of Occupational Hand Dermatitis in Intensive Care Unit Nurses: a Double Blind Randomized Clinical Trial

 

Background:  Occupational hand dermatitis (OHD) often occurs in intensive care unit (ICU) nurses, especially in individuals who are vulnerable due to irritant exposure e.g. hand rub alcohol and repeated hand washing activities. The use of moisturizer is one of the recommendations for skin care in OHD. Niacinamide which has anti-inflammatory effects and can improve the skin sawar function. Virgin coconut oil (VCO) is rich in lipids and lauric acid, and has an occlusive effect. Until now there are no guidelines and reference types of moisturizers for secondary prevention in OHD.

 

Objective: To assess the difference of effectiveness and safety between moisturizing cream containing niacinamide 4% and VCO 30%  for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses

 

Methods: A double blind randomized controled trial was performed in ICU nurses with OHD during September–October 2019. Patients who fulfilled inclusion criteria and willing to be involved in the study were allocated to niacinamide 4% or VCO 30% based on block randomization.  Moisturizer were applied twice daily for 28 days. Measurement of Hand Eczema Scoring Index (HECSI) scores were conducted to evaluate the clinical improvement . Measurement of transepidermal water loss (TEWL) were conducted to evaluate the barrier skin and skin capacitance (SCap) values were conducted to evaluate skin hydration on 14th and 28th day. Safety were assessed based on side effects during research.

 

Results: There were 46 subjects in each arms of intention, the niacinamide 4% arm and in the VCO 30% arm. There were a decrease in HECSI scores in both treatment groups on 14th and 28th  day. The median score of HECSI in niacinamide 4% and VCO 30% on 14th day were 6.5 and 6 (p 0.160), and on 28th day were 4 and 3 (p 0.046). On 28th day, the difference in HECSI scores of the two groups were statistically significant, but clinically not significant. There were a decrease in TEWL values in both treatment groups on 14th and  28th day compared to baseline, but there were a slight increase in TEWL values in the palmar area in the niacinamide group on 28th day. There were an increase in SCap values in both treatment groups on 14th and 28th day compared to baseline. Both moisturizers were well tolerated with minimal side effects.

 

Conclusion: Niacinamide 4% and VCO 30% were effective in improving clinical OHD in ICU nurses, although there were no significant difference between moisturizing cream containing niacinamide 4% and virgin coconut oil 30% for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses.

 

Keywords: occupational hand dermatitis, effectiveness, safety, moisturizer, niacinamide 4%, VCO 30%

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Molly Dumakuri Oktarina
"Latar belakang: Dermatitis atopik DA merupakan penyakit inflamasi kulit kronik tersering pada anak terutama pada bayi. Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah terjadinya defek pada sawar kulit. Pemakaian pelembab pada DA merupakan komponen kunci pada perawatan dasar kulit.
Tujuan: Mengetahui efek pemakaian pelembab untuk mencegah terjadinya dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat penyakit alergi keluarga.
Metode: Penelitian uji klinis terkontrol dengan alokasi random yang dilaksanakan di RSIA Budi Kemuliaan, Jakarta selama periode Mei 2015 ndash; Mei 2016.
Hasil: Subyek terdiri dari 44 bayi kelompok perlakuan yang mendapat pelembab dan 35 bayi kelompok kontrol. Sebanyak 24 subjek lost to follow up selama pemantauan 6 bulan. Bayi kelompok kontrol lebih cepat mengalami DA dibanding kelompok perlakuan median waktu 2 bulan vs 4 bulan; hazard ratio 13,01; p=0,02 IK 95 = 1,50-112,94 . Analisis statistik perbedaan efek pelembab kelompok kontrol dan perlakuan adalah p=0,138; RR=2,26 0,83 ndash;6,14.
Simpulan: Secara analisis statistik tidak ada perbedaan efek pelembab untuk mencegah dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat penyakit alergi keluarga di Jakarta, Indonesia antara kelompok yang tidak menggunakan pelembab dan kelompok yang menggunakan pelembab.Walaupun demikian, waktu kejadian dermatitis atopik pada kelompok yang tidak menggunakan pelembab lebih cepat dibanding kelompok yang menggunakan pelembab. Kata kunci: dermatitis atopik, bayi baru lahir, pelembab

Background: Atopic dermatitis AD is the most common chronic inflammatory skin disease in children particularly in baby. Skin barrier deffect is one of the important factor in AD. Application of moisturizer is a key in basic skin treatment.
Objective: To investigate the effect of moisturizer to prevent atopic dermatitis AD in high risk baby for AD history of AD in parent or siblings.
Methods: We performed a clinical trial with allocation random in RSIA Budi Kemulian Jakarta on May 2015 May 2016.
Result: Forty four babies were allocated in moisturizer group and 35 babies in control group. There were 24 subjects were lost to follow up in 6 months period. Subjects in control group developed AD earlier compared to those of in moisturizer group median time 2 months vs 4 months hazard ratio 13.01 p 0,02 95 CI 1.50 112.94 . Statistical analysis in incidence of AD between two groups is p 0.138 RR 2.26 0.83 ndash 6.14.
Conclusion: There were no statistically difference in incidence of AD after 6 months follow up between moisturizer and control group but AD developed earlier in control group compared to moisturizer group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Zamriya
"Latar belakang: Dermatitis atopik DA dapat memiliki dampak negatif pada kualitas hidup. Instrumen yang baku untuk menilai kualitas hidup anak dengan dermatitis atopik di Indonesia belum ada.
Tujuan: mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner children rsquo;s dermatology life quality index CDLQI berbahasa Indonesia pada anak dengan dermatitis atopik.
Metode: Studi potong lintang pada Maret-April 2018 di RSCM dan praktik swasta konsultan alergi dan imunologi anak dengan subyek anak DA usia 4-14 tahun dan anak tanpa penyakit kulit matchingusia . Pasien dan atau orangtua mengisi kuesioner CDLQI berbahasa Indonesia. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian kuesioner dicatat. Pasien dan atau orangtua kemudian mengisi kuesioner CDLQI berbahasa Indonesia ulang dengan dipandu oleh peneliti.
Hasil: Enam puluh pasien, yang terdiri dari 30 pasien DA dan 30 pasien kontrol, diikutsertakan dalam penelitian. Kuesioner CDLQI valid dengan p< 0,01 dengan membandingkan skor kelompok DA dan kontrol. Koefisien korelasi Pearson r setiap pertanyaan dengan total didapatkan 0,284-0,752. Dua faktor dengan nilai 0,684-0,852 didapatkan dari analisis faktor. Reliabilitas yang baik didapatkan dengan Cronbach rsquo;s alpha0,775. Indeks kesepakatan ditunjukkan dengan Kappa 0,934-1 p

Background: Atopic dermatitis AD has negative impacts on quality of life. Standard instrument to measure quality of life of children with atopic dermatitis in Indonesia was not yet available.
Aim: to prove validity and reliability Bahasa Indonesia version of children's dermatology life quality index CDLQI in children with atopic dermatitis.
Methods: A cross sectional study was conducted on March April 2018 in RSCM and pediatric allergy and immunology consultant's private practice. The patients, 4 to 14 year old, with AD and with problems unrelated to the skin age matched were included to complete this questionnaire in Bahasa Indonesia with or without the help of parents. All the patients completed CDLQI again with the help of physician. The time to complete the questionnaire was recorded.
Results: Sixty patients, 30 patients with AD and 30 control patients, were enrolled in the study. The validity of the CDLQI Bahasa Indonesia version was p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Assyifa Millitania
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pada studi invivo, seperti indometasin dan diklofenak,, ketoprofen menghambat aktifitas enzim fosfolipase A2 yang memainkan peran penting dalam patogenesis pankreatitis. Tujuan : Mengetahui efektifitas ketoprofen suppositoria terhadap pencegahan pankreatitis pasca ERCP Metode : Uji klinis acak tersamar ganda ini dilakukan di Pusat Endoskopi Saluran Cerna dan ruang rawat inap Rumah Sakit Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo pada bulan oktober 2016 sampai dengan Januari 2017 terhadap 74 pasien ikterus obstruktif dewasa atau dengan indikasi ERCP lainnya. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan diberikan ketoprofen suppositoria atau plasebo dosis tunggal sesaat sebelum tindakan ERCP dan dievaluasi tanda dan gejala pankreatitis akut serta evaluasi ulang amilase lipase 24 jam pasca tindakan untuk menentukan adanya pankreatitis pasca ERCP. Derajat pankreatitis akut dinilai berdasarkan kriteria imrie modified glasgow pada 48 jam pasca ERCP Hasil : 74 subjek yang memenuh kriteria penelitian dirandomisasi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 37 pasien, terdapat 1 pasien dari setiap kelompok yang tidak dapat dikanulasi. Dilakukan analisis dengan prinsip intention to treat analysis, kedua kelompok sebanding dalam karakteristik demografis dan klinis termasuk faktor risiko terkait pasien dan prosedur. Insidens PPE pada kelompok ketoprofen sebanyak 13,5 5 sedangkan pada kelompok plasebo sebanyak 21,6 8 , Absolute Risk Reduction ARR = 0,081, Relative Risk RR = 0,625, Relative risk reduction RRR = 0,375, Number Needed to Treat NTT =12 95 IK=-9-25 . Terdapat laporan adverse event berupa perforasi usus pada 1 subjek. Kesimpulan: ketoprofen suppositoria menurunkan insidens pankreatitis pasca ERCP Kata Kunci : ketoprofen, insidens, pankreatitis pasca ERCP
ABSTRACT Background An invitro study showed ketoprofen as well as indomethacin and diclofenac inhibits the activity of phospholipase A2 that is supposed to play a major role in the pathogenesis of pancreatitis. Objectives To determine the effect of rectal suppository ketoprofen to prevent post ERCP pancreatitis Methods This randomized double blind controlled trial performed at Gastrointestinal Endoscopy Center and inpatient unit in Cipto Mangunkusumo National General Hospital during October 2016 to January 2017 among patients with obstructive jaundice and patients with other indications of ERCP. All subjects with inclusion criteria were treated with rectal ketoprofen or rectal placebo suppository single dose immediately before ERCP. Sign and symptoms of acute pancreatitis and serum amylase and lipase level observed in 24 hours after ERCP to determine post ERCP pancreatitis. Acute pancreatitis was graded according to the Imrie rsquo s modified Glasgow severity criteria in 48 hours after ERCP. Result In total, 74 subjects were randomized into two groups containing 37 subjects in each group. One patient in each group was failed for cannulation. We used intention to treat analysis, both groups were comparable regarding demographic and clinical factors. The incidence of PEP was 13,5 5 in ketoprofen group and 21,6 8 in placebo group, Absolute Risk Reduction ARR 0,081, Relative Risk RR 0,625, Relative risk reduction RRR 0,375, and Number Needed to Treat NTT 12 95 CI 9 ndash 25 . Reported adverse event was bowl perforation in 1 subject. Conclusion Rectal ketoprofen reduced the incidence of post ERCP pancreatitis Key Words Ketoprofen, Incidence, Post ERCP pancreatitis"
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Reza
"ABSTRAK
Latar belakang: Demam, pengurangan waktu tidur, nyeri dan reaksi lokal adalah
beberapa kejadian ikutan pasca imunisasi. Untuk mencegah hal tersebut baik
tenaga medis maupun orang tua memberikan profilaksis parasetamol pasca
imunisasi. Peraturam Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Pedoman
Imunisasi IDAI belum menetapkan secara tegas boleh atau tidaknya pemberian
profilaksis parasetamol pasca imunisasi.
Tujuan: Mengetahui efektivitas pemberian profilaksis parasetamol oral untuk
mencegah kejadian ikutan pasca imunisasi kombinasi DTwP-Hep B-Hib.
Metode: Uji Klinis tersamar acak ganda (double blind randomized control trialI)
dengan pemberian parasetamol dan plasebo pada pasien pasca imunisasi
kombinasi DTwP-Hep B-Hib di Puskesmas Kecamatan Kramat Jati dan
Puskesmas Kelurahan Batu Ampar selama September 2015 sampai Oktober 2015.
Satu hari pasca imunisasi, kelompok perlakuan diberikan parasetamol (40-50
mg/kgBB/hari), terbagi 4 dosis sedangkan kelompok kontrol, mendapatkan
plasebo. Selama empat hari pasca imunisasi dilakukan pengukuran suhu aksila,
lama tidur, dan reaksi inflamasi lokal.
Hasil: Subjek penelitian ini terdiri dari 100 bayi yang mendapatkan imunisasi
kombinasi DTwP-Hep B-Hib ketiga. Karakteristik dasar meliputi usia, jenis
kelamin, dan status gizi tidak berbeda di kedua kelompok. Subjek penelitian
mendapatkan profilaksis parasetamol (50 subjek) dan profilaksis plasebo (50
subjek). Seluruh subjek penelitian tidak demam, tidak mengalami gangguan tidur,
dan tidak ditemukan reaksi lokal. Pemberian parasetamol 24 jam pasca imunisasi
DTwP-Hep B-Hib menunjukkan penurunan suhu 0,1 OC - 0,2 OC yang bermakna
secara statistik (p < 0,05) pada 24 jam pertama pasca imunisasi. Pemberian
parasetamol menunjukkan waktu tidur yang lebih lama namun tidak bermakna
secara statistik (p>0,05) pada lama tidur.ABSTRACT
Background: Fever, decreased sleep time, pain and local reaction are adverse
event following vaccination especially DTwP vaccine. Parent and also medical
staff almost give paracetamol prophylactic to reduce adverse event after
vaccinantion. Peraturam Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Ministry of
Health Republic of Indonesia Health Law) and Pedoman Imunisasi IDAI
(Indonesia Pediatric Society Immunization Guideline) never explicitly allowed or
not prophylactic administration of paracetamol post immunization.
Objective: To asses the efficacy of prophylactic administration of paracetamol
compared with placebo for prevent adverse event after immunization.
Meth0d: A randomized double-blind clinical trials by adminisert paracetamol and
placebo in patients post-immunization DTwP - Hep B - Hib in Kramat Jati district
primary health care and Batu Ampar sub-distric primary health care during
September 2015 to October 2015. One day after vaccination , the treatment group
was given paracetamol (40-50 mg/kg/day) , divided into 4 doses , while the
control group was given placebo . Axillary temperature , time of sleep , and local
reactions was evaluated until 4 day after vaccination.
Result: Subjects of this study consisted of 100 infants (50 with paracetamol & 50
with placebo) after DTwP-Hep B-Hib third primary immunization. The baseline
characteristic including age, gender, and nutritional status were similar in both
groups . All subject showed no fever, no local reaction, and no sleep disturbance.
Prophylactic paracetamol 24 hours post DTwP-Hep B-Hib immunization showed
a decrease in temperature of 0.1 OC - 0.2 OC (p<0.05) in the first 24 hours postimmunization.
Administration of paracetamol showed longer sleep time (p> 0.05)
in the first 24 hours post- immunization.;Background: Fever, decreased sleep time, pain and local reaction are adverse
event following vaccination especially DTwP vaccine. Parent and also medical
staff almost give paracetamol prophylactic to reduce adverse event after
vaccinantion. Peraturam Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Ministry of
Health Republic of Indonesia Health Law) and Pedoman Imunisasi IDAI
(Indonesia Pediatric Society Immunization Guideline) never explicitly allowed or
not prophylactic administration of paracetamol post immunization.
Objective: To asses the efficacy of prophylactic administration of paracetamol
compared with placebo for prevent adverse event after immunization.
Meth0d: A randomized double-blind clinical trials by adminisert paracetamol and
placebo in patients post-immunization DTwP - Hep B - Hib in Kramat Jati district
primary health care and Batu Ampar sub-distric primary health care during
September 2015 to October 2015. One day after vaccination , the treatment group
was given paracetamol (40-50 mg/kg/day) , divided into 4 doses , while the
control group was given placebo . Axillary temperature , time of sleep , and local
reactions was evaluated until 4 day after vaccination.
Result: Subjects of this study consisted of 100 infants (50 with paracetamol & 50
with placebo) after DTwP-Hep B-Hib third primary immunization. The baseline
characteristic including age, gender, and nutritional status were similar in both
groups . All subject showed no fever, no local reaction, and no sleep disturbance.
Prophylactic paracetamol 24 hours post DTwP-Hep B-Hib immunization showed
a decrease in temperature of 0.1 OC - 0.2 OC (p<0.05) in the first 24 hours postimmunization.
Administration of paracetamol showed longer sleep time (p> 0.05)
in the first 24 hours post- immunization.;Background: Fever, decreased sleep time, pain and local reaction are adverse
event following vaccination especially DTwP vaccine. Parent and also medical
staff almost give paracetamol prophylactic to reduce adverse event after
vaccinantion. Peraturam Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Ministry of
Health Republic of Indonesia Health Law) and Pedoman Imunisasi IDAI
(Indonesia Pediatric Society Immunization Guideline) never explicitly allowed or
not prophylactic administration of paracetamol post immunization.
Objective: To asses the efficacy of prophylactic administration of paracetamol
compared with placebo for prevent adverse event after immunization.
Meth0d: A randomized double-blind clinical trials by adminisert paracetamol and
placebo in patients post-immunization DTwP - Hep B - Hib in Kramat Jati district
primary health care and Batu Ampar sub-distric primary health care during
September 2015 to October 2015. One day after vaccination , the treatment group
was given paracetamol (40-50 mg/kg/day) , divided into 4 doses , while the
control group was given placebo . Axillary temperature , time of sleep , and local
reactions was evaluated until 4 day after vaccination.
Result: Subjects of this study consisted of 100 infants (50 with paracetamol & 50
with placebo) after DTwP-Hep B-Hib third primary immunization. The baseline
characteristic including age, gender, and nutritional status were similar in both
groups . All subject showed no fever, no local reaction, and no sleep disturbance.
Prophylactic paracetamol 24 hours post DTwP-Hep B-Hib immunization showed
a decrease in temperature of 0.1 OC - 0.2 OC (p<0.05) in the first 24 hours postimmunization.
Administration of paracetamol showed longer sleep time (p> 0.05)
in the first 24 hours post- immunization.;Background: Fever, decreased sleep time, pain and local reaction are adverse
event following vaccination especially DTwP vaccine. Parent and also medical
staff almost give paracetamol prophylactic to reduce adverse event after
vaccinantion. Peraturam Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Ministry of
Health Republic of Indonesia Health Law) and Pedoman Imunisasi IDAI
(Indonesia Pediatric Society Immunization Guideline) never explicitly allowed or
not prophylactic administration of paracetamol post immunization.
Objective: To asses the efficacy of prophylactic administration of paracetamol
compared with placebo for prevent adverse event after immunization.
Meth0d: A randomized double-blind clinical trials by adminisert paracetamol and
placebo in patients post-immunization DTwP - Hep B - Hib in Kramat Jati district
primary health care and Batu Ampar sub-distric primary health care during
September 2015 to October 2015. One day after vaccination , the treatment group
was given paracetamol (40-50 mg/kg/day) , divided into 4 doses , while the
control group was given placebo . Axillary temperature , time of sleep , and local
reactions was evaluated until 4 day after vaccination.
Result: Subjects of this study consisted of 100 infants (50 with paracetamol & 50
with placebo) after DTwP-Hep B-Hib third primary immunization. The baseline
characteristic including age, gender, and nutritional status were similar in both
groups . All subject showed no fever, no local reaction, and no sleep disturbance.
Prophylactic paracetamol 24 hours post DTwP-Hep B-Hib immunization showed
a decrease in temperature of 0.1 OC - 0.2 OC (p<0.05) in the first 24 hours postimmunization.
Administration of paracetamol showed longer sleep time (p> 0.05)
in the first 24 hours post- immunization."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parikesit Muhammad
"Salah satu faktor penyebab kulit kering pada lanjut usia adalah penurunan konsentrasi asam hialuronat pada epidermis dan dermis. Asam hialuronat berat molekul kecil dianggap lebih efektif melembapkan kulit dibandingkan asam hialuronat berat molekul besar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang dilakukan pada 36 orang berusia 60-80 tahun dengan kulit kering di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga lokasi di tungkai bawah, yang dioleskan dua kali sehari. Penilaian skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), dan skor SRRC dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Nilai SCap lebih tinggi pada area pengolesan asam hialuronat berat molekul kecil dibandingkan dengan asam hialuronat berat molekul besar (56,37 AU vs 52,37 AU, p=0,004) dan vehikulum (56,37 AU vs 49,01 AU, p<0,001). Tidak terdapat perbedaan nilai TEWL dan skor SRRC yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada ketiga kelompok perlakuan. Pelembap yang mengandung asam hialuronat berat molekul kecil meningkatkan SCap lebih tinggi secara bermakna daripada asam hialuronat berat molekul besar dan vehikulum serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi kulit kering pada populasi lansia.

A contributing cause to dry skin is a reduced concentration of hyaluronic acid (HA) in both the epidermis and dermis. Low molecular weight HA (LMWHA) is believed to be more effective in replenishing skin hydration in aging skin compared to High Molecular Weight HA (HMWHA). A double-blind, randomized controlled trial was conducted on 36 residents of a nursing home in Jakarta, aged 60 and 80 years with dry skin. Following a week of preconditioning, each test subject was administered three distinct, randomized moisturizing lotions, to be topically applied to three separate sites on the leg. Skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), and SRRC scores were measured at weeks 0, 2, and 4. After four weeks of therapy, area that was treated with LMWHA showed greater SCap values compared to the area treated with HMWHA (56.37 AU vs 52.37 AU, p=0.004) and vehicle (56.37 AU vs 49.01 AU, p<0.001). All groups did not show any significant differences in TEWL and SRRC scores. No side effects were found in all groups. The application of a moisturizer containing LMWHA to the dry skin of elderly resulted in significant improvements in skin hydration compared to moisturizers containing HMWHA and vehicle. Furthermore, these moisturizers demonstrated similar safety in treating dry skin in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryawati Sukmono
"Latar Belakang: Pajanan nyeri menimbulkan efek merugikan baik pada neonatus kurang bulan maupun neonatus cukup bulan. Efek analgesik sukrosa pada penyuntikan intramuskular masih kontroversial. Efektivitas sukrosa untuk mengatasi nyeris saat vaksinasi hepatitis B pada neonatus cukup bulan belum pernah diteliti di Indonesia.
Tujuan: untuk mengetahui efek analgesik pemberian sukrosa disertai empeng saat vaksinasi hepatitis B pada neonatus cukup bulan.
Metode: penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda. Subjek secara random dibagi menjadi kelompok intervensi yang mendapatkan 2 mL sukrosa 24% disertai empeng, serta kelompok kontrol yang mendapatkan 2 mL aquabidestilata disertai empeng. Rasa nyeri yang dirasakan subjek dievaluasi dengan skor nyeri premature infant pain profile (PIPP).
Hasil: median skor PIPP pada kelompok yang diberikan sukrosa lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (6 (2-15) vs 11 (2-15), p <0,0001). Lama tangis subjek pada kelompok yang mendapat sukrosa lebih singkat dibandingkan kelompok kontrol (11 (0-33) detik vs 19 (0-100) detik, p <0,0001). Pemberian empeng tidak memberikan efek sinergis dalam menurunkan skor nyeri maupun lama tangis subjek. Pada penelitian ini ditemukan satu subjek yang mengalami desaturasi hingga saturasi oksigen <88% saat pemberian sukrosa, namun efek samping ini tidak memerlukan terapi khusus.
Simpulan: sukrosa secara statistik menurunkan skor nyeri PIPP dan lama tangis saat vaksinasi hepatitis B pada neonatus cukup bulan.

Background: Pain causes adverse effect for preterm and also term newborn. Analgesic effect of sucrose during intramuscular injection is still a controversy. Sucrose effectivity in reducing pain in term newborn during hepatitis B vaccination has not been studied in Indonesia.
Objective: to examine analgesic effect of sucrose with pacifier during hepatitis B vaccination in term newborn.
Method: we used consecutive sampling to reach 70 subjects. Subject was randomised into intervension group receiving 2 mL of 24% sucrose solution with pacifier, and control group receiving 2 mL aquadest with pacifier. Pain was evaluated with the premature infant pain profile (PIPP) scoring system.
Result: median PIPP score in intervension group was significantly lower than control group (6 (2-15) vs 11 (2-15), p <0,0001). Cry duration in intervension group was significantly shorter than control group (11 (0-33) second vs 19 (0-100) second, p <0,0001). Pacifier had no synergistic effect in lowering PIPP score and cry duration. Decreased oxygen saturation below 88% was found in one subject receiving sucrose but additional therapy was not needed.
Conclusion: Sucrose was statistically significant in reducing pain score and cry duration during hepatitis B vaccination in term newborn.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Kusumawardhani
"Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA.

TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>