Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180788 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suraiyah
"[ABSTRAK
Latar belakang: Ventilasi mekanik (VM) adalah prosedur yang dipilih untuk
menyelamatkan bayi dalam kondisi kritis, tetapi merupakan tindakan invasif dan
perlu pemantauan ketat untuk menghindari barotrauma dan volutrauma.
Ekstubasi merupakan upaya untuk penyapihan VM.
Tujuan: Mengetahui berapa prevalens keberhasilan ekstubasi dan prediktor apa
yang berperan dalam keberhasilan ekstubasi pada bayi di NICU RSCM.
Metode: Rancangan penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif
dengan menggunakan data RM yang lengkap untuk melihat prediktor keberhasilan
ekstubasi.
Hasil: Dari 60 RM yang dikumpukan, diperoleh data bayi yang berhasil
diekstubasi dan data dicatat tanda vital 72 jam kemudian didapatkan 55 (91,7%)
bayi yang berhasil diekstubasi dan 5 (8,3%) bayi tidak berhasil. Karakteristik
subyek penelitian adalah semua bayi yang dirawat di NICU, dengan UG antara 22
- 41 minggu dan BL berkisar antara 820 g sd 4100 g. Pada bayi yang diekstubasi
dengan merujuk pada hasil AGD, tidak berbeda bermakna antara keberhasilan
ekstubasi dengan normal tidaknya nilai AGD. Lama pemakaian VM berkisar
antara 1- 30 hari. Prediktor ekstubasi yang diteliti adalah setting VM meliputi
FiO2, PIP, flow trigger, IT, napas spontan, dan hasil AGD. Pengolahan data
dengan regresi logistik terbukti diantara semua prediktor ekstubasi, hanya FiO2
saja yang bermakna dengan p value 0.057 dan OR 0.76.
Simpulan: Prevalens keberhasilan ekstubasi adalah 91.7%. Hasil penelitian
menunjukkaan bahwa hanya rendahnya setting FiO2 yang terbukti secara statistik
sebagai prediktor keberhasilan ekstubasi.

ABSTRACT
Background: Mechanical ventilation (VM) is a procedure which is chosen to
save the baby in critical condition, bu it is an invasive procedure and need close
monitoring to avoid barotrauma and volutrauma. Extubation was an attempt to
weaning VM.
Objective: To determine prevalence and predictors of successful extubation in
infants in the NICU RSCM.
Methods: The study was design observational analytic research with cross
sectional design. Data collected by retrospectively using complete medical record
(MR) data to decided prevalence and predictors of successful extubation.
Results: Of the 60 MR was collected, the data obtained were successfully
extubated infants and data recorded vital signs 72 hours later obtained 55 (91.7%)
infants were successfully extubated and 5 (8.3%) infants did not succees.
Characteristics of the study subjects were all babies admitted to the NICU,
with GA between 22-41 weeks and BW ranged from 820 g up to 4100 g. Refer
to the results of blood gas analysis (BGA) normal or not was not significantly
different between succesful extubated. Long of used MV ranging between 1 to
30 days. Predictors of extubation were studied were MV settings include FiO2,
PIP, flow trigger, IT, spontaneous breath, and the results of BGA. Processing of
data by logistic regresion among all predictors extubation, only setting FiO2 are
significant with p value 0.057 and OR 0.76.
Conclusion: Prevalence successful extubation is 91.7%. Research results that
only the low setting FiO2 statistically proven as a predictor of extubation, Background: Mechanical ventilation (VM) is a procedure which is chosen to
save the baby in critical condition, bu it is an invasive procedure and need close
monitoring to avoid barotrauma and volutrauma. Extubation was an attempt to
weaning VM.
Objective: To determine prevalence and predictors of successful extubation in
infants in the NICU RSCM.
Methods: The study was design observational analytic research with cross
sectional design. Data collected by retrospectively using complete medical record
(MR) data to decided prevalence and predictors of successful extubation.
Results: Of the 60 MR was collected, the data obtained were successfully
extubated infants and data recorded vital signs 72 hours later obtained 55 (91.7%)
infants were successfully extubated and 5 (8.3%) infants did not succees.
Characteristics of the study subjects were all babies admitted to the NICU,
with GA between 22-41 weeks and BW ranged from 820 g up to 4100 g. Refer
to the results of blood gas analysis (BGA) normal or not was not significantly
different between succesful extubated. Long of used MV ranging between 1 to
30 days. Predictors of extubation were studied were MV settings include FiO2,
PIP, flow trigger, IT, spontaneous breath, and the results of BGA. Processing of
data by logistic regresion among all predictors extubation, only setting FiO2 are
significant with p value 0.057 and OR 0.76.
Conclusion: Prevalence successful extubation is 91.7%. Research results that
only the low setting FiO2 statistically proven as a predictor of extubation]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Juwita
"Latar Belakang: Pneumonia berat adalah infeksi saluran napas yang masih memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pasien pneumonia berat sering kali memerlukan intubasi untuk mencapai ventilasi yang adekuat. Terjadinya kegagalan ekstubasi dapat meningkatkan komplikasi dan mortalitas pada pasien, sehingga pasien dengan risiko gagal ekstubasi perlu dikenali sedini mungkin.
Tujuan: Mengetahui faktor yang dapat memprediksi kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat
Metode: Studi ini merupakan studi kohort retrospektif yang melibatkan pasien dengan pneumonia berat yang terintubasi dan dirawat di ICU/HCU RSCM pada tahun 2015-2019. Data pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium diambil dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-square atau uji Fischer, sementara analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi cox.
Hasil: Sebanyak 192 subjek pasien pneumonia berat dilibatkan dalam penelitian ini. Insidensi kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat di RSCM adalah 70,3%, dengan angka mortalitas pada pasien yang mengalami gagal ekstubasi adalah sebesar 85,2%. Dari analisis bivariat, didapatkan usia >60 tahun, merokok, Charlson Comorbidity Index sedang-berat, tidak adanya penyakit neuromuskular, terapi pengganti ginjal, prokalsitonin > 2 ng/mL, dan skor APACHE II ≥25 sebagai variabel yang berhubungan signifikan dengan kegagalan ekstubasi. Selanjutnya, analisis multivariat menemukan bahwa Charlson Comorbidity Index sedang-berat (p=0,002, HR 2,254, IK95% 1,353-3,755), dan prokalsitonin > 2 ng/mL (p<0,001, HR 1,859, IK95% 1,037-3,333) merupakan prediktor independen terhadap kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang secara independen merupakan prediktor kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat adalah Charlson Comorbidity Index sedang-berat, dan kadar prokalsitonin > 2 ng/mL.

Background: Severe pneumonia is a lower respiratory tract infection still presenting with a high a mortality rate. Patients with severe pneumonia often require intubation in order to achieve adequate ventilation. Extubation failure, however, is associated with increased complications and mortality. Therefore, it is crucial to recognize risk factors associated with extubation failure as soon as possible.
Objective: To determine the predictors associated with extubation failure in patients with severe pneumonia
Methods: A retrospective cohort study was conducted, which included patients with severe pneumonia who were intubated in ICU/HCU of Ciptomangunkusumo General Hospital over the period of 2015-2019. Patient characteristics and laboratory values were obtained from medical records. Bivariate analysis was performed with Chi-square or Fischer test, whereas multivariate analysis was performed with cox regression model.
Results: A total of 192 subjects with severe pneumonia was included in this study. Incidence of extubation failure among patients with severe pneumonia was 70,3%, with a mortality rate of 85,2%. Bivariate analyses found that age of >60 years, smoking history, moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index, procalcitonin > 2 ng/mL, not having neuromuscular disease, renal replacement therapy, and APACHE II score of ≥25 were significantly associated with extubation failure. In multivariate analysis, moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index (p=0,002, HR 2,254, 95% CI 1,353-3,755) and procalcitonin > 2 ng/mL (p<0,001, HR 1,859, 95% CI 1,037-3,333) were found to be independent predictors of extubation failure in patients with severe pneumonia.
Conclusion: Moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index and procalcitonin level of > 2 ng/mL were independent predictors of extubation failure in patients with severe pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Sana Putra
"Latar belakang : Ventilator mekanik masih diperlukan pada neonatus untuk menyelamatkan bayi dalam kondisi distress napas yang berat. Ekstubasi dini sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi karena pemakaian ventilator yang lama. Oleh karena itu diperlukan prediktor untuk mengetahui faktor risiko yang mengakibatkan kegagalan ekstubasi dini.
Metode : Penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di Unit NICU RSCM. Data diperoleh dari RM selama periode waktu 2017 – 2022. Penelitian dilakukan terhadap subyek yang memerlukan ventilator mekanik dan dapat diekstubasi dalam waktu 5 hari (ekstubasi dini). Subyek yang memerlukan reintubasi dalam waktu 72 jam dikategorikan sebagai kelompok yang gagal ekstubasi.
Hasil : Kegagalan ekstubasi dini di NICU RSCM sebesar 70/180 (38,9%). Hasil analisis regresi logistik (AUC 0,824): usia gestasi < 28 minggu (p = 0,006, RR 3,39; IK 95%: 1,64-19,02), Usia gestasi (28–32) minggu (p = 0,228, RR 0,29; IK 95%: 0,67-5,52), pH < 7,35 (p = 0,541, RR 1,23: IK 95%; 0,58-2,85), pH > 7,45 (p = 0,022, RR 0,15; IK 95%: 0,02-0,79), dan kadar Hb < 11,5 g/dl (p = 0,001, RR 5,01; IK 95%: 5,58-38,52).
Simpulan : Makin rendah Usia gestasi dan Hb makin besar risiko kegagalan ekstubasi dini pada bayi prematur.

Background : Mechanical ventilators still needed to rescue severe respiratory distress neonates. Early extubation is necessary to avoid complications due to prolonged use of the ventilator. Therefore, predictors are needed to determine the risk factors that result in early extubation failure.
Methods : The study was conducted at the NICU Unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. Retrospective data were obtained from medical records during 2017 – 2022 on subjects required mechanical ventilator and extubated within 5 days (early extubation). Early extubation failure defined as reintubation within 72 hours.
Results : Early extubation failure at NICU Unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital were 70/180 (38.9%). The results of logistic regression analysis (AUC 0.824): gestational age < 28 weeks (p = 0.006, RR 3.39; 95% CI: 1.64-19.02), gestational age (28-32) weeks (p = 0.228, RR 0.29; 95% CI: 0.67-5.52), pH < 7.35 (p = 0.541, RR 1.23: 95% CI; 0.58-2.85), pH > 7, 45 (p = 0.022, RR 0.15; 95% CI: 0.02-0.79), and Hb level < 11.5 g/dl (p = 0.001, RR 5.01; 95% CI: 5.58-38.52).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Juliana Dewi
"Latar belakang: Kelahiran hidup bayi prematur di Indonesia mencapai 675.700 kasus (15.5%) tiap tahun. Peningkatan insidens gangguan minum dan menelan pada bayi ditemukan terbanyak pada kelompok bayi prematur. Dampaknya akan meningkatkan komplikasi pasien berupa infeksi saluran napas, gangguan nutrisi, dan tumbuh kembang. Keadaan tersebut berisiko memperpanjang konversi pemberian makan per oral, perawatan, serta pembiayaan perawatan. Penelitian terdahulu belum melaporkan prevalensi dan karakteristik gangguan menelan serta gangguan koordinasi siklus isap-telan-napas (ITN) sebagai salah satu bentuk gangguan minum pada bayi prematur. Tujuan: Menilai prevalensi ganguan minum dan menelan pada bayi prematur, serta menilai karakteristik dan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kemampuan minum dan menelan pada bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada bayi prematur dengan riwayat perawatan di NICU yang dilakukan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) di Klinik Disfagia Terpadu  Departemen THT-KL RSCM periode Oktober 2020-Oktober 2022. Parameter yang dinilai adalah faktor karakteristik kelahiran, karakteristik paska lahir, karakteristik oromotor dan tonus postural, serta karakteristik pemeriksaan FEES.
Hasil: Prevalensi gangguan menelan sebesar 25% dengan karakteristik temuan disfagia fase oral mekanik, disfagia fase faring neurogenik, dan disfagia fase orofaring neurogenik. Prevalensi gangguan koordinasi siklus ITN sebesar 62,5%. Faktor risiko penyakit refluks gastro esofagus (PRGE) berhubungan dengan gangguan menelan pada bayi prematur (p=0,015) dengan menggunakan uji chi-square. Parameter lain seperti kelompok PMA, high arched palate, standing secretion, nutritive sucking, penetrasi dan aspirasi memiliki hubungan terhadap gangguan menelan pada bayi prematur (p<0,05).
Kesimpulan: Karakteristik gangguan minum dan menelan pada bayi prematur ditemukan prevalensi gangguan koordinasi siklus ITN lebih banyak dibandingkan gangguan fungsi menelan (disfagia). Kelompok PMA, PRGE, high arched palate, standing secretion ditemukan sebagai faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan menelan pada bayi prematur. Nutritive sucking, penetrasi, dan aspirasi  ditemukan sebagai faktor menentu diagnosis disfagia pada bayi prematur.

Background: Preterm birth in Indonesia reaches 675,700 cases (15.5%) each year. This condition is the etiologic feeding difficulty and swallowing disorders in preterm babies. The impact will increase patient complications, such as respiratory tract infections, nutritional disorders, and growth and development. It precedes the risk of prolonging the conversion of oral feeding, and treatment, as well as a financial burden related to hospitalization. Previous studies have not reported the prevalence and characteristics of swallowing disorder or dysphagia and suck-swallow-breath (SSB) coordination disorder as a form of feeding difficulty in premature infants.
Objective: To assess the prevalence of feeding difficulty and swallowing disorders in premature babies and analyzed characteristics and risk factors that affect the ability to feed and swallow in premature babies.
Method: A cross-sectional study in preterm babies with a history of treatment in the NICU using a flexible endoscopic evaluation of swallowing (FEES) for swallowing evaluation at the Dysphagia outpatient clinics Department of ORL-HNS RSCM for the period October 2020-October 2022. The parameters assessed were birth characteristics, postnatal characteristics, oro-motor characteristics, and postural tone, as well as FEES examination characteristics.
Results: The prevalence of swallowing disorders was 25% with characteristics of mechanical oral phase dysphagia, neurogenic pharyngeal phase dysphagia, and neurogenic oropharyngeal phase dysphagia. The prevalence of SSB cycle coordination disorders was 62.5%. The risk factor associated with dysphagia in preterm babies was gastroesophageal reflux disease (GERD) with a p-value = 0.015. Other parameters such as post-menstrual age (PMA) group, high arched palate, standing secretion, nutritive sucking, penetration, and aspiration have an association with swallowing disorders in premature infants (p<0.05).
Conclusion: Characteristics of feeding difficulties and swallowing disorders in preterm babies were found to have more prevalence of SSB cycle coordination disorders than impaired swallowing function (dysphagia). The PMA, GERD, high-arched palate, and standing secretion group were found to be risk factors associated with swallowing disorders in premature infants. Nutritive sucking, penetration, and aspiration were found to be the erratic factors of dysphagia diagnosis in premature babies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Wirdah Budiastuti
"Ekstubasi merupakan salah satu upaya manajemen jalan napas bertujuan untuk mencegah resiko penggunaan EndoTrakeal Tube (ETT) dan ventilasi mekanik. Keberhasilan ekstubasi adalah tidak terjadinya reintubasi dalam waktu 24-72 jam pasca ekstubasi. Pasien dengan kondisi penyulit jalan napas beresiko besar terhadap kejadian reintubasi. Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di Intensive Care Unit (ICU) Dewasa, ICU IGD dan ICU luka bakar RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mengetahui faktor-faktor prediktor keberhasilan ekstubasi pada kasus jalan napas dengan penyulit. Uji statistik menggunakan regresi logistik ganda. Hasil analisis didapatkan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan keberhasilan ekstubasi pada penyulit jalan napas yaitu lama terintubasi (p value=0,034), hemodinamik (p value=0,001) dan refleks batuk (p value=0,005), sedangkan faktor yang tidak memiliki hubungan dengan keberhasilan ekstubasi pada penyulit jalan napas yaitu adalah usia, jenis kelamin, penyulit jalan napas, tingkat kesadaran, sikap koperatif pasien, hasil AGD, lama Spontaneous Breathing Trial (SBT) dan kesiapan pasien. Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan ekstubasi adalah refleks batuk (OR=20,805 95%CI 1,298-333,422) dan hemodinamik (OR=17,746 95% CI 2,083-151,213). Penatalaksaan ekstubasi dengan melakukan asesmen pra ekstubasi menggunakan ceklist akan mampu mendeteksi keberhasilan ekstubasi, sehingga prosedur ekstubasi dapat dilakukan dengan lebih aman untuk menghindari kejadian reintubasi
Extubation is an airway management that aimed to prevent the risk of using ETT and Mechanical Ventilation. Extubation success is no reintubation within 24-72 hour. Patients with difficult airway condition has greater risk of reintubation events. This prospective cohort study was conducted at General ICU, ICU IGD and ICU burns RSCM to find out predictor factors of extubation success in difficult airway cases.. Statistical tests use multiple logistic regression. The results of the analysis obtained factors that have a relationship with extubation success in the difficult airway are the length of intubation (p value = 0.034), hemodynamics (p value = 0.001) and cough reflexes (p value = 0.005), and factors that have no relationship are age, gender, difficult airway, level of Consciousness (LoC), cooperative attitude, AGD results, SBT duration and patient readiness. The most influential factors on extubation success are cough reflexes (OR = 20,805 95% CI 1,298-333,422) and hemodynamics (OR = 17,746 95% CI 2,083-151,213). Management of extubation by conducting pre-extubation assessment using a checklist methode will be able to detect the extubation success and the procedure can be done more safely.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T54904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Riahdo Juliarman
"Latar Belakang: Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang sering terjadi di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Studi-studi tentang faktor prediktor mortalitas VAP menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan tidak ada penelitian yang komprehensif di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien VAP di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien ICU RSCM yang didiagnosis VAP selama tahun 2003-2012. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, infeksi kuman risiko tinggi, komorbiditas, renjatan sepsis, kultur darah, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, acute lung injury, skor APACHE-II, dan hipoalbuminemia. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 201 pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan angka mortalitas selama perawatan sebesar 57,2%. Kelompok usia, komorbiditas, renjatan sepsis, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, dan skor APACHE II merupakan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas pada analisis bivariat. Prediktor mortalitas pada analisis multivariat adalah antibiotik empiris yang tidak tepat (OR 4,70; IK 95% 2,25 sampai 9,82; p < 0,001), prokalsitonin > 1,1 ng/mL (OR 4,09; IK 95% 1,45 sampai 11,54; p = 0,01), usia ≥ 60 tahun (OR 3,71; IK 95% 1,35 sampai 10,20; p = 0,011), dan adanya renjatan sepsis (OR 3,53; IK 95% 1,68 sampai 7,38; p = 0,001).
Kesimpulan: Pemberian antibiotik empiris yang tidak tepat, prokalsitonin yang tinggi, usia 60 tahun atau lebih, dan adanya renjatan sepsis merupakan pediktor independen mortalitas pada pasien VAP.

Background: Ventilator-associated pneumonia (VAP) is a frequent infection with high mortality rates in intensive care unit (ICU). The prediction of outcome is important in decision-making process. Studies exploring predictors of mortality in patients with VAP produced conflicting results and there are no comprehensive reports in Indonesia.
Objective: To determine predictors of mortality in patients with VAP in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: We performed a retrospective cohort study on patients admitted to the ICU who developed VAP between 2003?2012. Clinical and laboratory data along with outcome status (survive or non-survive) were obtained for analysis. We compared age, presence of high risk pathogens infection, presence of comorbidity, septic shock status, blood culture result, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, presence of acute lung injury, APACHE II score, and serum albumin between the two outcome group. Logistic regression analysis performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 201 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 57.2%. Age, comorbidity, septic shock status, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, and APACHE II score were significantly different between outcome groups. The independent predictors of mortality in multivariate logistic regression analysis were inappropriate initial antibiotics therapy (OR: 4.70; 95% CI 2.25 to 9.82; p < 0.001), procalcitonin > 1.1 ng/mL (OR: 4.09; 95% CI 1.45 to 11.54; p = 0.01), age ≥ 60 years old (OR: 3.71; 95% CI 1.35 to 10.20; p = 0.011), and presence of septic shock (OR: 3.53; 95% CI 1.68 to 7.38; p = 0.001).
Conclusion: Inappropriate initial antibiotic therapy, high serum procalcitonin level, age 60 years or older, and presence of septic shock were independent predictors of mortality in patients with VAP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik.
Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik.
Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Putri Sundawa
"Anak merupakan populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya tuberkulosis ekstraparu (TBC-EP). Namun demikian, sampai saat ini data mengenai keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu pada anak dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan TBC-EP pada anak dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode kohor retrospektif pada populasi anak terdiagnosis TBC ekstraparu. Dari 953 pasien anak usia 0 bulan-17 tahun yang terdiagnosis TBC, 458 (48%) anak mengalami TBC-EP dengan tiga bentuk yang paling sering bertutur-turut adalah TBC osteoartikular (21,7%), limfadenitis (21,1%) dan sistem saraf pusat (16,3%). Sebanyak 70,6% pasien TBC ekstraparu anak dinyatakan sembuh selama 2015-2021. Mayoritas pasien TBC-EP berusia 11-18 tahun (46%) dengan sebaran jenis kelamin yang seimbang, laki-laki (49,3%) dan perempuan (50,7%). Riwayat kontak dengan pasien TBC ditemukan pada 41,1% dan jaringan parut BCG ditemukan pada 34,7% kasus. Komorbiditas TBC ekstraparu dan TBC paru ditemukan pada 45,7% pasien. Analisis multivariat pada faktor prediktor keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu mendapati hasil yang bermakna pada status gizi baik (RR 1,285, IK 95% 1,135-1,456) dan jenis TBC ekstraparu yang dialami bukanlah TBC ekstraparu berat (RR 1,330, IK 95% 1,094-1,616).

Children is highly susceptible to extrapulmonary tuberculosis (EPTB). However, knowledge about childhood EPTB in Indonesia and its treatment success is limited. This study aimed to determine treatment success rate of EPTB and factors affecting successful treatment outcome in children. We conducted a retrospective cohort study in Cipto-Mangunkusumo Kiara Hospital. A total of 953 pediatric patients below 18 years old were diagnosed with TBC. Extrapulmonary TB was found in 458 children (48%), with the most prevalent type: bone and joint (21.7%), lymph node (21.1%), and central nervous system (16.3%). There were 70.6% EPTB pediatric patients successfully treated during 2015-2021. The majority of patient with EPTB were in the age group of 11-18 years (46%) with balanced sex distribution, male (49.3%) and female (50.7%). Comorbidity of pulmonary TBC and EPTB was found in 45.7% patients. Multivariate analysis in factors predicting successful treatment outcome with significant results were good nutritional status (RR 1.285, 95% CI 1.135-1.456) and suffered from non-severe EPTB form (RR     1.330, 95% CI 1.094-1.616)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Kusumaningrum
"Masalah pernafasan merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi. Ventilasi mekanik adalah tindakan yang sering dibutuhkan pada perawatan bayi baru lahir yang mengalami suatu penyakit dan masalah pernafasan termasuk pada bayi prematur. Tindakan non invasif juga dilakukan untuk meningkatkan efektifitas ventilasi dan perfusi. Salah satu tindakan non invasif yang menyokong terapi oksigen adalah pengaturan posisi. Studi literatur tentang posisi pada bayi yang mengalami masalah pernafasan menunjukkan bahwa terdapat keuntungan Posisi Pronasi (PP) dibandingkan dengan Posisi Supinasi (PS). Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian posisi pronasi terhadap status oksigenasi bayi yang menggunakan ventilasi mekanik di ruang NICU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre Eksperimental.
Rancangan yang dilakukan adalah jenis one group pretest-postest. Jumlah sampel sebanyak 18 bayi dengan karakteristik umur rata-rata 44,78±25,06, laki-laki 61%; perempuan 39%; berat lahir 2008,33±977,84; mode ventilator dibatasi pada presure support, synchronized intermitten mandatory ventilation dan asist control,dan lama ventilator 36,67 ±19,57. Pengukuran dilakukan dengan melihat saturasi oksigen dengan Pulse Oximetry, frekwensi nafas dan fraksi oksigen yang diinspirasi sebelum dilakukan PP, pengukuran dilakukan lagi setelah PP selama 30 menit, 1 jam dan 2 jam.
Terdapat perbedaan bermakna saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) pada bayi yang menggunakan ventilasi mekanik sebelum dan sesudah pemberian posisi pronasi (P=0,001, α=0,05), dan frekwensi nafas (P=0,027, α=0,05). Kesimpulan lain didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara penyakit jantung dengan FiO2 bayi. Implikasi keperawatan yang direkomendasikan bahwa perlu ditingkatkan penerapan PP pada bayi dalam kondisi stabil dan dalam proses weaning. Implikasi penelitian diharapkan adanya penelitian dengan jumlah sampel yang besar dan dengan desain quasi eksperiment atau true eksperiment dengan pengontrolan terhadap variabel perancu yang lebih ketat. Analisa dan pembuktian untuk mengetahui waktu PP yang tepat juga diperlukan. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-26567
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Himawan Aulia Rahman
"Latar belakang. Pembuatan stoma dan reseksi usus adalah tindakan pembedahan yang umum dilakukan pada anak dengan masalah bedah di sistem gastrointestinal. Salah satu komplikasi dari pembuatan stoma adalah high output stoma yang menyebabkan perawatan menjadi lebih lama.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya high output stoma dan prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian.
Metode. Kami melakukan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di rumah sakit tersier rujukan di Indonesia. Subjek adalah pasien anak usia 0 bulan – 18 tahun dengan stoma di usus halus (enterostomi) selama periode Oktober 2019 – Desember 2023. Penelitian tahap I dilakukan pada semua subjek untuk melihat faktor risiko terjadinya high output stoma. Penelitian tahap II dilakukan pada subjek yang mengalami high output stoma untuk menilai prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian.
Hasil. Penelitian tahap I melibatkan 64 subjek. Kelompok usia terbanyak adalah usia neonatus (43,8%). Penyakit dasar terbanyak sebagai penyebab pembentukan stoma adalah perforasi intestinal (39,1%). High output stoma terjadi pada 48,4% subjek. Tidak ada faktor risiko teknik pembedahan yang secara signifikan menyebabkan high output stoma. Penelitian tahap II memasukkan 31 subjek yang mengalami high output stoma. Pada semua subjek, panjang usus halus berkorelasi dengan lama rawat (p = 0,033), lama penggunaan nutrisi parenteral (p = 0,032), dan berhubungan dengan kematian (p = 0,041).
Kesimpulan. Panjang usus halus yang lebih pendek berhubungan dengan luaran yang lebih buruk pada pembentukan enterostomi pada anak.

Backgrounds. Stoma creation and intestinal resection are common surgical procedures in children with surgical problems in the gastrointestinal system. One of the complications of creating a stoma is a high output stoma (HOS), which causes more prolonged treatment.
Objectives. This study aims to determine the risk factors for HOS and predictors of length of stay, length of use of parenteral nutrition (PN), and death.
Methods. We conducted a retrospective cohort study at a tertiary referral hospital in Indonesia. Subjects were pediatric patients aged 0 months – 18 years with a stoma in the small intestine (enterostomy) during the period October 2019 – December 2023. Phase I study was carried out on all subjects to examine at risk factors of HOS. Phase II study was conducted on subjects who experienced HOS to assess predictors of length of stay, length of PN use, and death.
Results. Phase I study involved 64 subjects. The largest age group is neonates (43.8%). Intestinal perforation is the most common underlying disease that causes stoma formation (39.1%). There are no risk factors for surgical techniques that significantly cause HOS. Phase II study included 31 subjects who experienced HOS. In all subjects, the length of the small intestine was correlated with length of stay (p = 0.033), duration of PN use (p = 0.032), and was associated with mortality (p = 0.041).
Conclusions. Shorter small intestinal length is associated with worse outcomes in enterostomy formation in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>