Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164987 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astriviani Widyakusuma
"[ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengevaluasi pengaruh pemberian suplementasi Mirtogenol terhadap perubahan ketebalan lapisan serabut saraf retina dan lapang pandang pada pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) dengan tekanan intraokular (TIO) terkontrol.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, acak, tersamar ganda. Empat puluh satu pasien dengan GPSTa dengan TIO ≤ 18 mmHg diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo. Perubahan ketebalan RNFL dan MD lapang pandang diperiksa sebelum penelitian, 4 minggu serta 8 minggu setelah pemberian obat. Efek samping pengobatan ditanyakan kepada pasien selama penelitian.
Hasil: Rerata ketebalan RNFL kelompok Mirtogenol mengalami penurunan sebesar -0.70±1.63 μm dari 87.29±19.39 μm di awal penelitian menjadi 86.58±19.43 μm setelah 8 minggu, namun perubahan yang terjadi tidak bermakna secara statistik (p=0.121). Rerata ketebalan RNFL kelompok plasebo mengalami penurunan sebesar -1.74±1.79 μm dari 97.14±17.19 μm di awal penelitian
menjadi 95.40±18.56 μm setelah 8 minggu, perubahan yang terjadi bermakna secara statistik (p< 0.001). Rerata MD lapang pandang kelompok Mirtogenol mengalami peningkatan 0.542±1.93 dB setelah 8 minggu sedangkan rerata MD lapang pandang kelompok plasebo mengalami penurunan sebesar -0.083±1.36 dB setelah 8 minggu. Namun perubahan rerata MD lapang pandang kedua kelompok
tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Selama penelitian tidak didapatkan adanya efek samping.
Kesimpulan: Mirtogenol dapat mempertahankan ketebalan lapisan serabut saraf retina, dan MD lapang pandang pada pemberian Mirtogenol cenderung meningkat.

ABSTRACT
Objective: To evaluate the effect of Mirtogenol towards the changes in retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness and visual field in patients with primary open angle glaucoma (POAG) with controlled IOP.
Methods: This is a prospective, double blind, randomized study. Forty one POAG patients with IOP ≤ 18 mmHg were randomly assigned to receive either Mirtogenol or placebo. Changes in RNFL thickness and mean deviation of visual fields were evaluated before the treatment, as well as 4 weeks and 8 weeks after the treatment. Patients were asked for any side effects during the treatment period.
Results: The average RNFL thickness in the Mirtogenol group decreased 0.70±1.63 μm from 87.29±19.39 μm before the treatment to 86.58±19.43 μm after 8 weeks of treatment, however the change was not significant (p=0.121). The average RNFL thickness in the placebo group decreased -1.74±1.79 μm from 97.14±17.19 μm before the treatment to 95.40±18.56 μm after 8 weeks of treatment, the change was statistically significant (p< 0.001). The average MD of visual field in the Mirtogenol group increased 0.542±1.93 dB after 8 weeks of
treatment while the MD of visual field in the placebo group decreased 0.083 ± 1.36 dB after 8 weeks of treatment. Hoewever the changes in MD of visual field was not significant (p>0.05). No side effect was found throughout the study.
Conclusions: Mirtogenol seemed to maintain retinal nerve fiber layer thickness and increased mean deviation of visual fields.;Objective: To evaluate the effect of Mirtogenol towards the changes in retinal
nerve fiber layer (RNFL) thickness and visual field in patients with primary open
angle glaucoma (POAG) with controlled IOP.
Methods: This is a prospective, double blind, randomized study. Forty one
POAG patients with IOP ≤ 18 mmHg were randomly assigned to receive either
Mirtogenol or placebo. Changes in RNFL thickness and mean deviation of visual
fields were evaluated before the treatment, as well as 4 weeks and 8 weeks after
the treatment. Patients were asked for any side effects during the treatment period.
Results: The average RNFL thickness in the Mirtogenol group decreased 0.70±1.63
μm
from
87.29±19.39
μm
before
the
treatment
to
86.58±19.43
μm
after
8
weeks of treatment, however the change was not significant (p=0.121). The
average RNFL thickness in the placebo group decreased -1.74±1.79 μm from
97.14±17.19 μm before the treatment to 95.40±18.56 μm after 8 weeks of
treatment, the change was statistically significant (p< 0.001). The average MD of
visual field in the Mirtogenol group increased 0.542±1.93 dB after 8 weeks of
treatment while the MD of visual field in the placebo group decreased 0.083±1.36
dB
after
8
weeks
of
treatment.
Hoewever
the
changes
in
MD
of
visual
field
was
not
significant
(p>0.05).
No
side effect
was
found throughout
the
study.
Conclusions: Mirtogenol seemed to maintain retinal nerve fiber layer thickness and increased mean deviation of visual fields., Objective: To evaluate the effect of Mirtogenol towards the changes in retinal
nerve fiber layer (RNFL) thickness and visual field in patients with primary open
angle glaucoma (POAG) with controlled IOP.
Methods: This is a prospective, double blind, randomized study. Forty one
POAG patients with IOP ≤ 18 mmHg were randomly assigned to receive either
Mirtogenol or placebo. Changes in RNFL thickness and mean deviation of visual
fields were evaluated before the treatment, as well as 4 weeks and 8 weeks after
the treatment. Patients were asked for any side effects during the treatment period.
Results: The average RNFL thickness in the Mirtogenol group decreased 0.70±1.63
μm
from
87.29±19.39
μm
before
the
treatment
to
86.58±19.43
μm
after
8
weeks of treatment, however the change was not significant (p=0.121). The
average RNFL thickness in the placebo group decreased -1.74±1.79 μm from
97.14±17.19 μm before the treatment to 95.40±18.56 μm after 8 weeks of
treatment, the change was statistically significant (p< 0.001). The average MD of
visual field in the Mirtogenol group increased 0.542±1.93 dB after 8 weeks of
treatment while the MD of visual field in the placebo group decreased 0.083±1.36
dB
after
8
weeks
of
treatment.
Hoewever
the
changes
in
MD
of
visual
field
was
not
significant
(p>0.05).
No
side effect
was
found throughout
the
study.
Conclusions: Mirtogenol seemed to maintain retinal nerve fiber layer thickness and increased mean deviation of visual fields.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Kurniawan
"Glaukoma berada di peringkat kedua sebagai penyebab kebutaan di Indonesia. Penurunan lapang pandang yang ditandai dengan penurunan nilai mean deviation MD dan penipisan retinal nerve fiber layer RNFL adalah dua dari beberapa hal yang sering dikaitkan dengan glaukoma. Namun, kedua hal tersebut belum ditemukan secara jelas hubungannya satu sama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan MD lapang pandang dengan ketebalan rerata RNFL pada pasien glaukoma primer sudut terbuka di RSCM kirana, Jakarta. Desain dari penelitian ini adalah cross-sectional dengan mengambil data dari rekam medis pasien RSCM Kirana dari Januari 2015 hingga Juni 2016 yang memiliki data hasil pemeriksaan optical coherence tomography OCT dan tes Humphrey. Terdapat 95 buah bola mata yang datanya diambil untuk sampel. Dari hasil analisa korelasi antara nilai MD lapang pandang dan ketebalan RNFL yang dilakukan pada data yang diperoleh, didapatkan nilai signifikansi.

Glaucoma is the second leading cause of blindness in Indonesia. Visual field loss which is indicated by reduced mean deviation MD value and retinal nerve fiber layer RNFL depletion are two of several things frequently related to glaucoma. However, the correlation between the two variables is yet to be clearly discovered. The objective of this research is to know the correlation between visual field MD and RNFL average thickness in primary open angle glaucoma patients in RSCM kirana, Jakarta. The design which is used in this research is cross sectional by retrieving data from RSCM Kirana patients rsquo medical record from January 2015 to June 2016 which have optical coherence tomography OCT and Humphrey test results. There were 95 eyes whose data was retrieved as samples. After analyzing the correlation between visual field MD value and RNFL thickness retrieved from the samples, it was found that the significance value is"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S70377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Mulyawarman
"Tujuan:Membandingkan perubahan,nilai puncak dan rata-rata tekanan intra okular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang terkontrol menggunakan travoprost 0,004 %dengantimolol hydrogel 0,1% padauji provokes iminum air.
Metode: ujieksperimental tersamar tunggal pada 42 pasien GPSTa yang dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Kelompok yang mendapatkan pengobatan dengan Travoprost 0,004% dengan frekuensi sekali/hari, selanjutnya dibandingkan dengan yang mendapatkan Timolol hydrogel 0,1% sekali/hari. Pemeriksaan TIO dilakukan pada evaluasi minggu ke-empat pasca terapi, meliputi TIO baseline sebelum uji provokasi minum air, TIO menit ke-15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 pasca uji provokasi minum air.
Hasil:Setelah terapi selama empat minggu, TIO baseline sebelum uji provokasi minum air tidak berbeda bermakna antara kelompok travoprost 0,004% dibandingkan dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,28; uji T tidak berpasangan). Nilai TIO minimal dan maksimal pasca uji provokasi minum air secara signifikan lebih rendah pada kelompok travoprost 0,004% dibandingkan dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,04; p=0,01, uji T tidak berpasangan). Nilai mean TIO pada kelompok travoprost juga didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,02, uji T tidak berpasangan). Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara fluktuasi TIO kelompok travoprost 0,004% dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,15, uji Mann Whitney).
Kesimpulan: Travoprost 0,004% lebihbaikdalammempertahankanTIO dibandingkan dengan Timolol Hydrogel 0,1% pada uji Provokasi Minum Air.

Objective: To evaluate the intraocular pressure (IOP) profile after water drinking test (WDT) in primary open angle glaucoma (POAG) patients who had already treated with travoprost 0,004% eye drop versus timolol hydrogel 0,1%.
Methods: A single-blind experimental study. Fourty two POAG patients were randomly assigned to receive travoprost 0,004% once daily or timolol hydrogel 0,1% once daily. The IOP profiles were evaluated 4-weeks after treatment, including baseline IOP before WDT, IOP 15-, 30-, 45-, 60-, 75-, 90-, 105-, and 120-minutes after WDT.
Results: At 4-week after treatment, travoprost 0,004% and timolol hydrogel 0,1% had equivalent effect on baseline IOP (p=0,28; unpaired t-test). Minimum and maximum IOP after WDT of travoprost 0,004% group were significantly less than timolol hydrogel 0,1% group (p=0,04; p=0,01; unpaired t-test, respectively). Mean IOP of travoprost 0,004% group was lower than hydrogel 0,1% group as well (p=0,02; unpaired t-test). The IOP fluctuation was not different between two groups (p=0,15; Mann Whitney test).
Conclusion: This study suggests that travoprost 0,004% was more likely to maintain IOP after WDT compared to timolol hydrogel 0,1% treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisella Annabelle
"Latar belakang: Glaukoma merupakan gangguan penglihatan peringkat ketiga terbanyak di dunia, yang juga menjadi penyebab kebutaan permanen yang paling sering ditemukan. Terapi medikamentosa merupakan penanganan utama bagi pasien glaukoma primer sudut terbuka untuk mencegah perluasan defek lapang pandang yang dapat meningkatkan disabilitas pasien. Keberhasilan pengobatan bergantung kepada kepatuhan pasien terhadap rencana terapi yang telah dibuat untuknya. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang analitik yang menggunakan teknik consecutive sampling dalam pemilihan subjek penelitiannya. Secara total, 33 subjek penelitian diwawancara melalui panggilan telepon berdasarkan kuesioner Morisky Medical Adherence Scale-8 (MMAS-8) yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia untuk menentukan tingkat kepatuhannya. Jenis perubahan lapang pandang ditentukan berdasarkan perhitungan laju perubahan MD dari dua hasil pemeriksaan perimetri Humphrey mata paling baik pasien. Hubungan antara kedua variabel dianalisis menggunakan uji chi square. Hasil: Mayoritas subjek penelitian memiliki tingkat kepatuhan yang rendah (54,5%), diikuti dengan kepatuhan sedang (24,2%), lalu kepatuhan tinggi (21,2%). Median laju perubahan lapang pandang pasien adalah -0,30 (IQR=-1,48—0,87) dB/tahun. Sebanyak 19 (57,6%) pasien mengalami pemburukan lapang pandang. Lima (71,4%) pasien dengan tingkat kepatuhan tinggi mengalami perubahan lapang pandang yang bersifat stabil, sementara sembilan (50%) pasien dengan tingkat kepatuhan rendah mengalami pemburukan lapang pandang (p=0,335). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia pasien dengan perubahan lapang pandangnya (p=0,719). Simpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemburukan lapang pandang pasien lebih sedikit ditemukan pada kelompok pasien dengan tingkat kepatuhan sedang dan tinggi, namun secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Penelitian skala besar lanjutan perlu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan penelitian ini.

Background: Glaucoma is the third most prevalent visual disorder in the world, and also the most common cause of permanent blindness. Pharmacological therapy is used to prevent further visual field defect in open-angle glaucoma patients. Successful treatment is dependent on each patient’ adherence to their planned therapy regimen. Methods: This research is an analytical cross-sectional research which used consecutive sampling technique for subjects recruitment. In total, 33 research subjects were interviewed by phone using the translated Morisky Medical Adherence Scale-8 questionnaire to determine their adherence level. The classification of visual field progression was established based on the calculation of the rate of MD change between two Humphrey perimetry evaluations of the better glaucomatous eye on each patient. The association between the two variables were analysed using the chi square test. Results: The majority of the research subjects enrolled in this study showed low adherence (54,5%), followed with moderate (24,2%), then high adherence (21,2%). Median rate of MD change was -0,30 (IQR=-1,48-0,87) dB/year. As many as 19 (57,6%) patients experienced worsening visual fields. Five (71,4%) patients with high adherence had stable visual field changes, while nine (50%) patients with low adherence had worsening visual fields (p=0,335). No association was found between patients’ ages and their visual field changes (p=0,719). Conclusion: Data analysis suggests that less patients have worsening visual field when the adherence levels are moderate and high. However, it is not statistically significant (p>0,05). Further full-scale research to follow through this pilot study is recommended to be done to overcome the study’s limitations."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Valentino
"ABSTRAK
Glaukoma merupakan penyakit multifaktorial dan penyebab kematian terbesar kedua di dunia. Riskesdas 2007, menyatakan sekitar 4.6 penduduk Indonesia menderita glaukoma. Baku emas penegakkan diagnosis glaukoma menggunakan nilai rerata RNFL. Tujuan penelitian ini untuk melihat korelasi nilai rim area dengan rerata RNFL sebagai alat diagnostik glaukoma primer sudut terbuka. Penelitian ini menggunakan metode studi potong-lintang dengan jumlah sampel sebanyak 55 subjek yang diambil dari total data rekam medis bulan februari 2015 hingga juni 2016. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar pasien glaukoma primer sudut terbuka berusia >58 tahun 56.4 , laki-laki 61.8 , cup-disk rasio >0.7 63.6 , nilai rerata RNFL 60.76 19.86 ?m, dan nilai rim area 0.73 0.56 mm2. Hasil uji korelasi pearson antara Rim area dengan rerata RNFL didapatkan nilai r 0,734 dan nilai p< 0,05 yang menyatakan kedua variabel memiliki korelasi kuat dan secara statistik bermakna. Pengukuran menggunakan ROC curve didapatkan nilai cut-off rim area sebasar 1.049 dengan nilai sensitivitas 81.8 dan spesifisitas 95.5 . Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai Rim area memiliki korelasi dengan nilai rerata RNFL dan dapat digunakan sebagai alat diagnostik glaukoma primer sudut terbuka.

ABSTRAK
Glaucoma is a multifactorial disease and the second biggest cause of death in the world. Riskesdas 2007 report rsquo s stated around 4.6 population in Indonesia was diagnosed with glaucoma. The gold standard in diagnosing glaucoma is using the average RNFL.The purpose of this research is finding the correlation of rim area with average of RNFL as a diagnostic tools for primary open angle glaucoma. The method used in this research is a cross sectional study, the samples of which use 55 patient medical records from 2015 February until 2016 June. The result consist of the data that most of the patient with primary open angle glaucoma are older than 58 years old 56.4 , male 61.8 , cup disk ratio 0.7 63.6 , the average RNFL 60.76 19.86 m and rim area 0.73 0.56 mm2. Rim area and average RNFL are analyzed with pearson corelation test and the result of which are r value 0,734 and p value less than 0,05 which represent a strong correlation and statistically significant result. Measurement with ROC curve found that the cut off of rim area is 1.049 with 81.8 sensitivity and 95.5 specificity. As the conclution, rim area has corelation with average RNFL and can be used as a diagnostic tool for primary open angle glaucoma. "
2016
S70378
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Supiandi
Jakarta: UI-Press, 2007
PGB 0169
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
617.741 SID g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Ratna
"Glaukoma adalah penyebab kebutaan yang ireversibel dengan prevalensi yang kian meningkat. Sebagian besar penderita glaukoma juga mengalami mata kering. Mata kering merupakan efek samping tersering akibat obat tetes mata topikal berpengawet benzalkonium klorida pada penderita glaukoma. Selain itu, glaukoma dan mata kering memiliki faktor risiko yang sama, yaitu usia lanjut dan jenis kelamin wanita. Mata kering pada penderita glaukoma perlu ditangani segera karena menyebabkan ketidaknyamanan, mengurangi kepatuhan berobat, dan menurunkan tingkat keberhasilan terapi. Penanganan mata kering pada penderita glaukoma dapat dilakukan melalui penggunaan obat tanpa pengawet benzalkonium klorida, kombinasi dengan obat yang tidak mengandung pengawet untuk mengurangi paparan, pemberian air mata buatan, dan pembedahan untuk mengurangi kebutuhan obat anti glaukoma topikal.

Glaucoma is a common cause of irreversible blindness with increasing prevalence. Some of glaucoma patients will also experience dry eye. Dry eye is the most frequent side effects related to benzalkonium chloride (BAC)-containing eye drop used for glaucoma patients. In addition, glaucoma and dry eye have shared risk factors that are old age and female. Dry eye among glaucoma patients needs to be treated promptly as it produces discomfort, reduces patients? compliance and decreases success rate of glaucoma therapy. Dry eye symptoms can be treated by applying preservative-free eye drop, giving combination with preservative-free eye drop to reduce BAC exposure, prescribing artificial tear and conducting surgery to minimize or eliminate the need of topical medication."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sudardjat Sugiri
"Kebutaan, penurunan fungsi penglihatan dan kesakitan mata telah dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di wilayah Asia Tenggara (WHO). Berdasarkan WHO maka diperkirakan terdapat 12 juta kebutaan dan 60 juta penurunan penglihatan di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri berdasarkan survai morbiditas mata dan kebutaan tahun 1982 yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka tersebut prosentase penyebab kebutaan utama ialah :
- katarak 0.70%
- kelainan kornea 0.13%
- penyakit glaukoma 0.10%
- kelainan refraksi 0.06%
- kelainan retina 0.03%
- kelainan nutrisi 0.02%
Banyak macam cara pengobatan penyakit glaukoma baik secara obat-obatan maupun secara operasi. Cara operasi bisa dilakukan dengan membuka aliran akuos dari bilik mata depan ke celah sub konjungtiva pada mata taripa blok pupil, untuk membentuk pengaliran cairan akuos, atau dengan mengurangi pembentukan cairan akuos di badan siliar(3,4,5).
Dari pengalaman klinis dapat terjadi suatu keadaan glaukoma yang berat misalnya glaukoma refrakter atau glaukoma absolut, glaukoma hemaragik atau glaukoma neovaskular, dimana tindakan operasi kurang berhasil. Pada keadaan diatas perlu dipikirkan cara pengobatan yang lebih efektif lain untuk menurunkan tekanan intra okular. Di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, pada glaukoma neovaskular dilakukan tindakan transkleral kriokoagulasi dan transkleral diatermi dengan tujuan mengurangi keadaan iskemia retina/koroid, untuk menurunkan tekanan intra okular.
Sikatrik korioretina terjadi karena kerusakan epitel pigmen retina dan reseptor retina, terjadi penggabungan dari lapisan retina luar ke membrana Bruch, terjadi perubahan jaringan ikat korio-kapiler dan lapisan pembuluh darah koroid dalam, degenerasi dan disorganisasi dari retina sensoris dan sel-sel penyokong (6,8). Keadaan ini dapat terjadi akibat perubahan atau setelah tindakan krioterapi atau diatermi dari pada retina, baik pada perubahan penyakit retina maupun pada terapi glaukoma diatas.
Pada suatu kelainan di retina , dapat di ikuti dengan penurunan tekanan intra okular (T.I.O.) yang moderat, pengurangan aliran humor akuos melalui bilik mata depan, suar ringan di akuos dan peningkatan kadar protein cairan subretinal. Ada 2 hipotesa kemungkinan terjadinya keadaan tersebut. Hipotesa pertama menyatakan bahwa kelainan retina akan menimbulkan inflamasi ringan sistem traktus uvea, disebabkan kegagalan sawar darah-akuos, disertai suar akuos & pengurangan produksi akuos, mengakibatkan peninggian protein cairan sub retinal. Hipotesa kedua mengatakan bahwa terjadi kegagalan ringan sawar darah akuos. Dan juga, produksi akuos tetap normal tetapi terjadi perubahan aliran dari bilik mata belakang kerongga badan kaca, melalui kelainan diretina dan melewati epitel pigmen retina.
Aliran yang tidak lazim ini (misdirected/unconvention al route) dari humor akuos menyebabkan penurunan tekanan intra okular, dan membawa protein dari bilik mata belakang yang akan mengumpui di celah subretinal.
Pembuktian adanya aliran cairan dari badan kaca ke celah retina ini terlihat pada percobaan binatang kera yang disuntikan cairan fluoresin iso tiosianat dextran. Disini terjadi kerusakan intregitas retina sensoris, yang diikuti pengaliran cairan badan kaca ke celah subretinal dan akan di absorpsi pembuluh darah koroid dan menimbulkan penurunan tekanan intra okular."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Amany
"Latar belakang: Glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) merupakan penyakit kronik dengan terapi yang bervariasi, salah satunya adalah pemberian obat tetes mata. Namun, diketahui bahwa tingkat ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan GPSTa cukup tinggi (20–58%). Pasien yang tidak patuh pengobatan (tingkat kepatuhan pengobatan < 80%) memiliki nilai vision-related quality of life yang lebih rendah daripada peserta yang dinyatakan patuh dalam pengobatan. Frekuensi penggunaan obat merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kepatuhan pengobatan pasien. Studi ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut mengenai hubungan antara frekuensi pengobatan dan kualitas hidup pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Subjek dari penelitian ini merupakan pasien GPSTa yang berobat di RSCM Kirana hingga bulan Juli 2022. Dilakukan wawancara kepada 140 subjek yang bersedia menggunakan kuesioner the 25- Item National Eye Institute Visual Function Questionare (NEI-VFQ-25) yang telah divalidasi. Hasil: Subjek dibagi menjadi dua kelompok, pasien dengan frekuensi pengobatan ≤ 2 kali perhari dan > 2 kali perhari. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara frekuensi pengobatan dan kualitas hidup pasien GPSTa (p=0,689). Kesimpulan: Frekuensi pengobatan tidak berpengaruh dalam kualitas hidup pasien glaukoma.

Introduction Primary open-angle glaucoma (POAG) is a chronic disease with various therapies, one of which is the administration of eye drops. However, it is known that the non-adherence rate of treatment is quite high (20–58%). Patients who did not adhere to treatment (medication adherence rate <80%) had a lower vision-related quality of life than participants who were declared adherent to treatment. Frequency of drug use is one of the factors that affect patient medication adherence. This study aims to further discuss the relationship between frequency of treatment and quality of life of patients with primary open-angle glaucoma. Method: This study used a cross sectional study design. The subjects of this study were POAG patients who were treated at RSCM Kirana until July 2022. Interviews were conducted with 140 subjects use the 25-Item National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ-25) that has been validated. Result: Subjects were divided into two groups, patients with treatment frequency ≤ 2 times per day and > 2 times per day. There was no significant relationship between the frequency of treatment and the quality of life of primary open-angle glaucoma patients (p=0.689). Conclusion: The frequency of treatment has no effect on the quality of life of glaucoma patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>