Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172694 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Phopy Aropatin N, Kiki Korneliani
"Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit diare pada balita masih menjadi masalah. Di Sukarame pada umumnya masyarakat belum memiliki jamban pribadi, sehingga masih banyak yang BAB, mandi dan mencuci disatu tempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor ibu yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita di puskesmas Sukarame Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan cross sectional. Variabel bebas (dependen) dalam penelitian ini adalah pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu tentang diare, sikap ibu tentang diare dan praktek hygieni ibu sedangkan variabel terikatnya (independen) adalah kejadian diare pada balita. dengan jumlah populasi seluruh ibu yang memeriksakan balitanya ke puskesmas Sukarame Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 1675 orang dan sampelnya sebanyak 94 orang. Berdasarkan uji chi-square diperoleh kesimpulan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita adalah pendidikan ibu (p=0,044, OR=2,692), pekerjaan ibu (p=0,001, OR=3,81), pengetahuan ibu tentang diare (p=0,001, OR=6,57), praktek hygieni ibu (p=<0,001, OR=11,978) dan variabel yang tidak ada hubungan yaitu sikap ibu (p=0,056, OR=2,542). Saran untuk ibu-ibu agar selalu memperhatikan dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan selalu mencuci tangan secara benar sebelum menyuapi, menyusui, memegang makanan serta sesudah buang air besar. Disamping itu pemberian ASI eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan. "
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi, 2005
JKKI 7:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Natasya
"Sekitar 490.000 perempuan di seluruh dunia didiagnosa menderita kanker serviks dan
rata-rata 240.000 kasus kematian perempuan terjadi akibat kanker serviks dan hampir
80% dari kasus tersebut terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2008). Nyeri
merupakan keluhan terbanyak yang dirasakan penderita kanker. Seperti halnya dikatakan
oleh Abernethy, Keefe, McCrory, Scipio, (2006), angka kejadian nyeri pada semua
pasien kanker sekitar 25% pada kanker yang baru terdiagnosa dan sekitar 60% sampai
dengan 90% pada kanker stadium lanjut. Dodd, Miaskowski, dan Paul (2001)
mengidentifikasi terjadinya nyeri pada pasien dengan kanker yang mendapatkan
kemoterapi. Tujuan :dari penelitian ini mendapatkan gambaran efektifitas Brief CBT
terhadap nyeri dengan menggunakan instrumen Numeric Rating Scale (NRS) dan Perceived
Meaning Cancer Pain Inventory (PMCPI). Metoda : quasi experimental pre post test with
control group, teknik consecutive sampling terhadap 51 sampel : 26 intervensi dan 25
kontrol. Hasil penelitian ditemukan penurunan intensitas nyeri dan PMCPI yang mendapat
CBT lebih besar dibanding yang tidak mendapat CBT (p-value < 0,05). Rekomendasi: Brief
CBT dijadikan terapi terpadu dalam manajemen nyeri pada pasien kanker serviks.

Approximately 490,000 women worldwide are diagnosed with cervical cancer and
anaverage of 240,000 female deaths occur from cervical cancer and nearly 80% of these
cases occur in developing countries (WHO, 2008). Pain is a complaint that is felt most
cancer patients. As well said by Abernethy, Keefe, McCrory, Scipio, (2006), the incidence
of pain in all cancer patients about 25% in the newly diagnosed cancers and approximately
60% to 90% in advanced cancer. Dodd, Miaskowski, and Paul (2001) identified the
occurrence of pain in patients with cancer receiving chemotherapy. The purpose: to get an
overview of the research on the effectiveness of brief CBT pain using instruments Numeric
Rating Scale (NRS) and Perceived Meanings Cancer Pain Inventory (PMCPI). Method:
quasi-experimental pre-post test with control group, 51 consecutive sampling technique to
sample: 26 intervention and 25 control. The results found reductions in pain intensity and
PMCPI that gets bigger than that CBT did not receive CBT (p-value <0,05).
Recommendation: Brief CBT therapy be integrated in the management of pain in patients
with cervical cancer.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T36751
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rukayah
"ABSTRAK
Akupresur merupakan salah satu terapi komplementer pada anak yang mengalami
mual muntah lambat akibat kemoterapi. Mual muntah merupakan efek samping
yang dapat menimbulkan stres pada anak dan keluarga. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi pengaruh terapi akupresur terhadap mual muntah lambat
akibat kemoterapi pada anak usia sekolah yang menderita kanker di RS Kanker
Dharmais Jakarta. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen dengan pre-post
without control design berupa pemberian akupresur pada titik P6 dan St36
sebanyak 2 kali selama 3 menit setiap 6 jam sekali pada hari kedua setelah
kemoterapi. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, 20
responden anak usia sekolah dipilih sebagai responden. Hasil penelitian
menunjukkan penurunan rerata mual muntah setelah akupresur (p value=0,000).
Kesimpulan akupresur dapat menurunkan mual muntah lambat akibat kemoterapi
pada anak usia sekolah yang menderita kanker. Rekomendasi penelitian
akupresur dapat diterapkan sebagai terapi non farmakologi untuk mengurangi
mual muntah lambat akibat kemoterapi pada anak.

ABSTRACT
Acupressure is one of the complementary therapy on children who experience
delayed chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV). Nausea vomiting is
an effect that cause stress in children and their family. The purpose of this
research was to identify the effect of acupressure to delayed chemotherapyinduced
nausea and vomiting in school age who suffered from cancer at Kanker
Dharmais Hospital Jakarta. The study design was quasi eksperiment with pre-post
test without control design form of acupressure point P6 and St36 2 times for 3
minutes every 6 hours. Sample by consecutive sampling, 20 respondents age
children selected for the study. Further, result also showed that there is a
significant decreases of the mean delayed nausea and vomiting scores after
acupressure. The conclusion was that the acupressure can decrease delayed CINV
in school age who suffered from cancer. Acupressure research recommendations
can be applied as a non-pharmacological therapy to reduce nausea and vomiting
caused by chemotherapy than in children."
2013
T32586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Puspitasari
"Kanker merupakan masalah kesehatan yang bersifat life-threatening. Obat yang paling banyak digunakan dan dikembangkan sejak lama untuk terapi kanker adalah kemoterapi. Zat ini bersifat toksik pada sel, namun tidak bersifat spesifik terhadap sel target sehingga mengakibatkan berbagai macam efek yang tidak diinginkan. Monoklonal antibodi telah dikembangkan dan digunakan sebagai target-specific therapy, namun nilai survival rate sebagian monoklonal antibodi pada kanker sekitar 20%. Oleh karena itu, dalam praktek klinis, pemberian monoklonal antibodi dikombinasikan dengan agen kemoterapi. Untuk efektivitas dan meminimalisir efek yang tidak diinginkan, dibutuhkan suatu agen antikanker dengan efek sitotoksik yang selektif pada sel target, yaitu imunotoksin. Tujuan: Studi ini memperkenalkan pendekatan baru untuk mengkonjugasikan monoklonal antibodi (Cetuximab) dan toksin (Puromycin) yang dibuat untuk menghambat proliferasi sel kanker payudara tipe triple negative (TNBC) secara selektif dan untuk meningkatkan efikasi monoklonal antibodi dalam menyebabkan kematian sel target. Bahan dan metode: Cetuximab dikonjugasikan dengan Puromycin menggunakan suatu linker heterobifungsional, yaitu SATP (Succinimidyl-acetylthiopropionate) dan diuji pada sel lestari kanker payudara tipe triple negative (MDA-MB-231) yang mengekspresikan reseptor EGF (epidermal growth factor). Cetuximab merupakan monoklonal antibodi yang menargetkan reseptor EGF dengan menghambat pengikatan ligan reseptor tersebut. Sel lestari MCF-7 digunakan sebagai sel kontrol karena memiliki ekspresi EGFR yang rendah. Perhitungan sel dilakukan sebagai pengujian viabilitas sel pada inkubasi 24 jam, 48 jam, dan 72 jam setelah pemberian senyawa konjugat. Hasil: Hasil studi menunjukkan penurunan signifikan jumlah sel hidup pada kelompok senyawa Konjugat 20 µg/mL yang dikultur pada sel MDA-MB-231 dibandingkan dengan yang dikultur pada MCF-7 setelah 24 jam, 48 jam, dan 72 jam inkubasi. Pada seluruh waktu inkubasi, penurunan signifikan jumlah sel hidup MDA-MB-231 juga teramati pada kelompok senyawa Konjugat 20 µg/mL dibandingkan dengan kelompok Cetuximab 20 µg/mL. Kesimpulan: Senyawa konjugat menunjukkan target-specific effect pada sel kanker payudara tipe triple negative melalui sel lestari MDA-MB-231 dan menunjukkan perbaikan efikasi Cetuximab dibandingkan dengan kelompok kontrol (Cetuximab). Di masa depan, senyawa konjugat Cetuximab – Puromisin dapat menjadi terapi antikanker potensial untuk kanker payudara tipe triple negative.

Cancer is life-threatening disease and being global health problems. Chemotherapy is one of the most used therapy for cancer since many years ago. But, this substance is also toxic for normal cell, which is not specific to the target cells. Consequently, chemotherapy has various side effects in the patients with cancer. Monoclonal antibody (MAb) has been developed for specific therapy which only has killing effect in cancer cells, but the survival rate of most MAbs around 20%. Therefore, in clinical practice, MAbs administration should combine with chemotherapeutic agents. For effectiveness of therapy and to minimalize the adverse effects, anticancer agent with selective cytotoxic effect on target cells is needed, the immunotoxin. Objective: This study introduces a novel approach to conjugate monoclonal antibody (Cetuximab) and toxin (Puromycin), called immunotoxin, in order to selectively inhibit proliferation of triple negative breast cancer (TNBC) and to enhance the efficacy of MAb in target cells killing. Materials and methods: Cetuximab was conjugated with Puromycin using heterobifunctional linker, i.e SATP (Succinimidyl-acetylthiopropionate) and tested on triple negative breast cancer cell lines (MDA-MB-231) which expressed EGFR (epidermal growth factor receptor). Cetuximab is MAb which targets EGFR. MCF-7 was also used as control cells since it has low or no EGFR expression. Cell counting were conducted as viability assay at 24 hours, 48 hours, and 72 hours after conjugate treatment. Results: The results showed the significant reduction of live cells number in Conjugate 20 µg/mL cultured in MDA-MB-231 compared to MCF-7 after 24 hours, 48 hours, and 72 hours incubation. In all time period of incubation, significant reduction of MDA-MB-231 live cells number was also observed in Conjugate 20 µg/mL compared to Cetuximab 20 µg/mL. Conclusion: Synthesized conjugate showed its target-specific effect in triple negative breast cancer cells through MDA-MB-231 and improved the efficacy of Cetuximab on MDA-MB-231 compared to control group (Cetuximab). In the future, conjugate Cetuximab – Puromycin can be a potential anticancer therapy in treating triple-negative breast cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutty Rajayu
"Hovarth, dkk mengevaluasi gastrointestinal pada 36 anak dengan gangguan autistik dan didapatkan adanya inflamasi kronis usus termasuk esofagus, lambung dan duodenum. Karena adanya defisiensi enzim yang menyebabkan gangguan pencernaan dan absorpsi karbohidrat yang mungkin menyebabkan adanya konstipasi dan terbentuknva gas. Abnormalitas ini mungkin berhubungan dengan dengan per ubahan tiba-tiba dari tingkah laku anak seperti iritabel, agresif dan bangun tengah malam. Malabsorbsi lemak, disfungsi pankreas, overgrowth bakteri di usus banyak ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.
Metoda untuk mengevaluasi permeabilitas usus masih dikernbangkan dalam beberapa tahun ini. Pemeriksaan permeabilitas usus dengan menggunakan laktulosa-maruitol dalam studi Minis menggambarkan perubahan yang sangat kecil dari permeabilitas usus, namun pemeriksaan ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Xilosa adalah suatu pentosa yang tidak dimetabolisme, diabsorpsi pada usus halus sehingga dapat digunakan untuk menentukan permeabilitas usus. Hasil absorpsi yang menurun dari pemeriksaan uji xilosa darah menggambarkan terdapatnya enteropati usus halus bagian atas yang terutama terdapat pada celiac disease, sindrom postgastroenteritis dan cow's milk protein intolerance (CMPSE).
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian adalah: Apakah terdapat peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan penelitian
Tujuan Umum
- Mengetahui terdapatnya peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan Khusus
- Menilai uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui batas nilai normal uji xilosa pada anak di Jakarta.
- Mengetahui angka kejadian peningkatan permeabilitas usus pada anak dengan gangguan autistik.
- Mengetahui hubungan gejala gangguan saluran cema pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui hubungan riwayat alergi pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dorothy
"Pendahuluan. Pada usus yang mengalami iskemia, maka tindakan reperfusi akan dapat membuat kerusakan yang lebih besar pada usus dan juga organ lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh destrangulasi intestinal terhadap organ yang dekat dengan organ yang mengalami iskemia yaitu usus halus, dan pada organ yang letaknya berjauhan yaitu gaster dan paru-paru, dibandingkan dengan subyek yang tidak mengalami destrangulasi sebelum reseksi usus.
Metode. Studi eksperimental yang bersifat deskriptif analitik pada 14 ekor tikus Sprague-Dawley jantan. Pada kelompok perlakuan destrangulasi-reseksi DR dilakukan strangulasi dengan meligasi satu loop usus selama 4 jam, kemudian dilakukan destrangulasi dan reseksi segmen usus yang iskemia. Pada kelompok perlakuan reseksi R dilakukan strangulasi usus selama 4 jam, kemudian segmen usus yang iskemia direseksi tanpa melakukan destrangulasi terlebih dahulu. Pada kelompok kontrol dilakukan laparotomi tanpa strangulasi maupun reseksi. Empat jam setelah intervensi kedua, tikus dimatikan, dan dilakukan pengambilan sampel dari usus halus, gaster, dan paru-paru untuk pemeriksaan histomorfologi dan biokimia dengan menggunakan malondialdehyde MDA.
Hasil. Pada pemeriksaan histomorfologi dan MDA, terdapat peningkatan kerusakan jaringan serta kadar MDA pada jaringan usus halus, namun perbedaannya tidak bermakna. Pada jaringan gaster dan paru-paru tidak ditemukan peningkatan kelainan histomorfologi maupun MDA.
Kesimpulan. Destrangulasi intestinal sebelum dilakukan reseksi menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan dan stress oksidatif pada usus yang berada di luar batas strangulasi, namun perbedaan yang didapatkan tidak bermakna secara statistik. Strangulasi terbatas pada satu segmen usus halus tidak selalu menimbulkan cedera iskemia-reperfusi pada organ gaster dan paru-paru.

Introduction. On the intestinal ischemia events, reperfusion towards the injured intestine can cause further damage to the bowel and other organ as well. This study aims to understand the influence of intestinal destrangulation before bowel resection towards organs that are near and far from the ischemic bowel, compared with subjects without intestinal destrangulation. The studied subject's organ was small bowel outside margin of strangulation, stomach, and lung.
Methods. Fourteen male Sprague-Dawley rats were randomized either to destrangulation-resection DR, resection R, or control group. One bowel loop was ligated for 4 hours. On the DR group the strangulated bowel was released for 5 minutes and then resected. On the R group the strangulated bowel was immediately resected without destrangulation. The control group received sham laparotomy. After four hours the animals were euthanasized and samples were drawn from small bowel, stomach, and lung for histologic analysis and biochemical analysis of malondialdehyde MDA level.
Results. The histologic injury and MDA level on the small bowel tissue is unsignificantly higher on the DR group compared to the R group p>0,05 . There was no significant injury to the stomach and lung tissue, or elevation of MDA level in both groups.
Conclusion. Intestinal destrangulation before resection of the bowel cause more tissue injury and oxidative stress on the bowel outside the limit of strangulation, but the difference is not statistically significant. Limited strangulation of one bowel loop do not always cause ischemia-reperfusion injury to stomach and lung.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Elyn Dohar Idarin
"Infeksi protozoa usus pada kelompok usia anak masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia dilaporkan prevalensinya berkisar antara 6,1-57,0%. Namun, infeksi protozoa usus pada anak seringkali tidak terdiagnosis karena gejala seringkali sudah tidak khas akibat berbagai pengobatan yang diberikan, terutama di rumah sakit tersier. Hasil negatif palsu juga dapat ditemukan pada kelompok pasien ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi terkait profil klinis pasien anak dengan kecurigaan diagnosis infeksi parasit usus serta hubungannya dengan hasil pemeriksaan spesimen feses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi infeksi protozoa usus pada anak di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui karakteristik klinis dan faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus. Penelitian dilakukan secara potong lintang retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien anak usia <18 tahun dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang diperiksa fesesnya di Laboratorium Parasitologi FKUI. Data demografi, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pemberian obat antiparasit, status HIV dan nilai CD4, dan hasil pemeriksaan feses diekstraksi dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antarvariabel terhadap deteksi protozoa usus. Dari total 251 rekam medis pasien yang tercatat pada tahun 2018 hingga 2020, terdapat 97 sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas penelitian dan dilakukan analisis. Hasil penelitian menunjukkan proporsi infeksi protozoa usus sebesar 10,3% (10/97). Infeksi Blastocystis hominis paling banyak ditemukan (6/10), diikuti Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) dan Entamoeba histolytica (1/10). Kelompok usia sekolah, status HIV positif, dan nilai CD4 <200 sel/μl merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus pada studi ini.

Intestinal protozoa infection in the child age group is still a health problem in developing countries, one of which is in Indonesia. In Indonesia, the reported prevalence ranges from 6.1% to 57.0%. These infections tended to be undiagnosed due to nonspecific clinical and laboratory findings, as the patients might have been exposed to various antimicrobial treatments prior to examination. Thus, a study on the relationship between patients’ clinical profiles and stool specimen results needs to be performed. The current study aimed to identify the proportion of intestinal protozoan infection in pediatric patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital and the associated factors of the infection. The research was a retrospective, cross-sectional study on patients aged <18 years. Data on patients’ medical records were retrieved: demography, nutritional status, past medical history, treatment history, HIV status, CD4 levels, and results of the fecal examination. Bivariate analysis was performed to identify the associated factors of intestinal protozoan infection. A total of 251 medical records from patients admitted in years 2018 through 2020 were obtained, among which 97 fulfilled the eligibility criteria and underwent final analysis. The proportion of intestinal protozoan infection was 10.3% (10/97), the most prevalent being Blastocystis hominis (6/10), followed by Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) and Entamoeba histolytica (1/10). Current study results demonstrated that being school-age children, being HIV-positive, and having CD4 <200 cells/μl contributed to intestinal protozoan infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christophorus Simadibrata
"Latar belakang: merupakan salah satu tindakan pembedahan yang mempengaruhi motilitas gastrointestinal. Penelitian Cihoric et al menunjukkan sebanyak 12,5% pasien pasca laparotomi mengalami komplikasi disfungsi gastrointestinal. Disfungsi pada motilitas gastrointestinal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada prosedur pembedahan abdomen. Dari 100 pasien operasi laparotomi digestif, ditemukan sebanyak 40% pasien di ICU mengalami peningkatan gastric residual volume pada pasien pasca operatif laparotomi digestif. Pemberian suplementasi dengan Lactobaciillus acidophilus diketahui dapat meningkatkan motilitas gaster.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hubungan antara pemberian probiotik Lactobacillus acidophillus dengan GRV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental atau uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 55 subjek yang mengikuti randomisasi, 54 subjek yang akan menjalani operasi laparotomi gastrointestinal dimasukkan ke dalam penelitian, 1 subjek drop out karena sepsis. Subjek penelitian diberikan kapsul probiotik Lactobacillus acidophilus 109 (kelompok probiotik) atau diberikan kapsul laktosa (kelompok plasebo) selama 3 hari sebelum operasi. Kadar GRV diukur 2 hari sesudah prosedur.
Hasil: Dari 54 subjek dengan 27 subjek tiap kelompok mengikuti penelitian hingga selesai. Pada hari pertama (24 jam), GRV 24 jam dengan pemberian probiotik dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p value 0,669). Pada hari ke 2 (48 jam), GRV 48 jam dengan pemberian probiotik dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p value 1,000). Hasil yang tidak signifikan pada GRV 24 jam dan 48 jam dapat dipengaruhi faktor perancu yaitu geriatri, riwayat kelainan saraf, obesitas, riwayat penggunaan vasopressor, riwayat konsumsi opioid, hiperkapnia dan hiperglikemia selama di ICU.
Simpulan: Pemberian probiotik Lactobacillus acidophilus dengan GRV tidak mempunyai efek hubungan dibandingkan dengan placebo.

Background: Laparotomy is a surgical procedure that affects gastrointestinal motility. Research by Cihoric et al showed that 12.5% ​​of post-laparotomy patients experienced complications of gastrointestinal dysfunction. Dysfunction in gastrointestinal motility is a frequent complication of abdominal surgical procedures. Out of 100 patients with digestive laparotomy surgery, it was found that as many as 40% of patients in the ICU experienced an increase in gastric residual volume in postoperative digestive laparotomy patients. Supplementation with Lactobaciillus acidophilus is known to increase gastric motility.
Aim: This study aims to determine the effect of the relationship between administration of Lactobacillus acidophillus probiotics and GRV.
Methods: The study design used was an experimental or double-blind randomized clinical trial. A total of 55 subjects who followed the randomization, 54 subjects who would undergo gastrointestinal laparotomy were included in the study, 1 subject dropped out due to sepsis. Research subjects were given probiotic capsules Lactobacillus acidophilus 109 (probiotic group) or given lactose capsules (placebo group) for 3 days before surgery. GRV levels were measured 2 days after the procedure.
Results: Of the 54 subjects with 27 subjects in each group, they followed the research to completion. On the first day (24 hours), the 24-hour GRV with the administration of probiotics and the control group showed insignificant results (p value 0.669). On day 2 (48 hours), GRV 48 hours with probiotic administration and the control group showed insignificant results (p value 1,000). Results that were not significant at GRV 24 hours and 48 hours could be influenced by confounding factors, geriatrics, history of neurological disorders, obesity, history of vasopressor use, history of consumption of opioids, hypercapnia and hyperglycemia while in the ICU.
Conclusion: Administration of Lactobacillus Acidophilus probiotics with GRV had no association effect compared to placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Iswari
"Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dan di negara berkembang. Berdasarkan profil kesehatan DKI Jakarta 2009, dilaporkan jumlah kasus diare sebesar 164.743 dimana kasus diare 50% terjadi pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kejadian diare. Metode penelitian menggunakan rancangan case control, dengan jumlah sampel 54 untuk kelompok kasus dan 54 untuk kelompok kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan chi square test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian diare memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi (p value= 0,037), dan kebiasaan ibu mencuci tangan sebelum memberikan makan pada anak (p value= 0,038). Rekomendasi perlunya penelitian lebih lanjut dengan.

Diarrhea disease is a major cause of morbidity and mortality worldwide and in developing countries. Based on the health profile of DKI Jakarta 2009, the reported number of cases of diarrhea of 164,743 where 50% of diarrhea cases occurred in infants. This study aims to identify and explain factors related to the incidence of diarrhea. This research method using case-control design, with sample size 54 for cases group and 54 for control group. Data analysis was performed univariate, bivariate with chi square test.
The results showed that risk factors affect has a significant relationship with nutritional status (p value= 0.037), and the habits of mothers wash their hands before providing eating in children (p value= 0.038). Recommendations that further research is another factor that affects anda is associated with diarrhea."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cesilia Permatasari
"ABSTRAK
Frekuensi pengambilan sampel tinja dalam pemeriksaan mikroskopik mempengaruhi hasil pemeriksaan, namun sampai saat ini belum ada pedoman jumlah pengambilan sampel tinja untuk deteksi infeksi parasit usus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi pengambilan sampel tinja yang lebih efektif untuk deteksi infeksi parasit usus dengan pemeriksaan mikroskopik. Penelitian dilakukan dengan desain cross sectional. Data pada penelitian merupakan hasil pemeriksaan dari sampel tinja yang dikirim ke Laboratorium Parasitologi FKUI tahun 2006-2015. Teknik sampling yang digunakan ialah non probability sampling yaitu consecutive sampling dengan mengambil sampel tinja dari subjek yang memeriksakan tinjanya 3 kali di hari yang berbeda dengan dengan interval pemeriksaan sampel pertama dan ketiga kurang dari 10 hari. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan dengan pengambilan sampel tinja dua kali meningkatkan hasil positif dibandingkan pengambilan sampel tinja satu kali 30,9 vs 34,1 uji Fisher

ABSTRAK
The sampling frequency of obtaining stool from patient rsquo s samples will determine the microscopic examination result, however the frequency of taking stool samples from a patient for detecting intestinal parasites has not been standardized. The aims of this study was to determine the most effective frequency of stool sampling for intestinal parasites detection by microscopic examination. The study was conducted by using cross sectional design. Data of this study were obtained from the examination result of stool samples sent to the Laboratory of Parasitology, FKUI from 2006 2015. The sampling technique used was consecutive sampling, which was done by taking stool samples from subjects being examined for three different days. The examination of three samples should not exceed ten days. This study showed that examination of stool samples taken twice increased positive outcomes compared to samples taken once 30.9 vs 34.1 Fisher 39 s exact test"
2016
S70388
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>