Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171715 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jaka Panca Satriawan
"Latar Belakang : Insidens Pneumonia HCAP semakin meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana optimal dapat menurunkan angka mortalitas , salah satunya Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). Pengaruh TFAD pada pasien pneumonia HCAP belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi perbedaan kesintasan 30 hari pasien pneumonia HCAP dewasa terhadap TFAD.
Metode : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan pasien pneumonia HCAP RSCM periode Januari 2011-Desember 2014. Dilakukan ekstraksi data rekam medis jarak waktu pemberian dosis awal antibiotika di IGD, derajat keparahan pneumonia dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitas 30 hari. Derajat keparahan menggunakan Skor CURB-65. TFAD dikelompokkan menjadi TFAD ≤4 jam dan > 4 jam. Perbedaan kesintasan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan diuji dengan Log-rank test, batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 170 subjek, dalam 30 hari sebanyak 51 subjek (40,5%) meninggal pada kelompok TFAD> 4jam dan 4 subjek (9,1%) meninggal pada kelompok TFAD ≤4jam. Median kesintasan seluruh subjek adalah 25 hari (IK95% 24-27), kelompok TFAD ≤4jam 29 hari (IK95% 27-31) dan kelompok TFAD > 4 jam 24 hari (IK95% 22-26) dengan log rank p 0,01. Kesintasan 30 hari kelompok TFAD ≤4jam sebesar 90,9% sedangkan kelompok TFAD > 4 jam 59,5%. Crude HR pada kelompok TFAD > 4 jam 5,293 (IK95% 1,912-14,652). Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok TFAD> 4 jam sebesar 7,137 (IK95% 2,504-30,337).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien HCAP dewasa pada kelompok TFAD > 4 jam , semakin lama jarak waktu pemberian antibiotik awal, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : The incidence of pneumonia HCAP is increasing with a high mortality rate. Optimal management can reduce mortality, one of which Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). TFAD influence on pneumonia patients with HCAP has not been widely studied.
Objective : Obtain information about the differences in 30-day survival adult patients with pneumonia HCAP against TFAD.
Methods : A retrospective cohort study based on analysis of the patient's survival against pneumonia HCAP period January 2011 to December 2014. Extraction of data from the medical records of the interval initial dose of antibiotics in the ED, the severity of pneumonia and confounding factor, then look for the data in 30-day mortality. Severity using CURB-65 score. TFAD divided into two groups, TFAD ≤4 hours and> 4 hours. Differences in survival is shown in Kaplan Meier. The difference in survival were tested by the log-rank test, with significance limit p<0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% CI) with correction for confounding variables.
Results : Of the 170 subjects, within a period of 30 days by 51 subjects (40.5%) died in the group TFAD> 4 hours and 4 subjects (9.1%) died in the group TFAD ≤4 hours. Mean survival of the whole subject is 25 days (IK95% 24-27), the group TFAD ≤4jam 29 days (IK95% 27-31) and group TFAD> 4 hours 24 days (IK95% 22-26) with a log-rank p 0.01 , 30-day survival in the group TFAD ≤4jam by 90.9% while the TFAD> 4 hours 59.5%. Crude HR group TFAD> 4 hours of 5.293 (1.912 to 14.652 IK95%). After adjustment for confounding variables obtained fully adjusted HR group TFAD> 4 hours amounted to 7.137 (2.504 to 30.337 IK95%).
Conclusions : There are differences in 30-day survival of adult patients with HCAP group TFAD> 4 hours; the longer the interval initial antibiotic treatment, the worse the 30-day survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan akut parenkim paru-paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru Bakteri penyebab yang utama adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus untuk bakteri yang tergolong gram positif dan Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Mycobacteri um tuberkulosis untuk bakteri yang tergolong gram negatif. Pemilihan
dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP). Pola penggunaan antibiotika di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya belum pernah dilakukan. Mempelajari pola
penggunaan antibiotika pada penderita rawat inap pneumonia di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. Ramelan dan mengkaitkan dosis, mengetahui terapi lain, serta mengidentifikasi adanya DRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode penelitian survey yang bersifat deskriptif berupa suatu studi retrospektif dan deskriptif.
Bahan penelitian adalah Rekam Medik Kesehatan (RMK) penderita rawat inap di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. Ramelan Surabaya dengan diagnosa akhir pneumonia, mulai tanggal 1 Januari 2004 sampai tanggal 30 April 2006 yang memenuhi kriteria inklusi. Dari populasi penelitian yang berjumlah 50 didapatkan 41 penderita yang memenuhi kriteria inklusi. Antibiotika tunggal yang paling banyak diterima
penderita tanpa penyakit penyerta adalah ampisilin iv 26,92% (14 penderita) dan sefotaksim iv 21,15% (11 penderita), sedang antibiotika kombinasi yang banyak diterima penderita adalah ampisilin iv/po+kloksasilin iv/po 13,46% (7 penderita) dan kloksasilin
iv+seftriakson iv 5,77% (3 penderita) dan sisanya antibiotika kombinasi lainnya. Penelitian DRP ditemukan 56,9% penderita menerima dosis antibiotika yang sesuai pustaka dan 43,1% penderita menerima dosis underdose. Penggunaan antibiotika di atas adalah sudah sesuai dengan buku pedoman terapi dan referensi lainnya. Antibiotika tunggal atau kombinasi 2 antibiotika golongan penisilin dan sefalosporin
sering digunakan untuk terapi pneumonia.

Abstract
Pneumonia is an infectious disease that was caused inflammation of acute parenchymal compression of the lungs and bacterial exudate from lung tissue on the main from Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumonia, Mycobacterium tuberculosis. Selection of appropriate antibiotic therapy and rational will determine the treatment to avoid the occurrence of bacterial resistance. In addition it is also possible the use of other drugs that can increase the chances of Drug Related Problems (DRP). Pattern of antibiotic use in Rumkital Dr. Ramelan Surabaya has never been done. Studying the pattern use of
antibiotics in hospitalized patients with pneumonia in the Sub Department of Pediatric Rumkital Dr. Ramelan and related the dose, other therapies, as well as identify the DRP. This research is a method descriptive survey research in the form of a retrospective and descriptive study. Materials research is the Medical Records patients
hospitalized with the final diagnosis of pneumonia, starting January 1, 2004 until April 30, 2006 that meet inclusion criteria. Of the study population who account for 50 found 41 patients who fulfilled the inclusion criteria. Antibiotics single most widely accepted patients without comorbidities were ampicillin iv 26.92% (14 patients) and iv sefotaksim 21.15% (11 patients), while the antibiotic combination
widely accepted patients is ampicillin iv / po + kloksasilin iv / po 13.46% (7 patients) and kloksasilin iv + ceftriaxone iv 5.77% (3 patients) and the rest other antibiotic combinations. DRP study found 56.9% patients received appropriate antibiotic dose literature and 43.1% patients receiving doses underdose. Use of antibiotics
above is already in accordance with reference and other therapies. Single antibiotic or combination of 2 antibiotics penicillin and cephalosporin classes often used to treat pneumonia."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Fakultas Farmasi], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan
"Pneumonia adalah penyakit ISPB yang mempunyai angka kematian yang masih cukup tinggi di dunia dan juga Indonesia Dua bakteri penyebab utama penyakit ini adalah Klebsiella pneumoniae serta Streptococcus pneumoniae Antibiotik adalah pengobatan utama untuk kasus akibat kedua bakteri tersebut Penggunaan antibiotik yang dilakukan secara luas dan tidak tepat guna menyebabkan munculnya pola peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang biasa diberikan sehingga dibutuhkan golongan antibiotik baru yang masih efektif Senyawa X merupakan sebuah senyawa yang mengandung struktur cincin oksazol dan diduga mempunyai potensi untuk menjadi sebuah senyawa antibiotik baru yang masih efektif melawan berbagai bakteri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bioaktivitas dari Senyawa X terhadap kedua bakteri tersebut serta apakah terdapat hubungan antara penambahan dosis dengan bioaktivitasnya Sebanyak 3 kultur dari masing masing bakteri sebagai ulangan diberikan perlakuan dengan metode disk difussion test Disk kosong ini diisi dengan aquades sebagai baseline alkohol 90 sebagai kontrol negatif serta Senyawa X dengan konsentrasi 2 4 8 16 32 64 dan 128 mg L sebagai perlakuan Indikator bioaktivitas adalah diameter hambatan pertumbuhan dari kedua bakteri Secara deskriptif didapatkan bahwa Senyawa X cenderung mempunyai bioaktivitas terhadap kedua bakteri sedangkan uji hipotesis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan dosis Senyawa X dengan peningkatan bioaktivitasnya pada bakteri Streptococcus pneumoniae p 0 003 Namun pada bakteri Klebsiella pneumoniae tidak ditemukan hubungan yang bermakna p 0 133 Hasil penelitian ini membuktikan Senyawa X memiliki bioaktivitas terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae Namun hubungan yang bermakna terhadap peningkatan dosis Senyawa X dan bioktivitasnya hanya terjadi pada bakteri Streptococcus pneumoniae.

Pneumonia is one of the Upper Airways Infections which still has increasing mortality rate in Indonesia Two common pathogens causing this disease are Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae Antibiotics are the main therapy in this case A wide and irrational usage of those antibiotics brings the increasing antibiotics resistant pattern of both pathogens So that a new and effective antibiotic are needed Substance X an ocsazoles containing substance is now assumed being an effective antibiotic among many pathogens Therefore this study aims to understand the bioactivity of Substance X to both pathogens and to understand the relationship between the increasing dosage and their effect on the Substance X bioactivity There were 3 cultures of both pathogens and each of them is given disk diffusion test method to conduct the experiment The blank disk were then filled with aquades baseline alcohol 90 negative control and Substance X with 2 4 8 16 32 64 And 128 mg L concentration tested group The indicator of bioactivity in this study measured in growth inhibition diameter of both pathogens Descriptively the experiment shows Substance X has bioactivity to both pathogens Another hypothesis then tested using Kruskal Wallis shows a significant relationship between the increasing dosage of Substance X and the increasing bioactivity on Streptococcus pneumoniae p 0 003 but not on Klebsiella pneumoniae p 0 133 This study then can be concluded that Substance X has bioactivity to both Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae But the significant relationship between increasing dosage and bioactivity of Substance X can only be found on Streptococcus pneumoniae.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Nofria Rizki Amalia
"Pandemi Coronavirus disease-19 (COVID-19) telah secara drastis mempengaruhi kesehatan global. Salah satu komplikasi COVID-19 yang berbahaya adalah pneumonia. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk pencegahan dan pengobatan pneumonia pada pasien COVID-19. Pemberian antibiotik yang tidak sesuai dapat memicu resistensi antibiotik sehingga berdampak pada peningkatan mortalitas pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Sampel penelitian adalah 72 pasien rawat inap yang mendapat diagnosis COVID-19 terkonfimasi dan pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta pada periode Maret hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia memiliki rerata usia 53,13 ± 12,61 tahun. Pasien dengan derajat penyakit COVID-19 berat atau kritis (66,7%) lebih banyak dibandingkan non-berat (33,3%). Jumlah pasien meninggal yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah 36 (50%). Berdasarkan evaluasi antibiotik menggunakan diagram alir Gyssen diperoleh hasil sejumlah 11 dari 72 (15,3%) pasien menggunakan regimen antibiotik yang tidak sesuai. Karakteristik ketidaksesuaian antibiotik, meliputi: ketidaktepatan pemilihan antibiotik (2,8%) dan durasi antibiotik (12,5%). Kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen tidak berpengaruh secara bermakna terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dan pneumonia.

The COVID-19 pandemic affected global health drastically. COVID-19 becomes more dangerous if pneumonia attacks COVID-19 patients as a complication. Numerous types of antibiotics were used for the prevention and treatment of pneumonia in COVID-19 patients. Inappropriate administration of antibiotics caused antibiotic resistance and influenced patient mortality. This research aims to analyze the effect of appropriate antibiotics administration according to Gyssen flowchart on clinical outcomes of confirmed COVID-19 patients with pneumonia. This research was conducted using a cross-sectional design. A total of 72 COVID-19 confirmed inpatients with pneumonia diagnosis from March to December 2020 at Fatmawati Hospital Jakarta whose met inclusion criteria were included in our study. The mean age of all patients was 53.13 ± 12.61 years. The percentage of critical or severe ill patients (66.7%) was higher than those who were having noncritical diseases (33.3%). 36 (50%) death were reported in our patient population. 11/72 (15.3%) antibiotic regimens were found to be inappropriate. Characteristics of inappropriate antibiotics included: incorrect choice (2.8%) and duration of antibiotics (12.5%). We conclude that appropriate administration of antibiotics based on the gyssen flowchart was not significantly associated with the clinical outcomes of confirmed COVID-19 with pneumonia patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Suci
"Penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia terus meningkat seiring dengan tingginya angka kejadian serta mempengaruhi pola penggunaan antibiotik difasilitas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika golongan beta laktam pada pasien pneumonia di rumah sakit anak dan bunda harapan kita tahun 2016 yang dilakukan untuk mencapai penggunaan antibiotik yang rasional. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari rekam medik pasien. Sampel merupakan resep pasien pneumonia periode Januari hingga Desember 2016. Studi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan metode Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose ATC/DDD . Antibiotik yang digunakan adalah ampisilin; amoksisilin; ampisilin-sulbaktam; seftriakson; sefiksim; sefotaksim; seftazidim; sefoperazone dan seftizoksim. DDD dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah ampisilin 80,5 sedangkan DDD/100bed/hari dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah amoksisilin 34,62 DDD/100bed/hari . Secara kualitatif, antibiotik yang menyusun segmen DU90 ada lima yaitu ampisilin; seftriakson; sefotaksim; sefixim; ampisilin-sulbaktam. Kesesuaian penggunaan antibiotik golongan beta laktam di rumah sakit anak dan bunda harapan kita tahun 2016 dengan Formularium Nasional sebesar 99,55.

The use of antibiotics increases as well as number of events and affect the pattern of antibiotic uses in health facilities. This study aimed to evaluate the use of beta lactam antibiotics in patients with pneumonia in Harapan Kita Mother and Children rsquo s Hospital in 2016 which is done to achieve rational drug uses. The design of the study was descriptive with retrospective data collection from patients rsquo medical records. Samples were patients rsquo prescriptions from January to December 2016. The analysis was done using Anatomical Therapeutic Chemical Defined Daily Dose ATC DDD qualitatively and quantitatively. The antibiotics were ampicillin amoxicillin ampicillin sulbactam ceftriaxone cefixime cefotaxime ceftazidime cefoperazone and ceftizoxime. DDD with most antibiotics used is ampicillin 80,5 , while DDD 100bed day with most antibiotics used is amoxicillin 34.62 DDD 100bed day . Five antibiotics which are in segment DU90 are ampicillin ceftriaxone cefotaxime cefixime ampicilin sulbactam. Compatibility of the use of pneumonia drugs with National Formulary are 99.55.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S67554
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suratini
"ABSTRAK
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksi yang umum terjadi danmerupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan terbanyak. Penyakit ini memilikidampak terhadap sosioekonomi dimana tingginya biaya kesehatan terutama disebabkanoleh biaya rawat inap. Evaluasi farmakoekonomi dilaksanakan untuk menilai efektivitasbiaya antibiotik untuk mengetahui apakah pengobatan antibiotik memberikan outcometerapi yang baik dengan biaya yang minimal. Penelitian dilakukan terhadap kombinasiseftriakson-azitromisin dan levofloksasin tunggal sebagai antibiotik empiris untuk pasienpneumonia rawat inap. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan membandingkan totalbiaya medis langsung dan efektivitas yang dilihat dari lama rawat masing-masingkelompok pengobatan. Penelitian dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta, dengandesain penelitian studi kohort retrospektif, dimana pengambilan data dilakukan secararetrospektif terhadap data sekunder, berupa rekam medis pasien dari tahun 2014-2016.Jumlah pasien yang dilibatkan dalam analisis 100 pasien, yaitu 64 pasien menggunakanantibiotik seftriakson iv dan azitromisin oral, dan 36 pasien menggunakan levofloksasiniv tunggal. Median biaya antibiotik berbeda signifikan antara kelompok seftriaksonazitromisindan kelompok levofloksasin, yaitu Rp.130.756,- dan Rp.286.952,-. Medianbiaya medis langsung kelompok seftriakson-azitromisin lebih tinggi dibandingkankelompok levofloksasin tunggal, yaitu Rp. 6.494.998,- dan Rp. 5.444.242,-. Keberhasilanterapi kelompok seftriakson-azitromisin yaitu 95,3 , sementara keberhasilan terapikelompok levofloksasin sebesar 97,2 namun tidak terdapat perbedaaan signifikan.Median lama rawat LOS dan lama rawat terkait antibiotik LOSAR kelompoklevofloksasin berturut-turut sebesar 6 hari dan 5 hari, lebih singkat dibandingkan LOSdan LOSAR kelompok seftriakson-azitromisin, yaitu 7 hari dan 6 hari. Nilai ACERkelompok levofloksasin sebesar Rp.56.011,-/persen efektivitas lebih rendahdibandingkan kelompok seftriakson-azitromisin sebesar Rp. 68.153,-/persen efektivitas.Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa levofloksasin lebih cost-effectivedibanding kombinasi seftriakson-azitromisin.

ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia CAP is one of the most common infectious diseasesand is one of the leading causes of death and morbidity. This disease has an impact onsocioeconomic where the high cost of health is mainly caused by the cost ofhospitalization. A pharmacoeconomic evaluation was conducted to assess the costeffectivenessof antibiotics to find out whether antibiotic treatment results in a goodtherapeutic outcome with a minimal cost. The study was conducted on a combination ofceftriaxone azithromycin and single levofloxacin as an empirical antibiotic for inpatientCAP patients. Cost effectiveness analysis is conducted by comparing the total directmedical costs and the effectiveness measured from length of stay of each treatmentgroup. The study was conducted in RSUP Persahabatan, Jakarta, with a cohortretrospective design study, where retrospective data retrieval was conducted onsecondary data, in the form of patient medical records from 2014 2016. The number ofpatients involved in the analysis of 100 patients, ie 64 patients using combination of ivceftriaxone and oral azithromycin, and 36 patients using single iv levofloxacin. Medianantibiotic costs differed significantly between the ceftriaxone azithromycin group andthe levofloxacin group, which were Rp.130,756, and Rp.286,952, . Median directmedical costs of the ceftriaxone azithromycin group were higher than the singlelevofloxacin group, which was Rp. 6,494,998, and Rp. 5,444,242, . Success rate ofgroup of ceftriaxone azithromycin group was 95.3 , while the success rate oflevofloxacin group was 97.2 but there was no significant difference. Median length ofstay LOS and length of stay antibiotic related LOSAR of levofloxacin group wererespectively 6 days and 5 days, shorter than LOS and LOSAR of ceftriaxoneazithromycingroup, which were 7 days and 6 days. The value of the ACER levofloxacingroup was Rp.56.011, percent effectiveness, lower than the ceftriaxone azithromycingroup of Rp. 68.153, percent effectiveness. Based on the results of the study, it isconcluded that levofloxacin is more cost effective than a combination of ceftriaxoneazithromycin."
2017
T48638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina
"Latar belakang: Pneumonia adalah salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Proses penuaan sistem organ dan faktor komorbid banyak berperan pada peningkatan morbiditas dan mortalitas pneumonia pada pasien geriatri sehingga menyebabkan tingginya biaya pengobatan penyakit tersebut. Salah satu biaya yang menyerap besar anggaran rumah sakit adalah biaya antibiotik. Tingginya biaya penggunaan antibotik untuk pneumonia komunitas menyebabkan perlunya dilakukan analisis farmakoekonomi. Cost effectiveness adalah salah satu metode analisis farmakoekonomi.
Tujuan: Menilai cost effectiveness tata laksana pneumonia komunitas pada geriatri.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif pada pasien geriatri rawat inap dengan pneumonia komunitas di RSCM periode 1 Januari 2012-31 Maret 2016. Analisis cost effectiveness digunakan untuk analisis farmakoekonomi yang membandingkan biaya (cost) dengan hasil luaran klinis sembuh (effectiveness).
Hasil: Sebanyak 104 pasien geriatri dengan pneumonia komunitas dirawat di RSCM dianalisis cost effectiveness dan dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu: kombinasi seftriakson azitromisin (n=38), kombinasi sefotaksim azitromisin (n=23), monoterapi meropenem (n=22), kombinasi meropenem levofloksasin (n=13), dan monoterapi sefepim (n=8). Kesembuhan tertinggi pada monoterapi sefepim (100%), kombinasi sefotaksim azitromisin (95,7%), dan kombinasi seftriakson azitromisin (92,1%). Kematian tertinggi pada kombinasi meropenem levofloksasin (46,2%) dan monoterapi meropenem (36,4%). Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin. Kelompok 2 terdiri dari kombinasi meropenem levofloksasin, monoterapi meropenem dan monoterapi sefepim. Nilai ACER (Average Cost Effectiveness Ratio) pada kombinasi seftriakson azitromisin Rp285.097,- dan monoterapi sefepim memiliki nilai ACER Rp 1.747.356,-. Pada nilai ICER (Intremental Cost Effectivenees Ratio), penggunaan kombinasi seftriakson azitromisin memberikan selisih penambahan harga sebesar Rp 31.756,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi sefotaksim azitromisin. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 58.124,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan monoterapi meropenem. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 83.918,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin. Penggunaan meropenem memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 179.724,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.
Kesimpulan: Kedua rejimen antibiotik kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin memiliki cost effectiveness yang sama untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri. Monoterapi sefepim memiliki cost effectiveness lebih tinggi dibandingkan monoterapi meropenem dan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.

Background: Pneumonia is one of the major health problems in elderly. The aging process of organ systems and many comorbid factors contribute to increase the morbidity and mortality of pneumonia in geriatric patients, causing high costs of the treatment, mainly the cost of antibiotic. The high cost of antibiotic used for community pneumonia creates need for pharmacoeconomics analysis. Cost effectiveness analysis is one of the method for doing pharmacoeconomics analysis.
Objective: To analyze the cost effectiveness of antibiotic uses on community pneumonia in elderly.
Method: This study was conducted retrospectively in hospitalized geriatric patients with community pneumonia in RSCM for period of 1 January 2012-31 March 2016. The cost effectiveness analysis method was used to analyze pharmacoeconomics by comparing the expense (cost) with clinically cured patients (effectiveness).
Result: A total of 104 geriatric patients with community pneumonia treated in RSCM were analyzed by using cost effectiveness method. They were classified into 5 groups: combination of azithromycin ceftriaxone+azithromycin (n=23), combination of cefotaxime+azithromycin (n=38), meropenem monotherapy (n=22), combination of meropenem+levofloxacin (n=13), and cefepime monotherapy (n=8). The highest percentage of recovery was found in cefepime monotherapy (100%), followed by combination of cefotaxime+azithromycin (95.7%) and combination of ceftriaxone+azithromycin (92.1%). The highest percentage of mortality was observed in the combination of meropenem+ levofloxacin (46.2%), followed by meropenem monotherapy (36.4%). This research is divided into two large groups. Group 1 consisted of combination of ceftriaxone+azithromycin and combination of cefotaxime+azithromycin. Group 2 consisted of combination of meropenem+levofloxacin, meropenem monotherapy and cefepime monotherapy .The Average Cost Effectiveness Ratio of combination ceftriaxone+azithromycin is Rp 285.097,-while the ACER of cefepime monotherapy is Rp 1.747.356,-. The Intremental Cost Effectivenees Ratio of combination of ceftriaxone+azithromycin is Rp 31.756,- for each 1% increment of recovery when compared to combination of cefotaxime+azithromycin. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 58.124, - for each 1% additional of recovery compared to meropenem monotherapy. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 83.918,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin. The use of meropenem provides reduction of Rp 179.724,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
Conclusions: Both of two regimen azithromycin+ceftriaxone and cefotaxime+azithromycin got the same cost of effectiveness for the treatment of community pneumonia in elderly. Cefepime monotherapy has higher cost effectiveness than meropenem monotherapy and combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adriel Sebastian Loekito
"Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular yang sering terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK). Antibiotik yang digunakan dalam terapi farmakologis pneumonia sering kali memerlukan pengaturan dosis akibat penurunan fungsi ginjal. Studi cross-sectional ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik dan pengaruhnya pada luaran terapi dan durasi rawat pada pasien pneumonia dengan PGK di RSUP Persahabatan Jakarta. Data pasien diambil secara retrospektif pada periode 2021-2023 menggunakan metode total sampling. Analisis statistik dilakukan dengan metode Chi-squared untuk kesesuaian dosis dan hubungan kesesuaian dosis dengan luaran terapi dan Mann-Whitney untuk kesesuaian dosis dengan durasi rawat. Diperoleh 111 sampel penelitian yang mayoritias merupakan laki-laki dengan median usia 59 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir. Sefoperazon merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan, diikuti oleh levofloksasin dan sefotaksim. Mayoritas pasien (51,4%) menerima peresepan antibiotik dengan pengaturan dosis yang tidak tepat. Ditemukan bahwa nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) (p < 0,001; RR = 1,048) dan hemodialisis (p = 0,003; RR = 0,571) memengaruhi kesesuaian dosis. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kesesuaian dosis dengan luaran terapi; faktor lain yang memengaruhi luaran terapi meliputi nilai Charlson comorbidity index (CCI) (p = 0,007; RR = 1,829), jenis terapi (p = 0,023; RR = 1,183) dan sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Kesesuaian dosis memengaruhi durasi rawat secara signifikan (p < 0,001) dan faktor lain yang memengaruhi durasi rawat adalah hemodialisis (p = 0,019). Temuan ini menunjukkan masih adanya ketidaksesuaian pengaturan dosis yang perlu diperbaiki dengan melibatkan apoteker dan tenaga kesehatan lain dalam pengaturan dosis antibiotik.

Pneumonia is one of the most prevalent infectious diseases in patients with chronic kidney disease (CKD). Antibiotics used in pneumonia often require dose adjustments. A cross-sectional study was conducted to determine antibiotic dose appropriateness and its impact on patients’ outcomes and length of stay (LOS) at the Persahabatan National Respiratory Hospital Jakarta. Patients’ data were retrospectively reviewed between 2021 and 2023 using the total sampling method. Statistical analyses were performed with the Chi-squared analyses for dose appropriateness and outcomes and the Mann-Whitney test for LOS. A total of 111 samples were included in the study, with the majority being males with a median age of 59 and end-stage renal disease. Cefoperazone was prescribed more than any other antibiotics, followed by levofloxacin and cefotaxime. Most patients (51,4%) received antibiotics with inappropriate dose adjustment. Low estimated glomerular filtration rate (eGFR) (p < 0,001; RR = 1,048) and haemodialysis (p = 0,003; RR = 0,571) were independently associated with inappropriate dose adjustment. No statistically significant association was found between dose appropriateness and clinical outcome; other associated factors include a high Charlson comorbidity index (CCI) score (p = 0,007; RR = 1,829), type of therapy (p = 0,023; RR = 1,183), and sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Inappropriate dose adjustments were associated with a longer LOS (p < 0,001). Other associated factors include haemodialysis (p = 0,019). These findings indicate substantial dose adjustment inappropriateness that requires immediate attention and collaboration by pharmacists and other healthcare professionals to ensure appropriate adjustment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randhy Fazralimanda
"Latar Belakang: Pneumonia berat masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan dunia. Sistem imun diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis pneumonia, namun tidak banyak studi yang menilai hubungan antara kadar CD4 dan CD8 darah dengan mortalitas akibat pneumonia berat pada pasien dengan status HIV negatif.
Tujuan: Mengetahui data hubungan dan nilai potong kadar CD4 dan CD8 darah dengan angka mortalitas 30 hari pada pasien pneumonia berat di RSCM.
Metode: Penelitian berdesain kohort prospektif yang dilakukan di ruang rawat intensif RSCM periode Juni-Agustus 2020. Keluaran berupa kesintasan 30 hari, nilai titik potong optimal kadar CD4 dan CD8 darah untuk memprediksi mortalitas 30 hari dan risiko kematian. Analisis data menggunakan analisis kesintasan Kaplan-Meier, kurva ROC dan multivariat regresi Cox.
Hasil: Dari 126 subjek, terdapat 1 subjek yang loss to follow up. Mortalitas 30 hari didapatkan 26,4%. Nilai titik potong optimal kadar CD4 darah 406 sel/μL (AUC 0,651, p=0,01, sensitivitas 64%, spesifisitas 61%) dan kadar CD8 darah 263 sel/μL (AUC 0,639, p=0,018, sensitivitas 62%, spesifisitas 58%). Kadar CD4 darah < 406 sel/μL memiliki crude HR 2,696 (IK 95% 1,298-5,603) dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki crude HR 2,133 (IK 95% 1,035-4,392) dengan adjusted HR 2,721 (IK 95% 1,343-5,512). Bila sepsis dan tuberkulosis paru ditambahkan dengan kadar CD4 darah dan CD8 darah, didapatkan nilai AUC 0,752 (p=0,000).
Kesimpulan: Kadar CD4 dan CD8 darah memiliki akurasi yang lemah dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia berat. Kadar CD4 darah < 406 sel/μL dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki risiko mortalitas 30 hari yang lebih tinggi.

Background: Severe pneumonia is a major health problem in Indonesia and the world. The immune system is known to play an important role in the pathogenesis of pneumonia, but few studies have assessed the relationship between blood CD4 and CD8 count and mortality from severe pneumonia in patients with negative HIV status.
Objectives: Knowing the correlation data and the cut-off value of blood CD4 and CD8 count with a 30-days mortality rate in severe pneumonia patients at RSCM. Methods. This study is a prospective cohort study conducted at RSCM intensive care rooms from June to August 2020. The outputs were 30-days survival rate, optimal cut-off value for blood CD4 and CD8 count to predict 30-days mortality and mortality risk. Data analysis used Kaplan-Meier survival, ROC curves and multivariate Cox regression analysis.
Results: Of the 126 subjects, there was 1 subject who lost to follow up. The 30- days mortality rate was 26.4%. The optimal cut-off value for blood CD4 count was 406 cells/μL (AUC 0.651, p=0.01, sensitivity 64%, specificity 61%), blood CD8 count was 263 cells/μL (AUC 0.639, p=0.018, sensitivity 62%, specificity 58%). CD4 blood count < 406 cells/μL had a crude HR of 2.696 (95% CI 1.298- 5.603) and blood CD8 count < 263 cells/μL had a crude HR of 2.133 (95% CI 1.035-4.392) with an adjusted HR of 2.721 (CI 95% 1,343-5,512). If sepsis and pulmonary tuberculosis were added to the blood CD4 and CD8 count, the AUC value was 0.752 (p=0.000).
Conclusion: Blood CD4 and CD8 count had poor accuracy in predicting 30-days mortality in patients with severe pneumonia. The group with blood CD4 count < 406 cells/μL and blood CD8 count < 263 cells/μL had a higher risk of 30-days mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Tilaqza
"ABSTRAK
Sekitar 50% peresepan antibiotik tidak rasional berdasarkan data dari WHO,
dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, biaya
pengobatan, efek samping dan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi pola peresepan antibiotik dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan peresepan antibiotik yang rasional di seluruh puskesmas kecamatan kota
Depok. Rancangan penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Sampel
penelitian terdiri dari seluruh dokter, tenaga kefarmasian, resep antibiotik per oral
dan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) periode Oktober
– Desember 2012. Analisis data dilakukan dengan uji chi square dan analisis
regresi logistik. Berdasarkan hasil analisis diketahui pola peresepan antibiotik
yang paling banyak diresepkan berdasarkan jenis antibiotik adalah amoksisilin
(73,5%) dan kotrimoksazol (17,4%), berdasarkan jenis penyakit adalah faringitis
akut (40,2%) dan ISPA tidak spesifik (25,4%), berdasarkan jenis kelamin pasien
adalah perempuan (54,4%), dan berdasarkan usia yakni antara 19-60 tahun
(45,4%). Dari 392 resep diketahui 56,1% tidak memenuhi kriteria kerasionalan
peresepan antibiotik yakni dalam hal pemilihan antibiotik (22,7%), durasi
pemberian (72,3%), frekuensi pemberian (3,2%), durasi dan frekuensi pemberian
(1,8%).Dokter yang pernah mengikuti pelatihan 2,014 kali lebih rasional
dibandingkan dengan dokter yang tidak pernah mengikuti pelatihan. Dokter
dengan masa kerja singkat (< 7 tahun) 3,952 kali lebih rasional dalam peresepan
antibiotik dibandingkan dengan masa kerja lama (> 7 tahun). Penelitian ini juga
menunjukkan peran tenaga kefarmasian dalam peresepan antibiotik rasional
belum bisa dilakukan karena kendala keterbatasan tenaga. Oleh karena itu perlu
dilakukan pelatihan kepada dokter dalam upaya meningkatkan peresepan
antibiotik yang rasional secara periodik dan penambahan tenaga kefarmasian agar
bisa melaksanakan peran dalam peresepan antibiotik rasional.
ABSTRACT
Approximately 50% of antibiotic prescribing is categorized as irrational according
to the data from the WHO, which will cause an increase in morbidity, mortality,
cost of medication, side effects, and resistance. The aim of this study was to
evaluate antibiotic prescribing patterns and factors associated with rational
antibiotic prescribing at public health care in Depok. Study design used a cross
sectional method. The sample consisted of physicians, pharmacists, oral antibiotic
prescriptions, and LPLPO from October to December 2012. Data were analyzed
by chi-square test and logistic regression analysis. Based on the results of
analysis, the most widely prescribed antibiotic pattern based on type of antibiotic
were amoxicillin (73.5%) and cotrimoxazole (17.4%), based on the type of
disease were acute pharyngitis (40.2%) and non-specific respiratory infection
(25.4%), based on the patient's gender was female (54.4%), and based on the age
was between 19-60 years (45.4%). About 56.1% of 392 prescriptions was found
not to meet the criteria for rational antibiotic prescribing in the case of antibiotic
selection (22.7%), duration of administration (72.3%), frequency of
administration (3.2%), duration and frequency of administration (1.8%).
Physicians who had attended training for rational drug use was 2,014 times more
rational than physicians who had never attended training. Physicians with short
working period (<7 years) was 3,952 times more rational in prescribing of
antibiotics compared to physicians with a longer working period (> 7 years). This
study also indicated that the role of pharmacist in rational antibiotic prescribing
could not be implemented due to the lack of pharmacist staff. Therefore,
periodically training is necessary for physicians in an effort to improve a rational
antibiotic prescribing in public health care. Additional staff of pharmacist in order
to carry out their role in rational antibiotic prescribing is also needed."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T38415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>