Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lazarus Revassy
"ABSTRAK
Topik umum disertasi ini adalah administrasi pemerintahan lokal irian jaya dengan lokasi penelitian di desa Harapan-Kwamki Lama-Timika, Kabupaten Mimika. Masalah utama disertasi ini adalah corak administrasi pemerintahan lokal dalam wilayah yang didiami oleh lebih daripada satu suku bangsa. Contoh kasus yang dibahas adan ditunjukkan dalam disertasi ini adalah desa Harapan-Kwamki Lama, Kabupaten Mimika.
Hal-hal yang tercakup di dalam masalah pokok di atas adalah (1) administrasi pemerintahan lokal, (2) corak politik kesukubangsaan, dan (3) program-program pembangunan serta proses pelaksanaan program-program tersebut. Dalam praksisnya, ketiga satuan permasalahan tersebut saling berkaitan secara sistemik atau holistik dan kemudian "mengada" dalam bentuk corak administrasi pemerintahan lokal. Bagian akhir inilah yang menjadi pusat perhatian dari disertasi ini, karena ia merupakan hasil dari saling hubungan antara pejabat-pejabat desa masing-masing dengan politik kesukubangsaannya dalam menginterpretasikan program-program pembangunan pemerintah dan pelaksanaan program-program tersebut serta tanggapan setiap satua etnis yang ada sebagai anggota masyarakat desa yang bersangkutan.
Untuk mengkaji masalah tadi, digunakan pendekatan kualitatif, antara lain dengan mengadakan kategorisasi konsep-konsep yang digunakan oleh masyarakat desa Harapan-Kwamki Lama. Konsep-konsep tersebut diperoleh dari informan kunci kemudian diperbandingkan dengan informasi dari informasi lain. Data diperoleh dengan wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Data yang telah dikumpulkan disusun dan dikelompokkan dalam pola, tema atau kategori lalu di maknakan, dijelaskan, dan dilihat keterkaitan antara satu dengan lainnya.
Kerangka berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah di atas adalah konsep-konsep mengenai (1) administrasi pemerintahan lokal, (2) kesukubangsaan, dan (3) konflik sosial. Bagian (1) berbicara tentang administrasi yang dilakukan oleh pemerintahan lokal serta pemerintah lokal. Pada bagian (2) dijelaskan konsep kesukubangsaan kemudian dikaitkan dengan program-program pembangunan dari atas dan dari bawah; bagian terakhir berbicara tentang konsep, model, dan potensi-potensi dari konflik sosial.
Heterogenitas etnisitas di desa Harapan-Kwamki Lama merupakan faktor yang sangat berperan dalam mengkaji masalah di atas. Dalam bidang administrasi pemerintahan lokal, faktor tersebut memunculkan kemajemukan personal perangkat desa, sementara dalam bahasa tentang corak politik kesukubangsaan, ia menunjuk pada peran kepemimpinan kepala desa dan perangkat desa lainnya (dari staf dan lini), baik sebagai pelaksana kepanjangan tangandari atasan maupun sebagai pelaksana dukungan legitimasi tradisional dari kelompok-kelompok suku bangsa yang ada di desa. Hal di atas akan lebih menarik jika dilihat soal tarik-menarik kepentingan dan peranan antara kepala desa, sekretaris desa, dan kepala dusun karena masing-masing merasa mendapat dukungan dari kelompok suku bangsanya.
Desa Harapan-Kwamki Lama dibentuk dengan tidak mengikuti konsep pemukiman menurut kebudayaan lokal. Hal tersebut berakibat terjadi konflik antarsukubangsa. Upaya untuk menghindari konflik sosial desa Harapan-Kwamki Lama dapat tercapai jika benar-benar memperhatikan kesalinghubungan antara administrasi pemerintahan lokal, program-program pembangunan, dan hakikat kesukubangsaan yang ada di desa Harapan-Kwamki Lama."
2002
D513
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Tebay
"Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI.
Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980.
Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan.
Melalui penelitian ini ingin diketahui:
1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali.
2. Pola adaptasi di lokasi yang baru.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut.
Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru.
Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu:
1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya.
2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro.
Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang.
Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua.
Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru.
Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah:
1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah:
a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur.
b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru.
2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama.
b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi.
c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama.
d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK.
3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu:
a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan.
Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro.
b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro.
Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI.
Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut.
Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang.
Implikasi Penelitian
1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua.
2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah.
3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah.
4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional.

Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management.
Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement.
Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area.
This research was held with several objectives:
1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project.
2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns
Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications.
Research hypothesis that were tested in this research, were:
1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment.
2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function.
The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples.
Research findings
1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro:
a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement.
b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro
2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene.
These findings were concluded from:
a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages.
b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food.
c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses.
d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines.
3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes:
a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education.
b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations.
c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation.
Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite.
Research Implications
1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program.
2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village.
3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods.
4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dumatubun, Agapitus Ezebio
"ABSTRAK
Latar belakang masalah adalah, bahwa setiap program pembangunan yang direalisir pada orang Amungme masih banyak menunjukkan kurangnya peranserta aktif mereka. Timbul pertanyaan: Mengapa orang Amungme kurang berperanserta aktif dalam pembangunan ? Tulisan ini berusaha mengungkapkan pertanyaan tersebut dengan menunjukkan adanya perbedaan antara pola pembangunan yang ada dengan pola tradisional orang Amungme. Menurut peneliti perbedaan ini terletak pada perbedaan persepsi peranserta dan jenis peranserta orang Amungme dengan persepsi pelaksana pembangunan. Lebih lanjut peneliti mengungkapkan bahwa perbedaan itu terwujud dalam hubungan antara pola program pembangunan dengan aspek kekuasaan dalam keluarga, kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Studi ini berupaya mendeskripsikan, mencari, menjelaskan sistem peranserta, kepemimpinan, kekuasaan dan pengambilan keputusan orang Amungme. Analisa dilakukan secara kualitatif. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui teknik observasi langsung dan partisipasi serta wawancara. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, dan wawancara terbuka dilakukan juga terhadap berbagai orang dan pada berbagai kesempatan. Selain pengumpulan data di lapangan, dilakukan juga di perpustakaan dan lembaga-lembaga terkait di Irian Jaya dan Jakarta.
Berdasarkan hasil analisis data lapangan, peneliti menemukan bahwa persepsi peranserta dalam pembangunan menunjukkan perbedaan. Persepsi peranserta orang Amungme dalam pembangunan lebih mengarah pada wujud gotong royong tolong menolong dalam berbagai aktivitas hidup yang dinyatakan dengan suatu perhitungan secara tajam dan spontanitas berdasarkan kategorisasi kegiatan. Sedangkan persepsi peranserta pelaksana pembangunan lebih mengarah pada upaya keterlibatan aktif penduduk dalam pengambilan keputusan, pengalokasian kebijaksanaan, dan distribusi serta implementasi perencanaan. Di sini dituntut bahwa orang Amungme harus terlibat dan memelira serta mengembangkan program pembangunan sebagai bagian untuk mereka. Dalam pelaksanaan, pelaksana pembangunan lebih banyak menerapkan bentuk kekuasaan paksaan atau coercive power.
Dikaitkan dengan kekuasaan secara tradisional pada orang Amungme yang masih menerapkan bentuk kekuasaan konsensus atau consensual power, menujukkan adanya perbedaan. Selain itu peranan Me-ki sebagai pemimpin tradisional dalam pengambilan keputusan, kurang memainkan peranan penting. Kepala desa serta istrinya lebih banyak memainkan peranan dalam pengambilan keputusan. Akibat perbedaan tersebut di atas, maka orang Amungme kurang berperanserta aktif dalam segala program pembangunan yang direalisir."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parsudi Suparlan, 1938-2007
"In this article, Suparlan uses both concepts of ethnicity and primordialism in explaining the failure of Poultry Farming Assistance Program carried out by the local office of the general of Animal Housebandry in Mwapi Villlage, Irian Jaya. Among the Komoro's who live in this village are divided into two clans: Muare and Pigapu. Their culture is called Ndaitita which mainly based on egalitarianism. They do not have a formal social stratification. Each person perceived as atomistic individual. Concepts of state and larger societies do not exist in Komoro's culture. Their social relations base on family and clan. When the head of Mwapi villages had task to coordinate the chicken program, he only recruited the persons from his clan: Muare. According to Suparlan, the heads start his ethnicities in forming make this group. But the programs started to ruin when the group had to work together. Komoro' peoples are very individualistic. So, the programs had failure. To cover up these problems, Chief starts his primordialism as the core beliefs."
1997
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ludong, Dorothea Theresia
"Penyakit malaria menduduki urutan utama di antara penyakit tropik endemik. Penyakit ini disebabkan oleh parasit genus plasmodium dan pada manusia diketahui empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium aralarias dan Plasmodium ovale. Dari ke empat spesies tersebut, Plasmodium falciparum adalah yang paling sering menyebabkan penyakit di daerah tropik dan berbahaya, karena dapat menimbulkan kematian (1). Oleh karena itu untuk menilai situasi malaria di suatu daerah, keberadaan Plasmodium falciparum perlu diketahui dengan jelas. Penilaian penyakit malaria di suatu daerah dapat dilakukan antara lain dengan survei malariometrik. Survei ini dapat menentukan prevalensi dan tingkat endemisitas malaria di daerah tersebut dengan mengukur angka limpa ("spleen rate") dan angka parasit ("parasite rate") (1,2). Angka limpa adalah persentase penduduk yang limpanya membesar dari seluruh penduduk yang diperiksa (1,2,3). Pada suatu infeksi malaria, limpa akan membesar untuk beberapa minggu walaupun parasit tidak ditemukan lagi dalam darah tepi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Rumansi
"ABSTRAK
Tulisan ini berjudul Dampak Operasional Multinational Corporations terhadap masyarakat lokal yang mengambil objek penelitian pada PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika. Tulisan ini berisi telaah akademis tentang implementasi dari program pengembangan masyarakat (Community development) dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR). CSR PT Freeport Indonesia adalah program yang lazim digunakan sebagaimana perusahaan pada umumnya dalam menunjukan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat yang telah terkena dampak akibat eksploitas pertambangan yang dilakukan. Kasus ini dikaji dengan perspektif hubungan internasional karena keberadaan MNC sebagai Non state actor yang kiprahnya melintasi batas kedaulatan negara dan beroperasi melalui foreign direct investment (FDI) dan berinteraksi di wilayah negara lain. MNC di wilayah negara berkembang diperlakukan sama dan merata sebagaimana kapasitas sebuah negara, bahkan kadang-kadang negara penerima (host country) tidak bisa berbuat apa-apa terhadap tindak-tanduk perusahaan raksasa tersebut. Untuk melindungi masyarakat dan meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat, pemerintah meminta PT Freeport Indonesia serius dalam program pengembangan masyarakat ini. PT Freeport Indonesia menanggapi hal tersebut dengan melakukan program yang disebut dengan program Dana Kemitraan yang bekerjasama dengan yayasan dan lembaga pengembangan masyarakat adat yang biasa disebut LPMAK. Lembaga ini dibentuk bersama sama oleh Perusahaan, Lembaga Adat, dan Pemerintah untuk menyalurkan dan mengelola dana kemitraan atau biasanya disebut dana 1% dalam beberapa program utama seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, penguatan lembaga adat, dan kegiatan keagamaan.
Berdasarkan hasil penelitan, dapat dijelaskan dalam tulisan ini mengenai besaran alokasi dana kemitraan dan peruntukannya berdasarkan program program diatas. Dalam implementasi di lapangan secara umum program pengembangan masyarakat ini sudah berjalan baik dan dievaluasi dan diperbaharui setiap tahunnya. Hanya saja dalam implementasinya masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan dana bantuan dari tujuan utamaanya. Selain penjelasan mengenai dana kemitraan dipaparkan juga tentang penerimaan negara dan manfaat lainnya yang telah diberikan oleh PT Freeport Indonesia, baik untuk Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten, dan masyarakat adat pemegang hak ulayat yaitu Amungme dan Kamoro. Pada bagian terakhir tesis ini menjelaskan mengenai perkembangan iklim investasi. Menjelaskan mengenai kehawatiran investor akan kurangnya kepastian hukum dalam berinvestasi bagi MNC dan PMA lainnya. Selain itu membahas juga persoalan renegosiasi Kontrak Karya generasi kedua PT Freeport Indonesia. Kemudian membahas mengenai perubahan kebijakan negara tentang penanaman modal di Indonesia yang dianggap sangat liberal dan berpihak kepada kaum kapitalis global.

ABSTRAK
The title of this thesis is Dampak Operasional Multinational Corporations (MNC) Terhadap Masyarakat Lokal: Studi Kasus PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika-Papua Periode 2001-2005 which object is based on the research at PT. Freeport Indonesia Mimika District. The thesis is an academic writing about the implementation of community development program in the shape of corporate social responsibility (CSR). The CSR of PT. Freeport Indonesia is a program that is accustoms to be used as the general companies do in order to show the responsibility to the societies that are affected by the mine exploitation that is conducted. The case is studied in the international relations perspective since the establishment of MNC as Non state actor which their roles across the nation sovereignty, operate through foreign direct investment (FDI), and interact in the region of other countries. MNC in the developing countries is treated equally based on the capacity of a country, and sometimes the host country is helpless for things that are conducted by this gigantic company. To protect the society and to minimize the negative effect to the environment and socio culture, the government orders PT. Freeport Indonesia to seriously handle the community developing program. As the answer, PT. Freeport Indonesia establish Dana Kemitraan program under the cooperation with institution and culture developing society yang which is called LPMAK. The institution was established in co operation between Company, Culture Society, and Government in order to distribute and process the partnership budget or it is usually called as 1% budget in some of main programs, such as education, health, economy, culture, and religion.
Based on the research, it can be explained in this thesis about the amount of the budget and its posts according to the program mention above. The implementation, generally, the program has run well and they are evaluated annually. However, there are still some lack ness and miss posting of budget from its main goal. Besides the explanation about the partnership, the benefits that are given by PT. Freeport Indonesia, to the government, Central, Province, District, and culture society the owner of ulayat right, that are Amungme and Kamoro are also mentioned. At the end of the thesis describes the investment progress. Describe the worrisome and the weakness of regulation or law in investing for MNC and other PMA. Besides, it discusses the problem of Kontrak Karya PT. Freeport Second Generation renegotiate. Also discuss the change of policy about investment in Indonesia that is considered liberal and on the side of global capitalism.
"
2007
T22911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sardjono Jatiman
"Disertasi ini mengkaji secara sosiologis proses perubahan desa dan pemerintahan desa di Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat yang terjadi akibat diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Upaya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru, yang bersifat sentralistis dan top down oriented, memerlukan tatanan birokrasi dan kelembagaan sampai tingkat paling bawah yaitu desa. Dengan tatanan birokrasi dan kelembagaan sampai di tingkat desa maka pembangunan dapat direncanakan dikendalikan secara nasional. Untuk keperluan itu maka selama kurun waktu 25 tahun, yaitu kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama, di seluruh desa di Indonesia telah dibentuk dan dikembangkan sejumlah lembaga dan organisasi baru yang diharapkan mampu menjadi agent of development bagi masyarakat desa. Di samping pembentukan dan pengembangan berbagai lembaga baru yang berkaitan dengan pembangunan sektoral, Pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa desa dan pemerintahan desa sebagai lembaga utama (basic institution) di pedesaan perlu diganti dengan bentuk dan sistem baru yang seragam untuk seluruh Indonesia. sistem Pemerintahan baru yang akan menggantikan sistem pemerintahan desa lama dituangkan dalam UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang berlaku pada tanggal 1 Desember 1979. Kalau berlakunya suatu undang-undang sebagai bagian dari hukum cukup melalui pemuatan dalam Lembaran Negara dan pengumuman melalui media masa, maka substansi sebuah undang-undang, sebagai institusi sosial atau lembaga sosial keberlakuannya memerlukan proses yang panjang yaitu proses pelembagaan. Proses inilah yang menjadi masalah pokok dalam disertasi ini, yaitu bagaimana pemerintah desa sebagai lembaga sosial (social institution) modern dan kompleks ditanamkan pada sistem sosial desa yang tradisional dan sederhana. Dari segi pemerintah bagaimana melembagakan pemerintahan desa dan dari segi masyarakat bagaimana desa mengadopsi lembaga baru tersebut menjadi bagian dari sistem sosialnya.
Puluhan ribu jumlah desa di Indonesia dengan keanekaragaman struktur wilayah serta sistem pemerintahannya menyebabkan proses pelembagaan pemerintah desa tidak sama. Bagi pemerintahan desa di Pulau Jawa dan Madura, yang sistemnya tidak berbeda prinsip dengan sistem yang terdapat dalam UU No. 5/1979, proses pelembagaan desa baru dan pemerintahannya tidak banyak menghadapi kesulitan. Di samping itu, tersedianya sumber daya manusia yang memadai sebagai pendukungnya, turut memberi saham dalam percepatan proses pelembagaan. Di luar pulau Jawa dan Madura, di mana sistem pemeritahan desa berdasarkan UU No. 5/1979 merupakan sistem yang berbeda dengan sistem pemerintahan desa lama, berbagai hambatan dan kendala muncul dalam proses pelembagaannya.
Studi ini mengkaji pelembagaan pemerintahan desa berdasarkan data empirik Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Data dikumpulkan melalui serangkaian wawancara yang tidak terstruktur, baik secara pribadi maupun kelompok terhadap sejumlah informan. Informan terdiri dari pejabat pemerintah, baik pusat maupun daerah, mantan kepala kampung, kepala desa dan perangkatnya, tokoh masyarakat dan warga masyarakat biasa. Di samping data primer digunakan pula data sekunder yang berupa dokumen-dokumen dan laporan penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan makna berbagai phenomena yang terjadi di desa Kabupaten Sambas. Perubahan pemerintahan desa akan dilihat dalam keutuhan sistem sosial melalui penelusuran gejala-gejala empirik yang dianalisis dan dijelaskan dalam kaitan dengan berbagai kegiatan dan penomena pembangunan.
Dari penelitian di desa di Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat ditemukan bahwa :
- Tingkat keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh luar berpengaruh terhadap tingkat terlembaganya pemerintahan desa. Desa pantai yang lebih terbuka terhadap pengaruh luar lebih cepat mengadopsi pemerintahan desa baru dibadingkan dengan desa lainnya.
- Derajat hubungan antara lembaga adat dan lembaga pemerintahan yang terdapat dalam sistem desa lama atau sistem pemerintahan kampung merupakan pula faktor yang berpengaruh terhadap proses pelembagaan pemerintahan desa. Pada desa di mana lembaga adat menyatu dengan lembaga pemerintahan desa, maka pelembagaan lebih sulit terjadi. Desa masyarakat Dayak, di mana hampir tidak ada pemisahan antara lembaga adat dan pemerintahan, pelembagaannya mengalami hambatan.
- Desa di dekat kota atau desa yang terjangkau oleh lembaga pendidikan lebih mudah mengadopsi pemerintahan desa baru. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga modern memerlukan basis sosial masyarakat dengan tingkat pendidikan atau tingkat pengetahuan tertentu.
- Keberadaan pemerintahan desa baru kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat karena pemerintah desa dan perangkat desa yang menjadi bagian dari birokrasi nasional maka cenderung berorientasi pada pemerintah atasan.
- Beban tugas dan tanggung jawab pemerintah desa yang melebihi kemampuannya, baik kemampuan sumber daya mausia maupun kemampuan dana, menyebabkan pemerintahan desa sulit menjalankan fungsinya. Pada saat ini desa di Kalimantan Barat pada umumnya telah kehilangan sumber penghasilannya yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan desa dan pemerintahan-nya. Berbagai undang-undang dan peraturan telah meniadakan hak ulayat yang menjadi sumber hak desa dalam memperoleh berbagai penghasilan yang memungkinkan pemerintahan desa menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
- Pelembagaan pemerintahan desa di Kabupaten Sambas Baru pada tingkat dikenal dan diakui keberadaannya, dan sedang dalam proses untuk menjadi bagian dari sistem sosialnya. Namun untuk sebagian terbesar desa-desa, terutama di daerah pedalaman, pemerintahan desa masih berada pada tahap awal pelembagaan, yaitu baru dalam proses dikenalkan.
- Hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang diberikan oleh UU No. 5/1979 kepada desa sulit dapat diwujudkan karena kurangnya sumber daya yang dimiliki desa dan banyaknya campur tangan instansi pemerintahan atasan terhadap desa."
1995
D157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alessius Asnanda
"Pemerintahan Desa adalah penyelenggara kegiatan Lembaga Pemerintahan dan Pembangunan di tingkat Desa, terdepan serta paling dekat dengan masyarakat yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing untuk kesuksesan pembangunan dan kemajuan masyarakat. Lebih dari itu, praktek pelaksanaan Pemerintahan Desa sesungguhnya merupakan potret dan cerminan sejauhmana demokrasi diimplementasikan dalam pemerintahan kita.
Adapun formulasi pertanyaan penelitian ini adalah : Bagaimanakah penataan Pemerintahan Desa serta Pandangan Masyarakat Ada( mengenai format struktur dan Fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Landak. Sedangkan secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan masyarakat adat tentang format Pemerintahan Desa yang sesuai dengan Otonomi Daerah, dan untuk mengetahui faktor penghambat, pendukung serta pro dan kontra dalam pelaksanaan penataan kembali ke Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori dan konsep tentang Desa, Pemerintahan Desa, Otonomi Daerah, termasuk didalamnya Pembangunan Sosial, Pemerintahan Adat dan Pelayanan kepada masyarakat (public services) serta Pemberdayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dengan informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari pejabat Pemerintah Daerah, DPRD, Dewan Adat dan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Kabupaten Landak.
Penelitian ini merupakan studi penataan Pemerintahan Desa dengan kajian tentang struktur dan fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan penataan terhadap Pemerintahan Desa kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung tersebut maka adanya pembuatan sejurnlah Peraturan Daerah, yang mana memerlukan mekanisme dan tahapan serta melibatkan pihak-pihak yang kompeten atau pihak yang benar-benar memahami materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang sesuai asal usul dan adat istiadat masyarakat Kabupaten Landak. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan apabila dipelajari sungguh-sungguh sesuai dengan kepentingan, terutama bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Landak dalam penataan Pemerintahan Desa.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan penelitian ini berkesimpulan, bahwa ada sejumlah hat panting dan menarik yang perlu dikaji. Namun dari sejumlah hal panting dan menarik tersebut, maka penelitian ini berkesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah diterima dengan balk dan antusias di Kabupaten Landak. Penataan Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah merupakan suatu pemberdayaan dan untuk menciptakan pelayanan yang baik atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, adanya silang pandangan, ide maupun konsep yang berkembang, terutama mengenai penataan format pemerintahan sebagai pengganti Pemerintahan Desa yaitu kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung. Semua pihak mempunyai konsep maupun pandangan yang menarik serta baik sebagai pendorong menuju Pemerintahan yang baik dalam rangka untuk mengembangkan demokratisasi, partisipatif, berkeadilan, kemandirian, akomodatif, transparan, bertanggunJ'awab, yang dekat dengan masyarakat. Meskipun secara teknis mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaan penataan tersebut.
Adapun saran-saran dalam penelitian, yaitu :
pertama : Nama, struk-tur dan sistem pemerintahan yang appropriate sebagai pengganti sistem Pemerintahan Desa adalah gabungan format Pemerintahan Adat dan sistem Pemerintahan Nasional, maka perlu diberlakukan kembali Pemerintahan Kampung di Kabupaten Landak.
Kedua Peraturan Daerah yang dibuat bukan hanya untuk menggali Pendapat Asli Daerah (PAD), tetapi yang lebih panting adalah masyarakat memahami bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah untuk kepentingan pembangunan, kelancaran tugas dan fungsi Pemerintah Daerah.
Ketiga : Untuk menghindari lerjadinya konflik akibat adanya pro dan kontra dalam penetaan Pemerintahan Desa sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah maka perlu sharing duduk bersama secara demokratis Pemda, DPRD dan masyarakat dalam membahas sating silang konsep, ide maupun pandangan dimaksud.
Selain itu juga perlu mengadakan assessment terhadap potensi dan materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang benar-benar sesuai dengan asal usul dan adat istiadat masyarakat Daerah Kabupaten Landak. Keempat : Pemerintahan Desa yang ditata menjadi Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak masih sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas - fungsi pemerintahan dan pembangunan. Karena Pemerintahan Binua atauy Kampung adalah pemerintahan yang dekat dengan warga masyarakt dalam rangka pelayanan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gamar Ariyanto
"UNLVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUD! SOSIOLOGI KEKHUSUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
GAMAR ARIYANTO
Nim 6997510094
PENDAMPINGAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Studi Kasus Pendampingan Masyarakat Sub Suku Nawaripi dalam Program Rekognisi Tanah Ulayat yang Ru/sak karena Limbah Pertambangan PT. ¥mport Indonesia di Kabupalen Mimika, Propinsi Irian ]aya
(xii, 5 bab, 174 halaman, 13 label, ! bagan, 19 gambar, 2 lampiran. BBL: 40 Buku,14 Laporan, 9 Artikel/Surat Kabar, 10 Jurnal/Makalah, 8 Keputusan/Konvensi/ Undang-undang/Pedoman Umum, 1 Karya Itmiali/Tesis/Disertasi mulai tahun 1962 hingga tahun 2001)
ABSTRAK
Ketidakberdayaan, kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat Sub Suku Nawaripi dalam mengembangkan kehidupan adalah salah satu dampak tersingkirnya masyarakat dari proses pembangunan. Masyarakat Sub Suku Nawaripi adalah salah
satu contoh masyarakat yang tersingkir karena tanah ulayat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, digunakan Freeport untuk membuang limbah. Akibat penggunaan lahan ini, masyarakat Sub Suku Nawaripi menjadi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keputusasaan ini menjadikan masyarakat Sub Suku Nawaripi menjadi asosial, dan mengajukan tuntutan-tuntutan yang semakin mengakibatkan kerawanan sistem sosial di Kota Mimika. Salah satu upaya untuk meredam kerawanan sosial ini, Yayasan Sejati melakukan pendampingan
Penelitian untuk melihat proses pendampingan ini merupakan penelitian deskriptif, dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan, pengamatan terlibat dan wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposive. Sasaran yang diteliti adalah masyarakat Sub Suku Nawaripi dengan lokasi penelitian di Desa Nayaro, Desa Koperapoka, dan Desa Nawaripi Baru Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika Propinsi Irian Jaya. Seluruh proses penelitian membutuhkan waktu selama 8 bulan. Tujuan penelitian adalah diperolehnya gambaran proses pendampingan yang dilakukan untuk memberdayakan masyarakat, dengan melihat gambaran proses dari kegiatan pendamping dalam mempersiapkan masyarakat sebelum menandatangani pelepasan tanah ulayat Sub Suku Nawaripi kepada pemerintah, kegiatan-kegiatan pendamping dalam proses penandatanganan dokumen pelepasan tanah ulayal Sub Suku Nawaripi dan menggambarkan hasil-hasil dari proses pendampingan yang dilakukan pendamping terhadap masyarakat Sub Suku Nawaripi.
Kasus pendampingan masyarakat Sub Suku Nawaripi dalam program Rekognisi Tanah Ulayat yang Rusak karena Limbah PT. Freeport Indonesia, dipilih
untuk menggambarkan pendampingan sebagai salah satu alternatif pemberdayaan masyarakat, karena pendampingan tersebut dilaksanakan dengan maksud untuk memampukan masyarakat agar dapat memahami realitas pada lingkungannya, melakukan refleksi pada faktor-faktor yang menentukan lingkungannya dan mengartikulasikan aspirasi, meletakkan langkah-langkah untuk merubah efek dengan merubah situasi. Pendampingan ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan 3 prinsip pemberdayaan, yang terdiri dari bentuk kegiatan yang difokuskan untuk membantu memahami kondisi inividu terhadap kesejahteraan dirinya, pendamping mendukung individu untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan pemenuhan kebuluhannya, dan yang terakhir dilakukan dengan mengurangi perasaan terisolasi dan membuat hubungan-hubungan dengan individu/kelompok yang lain. Dalam konteks pemberdayaan, proses pendampingan ini juga dimaksudkan menggunakan strategi relief & wellfare yang digabungkan dengan strategi small-scale self reliant local development, sustainable systems development, people's movement dan empowering people.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Yayasan Sejati menggunakan 2 jalur untuk membantu masyarakat Sub Suku Nawaripi. Pertama dilakukan dengan mengupayakan perubahan kebijakan, kedua dilakukan dengan mendampingi masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Sejati belum menggambarkan hakikat proses pemberdayaan. Masyarakat Sub Suku Nawaripi masih belum maksimal berperan dalam seluruh kegiatan yang ditujukan untuk kesejahteraan hidupnya. Masyarakat Sub Suku Nawaripi hanya berperan sebatas sebagai "narasumber" dari seluruh proses kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Masyarakat belum dipercaya untuk bersama-sama memikirkan dan menganalisis alternatif-alternatif tindakan dan kegiatan untuk mewujudkan keinginan. Walaupun dari segi proses, belum secara maksimal menerapkan tehnik pemberdayaan, akan tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Sejati telah menunjukkan dampak perubahan keberdayaan masyarakat. Penelitian ini juga menggambarkan efektifltas kegiatan pendamping untuk mempengaruhi elit pengambil kebijakan, untuk mendukung upaya masyarakat Sub Suku Nawaripi untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Perubahan sosial membutuhkan waktu yang tidak sedikit, oleh karena itu direkomendasikan dalam penelitian ini untuk meneruskan dan mengembangkan pendampingan menjadi semakin komprehensif dan melibatkan seluruh komponen masyarakat di Kabupaten Mimika. Terbentuknya Lem'oaga Musyawarah Adat dan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Mimika merupakan wahana yang sangat strategis untuk melakukan proses pemberdayaan. Selain mengembangkan pendampingan agar mencakup aspek yang lebih luas, hal yang sangat penting untuk dilakukan sebagai tindaklanjut kegiatan pendamping dalam memberikan alternatif penyelesaian konflik pertanahan antara masyarakat dengan negara (swasta), adalah melakukan sosialisasi dan diseminasi.
Dari aspek teknis, penelitian ini merekomendasikan agar meningkatkan kualitas pendamping, sehingga mampu meningkatkan kualitas pendampingannya. Hal ini penting, karena cukup sulit membedakan pendampingan untuk pemberdayaan (empowerment) dengan pendampingan untuk pem-perdajaan (disempowerment). Pemberdayaan akan menghasilkan masyarakat yang mandiri, dan mampu berkembang sesuai dengan daya kreatif dan kebijakan-nya, sedangkan pem-perdayaan akan menghasilkan masyarakat yang tidak mandiri, tergantung nasibnya pada orang lain.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sangun Tjindarbumi
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1977
S16385
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>