Ditemukan 221610 dokumen yang sesuai dengan query
Yulia Prihatini Daoriwoe
"Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bentuk kerjasama atau perjanjian dalam kegiatan usaha hulu migas adalah Kontrak Kerja Sama yang pada umumnya digunakan hingga saat ini adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Dalam kontrak PSC, Pemerintah (c.q. BPMIGAS) membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu dengan kontraktor migas. Pada hakikatnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC akan diganti atau ditanggung oleh pemerintah. Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut dalam perhitungan bagi hasil disebut sebagai Cost Recovery. Dalam perkembangannya pemerintah dapat menentukan kebijakan atas perubahan item yang tidak dapat dianggap lagi sebagai Cost Recovery yang disebut sebagai Daftar Negatif Cost Recovery. Pada praktiknya terdapat pertentangan terhadap kepentingan masingmasing pihak yang terikat dalam kontrak (PSC) terutama kontraktor, misalnya ketentuan mengenai Abandonement and Site Restoration. Dengan demikian diperlukan kesesuaian hal-hal yang tertuang dalam kontrak (PSC) dengan ketentuan perundang-undangan untuk menghindari suatu ketidakpastian hukum. Dalam hal ini hukum berperan sebagai sebagai faktor pendorong investasi sektor migas apabila hukum dapat menciptakan certainty (kepastian), predictability (dapat diprediksi) dan fairness (untuk keadilan) terutama untuk pihak-pihak terkait yang melakukan kerjasama.
Under Law No. 22 Year 2001 concerning Oil and Gas, an agreement of cooperation in oil and gas upstream business activities or cooperation contract which is generally used until now is the Production Sharing Contract (PSC). In a PSC contract, the Government (c.q. BPMIGAS) dividing the net production by a certain percentage of oil and gas contractors. In essence, the operating costs incurred in the implementation of PSC contracts will be replaced or covered by government. Reimbursement of operating expenses by the Government in the calculation for results is called the Cost Recovery. In its development policy the government can determine the changes in items that can not be considered again as the so-called Cost Recovery Cost Recovery Negative List. In practice there is any contradiction to the interests of each party are bound by the contracts (PSCs), primarily contractors, such as provisions regarding Abandonement and Site Restoration. Thus the necessary compliance matters set forth in the contract (PSC) with the statutory provisions to avoid any legal uncertainty. In this case the law acts as a motivating factor if the law of oil and gas sector investment can certainly create certainty, predictability and fairness (for justice), particularly for the parties who enter into a cooperation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nababan, Tonggo Piona Marito
"Pengembalian biaya operasi dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi merupakan hak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang disepakati sebagai salah satu persyaratan dalam kontrak bagi hasil production sharing contract . Permasalahan yang akhir-akhir ini berkembang dalam pengembalian biaya operasi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi adalah terkait penggelembungan biaya yang diklaim oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama KKKS . Pelanggaran ini diperkuat dengan adanya temuan penggelembungan biaya remunerasi Tenaga Kerja Asing dalam cost recovery berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 52/AUDITAMAVII/PDTT/12/2015 atas Perhitungan Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi Tahun 2014 Wilayah Kerja Rokan pada SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama KKKS PT Chevron Pacific Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tujuan mengkaji permasalahan pembebanan biaya remunerasi Tenaga Kerja Asing dalam cost recovery berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010, Pedoman Tata Kerja Nomor 018/PTK/X/2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor No. 258/PMK.011/2011, dan Global Expatriate Policy Kontraktor Kontrak Kerja Sama KKKS .
Operating cost recovery in Oil and Gas Upstream Business Activities is a stipulated Contractor rsquo s right as one of the requirements in production sharing contract. Recently, the operating cost recovery issues in Oil and Gas Upstream Business Activities is related to the distension of cost recovery claimed by the Contractor. The violation of operating cost recovery is enhanced by the distention of the imposition of foreign employee rsquo s remuneration based on the Audit Report of Indonesian Supreme Audit Institution Number 52 AUDITAMAVII PDTT 12 2015 of production sharing calculation year 2014 in Contract Area Rokan between Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities SKK Migas and Contractor PT Chevron Pacific Indonesia. In process of writing this thesis, writer is using legal research method to analyse the issues based on the Government of Indonesia Regulation Number 79 Year 2010, Work Procedure Manual of SKK Migas Number 018 PTK X 2008, Ministry of Finance of Republic of Indonesia Regulation Number 258 PMK.011 2011, and Contractor Global Expatriate Policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66763
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Indira Ryandhita
"Tulisan ini mengomparasikan dua skema Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi yang berlaku di Indonesia, yakni Kontrak Bagi Hasil dengan skema Cost Recovery dan Kontrak Bagi Hasil dengan skema Gross Split. Tulisan ini juga menganalisis bagaimana penerapan asas keseimbangan serta aspek-aspek dalam hukum perjanjian terpenuhi di dalam Kontrak Bagi Hasil dengan Skema Gross Split. Tulisan ini disusun dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif. Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu Kontrak Bagi Hasil dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Skema ini hadir sebagai upaya Pemerintah untuk terus mengoptimalkan pengurusan kekayaan alam minyak dan gas bumi di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi sehingga menarik minat para investor untuk berinvestasi dalam kegiatan usaha hulu migas. Dalam Kontrak Bagi Hasil dengan skema Gross Split, tidak ada lagi komponen pengembalian biaya operasi yang dibayarkan pemerintah kepada kontraktor. Padahal, hal tersebut kerap dianggap sebagai pemenuhan asas keseimbangan dalam Kontrak Bagi Hasil dengan skema Cost Recovery. Dalam skema Gross Split, Pemerintah berupaya melakukan pemenuhan asas keseimbangan melalui pemotongan birokrasi, persentase split yang lebih menguntungkan bagi kontraktor jika dibandingkan dengan skema Cost Recovery, ketentuan mengenai komponen variabel dan progresif, tambahan split dalam hal komersialisasi lapangan tidak mencapai nilai keekonomian tertentu, serta pemberian insentif pajak untuk menarik minat investor.
This writing compares two schemes of Production Sharing Contracts for Oil and Gas in Indonesia, namely the Contract with Cost Recovery scheme and the Contract with Gross Split scheme. It also analyzes how the principle of balance and aspects of contract law are fulfilled within the Contract with Gross Split scheme. This writing is structured using a normative juridical research approach. The Gross Split Production Sharing Contract is an agreement in Upstream Oil and Gas Business activities based on the principle of sharing gross production without an operational cost recovery mechanism. This scheme is a governmental effort aimed at continuously optimizing the management of the natural resources of oil and gas in Indonesia, with the goal of enhancing efficiency to attract investor interest in investing in upstream oil and gas activities. In the Contract with Gross Split scheme, there is no longer a component of operational cost recovery paid by the government to the contractors. However, this component is often considered a fulfillment of the balance principle in the Contract with Cost Recovery scheme. In the Gross Split scheme, the government seeks to achieve balance through bureaucracy cutting, a more favorable percentage split for the contractors compared to the Cost Recovery scheme, provisions regarding variable and progressive components, additional splits in the event of field commercialization not reaching a certain economic value, and providing tax incentives to attract investor interest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hisar Johannes
"Kontrak Bagi Hasil minyak dan gas bumi / Production Sharing Contract (PSC) sangat penting di dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Melalui kontrak tersebut tercermin berbagai kepentingan dari para pihak, termasuk juga kepentingan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam minyak dan gas bumi yang sah berdasarkan amanah konstitusi (UUD 1945). Negara di dalam perkembangannya merupakan sebuah organisasi / badan hukum yang sah menurut hukum perdata untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, termasuk juga untuk mengadakan perjanjian / kontrak privat. Namun di dalam perkembangannya hubungan hukum yang terbentuk dari kontrak tersebut menjadi sumber permasalahan yang digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Atas permohonan tersebut, kemudian MK memutuskan bahwa hubungan hukum yang diwujudkan dalam bentuk kontrak tersebut telah merendahkan martabat negara serta mengancam kedudukan negara sehingga bertentangan dengan amanah Pasal 33 UUD 1945.
Production Sharing Contract (PSC) is very important in the petroleum and natural gas upstream industry in Indonesia. Through these contracts reflected the various interests of the parties, including the interests of the Republic of Indonesia as the legitimate owner on the natural resources of petroleum and natural gas under the constitutional mandate (1945 Constitution). Country in its development is an organization / legal entity authorized by law to perform legal acts under the civil law, as well as to make an agreement / private contract. However in the development, the legal relationship derived by that contract has turned out to be the source of problems which were used as a reason to apply for judicial review in the Constitutional Court (MK) of Law No. 22 Year 2001 on Oil and Gas. To the application, then the Court has decided that the legal relationship embodied in the contract has been degrading the country dignity and has threatened the position of the state that is contrary to the mandate of Article 33 of the 1945 Constitution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56267
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rumingraras Widowathi
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengikatan jaminan atas participating interest dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menurut Sistem Konsesi dengan Sistem Kontrak Bagi Hasil di Indonesia. Dari hasil penelitian ini bertujuan untuk menemukan sistem Kontrak Migas yang tepat dalam melakukan pengikatan jaminan atas participating interest. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengikatan jaminan atas participating interest lebih ideal dilakukan dalam Sistem Konsesi dan menyarankan bahwa pengikatan penjaminan atas participating interest sebaiknya tidak dilakukan di dalam Sistem Kontrak Bagi Hasil yang dianut Indonesia.
AbstractIn this thesis, I present a theoretical analysis and comparison of pledging participating interest as collateral in concession system and Production Sharing Contract System in Indonesia. The aim of the thesis is therefore finding a system of oil and gas contract which suitable to do a pledging of participating interest as collateral. This thesis use normative research and qualitative methods. The thesis results stated that the implications of pledging participating interest under Concession System is more suitable than in Production Sharing Contract in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S468
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Ahmad Balya
"Sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi merupakan somber kekayaan alam Indonesia yang yang sangat strategis dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Negara dalam bentuk Kuasa Pertambangan untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). BP MIGAS merupakan kepanjangan tangan Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi pada Wilayah Kerja yang ditentukan. Dalam pelaksanaannya, BP MIGAS melakukan ikatan kerjasama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap ("Kontraktor") dalam suatu kontrak yang disebut Production Sharing Contract (Kontrak Production Sharing). Konsep yang dianut oleh Kontrak Production Sharing adalah bahwa Kontraktor bertanggung jawab untuk menyediakan permodalan dan pendanaan atas biaya operasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Apabila Kontraktor berhasil memasuki Fase produksi komersial maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor dikembalikan (cost recovery) oleh Pemerintah melalui BP MIGAS. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang minyak dan gas bumi dan Kontrak Production Sharing memberikan pengaturan mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab Kontraktor. Pemerintah juga telah membuat Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang mengatur mengenai tata cara penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang antara lain mengatur mengenai kriteria calon Kontraktor yang dapat ditunjuk untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Kontraktor yang telah menandatangani Kontrak Production Sharing dengan BP MIGAS memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sendiri oleh Kontraktor. Namur dalam pelaksanaannya seringkali timbul permasalahan hukum berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab Kontraktor. Kontraktor seringkali menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajibannya yang pada akhirnya banyak menimbulkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Kontraktor. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana sebenarnya hambatan-hambatan yang sering dihadapi Kontraktor dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dan apa solusi atau jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Kontraktor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19899
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sihombing, Grace Angeline
"Skripsi ini membahas mengenai pergantian sistem bagi hasil dalam Kontrak Bagi Hasil dalam indsutri Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Sebelumnya sistem bagi hasil yang digunakan adalah cost recovery kemudian diubah menjadi sistem gross split, kemudian pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Penelitian ini akan menjelaskan latar belakang dan dampak dari perubahan sistem bagi hasil tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan cost recovery digantikan karena tiga hal, yaitu meningkatnya biaya produksi dari tahun ke tahun, panjangnya birokrasi dalam sistem cost recovery dan kaitan cost recovery dengan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara APBN yang membuat kontraktor merasa tidak nyaman. Implementasi sistem gross split sendiri masih sangat dini sehingga terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang harus disesuaikan. Bentuk penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah yuridis normatif dan metode komparatif.
This thesis is mainly discussed about the change of production cost 39 s payment system in Production Sharing Contract in Indonesian 39 s Oil and Gas upstream business. Previously cost revovery is the production cost 39 s payment system that used, then government change it to gross split by signing Regulation of Ministerial of Energy and Mineal Resources Number 8 Year 2017 about Gross Split Production Sharing Contract. This research will explain the background and impact shown by the change. The result is there are three main reason why cost recovery is replaced the increase of production cost that happen year by year, too much bureaucracy in cost recovery system and the connection of cost recovery and state finance. The implementation of gross split system itself is too early with the result that ther are some regulations that need adjustment to gross split system. The author is using normative and comparative legal research."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69281
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ophelia NKA
"Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada saat berhentinya produksi yaitu saat dilakukannya tahap penutupan tambang (decommissioning) akan meninggalkan fasilitas produksi dan sarana penunjang lainnya yang telah digunakan untuk kegiatan produksi, sehingga berpotensi menjadi kendala atau membahayakan kegiatan lain di wilayahnya. Merupakan tanggung jawab Kontraktor Kerja Sama (KKS), pemerintah dan semua pihak untuk melakukan Abandonment and Site Restoration (ASR), abandonment terhadap Fasilitas Produksi dan sarana penunjang lainnya yang telah digunakan, dan site restoration terhadap wilayah kegiatan usaha pada saat berhentinya produksi. Pelaksanaan kegiatan ASR merupakan hal yang penting, karena tidak hanya menyangkut pengembalian fungsi lingkungan hidup, melainkan juga menyangkut pertanggungjawaban dan pembiayaannya, tidak adanya pengaturan yang secara tegas mengatur akan kewajiban pelaksanaan ASR menyebabkan terjadinya penolakan pembayaran dana ASR oleh Kontraktor KKS, hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan di masa mendatang terutama ketika kegiatan operasi telah selesai dan ketika perusahaan minyak dan gas bumi terkait telah meninggalkan Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas pelaksanaan dari Kegiatan ASR sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku baik di dunia internasional maupun di Indonesia serta hambatan yang dilalui dalam melaksanakan kegiatan ASR. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang – undangan, dan buku.
The post operation of upstream oil and gas business activities is in the stage of decommissioning, will abandoned the production facilities and other supporting facilities that have been used for the operation activities, which might potentially be the obstacles or risking another activities in those area. Therefore, it is the responsibility of the Production Sharing Contract’ Contractor, the Government, and any interested party to conduct the Abandonment and Site Restoration (ASR). The implementation of ASR is sacrosanct, it is not only concerning on returning the environment to its pre-lease condition, but also concerning about the responsibility and the financing itself, the lack of regulation that expressly regulates about ASR causing the Contractor resistance to made the ASR’s fund, this thing might grave any problems that might occur in the future when the operation have been completed and when the company itself has left Indonesia. This research is a legal research that writes about the implementation of the abandonment and site restoration regarding its compliance to regulations related and the obstacles that might occur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45481
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raudah Iftitah Mulikh
"Laporan magang ini membahas mengenai kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yang dikelola melalui Kontrak Kerja Sama, dan bagaimana pemilihan mekanisme perhitungan bagi hasil yang berbeda akan memengaruhi penerimaan Pemerintah dan kontraktor. Sejak dahulu, perhitungan bagi hasil dilakukan dengan mekanisme pengembalian biaya operasi cost recovery. Namun, pada awal tahun ini Pemerintah menetapkan mekanisme baru, yaitu gross split, yang tidak lagi mengenal pengembalian biaya operasi bagi kontraktor. Hasil analisis menunjukkan bahwa jika dilihat secara keseluruhan, penggunaan mekanisme gross split memberikan hasil yang lebih baik bagi kontraktor, sedangkan bagi Pemerintah penggunaan mekanisme cost recovery memberikan hasil yang lebih baik.
This internship report analyzes about how Indonesia's upstream oil and gas operations is governed using Production Sharing Contract PSC between the Government and contractor, and how the selection of a production sharing mechanism will affect each party's take. Cost recovery mechanism has always been the choice, but early this year the Government proposes a new mechanism, gross split, where the Government no longer has to pay back the amount spent by contractor in conducting upstream oil and gas operations. The case study results indicate that contractor will be better off by using gross split mechanism, and the contrary applies for the Government."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Shafa Tasya Kamila
"Laporan magang ini membahas bagaimana perlakuan akuntansi yang berbeda dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia akan mempengaruhi jumlah biaya yang dikembalikan pemerintah kepada kontraktor dalam bentuk cost recovery, dan berdampak pada perhitungan bagi hasil produksi antara pemerintah dan kontraktor. Hasil analisis menunjukkan bahwa cost recovery tahun berjalan yang biayanya diakui dengan perlakuan akuntansi Production Sharing Contract (PSC) akan menghasilkan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan perlakuan akuntansi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Penerimaan bagian pemerintah pada bagi hasil produksi akan lebih kecil ketika biaya operasi kontraktor diakui dengan menggunakan perlakuan akuntansi PSC dibandingkan dengan menggunakan PSAK.
This internship report analyzes how accounting treatment difference in oil and gas upstream activities in Indonesia will affect the amount of cost recovery given to contractor by the government. Furthermore, it has an impact on the calculation of production sharing between the government and the contractor. Current year cost recovery, of which costs are treated based on Production Sharing Contract (PSC) accounting, will result in a greater amount than when treated based on Statement of Financial Accounting Standards (SFAS). Government?s take on the production sharing will be lesser when contractor?s operating costs are treated with PSC accounting than with SFAS."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library