Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226394 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simamora, Petronella Maytea Lantio
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aspek hukum dari keputusan dan pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan maksud untuk mempelajari penegakan arbitrase, upaya hukum terhadap putusan arbitrase serta kendala dalam pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. Pasal 60 UU No. 30/1999 (UU Arbitrase dan APS) menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, artinya putusan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 70 putusan arbitrase dapat dibatalkan. Selain itu, pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bona fide, pihak yang menang berusaha supaya putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalanghalangi eksekusi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh, terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan menganalisis putusan pengadilan serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

ABSTRACT
This study aimed to find out how the legal aspects of the decision and enforcement of arbitration in Indonesia with a view to study the enforcement of arbitration, the legal effort against the decision of arbitration as well as constraints in the execution of arbitration decision in Indonesia. Article 60 of Law No. 30/1999 (Arbitration and ADR Law) states that arbitral award is final and legally binding the parties, which means that the award could not be corrected by an appeal, cassation and review. However, in accordance with the Article 70 of the arbitration law the arbitral award can be annulled. Furthermore, the decision of arbitration is very hard to be implemented. It is due to the settlement of disputes through arbitration that will only be effective if the parties involved in the dispute are bona fide parties. The winning party tried to keep the decision of the Arbitration filed in state court in order to have legal force, and the losing party still respects and does not hinder the execution. This research includes the study of normative and descriptive legal. The research which is descriptive of this study are intended to illustrate and describe all the data obtained, related to the problem being investigated. In this research, data collection techniques used are literature studies, namely by analyzing court decisions and make notes of books of literature, legislation, documents and other matters relevant to the issues being investigated."
2016
T46529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Nul Islam
"ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini akan menerangkan salah satu permasalahan apakah pengadilan negeri dapat memeriksa dan mengadili tuntutan ingkar. Yaitu suatu hak yang diberikan oleh Undang-undang bagi para pihak yang berkepentingan apabila terdapat dugaan arbiter dalam melaksanakan tugasnya tidak bebas dan akan berpihak seperti yang dimaksud dalam pasal 22 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase . Di dalam pasal 25 UU Arbitrase pengadilan negeri melalui Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksanya, namun di sisi lain ada pasal-pasal lain yang seolah-olah bertabrakan dengan Pasal 25 UU Arbitrase seperti pasal 34 UU Arbitrase yang menyebutkan harus menggunakan acara yang di pilih yang seakan-akan menyatakan pengadilan tidak melibatkan terlalu jauh di dalam proses arbitrase sebab Arbitrase memiliki asas lex arbitri yang sedari awal sudah menundukkan diri dengan suatu ketentuan yang telah disepakati bersama. Kata kunci: Arbitrase, Penyelesaian Sengekta di Luar Pengadilan, Tuntutan Ingkar. PT. CTPI VS PT Berkah Karya Bersama.

ABSTRACT
The purpose of this research is to explain one of the problems whether the district court can examine and rule the request for recusal which is the right granted by the Law to the parties if there is an allegation to the arbitrator in carrying out his her duties independently or will be biased as contemplated in Article 22 Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution Arbitration Law . In Article 25 of Arbitration Law, the district court through the Chairman of a District Court has an authority to examine the request for recusal, but on the other hand there are other articles that seems overlapping with Article 25 of Arbitration Law such as Article 34 of Arbitration Law which states shall be done according to the chosen procedures as if the district court is not very much involved in arbitration proceedings since the arbitration has a principle called Lex Arbitri which from the outset has subject to a provision that has beed agreed. Keywords Arbitration, Alternative Dispute Resolution, Request for Recusal, PT. CTPI VS PT Berkah Karya Bersama."
2016
T47535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Sanali
"Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang penanganan sengketa perbankan bidang perkreditan (selanjutnya disebut sengketa perbankan) oleh bank di pengadilan, bertujuan untuk menjawab pertanyaan akademis, bagaimana jika arbitrase dijadikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dan empiris yang dimulai dengan meneliti data sekunder yang berupa literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi yang berkaitan. Selanjutnya, penelitian lapangan dilakukan di Kantor Pusat Bank BNI untuk memperoleh data bagaimana penyelesaian sengketa perbankan di Bank BNI oleh pengadilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanganan sengketa perbankan yang diproses melalui pengadilan sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang erat kaitannya dengan bentuk penyelesaian sengketa, lamanya penyelesaian sengketa, adanya tuntutan hak yang tidak berdasarkan hukum serta sikap a priori pengadilan terhadap bank. Adanya permasalahan tersebut dapat menghambat bank dalam upaya menyelesaikan kredit macet karena dalam usahanya bank sebagian besar menggunakan dana yang berasal dari masyarakat. Untuk itu, perlu dicari alternatif bentuk penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Hal itu sesuai dengan pendapat bahwa untuk penyelesaian suatu sengketa seharusnya dipilih bentuk penyelesaian yang paling tepat.
Atas dasar hal tersebut, di antara bentuk penyelesaian sengketa yang ada, arbitrase akan lebih tepat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia karena arbitrase memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan. Di samping itu, putusan yang dikeluarkan oleh arbitrase bersifat final and binding sehingga kesemuanya itu lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Demikian pula arbitrase akan sangat penting dalam menghadapi internasionalisasi perbankan.
Untuk memberdayakan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia, para manajemen bank perlu merubah kebijaksanaan (hukum) penyelesaian sengketa perbankan yang timbul antara bank dengan nasabah debiturnya. Perubahan tersebut adalah mengenai kemungkinan memilih penyelesaian sengketa di samping melalui pengadilan, juga melalui arbitrase. Selain itu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Arbitrase yang saat ini sudah disiapkan hendaknya pengaturan menyangkut perbankan memperoleh perhatian."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Dyah Triana
"Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia tidak terlepas dari sengketa yang dimungkinkan untuk diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagaimana dimuat dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) didasarkan pada klausul dalam perjanjian para pihak dalam menyelesaiakan sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa. Dalam hal terjadi sengketa yang belum memiliki cabang/perwakilan maka para pihak yang bersengketa diberikan hak untuk memilih cabang/perwakilan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan kesepakatan bersama. Pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari'ah.

The development of Islamic Banking in Indonesia can't be separated from possibility dispute that can be resolved by Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) as there is in Law No. 21 Year 2008 Concerning to the Islamic Banking. This study analyzed by descriptive analysis using a juridical normative approach. The competence of Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) is based on the clause of an agreement by the party to resolve the civil issues thatarising from trading activities, finance, industry and services. For the dispute settlement that don't have any branch/representation in their place, the party have a right to choose the branch/representation of Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). The implementation decision of Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) according with legal requirement Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Year 2010 Concerning of Inoperative Affirmation of Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Year 2008 Concerning the Execution of Decision of Badan Arbitrase Syari'ah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28614
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Andri Malkiyano
"Perkembangan litigasi perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan individu dan kelompok mengajukan gugatan langsung terkait isu dan kebijakan perubahan iklim. Meskipun pengadilan berperan penting, penggunaan penyelesaian di luar pengadilan masih minim. Padahal, isu perubahan iklim bersifat luas, kompleks, dan melibatkan banyak pihak di luar batas yurisdiksi negara. Tulisan ini mengeksplorasi potensi mekanisme arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hasil yang ditemukan adalah sengketa perubahan iklim yang diajukan melalui arbitrase memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan dengan forum pengadilan. Sengketa yang diajukan setidaknya merupakan isu peripheral, di mana perubahan iklim merupakan motivasi suatu gugatan meskipun bukan merupakan suatu bahasan secara utuh. Sengketa dapat diselesaikan dengan adanya mutual consent antara pihak, di mana sengketa yang timbul antara lain timbul dari perubahan komitmen pemerintah mengenai kebijakan perubahan iklim serta kegagalan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Di Indonesia, arbitrase dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim dengan cara mengadakan arbitrase secara Ad hoc maupun institusional. Berkaca dari komitmen Indonesia terkait perubahan iklim, arbitrase memiliki potensi besar untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim yang timbul di masa depan.

The development of climate change litigation in recent decades has allowed individuals and groups to directly file lawsuits related to the issues and policies of climate change. Despite the crucial role of the courts, the use of non-litigation dispute resolution is still minimum. However, the issue of climate change is broad, complex, and involves many parties beyond the jurisdiction of a single country. This article explores the potential of arbitration mechanisms as a dispute resolution forum outside the court system to address disputes related to climate change. The findings indicate that climate change disputes submitted through arbitration exhibit different characteristics compared to court forums. These disputes are typically peripheral issues, where climate change serves as the motivation for a lawsuit rather than the main focus. Disputes can be resolved through mutual consent, with issues arising from changes in government commitments to climate change policies and the government's failure to address the impacts of climate change. In Indonesia, arbitration can be used to settle climate change disputes through ad hoc or institutional arbitration. Reflecting on Indonesia's commitment to climate change, arbitration has significant potential to resolve future climate change disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dioputra Ilham
"Party Autonomy Principles ensure that arbitration remains flexible in its nature and by ensuring an integral part of the proceedings namely the parties ability to tailor the procedure of their arbitration to their needs. This autonomy also includes the basic right of parties to be able to freely appoint, constitute, challenge and remove arbitrators commonly referred to as Rules Governing Arbitrators. BANI, the oldest arbitral institution in Indonesia, however, is known for having policy and implementation in its governing regulations which undermine party autonomy. This research discusses firstly, the differences of party autonomy in regulations governing BANI Arbitration Centre (hereinafter shall be called BANI) proceedings in comparison to Singapore International Arbitration (SIAC) proceedings in both arbitration law and rules. Secondly, this research discusses the necessity in the reform of regulations governing BANI proceedings. By conducting a juridical normative legal research, applying a comparative approach, it can be concluded that institutional arbitration at BANI still hinders party autonomy by having increased thresholds of qualifications for arbitrators and challenge requirements as well as inability to be able to nominate a presiding arbitrator, making the usage of BANI unpopular in the region as opposed to SIAC. Secondly, regulations governing BANI proceedings must be reformed for reasons of flexibility, certainty and efficiency. The suggestion would be to reform in terms of arbitration law, for Indonesia to adopt with modifications provisions in regard to the appointment, selection and challenge of arbitrators in the UNCITRAL Model Law.

Prinsip party autonomy, kemampuan para pihak untuk menyesuaikan prosedur arbitrase mereka dengan kebutuhan dan maksud mereka dan mencakup hak dasar para pihak untuk dapat secara bebas menunjuk membentuk majelis mengajukan keberatan terhadap; dan memecat arbiter, dalam arbitrase memastikan bahwa proses arbitrase tetap fleksibel namun BANI, sebagai institusi arbitrase tertua di Indonesia, terkenal mempunyai pengaturan dan implementasi yang merendahkan party autonomy. Penelitian ini membahas perbedaan yang berkaitan dengan party autonomy dalam peraturan perundang-undangan dan arbitration rules yang mengatur proses beracara di BANI dibandingkan dengan SIAC. Penelitian ini juga membahas keperluan reformasi peraturan yang mengatur proses beracara di BANI. Penelitian dengan metode yuridis normatif yang menggunakan pendekatan komparatif ini menyimpulkan bahwa arbitrase institusional di BANI berbeda dengan SIAC, yang mana arbitrase institusional di BANI masih menghalangi party autonomy dalam hal ambang kualifikasi untuk arbiter, persyaratan keberatan terhadap arbiter dan ketidakmampuan untuk dapat menunjuk atau bahkan menominasikan seorang arbiter ketiga dalam suatu sidang membuat penggunaan BANI sangat tidak populer di wilayah Asia dibandingkan dengan SIAC. Peraturan yang mengatur proses beracara di BANI harus direformasi untuk meningkatkan fleksibilitas, kepastian hukum dan efisiensi dalam prosedur beracara BANI. Saran dalam penelitian ini adalah untuk merevisi UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan beracara di BANI dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006
341.52 ANA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoy, Sandra
"Penerapan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU Arbitrase?) telah menimbulkan kontroversi akibat ketentuan tersebut tidak konsisten dan tidak ada aturan yang tegas. Penelitian ini bermaksud untuk mencari korelasi yang tepat terhadap penerapan Pasal 70 dihubungkan dengan penjelasan pasal itu sendiri dan penjelasan pada bagian umum UU Arbitrase sehingga dapat menjamin tercapainya kepastian hukum keadilan bagi para pihak bersengketa. Permasalahan mendasar adalah apakah alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif atau non-limitatif, dan bagaimana pembuktian alasan-alasan tersebut apakah diperlukan keputusan Pengadilan terlebih dahulu atau tidak. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap pembatalan putusan arbitrase ini, apakah telah memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menemukan bahwa ternyata ketentuan Pasal 70 dan putusan Mahkamah Agung tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase ini sangat beragam dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Dilain pihak, aturan tentang upaya hukum untuk pembatalan putusan arbitrase juga tidak bisa dihapuskan sama sekali karena bisa terjadi putusan arbitrase diambil dalam keadaan yang salah sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan apabila putusan tersebut tetap dipertahankan. Oleh karenanya perlu dilakukan perbaikan atas aturan arbitrase yang mengatur tentang upaya hukum pembatalan putusan sehingga dapat tercapainya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

The application of the provisions of Article 70 of Law No. 30 Year 1999 Regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution (?Arbitration Act?) has caused controvercy due to such article are inconsistent and there is no strict rule. This research intends to find out the correlation of the application of Article 70 associated with its elucidation and the general description of the Arbitration Act, to ensure the achievement of legal certainty and justice for disputing parties. The fundamental issues in respect of the annulment of arbitral award is whether the reasons of annulment is qualified limitative or non-limitative and whether is required prior final court decision or not. What is the opinion of the Supreme Court on such annulment of the arbitral award which has fulfilled the principle of legal certainty and justice for disputing parties. This research was conducted with juridical normative research methods. Authors found that the Article 70 and Supreme Court?s decision regarding the annulment of the arbitral award has caused legal uncertainty and injustice due to being indistinct and inconsistent. On the other hand, the rule of law remedy for the annulment of the arbitral award could not be eliminated completely because there are still any conditions where the arbitral award was taken in the wrong circumstances that can lead to uncertainty and injustice when the award is retained. Therefore, it is necessary to improve the arbitration rules which regulates legal remedy of application of the annulment of the award to ensure the legal certainty and justice in society.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis
"Law Number 30 Year 1999 regarding Arbitration and Alternatif Disputes Resolution provides the annulment of arbitration award under article 70, stated that the parties may submit a request to annul an arbitration award, if it suspected contains false/forged documents or concealment of documents or the award was rendered as result of fraud committed by one of the parties to the dispute. The Elucidation of such article stated that the reasons for annulment referred to this article shall be evidenced by a court decision. However, there are still some inconsistencies, particularly related to the reasons used for annulment under Article 70 Law Number 30 Year 1999 in practice of annulment of arbitration award by the District Court and the Supreme Court. On one side, the Supreme Court stated that the annulment could only be done pursuant to Article 70. On the other hand, the Supreme Court that it is possible to annul an arbitration award on the basis other than mentioned in article 70 Law Number 30 Year 1999. Moreover, judiciary inconsistencies in such annulment occurred in the use of a court decision evidenced any false/forged documents or concealment of documents or fraud. In this case, Author found the District Court decision upheld by the Supreme Court has annulled an arbitration award based on Article 70 without any court decision. Such inconsistencies in court decisions regarding the annulment of arbitration award may result in legal uncertainty for the disputing parties.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 yang menyatakan bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur pemalsuan surat/dokumen, atau ditemukan dokumen yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam penjelasan pasal dimaksud disebutkan bahwa alasan-alasan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Namun demikian, praktek pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung masih mengalami ketidakseragaman dan inkonsistensi, khususnya berkaitan dengan penggunaan alasan-alasan pembatalan dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Pada satu sisi, Mahkamah Agung RI. menyatakan menegaskan bahwa suatu pembatalan putusan arbitase hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 70, namun di sisi lain Mahkamah Agung RI. menyatakan bahwa dimungkinkan untuk membatalkan putusan arbitrase dengan alasan diluar Pasal 70 dimaksud. Selain itu, inkonsistensi badan peradilan dalam pembatalan putusan arbitrase terjadi dalam penggunaan putusan pengadilan terlebih dahulu alasan-alasan adanya dokumen palsu atau penyembunyian dokumen atau tipu muslihat. Dalam hal ini Penulis menemukan putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. telah mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Pasal 70, meskipun tanpa disertai putusan pengadilan. Ketidakseragaman putusan-putusan pengadilan mengenai pembatalan putusan arbitrase tersebut dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang bersengketa."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28906
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
K. Fathurahman P.N.J.
"ABSTRAK
Kontrak konstruksi merupakan jenis kontrak yang dinamis. Kompleksitas
pekerjaan dan keterlibatan berbagai kepentingan menjadikan kontrak konstruksi
memiliki potensi sengketa di setiap tahapan konstruksi. Oleh karena itu, para pihak
dalam kontrak konstruksi harus mencari metode penyelesaian sengketa memastikan
tidak terhambatnya kegiatan konstruksi. Dalam FIDIC General Conditions of
Contract For Construction (1st Edition, 1999) dikenal mekanisme penyelesaian
sengketa dalam bentuk Dispute Adjudication Board yang putusannya bersifat
mengikat dan harus dijalankan terlebih dahulu oleh para pihak meskipun ada
keberatan dari salah satu pihak. Dari sini terdapat dua permasalahan yang dijadikan
objek penelitian, Pertama, kedudukan Dispute Adjudication Board dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa; Kedua, sifat putusan Dispute Adjudication Board yang harus dijalankan
terlebih dahulu dibandingkan dengan putusan pengadilan yang bersifat serta merta
berdasarkan Hukum Acara Perdata Indonesia dan pelaksanaannya berdasarkan sifat
putusan yang diterapkan oleh beberapa lembaga adjudikasi di Indonesia. Penelitian
ini merupakan penelitian yuridis normatif yang ditopang oleh analisa terhadap
peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum. Berdasarkan penelitian,
ditemukan bahwa mekanisme Adjudikasi yang melandasi Dispute Adjudication
Board belum diatur oleh UU Arbitrase. Meskipun demikian, terdapat beberapa
peraturan sektoral yang mengatur serta beberapa institusi alternatif penyelesaian
sengketa menjalankan adjudikasi. Terkait dengan putusan serta merta Dispute
Adjudication Board dalam FIDIC General Conditions of Contract For
Construction (1st Edition, 1999) dapat disimpulkan hal tersebut merupakan
kewajiban kontraktual yang ditetapkan para pihak diawal kontrak. Hal ini yang
membedakannya dengan putusan serta merta yang dianut dalam Hukum Acara
Perdata Indonesia di mana putusan serta merta tersebut merupakan kewenangan
hakim untuk menilai dapat atau tidaknya suatu putusan dijalankan terlebih dahulu.
Disamping itu, baik dalam peraturan sektoral yang telah mengatur adjudikasi
maupun peraturan institusi alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase yang
memberikan layanan adjudikasi pada umumnya menentukan putusan adjudikasi
bersifat mengikat namun tidak selalu bersifat serta merta.

ABSTRACT
Construction contract is a dynamic contract. The complexity of the work and the
involvement of many interests make a construction contract has potential disputes
at every stages. Therefore, the parties to the construction contract should seek the
method of dispute resolution which can ensure that the dispute does not hamper the
ongoing work. The FIDIC General Conditions of Contract for Construction (1st
Edition, 1999), recognized a mechanism of alternative dispute resolution by the
form of Dispute Adjudication Board whose decision is binding and the parties shall
give promptly effect to it regardless any objections raised by one of the parties.
From that point, there are two identified issues, as the object of this research, First,
the position of Dispute Adjudication Board under The Law Number 30 of 1999
Regarding Arbitration And Alternative Dispute Settlement; Second, comparison the
nature of immediate binding effect decision between the the Dispute Adjudication
Board's decision under The FIDIC General Conditions of Contract for
Construction (1st Edition, 1999) and court?s decision under the Civil Procedure
Code Indonesia. The comparison also considering the implementation of
adjudication?s decision by several adjudication institutions in Indonesia. The type
of research is legal reseach by analyzing the regulations and law doctrine related
to the issues. The result of this research are, First, the underlying mechanism of
Dispute Adjudication Board, has not been regulated and governed under the
Arbitration Act. Nonetheless, there are some sectoral rules which has govern the
adjudication procedures and has also been conducted by several institutions of
alternative dispute resolution and arbitration in Indonesia as part of their services.
Second, the immediate binding effect of Dispute Adjudication Board's decision can
be concluded as contractual obligations for the parties as set forth at the beginning
of the contract. This is what distinguishes it from the immediate binding effect of
court?s decision as in the Civil Procedure Code Indonesia where the decision is
under the judges authority. Besides that, both in the sectoral regulations that have
been set and/or institutional adjudication of alternative dispute resolution and
arbitration rules, in general, determine that the adjudication decision is binding
but does not necessarily have immediate binding effect"
2016
T45896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>