Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95727 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransisca Octavia
"Kepailitan berakibat pada pemenuhan piutang para kreditor. Pemenuhan piutang para kreditor tergantung dari preferensi kreditor itu sendiri, serta pelaksana eksekusi dalam proses kepailitan. Kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor separatis merupakan kreditor yang memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri dalam proses kepailitan. Namun demikian tidak semua kreditor separatis menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi sendiri. Dengan demikian kurator lah yang melakukan eksekusi serta pembagian boedel pailit.
Eksekusi yang dilakukan sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor separatis, dan eksekusi yang dilakukan oleh kurator membawa akibat hukum yang berbeda bagi pemegang Hak Tanggungan. Meskipun telah diatur di dalam Undang-Undang namun masih terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan besarnya pelunasan piutang, serta kedudukan kreditor separatis jika pelunasan piutangnya tidak terpenuhi.
Dalam tulisan ini, permasalahan tersebut diteliti dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji serta menganalisis putusan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepailitan dan Hak Tanggungan. Dengan menggunakan metode tersebut didapat kesimpulan bahwa, pemenuhan piutang kreditor pemegang Hak Tanggungan tergantung pada pelaksana eksekusi dalam proses kepailitan. Pelaksanaan eksekusi oleh kurator menyebabkan berkurangnya pelunasan piutang kreditor separatis pemegang Hak Tanggungan oleh biaya kepailitan, imbalan jasa kurator, dan beban pajak. Selain itu dengan dilaksanakannya eksekusi oleh kurator, jika pelunasan piutang kreditor separatis tidak terpenuhi maka dengan sendirinya kreditor separatis akan berkedudukan sebagai kreditor konkuren.

Bankruptcy has an effect on creditors? receivables fulfillment. The fulfillment of creditors receivables is depends on the preferences of the creditor, and the executor in bankruptcy process. The secured creditor of Security Rights as separate creditor is a creditor who has rights to perform the execution on their own in bankruptcy process. However not all separate creditor using their rights to perform its own execution. Therefore the execution and the split of bankruptcy assets performed by the curator.
The execution that performed by the secured creditor of Security Rights as separate creditor, and the execution that performed by the curator is bringing a different legal consequences. Although it has been set out in the law and regulation, it still causes an issue in implementation. The issue is related to the amount of the fulfillment of receivables, and the position of separate creditor if the receivables are not fulfilled.
In this thesis, the said issue will be examined by literature study, by analyze the court decision based on law and regulation which related to the bankruptcy and the Security Rights. Using the literature study method, concluded that the receivable fulfillment of Security Rights is depends on the executor in bankruptcy process. Execution by the curator leads to reduce the receivable fulfillment of separate creditor by bankruptcy fee, curator fee, and taxes. If the receivables of separate creditor are not fulfilled, for the deficiency of its receivables, the separate creditor is become a concurrent creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Syamirah
"Penulisan skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum kreditor separatis dalam kepailitan debitor dengan studi kasus kepailitan PT Kertas Leces. Dengan dipailitkannya debitor berakibat pada pemenuhan piutang kreditor yang akan dilakukan berdasarkan kedudukan kreditor tersebut. Kreditor pemegang jaminan hak tanggungan merupakan kreditor separatis yang memiliki kedudukan yang didahulukan dan terpisah di antara kreditor lain, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kreditor separatis dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap benda jaminan yang dipegangnya sebagaimana diakomodir dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) serta Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Namun demikian, tidak selamanya hak kreditor separatis tersebut terlaksana dengan baik yang mana terkadang terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap hak kreditor separatis. Dalam tulisan ini, permasalahan tersebut diteliti dengan bentuk penelitian yuridis normatif dengan menggunakan studi kepustakan yaitu mengkaji serta menganalisis putusan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa selain kreditor separatis berkedudukan didahulukan dan terpisah dari kreditor lain, kreditor separatis berhak untuk melaksanakan haknya dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah masa insolvensi. Jangka waktu 2 (dua) bulan di sini merupakan jangka waktu kreditor separatis untuk memulai melakukan upaya-upaya untuk mengeksekusi benda jaminan yang dipegangnya.

The writing of this thesis discusses the legal protection of separatist creditors in debtor bankruptcy with a case study of the bankruptcy of PT Kertas Leces. With the bankruptcy of the debtor, it will result in the fulfillment of the creditors receivables which will be carried out based on the creditor's position. Creditors whom holding security rights are one of separatist creditors who have precedence and are separate from other creditors, unless otherwise stipulated by law. Separatist creditors can carry out their own execution of collateral in their possession as accommodated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment Act (UUK-PKPU) and the Law No. 4 of 1986 on Mortgage Rights Law (UUHT). However, the rights of separatist creditors are not always carried out properly, which sometimes there are deviations to the rights of separatist creditors. In this paper, this problem is examined by means of normative juridical research using a librarian study, namely examining and analyzing decisions using the relevant laws and regulations. From this research, it can be concluded that although the separatist creditors having priority and separate from other creditors, the separatist creditors are entitled to exercise their rights within a period of 2 (two) months after the insolvency period. The period of 2 (two) months here is the period in which the separatist creditors begin to make efforts to execute the collateral in their possession."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adis Nur Hayati
"Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai eksistensi atas berhak atau tidaknya debitor pailit mengajukan permohonan renvooi procedure dalam rapat pencocokan piutang suatu sengketa kepailitan. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan disimpulkan bahwa debitor pailit tidaklah berhak mengajukan permohonan renvooi procedure, hal ini karena pada saat proses tersebut berlangsung kewenangan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tidak lagi berada pada debitor melainkan telah berpindah kepada kurator.
Hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah sepatutnya memperjelas pengaturan terkait renvooi procedure dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

The subject matter that would be discussed in this paper is about the existence of the right or wrong of the bankrupt debtor to indict a renvooi procedure in verification meeting of debts claims of a bankruptcy dispute. The subject matter will be analyzed by using normative juridical research method which menas the research is based in regulation and library research.
Based on the analysis, it is concluded that the bankrupt debtor is not entitled to indict for renvooi procedure, that is because at the time the process takes place, the authority of the management and or the settlement of bankruptcy assets is no longer on the debtor but has moved to the curator.
The research results suggest that the government should improve the regulation related to the renvooi procedure in Law Number 37 Of 2004 On Bankruptcy And Suspension Of Obligation For Payment Of Debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Fibi Desica
"ABSTRAK
Prinsip Paritas Creditorium serta Prinsip Structured Prorata merupakan prinsip yang menklasifikasikan kreditur secara proporsional menurut kedudukannya dan umum digunakan dalam membagi harta pailit. Kedudukan hak pekerja/buruh kepailitan adalah sebagai kreditur preferen yang didahulukan oleh undang-undang atas barang-barang umum yang belum dijaminkan. Kedudukan hak pekerja/buruh ini sering bersengketa dengan kreditur separatis (kreditur pemegang hak jaminan) yang selalu diposisikan lebih tinggi kedudukannya dari pada hak pekerja/buruh. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung No.049 PK/Pdt.Sus/2011, sebagian dari hasil penjualan jaminan kebendaan PT. Bank Chinatrust Indonesia (PT.BCI) diambil untuk diberikan kepada pekerja/buruh PT.Fit-U Garment Industry (pailit). Pekerja/buruh melakukan permohonan peninjauan kembali agar didahulukan haknya diatas PT.BCI dengan landasan bahwa undang-undang telah meningkatkan kedudukan mereka diatas kreditur separatis. Akan tetapi permohonan tersebut ditolak oleh Hakim Pengadilan. Tidak dibenarkan pekerja/buruh mengambil bagian dari jaminan kebendaan karena hak pekerja/buruh hanya didahulukan atas barang umum (yang belum dijaminkan) dan kreditur separatis didahulukan atas barang khusus (yang dijaminkan).

ABSTRACT
Principles of Paritas Creditoriun and Structured Prorata are principle series for classifying creditor proportionally based on its position and commonly used for distributing bankruptcy estate. Right position of workers/laborers at Bankruptcy is preferred creditor which is prioritized by regulation for claming non-collateral goods . This preferred creditors position is often disputed with separatist creditors (holder of collateral rights) position which is always positioned higher than workers/laborers rights. In the case of Supreme Court Verdic No.049 PK/Pdr.Sus/2011, part of proceeds of collateral material sale of PT. Bank Chinatrust Indonesia (PT.BCI) was taken and submitted to workers/laborers PT.Fit-U Garment Industry (bankrupt). The workers/laborers submmited a petition for reconsideration in order that as separatist creditor their rights are prioritized over PT.BCI. This petition is based on regulation which escalate their position over separatist creditors. However, this petition was rejected by the trial Judge. It is not justified that workers/laborers partake from collateral materials because their rights is only prioritize over general goods (non-cellateral) and separatist creditor is prioritized over special goods (collateral)."
2013
T35910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Nien Rafles
"ABSTRAK
Tesis ini membahas hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero. Hukum kepailitan mengatur bahwa Persero dapat dimohonkan pailit oleh kreditor, namun terdapat beberapa putusan pengadilian yang bertolak belakang. Sebagian putusan mengabulkan permohonan pailit dan sebagian putusan menolak dengan menyatakan bahwa Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri keuangan. Penelitian ini bersifat deskriptif normatif dengan metode penelitian kepustakaan yang bermaksud untuk mencermati bagaimana hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero dan dualisme putusan pengadilan mengenai hak kreditor mengajukan permohonan pailit. Dalam tesis ini terlihat bahwa pemahaman hakim yang berbeda-beda atas hukum kepailitan mengenai hak kreditor mengajukan pailit.

ABSTRACT
Tesis ini membahas hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero. Hukum kepailitan mengatur bahwa Persero dapat dimohonkan pailit oleh kreditor, namun terdapat beberapa putusan pengadilian yang bertolak belakang. Sebagian putusan mengabulkan permohonan pailit dan sebagian putusan menolak dengan menyatakan bahwa Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri keuangan. Penelitian ini bersifat deskriptif normatif dengan metode penelitian kepustakaan yang bermaksud untuk mencermati bagaimana hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero dan dualisme putusan pengadilan mengenai hak kreditor mengajukan permohonan pailit. Dalam tesis ini terlihat bahwa pemahaman hakim yang berbeda-beda atas hukum kepailitan mengenai hak kreditor mengajukan pailit."
2013
T32167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raniya Ockvalynie
"ABSTRAK
Pembahasan dalam skripsi ini adalah kewajiban dan tanggung jawab kurator dalam hal pemberesan harta pailit dengan studi kasus kepailitan PT Artika Optima Inti. Setelah putusan diputuskan oleh Pengadilan Niaga maka perusahaan tersebut debitor tidak dapat mengelola harta perusahaannya sendiri yang selanjutnya disebut harta pailit, akan tetapi dilakukan oleh Kurator yang tanggung jawabnya melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit berdasarkan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah kurator dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya atas pemberesan harta pailit PT Artika Optima Inti telah sesuai dengan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Peraturan Perundang-undangan terkait lainnya, dan bagaimana pengaturan mengenai pajak atas imbalan jasa kurator yang diperoleh oleh kurator atas jasa yang diberikan. Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa kurator bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya dalam pelaksanaan pemberesan harta pailit yang menimbulkan dampak kerugian terhadap pembagian harta pailit kepada para kreditor. Kata Kunci: Kepailitan, Kurator, Imbalan Jasa Kurator

ABSTRACT
This academic thesis is discussed about curator rsquo s management responsibility and settlement of the bankruptcy estate, with a case study of PT Artika Optima Inti. Following the decision of the Commercial Court decided by the company, debtor can rsquo t manage his own company property hereinafter called the bankruptcy estate, but by the Curator who did the management responsibility and settlement of the bankruptcy estate pursuant to Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension Debt obligations. This research is a normative juridical with a descriptive tipology. In this study, the subject matters are whether the curator in implementing its obligations and responsibilities on settlement of the bankruptcy estate of PT Artika Optima Inti has been in accordance with the Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension Debt Obligations, and how the value added tax of curator rsquo s fee obtained by the curator regulated. Eventually, the researchers came to the conclusion that the curator responsible for his act and has not in accordance with the applicable law that have an impact on creditors of PT Artika Optima Inti rsquo s Bankruptcy."
2017
S65796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Ebenezer
"ABSTRAK
Pembahasan dalam skripsi ini adalah perlindungan hukum kreditur dengan hak
istimewa dalam PKPU, dengan studi kasus PT Bakrie Telecom. Pasal 1137
KUHPerdata telah mengatur secara jelas bahwa kedudukan tagihan terhadap kas
negara merupakan tagihan yang diutamakan pembayarannya karena merupakan
tagihan dengan hak istimewa. Adanya ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
mendahulukan kepentingan negara dalam hal ini piutang negara yang tidak
dibayarkan oleh PT Bakrie Telecom melalui Kominfo. Penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian
ini yang menjadi pokok perasalahan adalah apakah kedudukan Kominfo sebagai
kreditor konkuren dalam PKPU PT Bakrie Telecom telah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan bagaimana upaya hukum yang dapat diajukan oleh
Kominfo atas putusan homologasi tersebut sebagai bagian dari perlindungan
hukum terhadap kreditor dengan hak istimewa. Pada akhirnya, peneliti
memperoleh kesimpulan bahwa kedudukan Kominfo dalam PKPU PT Bakrie
Telecom telah tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang oleh karena
itu harus diajukan upaya hukum sebagai perlindungan terhadap kreditur dengan
hak istimewa.

ABSTRACT
The main analysis of these bachelor thesis is focus on the legal protection of
privileges creditors in Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) in
correlation with PT Bakrie Telecom case studies. Article 1137 Civil Code of
Indonesia mentioned comprehensibly regarding the position of state treasury debt
as debt with privilege. The regulations intended to precedence the interest of
states, thus, PT. Bakrie Telecom is not accomplish the obligation towards
Ministry of Communication and Information (Kominfo). The research is based on
normative juridical with typology descriptive study. The research is focus on the
position of concurrent creditors under Suspension of Debt Payment Obligations
(PKPU) of PT. Bakrie Telecom, which, pursuant to Law No. 37 Year 2004
regarding the Bankruptcy and Suspension of Payment, including the legal
remedies Ministry of Communication and Information (Kominfo) to pursue;
regarding the homologation decision as the legal protection of privileges creditor.
Enclosing, the research conclusion is the position of Ministry of Communication
and Information (Kominfo) is not in accordance with the applicable law in the
grounds of the prior proposed remedies for protection against creditors with
special privileges."
2016
S64865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Putri
"Nilai Limit merupakan patokan nilai minimal dalam penjualan lelang yaitu batas harga terendah yang dapat disetujui dan dibenarkan. Oleh karenanya penentuan Nilai Limit menjadi suatu bagian yang penting dalam upaya mencapai harga yang pantas dalam penjualan lelang. Dalam perjanjian kredit, apabila debitor wanprestasi, maka kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama berhak untuk melakukan lelang barang jaminan. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana kewenangan kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan dalam menentukan Nilai Limit guna terciptanya harga yang wajar berdasarkan peraturan yang berlaku serta upaya yang dapat dilakukan debitor tereksekusi/pemilik barang yang merasa dirugikan akibat penetapan Nilai Limit yang terlalu rendah. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kewenangan kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama dalam menentukan Nilai Limit objek Hak Tanggungan pada kasus yang dibahas di atur dalam Pasal 29 PMK No. 40/PMK.07/2006. Akan tetapi kewenangan tersebut dibatasi karena harus berdasarkan penilaian oleh Penilai Independen atau Tim Internal. Dalam melakukan penilaiannya, terdapat pedoman yang harus diikuti oleh Tim Internal, akan tetapi pedoman tersebut masih saja tidak diikuti dengan baik seperti yang terjadi dalam kasus yang dibahas penulis. Sedangkan dalam peraturan yang berlaku saat ini, yaitu PMK No. 93/PMK.06/2010 belum terdapat ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai pedoman penilaian Nilai Limit oleh Tim Internal atau Tim Penaksir sehingga penetapan Nilai Limit yang berdasarkan penilaian oleh Tim Penaksir dapat menimbulkan celah terjadinya kesewenangwenangan kreditor. Upaya hukum yang dapat dilakukan pihak tereksekusi yang merasa dirugikan adalah dengan cara mengajukan gugatan secara perdata pada pengadilan negeri setempat.

The Reserve Price is the minimum standart value in the auction that is the lowest price limit that could be agreed to and justified. Therefore, the determination of the Reserve Price become an important part in an effort to achieve the appropriate price in the auction. In the credit agreement, if a debtor default, then the creditor as the first Mortgage holder has the right to carry out auction without asking for the approval from the owner of the collateral. The problem that discussed is how far the authority of the creditor as the first Mortgage holder in determining the Reserve Price for the auction that was professional and responsible as well as knowing efforts that could be done by debtor executed/owner of the collateral who feel aggrieved of the too low auction price. Based on this research, it can be concluded that the authority of the first Mortgage holders/creditor in determining the Reserve Price of the Mortgage object is based on Article 29 of PMK No. 40/PMK.07/2006. But the creditor?s authority is limited by the valuation of the Independent Appraiser or Internal Team (Estimator Team). In conducting the assessment, there are guidelines to be followed by the Internal Team (Estimator Team). However, the discussed case shows that the guidelines are not properly followed by the Internal Team (Estimator Team). While the current regulations, PMK No. 93/PMK.06/2010 there has been no provision governing providing guidelines in determining Reserve Price by the Internal Team (Estimator Team). The determination of Reserve Price based on the assessment by the Team Estimator can cause a gap for Mortgage Holder/creditors, which will affect the auction price and detriment to the owner of the collateral. Remedies that can be taken for the party who feel aggrieved is by filing a civil lawsuit at the local court."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Kinanti Pangesti Putri
"ABSTRAK
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan syarat
kepailitan yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan. Berdasarkan pasal tersebut maka terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dipailitkan apabila dapat dibuktikan secara sederhana dalam persidangan. Oleh karena itu penulis ingin meneliti apakah Permohonan Pailit yang diajukan oleh para pekerja PT Indah Pontjan telah memenuhi syarat pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan apakah putusan pengadilan dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara studi kepustakaan. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu mantan pekerja yang dilakukan pemutusan hubungan kerja merupakan kreditur preferen dalam kepailitan dan utang berupa upah pekerja beserta hak-hak lainya yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja merupakan utang dalam kepailitan. Oleh karena itu permohonan pailit yang diajukan para mantan pekerja PT Indah Pontjan terhadap PT Indah Pontjan telah sesuai dengan syarat pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan syarat pailit tersebut telah dapat dibuktikan secara sederhana dengan adanya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 04/G/2008/PHI. Mdn tanggal 8 Januari 2008 jo Putusan Nomor 905 K/Pdt.
Sus/2008 tanggal 24 Maret 2009 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 PK/Pdt. Sus/2010 tanggal 16 Februari 2010. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang meskipun terhadap harta debitur telah terdapat penetapan eksekusi putusan pengadilan sebelumnya, debitur tetap dapat dimohonkan pailit selama syarat pailit terpenuhi dan dapat dibuktikan secara sederhana.

ABSTRACT
Article 2 paragraph (1) of Law of The Republic of Indonesia Number 37
of 2004 on Bankruptcy and Suspension of obligation for Payment of Debts
stipulates the conditions of bankruptcy which must be fulfilled and proven before the court. In accordance with the mentioned article, debtor having two or more creditors and not paying at least one debt which has been matured and payable can be declared bankrupt provided that the provisions of bankruptcy can be simply proven before the court. Therefore, author wants to examine whether the petition for declaration of bankruptcy filed by workers of PT Indah Pontjan has met the provision of bankruptcy stipulated in Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts and to examine whether court decision and Supreme Court decision are complied with Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debt. This research is a form of normative legal research with typology research is explanatory research. Data used is secondary data, the data collection techniques used is study literature. From the research, author obtains conclusions that former workers who are performed the termination of employment constitute preferred creditors in bankruptcy and debts in the form of wages of workers and other rights arising from employment termination constitute debts in bankruptcy. Therefore, petition for declaration of bankruptcy filed by former workers of PT Indah Pontjan against PT Indah Pontjan has met the conditions of bankruptcy stipulated in article
2 paragraph 1 Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on
Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts. Further, the
conditions of bankruptcy can be simply proven before the court by the existence of Court Decision of Industrial Relations Court Number 04/G/2008/PHI. Mdn dated 8 January 2008 jo Court Decision Number 905 K/Pdt. Sus/2008 dated 24 March 2009 jo Supreme Court Decision Number 03 PK/Pdt. Sus/2010 dated 16 February 2010. In accordance with Article 31 paragraph 1 Act of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts, although there is already execution related to the debtor's assets, debtor still can be declared bankrupt provided that all conditions of bankruptcy are met and proven simply before the court."
2016
T45592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, Laura
"Skripsi ini membahas tentang kedudukan dan hak eksekusi kreditur separatis sebagai pemegang jaminan berupa hipotek dalam kepailitan di Indonesia berdasarkan UUK-PKPU dan dalam keadaan pailit di Inggris berdasarkan Insolvency Act 1986, dan implementasinya dalam praktik berdasarkan kedua peraturan tersebut. Untuk meninjau bagaimana menerapkan peraturan tentang kedudukan dan hak eksekusi kreditur separatis Oleh karena itu penulis melakukan studi kasus terhadap Putusan Nomor 769 K/Pdt.Sus- Kepailitan/2016 Jo. Nomor 02/Pdt.Sus-Gll/2016/Pn.Niaga.Jkt.Pst., dimana PT Bank OCBC ISP yang merupakan kreditur separatis dari PT Mega Graha International (sebagai penggugat) mengajukan gugatan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kurator Bernard Nainggolan (sebagai tergugat) karena menyerahkan jaminan hak tanggungan PT Bank OCBC NISP ke dalam harta pailit PT Mega Graha Internasional. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menyarankan perlunya pengaturan terhadap harta kekayaan debitur pailit yang dijadikan jaminan utang merupakan pengecualian dari harta pailit; kebutuhan ketentuan mengenai sanksi pelanggaran hak kreditur separatis berupa: apa pun; perlu dilakukan perubahan peraturan mengenai waktu pelaksanaan kreditur separatis; dan perlunya pengaturan tentang hak penguasaan kreditur separatis atas jaminan yang dimilikinya dalam hal kreditur separatis menyerahkan pelaksanaannya eksekusi kepada kurator sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan 1986.
This thesis discusses the position and execution rights of separatist creditors as collateral holders in the form of mortgages in bankruptcy in Indonesia based on the UUK-PKPU and in bankruptcy in the UK based on the Insolvency Act 1986, and their implementation in practice based on these two regulations. To review how to apply regulations regarding the position and right of execution of separatist creditors. Therefore, the author conducted a case study of Decision Number 769 K/Pdt.Sus-Palitan/2016 Jo. Number 02/Pdt.Sus-Gll/2016/Pn.Niaga.Jkt.Pst., where PT Bank OCBC ISP which is the separatist creditor of PT Mega Graha International (as the plaintiff) filed a lawsuit against the legal actions committed by the Curator Bernard Nainggolan ( as a defendant) for submitting a mortgage guarantee for PT Bank OCBC NISP to the bankruptcy estate of PT Mega Graha Internasional. This research is a qualitative research with a descriptive design. The results of this study suggest the need for regulation of the assets of the bankrupt debtor which are used as collateral for the debt as an exception to the bankruptcy estate; the need for provisions regarding sanctions for violating the rights of separatist creditors in the form of: anything; it is necessary to amend the regulations regarding the implementation of separatist creditors; and the need to regulate the rights of control of the separatist creditors over the guarantees they have in the event that the separatist creditors hand over the execution to the curator as regulated in the 1986 Bankruptcy Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>