Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120515 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Amrytha Sanjiwani
"Saat ini, permasalahan gizi pada anak usia Bawah Dua Tahun (BADUTA) menjadi perhatian dikarenakan 1000 hari pertama kehidupan merupakan fase terpenting (kritis) anak dimana pada tahap ini puncak pertumbuhan dan perkembangan otak dan fisik anak terjadi. Kecerdasan anak merupakan hasil interaksi antara faktor alami dan lingkungan.. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara Gen TMPRSS6, status besi, dan stimulasi dengan fungsi kognitif pada anak BADUTA di etnis Sasak. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional pada 194 anak Sasak. Pada penelitian ini dapat dilihat interaksi antara faktor bawaan (nature) yaitu polimorfisme gen TMPRSS6 dan juga faktor lingkungan yaitu stimulasi (nurture).

Under two years old children become a concern in nutrition science because the first 1000 days of life is critical window of opportunity to ensure the optimum development of children through the peak of brain and physical growths. Cognitive function has been recognized as result from interaction between nature and nurture. This study aimed to assess the simultaneous association between independent variable with developmental outcome. This study was cross-sectional study conduct on 194 Sasaknese children. The nature factor was TMPRSS6 gene polymorphism in SNP rs855791 had border line association and the nurture factor is psychosocial stimulation from the environment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Shinta
"Varian gen TMPRSS6 berasosiasi dengan status besi diplasma, tetapi efek tersebut belum dijelaskan pada anak Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalasis apakah SNP rs855791 (G>A) dan rs4820268 (A>G) gen TMPRSS6 berhubungan dengan status besi dan hemoglobin yang rendah dengan mengontrol asupan zat besi pada anak baduta suku Sasak. Studi crossectional ini mengeksplorasi baseline data dari randomized trial di Kabupaten Lombok Timur, sebanyak 121 subyek memenuhi syarat dalam penelitian ini. Real Time PCR, metode Taqman Assay digunakan untuk menganalisis genotip. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa varian TMPRSS6 secara signifikan berhubungan dengan feritin, tetapi asupan zat besi lebih berkontribusi terhadap feritin dibandingkan genotipe.

Variants in TMPRSS6 were associated with plasma iron, but their effects in Indonesian children remain elucidated. This study aim to analyze whether the TMPRSS6 SNPs rs855791 (G>A) and rs4820268 (A>G) were associated with low iron status and hemoglobin controlling for iron intake among Sasaknese. A crossectional study explored the baseline of a randomized trial in East Lombok district, 121 subjects were eligible in the study. Real Time PCR using Taqman-assay method was used for analysis of SNPs genotype. The researcher suggests that TMPRSS6 variants were significantly associated with plasma ferritin, but iron intake still more contribute to ferritin than genotype.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Fitrianingsih
"Anemia menunjukkan rendahnya konsentrasi hemogloblin darah, yang penyebab utamanya secara signifikan karena kekurangan zat besi. Selama masa remaja, anemia diperkirakan merupakan masalah gizi terbesar, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja usia 15-19 tahun di provinsi Sumatera terpilih. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional memanfaatkan data Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia SAKERTI tahun 2007.
Hasil penelitian menyatakan bahwa prevalensi anemia pada remaja usia 15-19 tahun di provinsi Sumatera terpilih sebesar 15,5 . Variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian anemia antara lain jenis kelamin dan tingkat pengeluaran konsumsi sayur serta buah.

Anemia show the low concentrate of hemoglobin blood, which main cause significantly due to a deficiency of iron. During adolescent, anemia estimated is a largest nutrition problem that faced not only in developed countries but also on developing countries.
This study aims to determine the factors related to anemia in adolescent in selected Sumatera province. This study using cross sectional study design based on data of Indonesian Family Life Survey IFLS in 2007.
Results of this study declare that the prevalence of anemia in adolescent 15 19 years old in selected Sumatera province is 15,5 . Variables that have a significant relationship with the incidence of anemia are gender and expenditure consumption vegetables and fruits.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S66802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fany Insani Fajri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakterististik individu usia, jenis kelamin, dan status gizi berdasarkan IMT/U , status sosial ekonomi status pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, daerah tempat tinggal, dan pengeluaran untuk konsumsi , pola konsumsi frekuensi makan, frekuensi konsumsi daging, sayuran hijau, dan buah , dan aktivitas fisik, serta faktor yang paling dominan dengan kejadian anemia pada remaja usia 15-19 tahun di Pulau Jawa. Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan menggunakan data sekunder Indonesian Family Life Survey IFLS 2007 dari RAND Corporation. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh remaja di wilayah Pulau Jawa.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar hemoglobin remaja di wilayah Pulau Jawa pada tahun 2007 sebesar 13,61 g/dl. Persentase kejadian anemia di wilayah Pulau Jawa sebesar 16,6 . Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan karakteristik individu jenis kelamin , status sosial ekonomi status pekerjaan ibu , pola konsumsi frekuensi konsumsi sayuran hijau , dan aktivitas fisik terhadap kejadian anemia pada remaja di wilayah Pulau Jawa. Secara multivariat, diketahui bahwa jenis kelamin merupakan faktor dominan terhadap kejadian anemia pada remaja di wiilayah Jawa Tengah pada tahun 2007.

The purpose of this research is to know the relation between individual characteristics age, sex, and nutritional status based on BMI Age , sosio economic status parents rsquo job status, education of parents, leaving area, and spending of food consumption , consumption pattern eating frequencies, frequencies of eating meat, green vegetables, and fruits , and physical activity, also dominant factor of anemia in adolescents aged 15 19 years old on Java Island. This study use cross sectional design with Indonesian Family Life Survey data on 2007 from RAND Corporation. The population of this study are all of the adolescents in Java Island.
The result shows that the average of haemoglobin in adolescesnts at Java Island on 2007 is 13,61 g dL. Percentage of anemia in Java Island is 16,6 . Bivariate analysis shows that there are relation between sex, mother rsquo s job status, frequencies of eating green vegetables, and physical activity toward anemia in adolescents at Java Island. Multivariate analysis shows that sex is the dominant factor of anemia in adolescents at Java Island on 2007.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S69020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Putri Azizah
"Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia nutrisional yang menjadi penyebab anemia tersering. Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap pertumbuhan, perkembangan kognitif, gangguan perilaku, serta gangguan sistem imun pada anak. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah perkotaan  dengan prevalens anemia pada remaja putri cukup tinggi yaitu 35,32%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan, mengetahui profil anak dengan ADB, dan mengetahui rerata Hb dan Ret-He pada populasi tersebut. Penelitian potong lintang ini menggunakan metode pengambilan sampel cluster random sampling. ADB ditegakkan apabila kadar Hb <11 g/dl disertai Ret-He ≤27,65 pg, dan defisiensi besi apabila Ret-He ≤27,65 pg tanpa anemia. Hasil penelitian, jumlah subjek adalah 91 anak, terdiri dari 44 lelaki (48%) dan 47 perempuan (52%), median usia 45 bulan (24-59). Prevalens ADB adalah 13,2% (12 dari 91) didominasi usia 48-59 bulan, jenis kelamin perempuan, status gizi baik, penghasilan orangtua cukup, pendidikan orangtua sedang, lahir cukup bulan, mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat suplementasi zat besi, mendapat obat cacing dalam 6 bulan terakhir, dan sedang dalam kondisi infeksi akut. Rerata Hb anak usia 24-59 bulan adalah 11,84 ± 1,03 g/dl, median Ret-He untuk anak usia 24-59 bulan adalah 28,9 (18,2-32,8) pg. Rerata Hb pada anak yang mengalami ADB adalah 10,13 ± 0,38 g/dl, median Ret-He pada anak yang mengalami ADB adalah 23,30 (18,2-27,6) pg. Sebagai kesimpulan, prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan masih cukup tinggi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya ADB pada anak.

Iron deficiency anemia (IDA) is  nutritional anemia and the most prevalent cause of anemia. It has longterm impact on growth, cognitive development, behavioral disorders, and immune disorders in children. Tangerang Selatan is an urban area with high prevalence of anemia in female adolescence, about 35.32%. The aims of this study is to know the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschools in urban areas, to know the profile of children with IDA, and to know the mean Hb and Ret-He in this population. This is a cross-sectional study with cluster random sampling methods. IDA is defined if Hb value <11 g/dl with Ret-He ≤27.65 pg, iron deficiency if Ret-He ≤27.65 pg without anemia. Results of this study, the total subjects was 91 children, consist of 44 male (48%) and 47 female (52%), the median age was 45 months (24-59). The prevalence of IDA was 13.2% (12 of 91), dominated by age 48-59 months, female gender, normal nutritional status, good parental income, moderate parental education, full term birth, exclusively breastfeeding, not receiving iron supplements, received deworming within last 6 months, and in state of acute infection. The mean Hb for children aged 24-59 months was 11.84 ± 1,03 g/dl, the median Ret-He was 28.9 (18,2-32,8) pg. The mean Hb in children with IDA was 10.13 ± 0,38 g/dl, the median Ret-He was 23.30 (18,2-27,6) pg. Conclusions, the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschool in urban area is quite high. Further research is needed to determine the etiology and risk factors of IDA in children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
William Cheng
"Latar belakang. Anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) berisiko mengalami defisiensi besi dan anemia defisiensi besi (ADB) karena peningkatan kebutuhan besi akibat hipoksia kronik. Diagnosis defisiensi besi pada anak PJB sianotik mengalami tantangan karena terdapat polisitemia dan inflamasi. Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) adalah parameter status besi yang baru dan andal, tetapi belum terdapat nilai potong untuk evaluasi status besi anak PJB sianotik.
Tujuan. Mengetahui peran dan menentukan nilai potong Ret-He untuk diagnosis defisiensi besi dan ADB pada anak PJB sianotik.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik terhadap 59 anak PJB sianotik usia 3 bulan-18 tahun di RSCM dan RSAB Harapan Kita. Pengambilan darah dilakukan untuk menilai parameter hematologis (hemoglobin, hematokrit, mean corpuscular volume, mean corpuscular hemoglobin) dan biokimiawi status besi standar (feritin serum, saturasi transferin) sebagai baku emas untuk menentukan status besi, kemudian dibandingkan dengan nilai Ret-He. Kurva receiveing operating characteristic (ROC) dikerjakan untuk menentukan nilai potong Ret-He untuk diagnosis defisiensi besi dan ADB.
Hasil. Median usia subjek adalah 23(3-209) bulan dengan lelaki 52,5% (n=31). Didapatkan status besi normal 27/59 (45,8%), defisiensi besi 8/59 (13,5%), dan ADB 24/59 (40,7%). Nilai potong Ret-He untuk defisiensi besi adalah 28,8 pg dengan sensitivitas 75%, spesifisitas 85,2%, NDP 60%, NDN 92%, dan AUC 0,828. Nilai potong Ret-He untuk ADB adalah 28,15 pg dengan sensitivitas 75%, spesifisitas 88,9%, NDP 85,7%, NDN 80%, dan AUC 0,824. Parameter Ret-He tetap memerlukan pemeriksaan hemoglobin dalam mendiagnosis ADB. Pada anak PJB sianotik, defisiensi besi dapat ditegakkan dengan nilai Ret-He <28,8 pg dengan hemoglobin >16,5 g/dL. Anemia defisiensi besi dapat ditegakkan dengan nilai Ret-He <28,15 pg atau Ret-He 28,15-28,8 pg dengan hemoglobin <16,5 g/dL.
Kesimpulan. Reticulocyte hemoglobin equivalent dapat digunakan untuk mengevaluasi status besi anak PJB sianotik dengan nilai potong < 28,8 pg untuk defisiensi besi dan <28,15 pg untuk ADB.

Background: Pediatric cyanotic heart disease (CHD) has a significant risk developing iron deficiency and iron deficiency anemia (IDA) due to chronic hypoxia. Diagnostic challenge occurs as polycythemia and inflammation happened. Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) is a new and reliable parameter for iron status evaluation. However, there is no previous study regarding cut-off value in pediatric CHD population.
Objective: To evaluate the role of Ret-He and to determine cut-off points in diagnosis of iron deficiency and IDA in pediatric CHD.
Methods: A diagnostic study of 59 children aged 3 months to 18 years with CHD in Cipto Mangunkusumo Hospital and Harapan Kita Women and Children’s Hospital. The hematological parameters (hemoglobin, hematocrite, mean corpuscular volume, mean corpuscular hemoglobin) and biochemical parameters for iron status (serum ferritin, transferrin saturation) evaluated to determine iron status and then compared to the Ret-He levels. The receiver operating characteristic (ROC) analysis was done for Ret-He cut-off points.
Result: The median age of the subjects was 23(3-209) months-old with 52.5% male (n=31). Normal iron status was found in 27 (45.8%) subjects, iron deficiency in 8 (13.5%) subjects, and IDA 24 (40.7%) subjects. The Ret-He cut-off point for iron deficiency is 28.8 pg (sensitivity 75%, specificity 85.2%, PPV 60%, NPV 92%, and AUC 0.828). The Ret-He cut-off point for IDA is 28.15 pg (sensitivity 75%, specificity 88.9%, PPV 85.7%, NPV 80%, and AUC 0.824). The usage of Ret-He should be accompanied by hemoglobin. In this population, iron deficiency could be diagnosed with Ret-He <28.8 pg with hemoglobin >16.5 g/dL. While IDA could be diagnosed with Ret-He <28.15 pg or Ret-He 28.15-28,8 pg with hemoglobin <16.5 g/dL.
Conclusion. Ret-He could be used as a parameter of iron status in pediatric CHD with a cut-off value <28.8 pg for iron deficiency and <28.15 pg for IDA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Serra Avilia Nawangwulan
"ABSTRAK
Latar belakang : Sebanyak 70% dari anemia pada anak merupakan anemia
mikrositik hipokrom, dan yang terbanyak adalah anemia defisiensi besi (ADB).
Anemia defisiensi besi pada anak sekolah berkaitan dengan penurunan prestasi
belajar. Anak dengan masalah nutrisi berisiko mengalami defisiensi besi. Asupan
zat besi, pemacu dan penghambat absorpsi besi memengaruhi kadar besi. Sekolah
dasar (SD) Pegangsaan 01 Jakarta Pusat merupakan sekolah negeri dengan
mayoritas siswa berasal dari sosial ekonomi rendah.
Tujuan : Mengetahui status besi pada anak usia 6-12 tahun serta hubungannya
dengan status gizi dan asupan diet.
Metode : Studi potong lintang dilakukan di SD Negeri Pegangsaan 01, Jakarta
Pusat antara bulan Maret-April 2016. Asupan pemacu absorpsi zat besi (vitamin
C) dan penghambat (fitat, teh, kopi, susu) dinilai dengan food record selama tiga
hari, diolah dengan NutriSurvey®. Darah tepi lengkap, feritin, besi serum, total
iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, dan high sensitivity C-reactive
protein (hs-CRP) diperiksakan di laboratorium.
Hasil : Terdapat 115 subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalens deplesi
besi sebesar 4,3%, defisiensi besi tanpa anemia sebesar 14,8%, ADB sebesar
1,7%. Tidak terbukti ada hubungan antara status gizi kurang dengan status besi
[p=0,094; OR=2,29(0,86-6,10)], gizi lebih dan obesitas dengan status besi
[p=0,050; OR=0,30(0,09-1,00)], asupan besi total dengan status besi (p=0,260),
vitamin C dengan status besi (p=0,740), fitat dengan status besi (p=0,901), teh
dengan status besi (p=0,931), kopi dengan status besi (p=0,624), dan susu dengan
status besi (p=0,277).
Simpulan : Prevalens deplesi besi, defisiensi besi tanpa anemia, dan ADB pada
anak usia 6-12 tahun berturut-turut adalah 4,3%, 14,8%, dan 1,7%. Tidak terbukti
ada hubungan antara status gizi, asupan zat besi, vitamin C, fitat, teh, kopi, dan susu dengan status besi pada anak usia 6-12 tahun.

ABSTRACT
Background : Prevalence of anemia in Indonesian school-age children is high.
Approximately 70% cases are microcytic hypochromic anemia which iron
deficiency anemia (IDA) are the most frequent. Iron deficiency anemia associated
with decreased learning achievement. Children with nutritional problems at risk
for iron deficiency. Intake of enhancer and inhibitor of iron absorption affects iron
body level. Pegangsaan 01 Public School is primary school in Central Jakarta,
which most of the students come from low socioeconomic family.
Objective: To measure iron status in children aged 6-12 years and its relationship
with nutritional status and dietary intake.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Pegangsaan 01 Primary
School, Central Jakarta, on March-April 2016. Dietary iron enhancer (vitamin C)
and inhibitor (phytate, tea, coffee, milk) were obtained using a 3-days food record
and analyzed with NutriSurvey®. Complete blood count, ferritin, serum iron, total
iron binding capacity, transferrin saturation and high sensitivity C-reactive protein
were examined.
Results: A total of 115 children were studied. Prevalence of iron depletion, iron
deficiency without anemia, and iron deficiency anemia were 4,3%, 14,8%, and
1,7% respectively. No evidence of relationship between undernourished and iron
status (p=0,094), overweight-obesity and iron status (p=0,050), iron intake and
iron status (p=0,260), vitamin C and iron status (p=0,740), phytate and iron status
(p=0,901), tea and iron status (p=0,931), coffee and iron status (p=0,624), milk
and iron status (p=0,277).
Conclusion: Prevalence of iron depletion, iron deficiency without anemia and
iron deficiency anemia in children aged 6-12 years were 4,3%, 14,8%, and 1,7%
respectively. No evidence of relationship between nutritional status, dietary intake and iron status"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhelia Niantiara Putri
"Latar Belakang: Kekurangan zat besi adalah kekurangan zat gizi mikro yang paling sering terjadi pada anak di bawah usia lima tahun. Anemia pada balita di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan IDA. Lingkungan rumah merupakan faktor penting dalam menentukan asupan gizi anak, karena 65 hingga 72% kalori harian dikonsumsi di rumah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan aspek fisik dan sosial lingkungan makanan rumah dengan asupan zat besi dan vitamin C pada anak usia 2-6 tahun di Pejagalan. Metode: Penelitian observasional ini menggunakan pendekatan cross-sectional untuk mengumpulkan data sekunder dari 191 ibu dan anak di Pejagalan, Jakarta Utara. Wawancara dengan kuesioner standar digunakan untuk menentukan asupan zat besi dan vitamin C anak-anak. Kuesioner Perilaku Konsumen mengevaluasi lingkungan makanan rumah (CBQ). SPSS Versi 20 digunakan untuk korelasi Spearman dan regresi linier berganda.. Hasil: Konsumsi zat besi dan vitamin pada anak-anak lebih rendah dari asupan harian yang direkomendasikan (RDI) untuk Indonesia. Ditemukan bahwa mereka yang memiliki akses ke lebih banyak buah dan sayuran juga mengonsumsi lebih banyak zat besi dan vitamin C. Hubungan antara memantau praktik pemberian makan (p=0.024, p=0.035) dan peningkatan konsumsi zat besi dan vitamin C ditemukan. Buah, sayur, manisan, dan SSB meningkatkan asupan zat besi. Ketersediaan buah dan aksesibilitas buah (p<0.05) berhubungan dengan asupan vitamin C. Memantau perilaku makan (p=0.017) merupakan satu-satunya faktor sosial yang berhubungan dengan konsumsi zat besi dan vitamin C. Kami tidak menemukan korelasi antara konsumsi zat besi dan faktor fisik dan sosial, perilaku makan anak, atau sosiodemografi. Kesimpulan: Hanya Memantau kebiasaan makan responden mempengaruhi asupan vitamin C mereka. Peran orang tua dalam pemberian makan sangat penting dalam memastikan bahwa anak-anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup. Ini melibatkan pemantauan praktik makan untuk meningkatkan asupan mikronutrien anak-anak

Background: Iron deficiency (ID) is the most frequent micronutrient deficiency in children under the age of five. Anemia among children under five years old is increasing year on year in Indonesia. Vitamin C insufficiency can induce IDA. The home environment is a critical factor in determining a child's nutritional intake, as 65 to 72% of daily calories are consumed at home. Therefore, this study aimed to assess correlation between physical and social aspects of home food environment with iron and vitamin C intake in children aged 2-6 years in Pejagalan. Methods: This observational study used a cross-sectional approach to collect secondary data from 191 mothers and children in a North Jakarta slum. Interviews with standardized questionnaires were used to determine children's iron and vitamin C intake. Consumer Behavior Questionnaire evaluated home food environment (CBQ). SPSS Version 20 was used for Spearman correlation and multiple linear regression. Result: Iron and vitamin consumption in children was lower than the recommended daily intake (RDI) for Indonesia. It was shown that those who had access to more fruits and vegetables also consumed more iron and vitamin C. A correlation between monitoring feeding practices (p=0.024, p=0.035) and increased consumption of iron and vitamin C was discovered. Fruits, vegetables, sweets, and SSB availability increased iron intake. Fruit availability (p<0.05) and fruit accessibility (p<0.05) were connected with vitamin C intake. Monitoring eating behaviors (p=0.017) was the only social factor connected with iron and vitamin C consumption. We found no correlation between iron consumption and physical and social factors, child eating behavior, or sociodemography. Conclusion: Only monitoring respondents' food habits affected their vitamin C intake. The role of parents in feeding is critical in ensuring that children consume an adequate amount of food. This involves monitoring eating practices to enhance children's micronutrient intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia Konadi
"ABSTRAK
Di Indonesia prevalensi anemia defisiensi besi masih cukup tinggi terutama pada wanita hamil, wanita dewasa, anak usia sekolah dan pra sekolah. Penelitian pada anak dari golongan ekonomi rendah, yang berusia 6 bulan - 6 tahun dengan status gizi baik, menunjukkan prevalensi anemia defisiensi besi 37,9 - 73,0 %.
Pada anak yang lahir cukup bulan dengan cadangan besi yang cukup, defisiensi besi dapat berkembang mulai usia 6 bulan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan besi akibat pertumbuhan yang cepat, yang tidak diimbangi dengana konsumsi yang adekuat. Terbatasnya zat besi yang didapat: dari makanan pada anak-anak yang berusia 4 bulan sampai 12 bulan menyebabkan terjadinya defisiensi besi. Jumlah zat besi yang diabsorpsi tergantung dari ketersediaan hayati (bioavailabilitas) zat besi yang dimakan. Besi heme lebih mudah diabsorpsi dari pada besi non heme.
Gejala defisiensi besi pada fase paling awal ditandai dengan penurunan cadangan besi secara berangsur-angsur. Faktor diet diduga memainkan peranan yang penting untuk meningkatkan cadangan besi.
Di Indonesia anak-anak yang berusia 1 tahun mulai diberi makanan biasa selain ASI dan susu formula. Pada golongan ekonomi rendah, makanan terdiri dari serelia dan kacang-kacangan yang mempunyai koefisien absorpsi besi yang rendah.
Ibu-ibu di daerah perkotaan karena kesibukan bekerja, lebih cenderung memberikan anaknya susu formula yang juga mempunyai koefisien absorpsi besi yang rendah.
Pada percobaan binatang (anjing) terjadi penurunan enzim sitokrom oksidase dan laktase mukosa uses pada keadaan defisiensi besi. Penurunan ini menyebabkan terjadinya fenomena malabsorpsi sekunder. Enzim laktase berfungsi untuk menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa sebelum diabsorpsi. Laktosa (gala susu) hanya terdapat di dalam susu. Aktivitas enzim laktase tinggi pada waktu lahir dan periode neonatal pada seluruh mamalia. Aktivitas akan menurun sesudah periode disapih, umumnya kurang dari 1/10 puncak aktivitas, kecuali pada manusia kadar tertinggi bertahan sampai usia 5 tahun (Eropa) Sesudah periode ini aktivitas laktase dapat berlanjut terus atau mungkin menurun. Pada bangsa Afrika dan Asia laktase menurun pada usia 3 - 6 tahun (7,8)."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gayuh Siska Laksananno
"Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang banyak diderita oleh remaja putri karena usia remaja berada pada masa petumbuhan dan juga dampak dari menstruasi yang didapat setiap bulannya. Beberapa penelitian menunjukkan tingginya anemia pada remaja putri. Penyebab anemia defisiensi besi adalah kurangnya pemasukan zat besi, meningkatnya kebutuhan akan zat besi, kehilangan darah kronis, penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi-infeksi lain serta pengetahuan yang kurang tentang anemia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya anemia defisiensi besi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi SMLJ Muhammadiyah Kota Tegal. Jumlah sampel 113 orang. Data diambil menggunakan kuesioner, sedangkan untuk pemeriksaan kadar Hb dan Ferritin serum, responden diambil sampel darahnya kemudian dilakukan pemeriksaan di laboratorium klinik. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dengan independen t-lest dan chi square serta analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukkan pada 95% Cl terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan (p value 0.003), kebiasaan diet (p value 0.000), asupan zat besi (p value 0-014), kebiasaan konsumsi vitamin C (p value 0.003), kebiasaan minum teh (p value 0.01), siklus (p value 0.02) dan lama menstruasi (p value 0.000) dengan anemia defisiensi besi. Sedangkan faktor yang tidak berhubungan dengan anemia defisiensi besi adalah umur (p value 0.566), tingkat pendapatan orang tua (p value 0.054) dan jumlah anggota keluarga (p value 0.672). Dari analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling berkontribusi adalah kebiasaan konsumsi vitamin C (OR = 4,321). Rekomendasi dari penelitian ini adalah remaja putri untuk meningkatkan konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, meningkatkan konsumsi vitamin C dan mengurangi minum teh.

Iron deficiency anemia is nutrient problem on many female adolescence because in growth process and the effect of their menstruation. The studies shown increasing amount of anemia on female adolescence. The cause of iron deficiency anemia are less of intake iron, increasing iron needed, chronic bleeding, malariae and other infection, also less of knowledge about anemia. The objective of this sludy is to identify contribute factor to event of iron deficiency anemia. This research use descriptive metode with cross sectional approach. The population are students Muhammadiyah Senior High School at Kota Tegal. They were 113 respondents. The data taken with questionaire, therefore assesment of Hb level and serum ferritin level were use blood sample in laboratory. The data analyze that use was univariat, bivariat with independent t-test and chi-square, also multivariat with logistic regretion. The result show at 95 Cl, there is the correlation between knowledge (p value 0,003), dietary history (p value 0,000), iron intake (p value 0,014), consumption of vitamin C (p value 0,003), tea drink history (p value 0,01), menstruation cycle (p value 0,02) and duration of menstruation (p value 0,000) with iron deficiency anemia.Therefore factors not correlated with iron deficiency anemia are age (p value 0,566), level of parents income (p value 0,054) and family member (p value 0,672). Multivariat analyze shown consumption of vitamin C is dominant factor to contribute iron deficiency anemia (OR = 4,321). Recomendation of this studyis increasing consumption of iron and vitamin C and decreasing drink of tea to prevent iron deficiency anemia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T26572
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>