Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 247931 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Zuraida
"Dalam disertasi ini penulis meneliti tentang tawuran antar pelajar SLTA di Jakarta yang dari tahun ke tahun terus menerus terjadi. Sudah banyak upaya penanggulangannya, namun mengapa masih banyak tawuran antar pelajar? Penulis tidak ingin meneliti ?mengapa terjadi tawuran?, karena sudah banyak penelitian tentang masalah itu. Di Jakarta Selatan, terdapat beberapa pelajar SLTA tertentu yang hampir setiap tahun terlibat dalam tawuran antar pelajar, namun ada pula suatu sekolah yang tadinya sering terlibat tawuran, dalam kurun waktu tertentu menjadi tidak tawuran lagi. Akan tetapi di sisi lain, ada sekolah yang awalnya tidak pernah tawuran, menjadi terlibat tawuran antar pelajar pada beberapa tahun terakhir. Hal tersebut ditengarai adanya permusuhan kolektif yang berbentuk laten berubah menjadi permusuhan yang sifatnya aktual, sehingga timbul tawuran antar pelajar.
Salah satu sekolah yang tingkat keterlibatan siswanya dalam tawuran adalah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri T (SMK N T) Jakarta Selatan, namun keadaan menjadi berubah pada tahun 2006, disebabkan banyaknya kegiatan sekolah yang membanggakan berakibat waktu luang berkurang dan melupakan tawuran. Sebaliknya pada Sekolah Menengah Atas Negeri C (SMA N C) Jakarta Selatan yang siswanya semula tidak tawuran, sejak tahun 2007 terlibat tawuran. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas disebabkan menurunnya aktifitas patroli oleh para guru, sehingga waktu luang bertambah dan timbul tawuran.
Analisis dan Pengujian yang telah dilakukan pada aspek Pengalaman Tawuran, kelompok pelajar SMK Negeri T mempunyai musuh yang jumlahnya lebih kecil dibanding kelompok pelajar SMA Negeri C. Dari hasil analisis pada aspek Tindakan Sekolah, kelompok SMK Negeri T membiasakan konsisten dalam penerapan tata tertib dan sanksi, sehingga para guru mempercayai siswanya untuk menghindar dari tawuran. Sedangkan pihak Sekolah kelompok SMA Negeri C mengetahui siswanya yang melakukan tawuran, maka dalam mengatasinya diperbanyak kegiatan sekolah seperti kesenian dan olahraga. Dari penjelasan tersebut, ada hubungan antara kegiatan sekolah dan guru sebagai bentuk pengendalian sosial siswa dengan keterlibatan siswa dalam tawuran antar pelajar.

In this dissertation the author examines the brawl between high school students in Jakarta that continually occur. There have been many efforts to overcome, but why is still a lot of fighting between students? The author does not want to investigate "why does brawl happen? because it has a lot of research on the matter. In South Jakarta, there are some specific high school students almost every year are involved in the brawl between students, but there is also a school which was often involved brawl, within a certain time becomes no longer brawl. But on the other hand, there are schools that initially was never brawl, became involved fighting between students in recent years. It is considered the collective hostility in the form of latent hostility turned into an actual character, so that the resulting brawl between students.
One of the schools that the level of involvement of students in the brawl is T Vocational High School (SMK NT) South Jakarta, but the situation changed in 2006, because of too many school activities that boast result in reduced free time and forgets the brawl. On the other hand C Senior High School (SMA NC) South Jakarta that students initially did not brawl, since 2007 involved in brawl. According to Deputy Head of the School of Public Relations patrols due to decreased activity by the teachers, so that their leisure times increases and the resulting brawl.
Analysis and Testing that has been done on this aspect Fighting Experience, a group of students SMK T has an enemy whose numbers are smaller than the group of high school students of State C. From the result of analysis on aspects of school actions, group SMK T familiarize consistent in the application of rules and sanctions, so that the teachers believe their students to avoid the clash. Meanwhile, the SMA Group C schools know their students who do brawl, then the reproduced overcome school activities such as arts and sports. From these explanations, there is a link between the activities of schools and teachers as a form of social control students with student involvement in the brawl between students.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D2515
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anah Rabi Ah
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap dukungan sosial dari guru dan keterlibatan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) terhadap sekolah. Sebanyak 139 orang siswa kelas 8 berpartisipasi dalam penelitian ini. Untuk mengukur persepsi siswa terhadap dukungan sosial dari guru digunakan Child and Adolescent Social Support Scale subskala Guru sedangkan untuk mengukur keterlibatan siswa terhadap sekolah digunakan School Engagement Measures (SEM)-McArthur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi siswa terhadap dukungan sosial dari guru dan keterlibatan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) terhadap sekolah.

The purpose of this study is to investigate if there is correlation between student?s perceived social support from teacher and school engagement of middle school students. A total of 139 8th grade students participate in this study. Student?s perceived social support from teacher was measured with Child and Adolescent Social Support Scale Teacher Subscale and school engagement was measured with School Engagement Measures (SEM)-McArthur. Result shows that there was a positive and significant correlation between student?s perceived social support and school engagement of middle school students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60012
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Rania Khairunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi makna dalam penggunaan seragam khas sekolah di Sekolah Menengah Atas berdasarkan perspektif siswa penerima Kartu Jakarta Pintar dan bukan penerima KJP. Terdapat ketidaksetujuan dalam masyarakat terhadap makna penggunaan seragam sekolah yang sudah diupayakan. Penelitian-penelitian terdahulu membahas pemaknaan penggunaan seragam sebagai perwujudan sikap disiplin, identitas pelajar, dan hubungan seragam sekolah dengan keberagaman siswa yang berfokus pada pelestarian makna, tetapi belum melihat bagaimana pembentukkan makna dari siswa pengguna seragam sekolah. Peneliti berargumen bahwa makna seragam sekolah bagi siswa merupakan sesuatu yang dikonstruksikan ketika siswa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga terdapat perbedaan antara makna yang diharapkan dengan kenyataannya. Penelitian ini menggunakan konsep konstruksi makna Blumer (1966) untuk memahami proses pembentukkan makna berdasarkan interaksi sosial yang menciptakan keberagaman makna. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data primer hasil wawancara mendalam dan observasi terhadap siswa penerima KJP dan bukan penerima yang menggunakan seragam khas sekolah di SMA Negeri Jakarta. Temuan penelitian menunjukkan terdapat enam makna seragam sekolah, yakni pakaian, identitas, kesenjangan sosial, kedisiplinan, kesetaraan, dan tanggung jawab, serta lima makna seragam khas sekolah, yaitu pelestarian budaya, kebanggaan, keberagaman, estetika, dan keamanan. Makna seragam sekolah, terutama seragam khas sekolah, merupakan hasil konstruksi berdasarkan interaksi sosial informan dengan orang-orang di sekitarnya.

This research aims to analyze the construction of meaning in the use of typical school uniforms in high schools based on the perspective of students who receive Kartu Jakarta Pintar and who do not receive KJP. There is disagreement in society regarding the use of school uniforms’ meaning that have been attempted. Previous studies discussed the meaning of wearing uniforms as a manifestation of disciplinary attitudes, student identity, and the relationship between school uniforms and student diversity which focused on preserving meaning, but did not look at how meaning is formed by students who wear school uniforms. Researchers argue that the meaning of school uniforms for students is something that is constructed when students interact with their others so that there is a difference between the expected meaning and the reality. This research uses Blumer's (1966) concept of construction of meaning to understand the process of forming meaning based on social interactions that create a diversity of meanings. This research uses qualitative methods with primary data resulting from in-depth interviews and observations of KJP recipient and non-recipient students who wear typical school uniforms at Jakarta State High Schools. Research findings show that there are six meanings of school uniforms, namely clothing, identity, social inequality, discipline, equality, and responsibility, as well as five meanings of typical school uniforms, namely cultural preservation, pride, diversity, aesthetics, and security. The meaning of school uniforms, especially typical school uniforms, is the result of construction based on the informants' social interactions with the people around them."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Riffandi Pratiwi
"Penggunaan smartphone meningkat secara progresif pada usia remaja, sehingga berisiko menimbulkan kecanduan. Kecanduan smartphone menyebabkan individu kehilangan kemampuan mengontrol waktu penggunaan smartphone, sehingga menyita banyak waktu termasuk pada waktu sebelum tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecanduan smartphone dengan kualitas tidur pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional ini melibatkan 241 siswa SMKN di Serang yang dipilih dengan teknik stratified random sampling. Kecanduan smartphone diukur dengan kuesioner Smartphone Addiction Scale-Short Version dan kualitas tidur dengan kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index. Rata-rata skor kecanduan smartphone yaitu 36,57 dan rata-rata skor kualitas tidur yaitu 6. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecanduan smartphone dengan kualitas tidur p=0,0005; r=0,230 , semakin kecanduan smartphone, semakin buruk kualitas tidur. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan peran perawat dalam upaya promotif dan preventif terhadap perubahan gaya hidup akibat kemajuan teknologi dengan kualitas tidur, baik bagi remaja, orangtua, maupun pihak sekolah.

The use of smartphones increases progressively in adolescence and thus risks addiction. Smartphone addiction causes the individual to lose the ability to control the time of smartphone usage so that takes a lot of time including at bedtime. This study aimed to determine the correlation between smartphone addiction and sleep quality in vocational high school students. This desriptive correlation study with cross sectional approach involved 241 students of public vocational high school in Serang were selected by stratified random sampling technique. The data was collected using a Smartphone Addiction Scale Short Version questionnaire for teens addicted to smartphones and the Pittsburgh Sleep Quality Index for sleep quality. Mean score of the smartphone addiction is 36.57 and mean score of sleep quality is 6. Spearman test results show that there was a correlation between smartphone addiction and sleep quality p 0.0005 r 0,230 . This study is expected to increase the role of nurses in promotive and preventive efforts to lifestyle changes due to technological advances with sleep quality for students, parents, and school management."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Khatami
"Faktor manusia merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap terjadinya kecelakaan kerja dimana 88% kecelakaan kerja di industri terjadi karena tindakan tidak aman dari manusia (Ramli, 2019). Karena hal tersebut, untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan tentang manusia salah satunya adalah dengan membangun budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) (Ramli, 2019). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan formal dimana pada proses pembelajaran siswa SMK tidak hanya dituntut untuk memahami suatu konsep atau teori namun juga harus bisa mempraktikan teori yang telah diajarkan. Adanya interaksi langsung antara siswa dengan peralatan atau mesin produksi dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja sehingga K3 menjadi isu yang penting (Monisa, 2016). Penelitian ini dilakukan di 5 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Bogor untuk mencari gambaran awal budaya K3 di SMK Kabupaten Bogor berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi manusia, dimensi organisasi, dan dimensi teknologi. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengurutan atau penentuan tingkatan budaya K3 di SMK yang kurang baik hingga baik, melainkan hanya menggambarkan kondisi awal budaya K3 di SMK berdasarkan dimensi manusia, dimensi teknologi, dan dimensi organisasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain studi campuran atau mixed method. Sumber data berasal data primer yang didapatkan menggunakan kuesioner kepada guru, tenaga kependidikan dan siswa SMK di Kabupaten Bogor, wawancara mendalam kepada guru SMK dan observasi ke sekolah. Hasil penelitian ini menunjukan dari lima SMK di Kabupaten Bogor yang diteliti terdapat satu SMK dengan budaya K3 yang paling baik, dua SMK dengan budaya K3 yang cukup baik, dan dua SMK dengan budaya K3 yang kurang baik. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa budaya K3 dari kelima SMK bervariasi.

Human factors are a major contributing factor to workplace accidents, with 88% of industrial accidents occurring due to unsafe actions by individuals (Ramli, 2019). To prevent workplace accidents, various approaches to understanding human behavior, such as building a safety and occupational health (OSH) culture, can be implemented (Ramli, 2019). Vocational High Schools or in bahasa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) are formal educational institutions where students are not only required to understand concepts or theories but also to apply them practically. The direct interaction between students and equipment or production machinery can potentially lead to work accidents or occupational diseases, making OSH an important issue (Monisa, 2016). This study was conducted in five Vocational High Schools in Bogor Regency to provide an initial overview of the OSH culture in SMK Bogor Regency based on three dimensions: the human dimension, the organizational dimension, and the technological dimension. The study did not rank or determine the level of OSH culture in SMK from poor to good; instead, it only described the initial conditions of the OSH culture in SMK based on the human, technological, and organizational dimensions. The research design used a mixed-method approach, combining primary data from questionnaires distributed to teachers, educational staff, and SMK students in Bogor Regency, in-depth interviews with SMK teachers, and observations conducted at the schools. The results of this study show that out of the five SMKs investigated in Bogor Regency, one SMK has the best OSH culture, two SMKs have a moderately good OSH culture, and two SMKs have a poor OSH culture. These findings indicate that the OSH culture varies among the five SMKs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debbi Ratnaning Utami
"ABSTRAK
Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara keterlibatan orang tua dan
keterlibatan peserta didik di sekolah pada peserta didik SMA. Partisipan
penelitian ini berjumlah 180 peserta didik SMA. Penelitian ini merupakan
penelitian korelasional. Definisi keterlibatan orang tua adalah sikap dan tingkah
laku yang ditunjukkan oleh orang tua untuk memajukan dan mendukung
perkembangan akademik, sosial dan kognisi anak yang dilakukan di dalam
lingkungan rumah maupun sekolah. Definisi keterlibatan peserta didik di
sekolah adalah usaha yang dikeluarkan oleh peserta didik baik berupa tingkah
laku, emosi maupun kognisi, ketika mengikuti aktivitas di sekolah. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat ukur School Engagement-
McArthur (Lippman, 2008) dan High School and Family Partnership (Epstein,
et al., 1993). Hasil penelitian menunjukan adanya korelasi yang positif dan
signifikan antara keterlibatan orang tua dan keterlibatan peserta didik di sekolah
pada peserta didik SMA.

ABSTRACT
The pupose of this study is to investigate the relationship between parent
involvement and school engagement of high school students. Participants of this
study were 180 high school students. The data were collected using
convenience sampling method. This is a correlational study with quantitative
methods. Parent involvement define as parent attitudes and behavior to promote
and support child‟s academic, social and cognitive development in at home and
at school. Meanwhile, school engagement is the student‟s effort to engage
thoroughly in behavior, emotional and cognitive, while taking part in school
activities. The instruments that used in this study is School Engagement-
McArthur (Lippman, 2008) and High School and Family Partnership (Epstein,
Connor-Tadros & Salinas, 1993). Results showed a positive and significant
relationship, between parent involvement and school engagement of high
school students."
2015
S58740
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurjanah
"ABSTRAK
Kecanduan game online banyak dialami oleh remaja karena tidak dapat mengontrol diri dengan baik. Remaja yang kecanduan game online memiliki perilaku bermain yang berlebihan yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosialnya. Kecanduan game online dapat menghambat remaja untuk melakukan tugas sekolah, melakukan aktivitas sosial, dan menurunkan kualitas hubungan dengan keluarga besar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kecanduan game online dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas 10 dan 11 di SMAN 8, SMAN 26 dan SMAN 37 Jakarta. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yang dimulai dengan screening kemudian dilakukan pengambilan sampel total siswa yang mengalami adiksi game online dengan jumlah sampel sebanyak 686 siswa. Analisis univariat menggunakan uji statistik tendensi sentral dan distribusi frekuensi, sedangkan analisis bivariat menggunakan uji korelasi Spearman-rho. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan dan hubungan lemah antara kecanduan game online dengan penyesuaian sosial siswa (p <0,05; R -0,193). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat adiksi game online maka semakin rendah kemampuan penyesuaian sosial remaja pada aspek pekerjaan di luar rumah, kegiatan sosial dan rekreasi serta keluarga besar. Sekolah dapat bekerjasama dengan perawat dalam mengadakan seminar yang berhubungan dengan kecanduan game online dan remaja bisa
Online game addiction are mostly experienced by teenagers because teenagers cannot control themselves properly. Teenagers who experience online game addiction have excessive playing behavior that affects social adjustment abilities. Online game addiction can prevent teenagers from doing school work, social activities and reduce the quality of relationships with extended families. This study was conducted aimed at identifying the relationship of online game addiction with social adjustment of 10th and 11th grade students of Public High School 8, Public High School 26 and Public High School 37 Jakarta. The design of this study used a cross sectional which began with screening then total sampling of students who experience online game addiction with total sample 686 students. Univariate analysis uses the test of central tendency statistics and frequency distribution, while bivariate analysis uses the Spearman-rho correlation test. The results of this study indicate that there is a significant negative relationship and strength of the weak relationship between online game addiction and students' social adjustment (p <0.05; R -0.193). The results concluded that the higher level of online game addiction, the lower social adjustment ability of adolescents in aspects of work outside home, social and leisure activities and extended family. The school can collaborate with nurses in holding seminars related to online game addiction and teenagers can do hobby and coping activities to reduce online game play behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulivan Fitriati
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi siswa terhadap kehangatan guru dan keterlibatan emosi dalam belajar pada siswa sekolah dasar. Penelitian ini melibatkan sebanyak 121 partisipan yang merupakan siswa kelas 4 dan 5 sekolah dasar di beberapa sekolah dasar yang terletak di Jakarta Selatan. Berdasarkan analisis perhitungan data, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi siswa terhadap kehangatan guru dan keterlibatan emosi dalam belajar pada siswa sekolah dasar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin siswa merasakan adanya kehangatan dari gurunya maka semakin siswa merasa nyaman dalam belajar. Selain itu, ditemukan pula hubungan yang negatif dan signifikan antara persepsi siswa terhadap kehangatan guru dan disafeksi emosi siswa dalam belajar. Fakta ini menunjukkan bahwa semakin siswa merasa guru tidak menunjukkan kehangatan maka semakin siswa merasa tidak nyaman dalam belajar. Implikasi dari penelitian ini didiskusikan lebih lanjut.

ABSTRACT
The purpose of this study is to investigate if there is any relationship between student perception of teachers’ warmth and elementary school students’ emotional engagement in learning. There are 121 participants in this study, who are going through elementary education in the 4th and 5th grade. Through data analysis, result shows that there is a positive and significant relationship between student perception of teachers’ warmth and emotional engagement in learning. This shows that when students feel the warmth of their teachers, they will feel happy at learning in the classroom. Further analysis shows that there is a negative and significant relationship between student perception of teachers’ warmth and disaffected emotion which shows that if students doesn’t feel their teachers’ warmth, they will feel more uncomfortable at learning in class. Implications of this study will be discussed.
"
2015
S60880
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Reza Fahlevi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara teacher efficacy dan perencanaan instruksional pada guru sekolah dasar negeri yang ada di Jakarta. Pengukuran teacher efficacy menggunakan alat ukur Teacher’s Sense of Efficacy Scale (TSES) (Tschanen-Moran, Hoy & Hoy, 1998), dan pengukuran perencanaan instruksional menggunakan alat ukur yang dibuat berdasarkan teori perencanaan dan persiapan dari Cole dan Chan (1986). Partisipan penelitian ini berjumlah 57 orang guru sekolah dasar negeri di Jakarta.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara teacher efficacy dengan perencanaan instruksional pada guru sekolah dasar negeri di Jakarta (r = 0.387; p = 0.003, signifikan pada los 0.01). Artinya, semakin tinggi teacher efficacy yang dimiliki seorang guru, maka semakin tinggi pula perencanaan instruksionalnya. Selain itu, hasil tambahan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan mean skor teacher efficacy dan perencanaan instruksional berdasarkan data demografis partisipan.

The purpose of this research is to investigate the correlation between teacher efficacy and instructional planning among elementary school teachers in Jakarta. Teacher efficacy was measured using Teacher’s Sense of Efficacy Scale (TSES) (Tschanen-Moran, Hoy & Hoy, 1998), and instructional planning was measured using an instrument that being constructed based on Cole and Chan’s planning and preparation theory (1986). The participants of this research are 57 elementary school teachers in Jakarta.
The main result of this research shown that there is a positively significant correlation between teacher efficacy and instructional planning among elementary teachers in Jakarta (r = 0.387; p = 0.003, signicant at the 0.01 level). It means, the higher teacher’s efficacy, the higher on their instructional planning. As an additional result, this research shown that there is no differences in mean score teacher efficacy and instructional planning based on participant’s demographic data.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S44599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Suada Bachrie
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jenis sekolah dengan identifikasi nilai moral individualisme terhadap kesadaran sosial siswa SMA di Jakarta. Kesadaran sosial adalah representasi jiwa seseorang akan dirinya dan orang lain (Wegner & Guiliano, 1982 dalam Sheldon, 1996). Seratus tujuh puluh dua siswa dan siswi dari SMA negeri dan SMA swasta di daerah DKI Jakarta direkrut melalui convenient sampling. Penelitian ini menggunakan kuesioner Social Awareness Inventory (SAI) dari Sheldon (1996) yang mengukur tingkat dan bentuk kesadaran sosial. Setiap pertanyaan dalam SAI diukur dengan Skala-Likert (1 = sangat tidak sesuai dengan karakter diri saya; sampai 4 = sangat sesuai dengan karakter diri saya). Seluruh dimensi bentuk kesadaran sosial dalam SAI memiliki tingkat reliabilitas yang baik, berkisar antara á = .74 sampai á = .84.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara jenis sekolah dengan kesadaran sosial siswa SMA, dimana siswa SMA swasta juga lebih cenderung dari siswa SMA negeri dalam menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang merujuk kepada diri mereka sebagai target penilaian. Secara keseluruhan, tidak terdapat hubungan yang berarti antara identifikasi nilai moral individualisme dengan kesadaran sosial siswa SMA. Akan tetapi, siswa SMA yang individualistis lebih cenderung menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang termasuk dalam faktor motivasi autonomi, sedangkan siswa SMA yang tidak individualistis lebih cenderung menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang termasuk dalam faktor motivasi kontrol.
Terakhir, terdapat hubungan yang berarti antara jenis sekolah dengan identifikasi moral individualisme terhadap tingkat kesadaran sosial, dimana hubungan antara keduanya hanya terdapat pada siswa SMA swasta. Siswa SMA negeri dan swasta yang tidak individualistis juga lebih cenderung menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang termasuk dalam faktor motivasi kontrol.
The aim of the current study was to examine the relationship between school types and identification to individualism on secondary student?s social awareness. Social awareness is one?s mental representation of either onself or another person (Wegner & Guiliano, 1982 in Sheldon, 1996). One hundred and seventy two secondary students in DKI jakarta were recruited through convenient sampling. The current research used Social Awareness Inventory (SAI) from Sheldon (1996) in assessing the level of social awareness as well as the eight forms of social awareness. All questions in SAI were assessed using Likert-Scale (1 = very uncharacteristic of me; to 4 = very characteristic of me). All dimensions of social awareness form showed good level of reliability between á = .74 to á = .84.
The results revealed a significant relationship between school types and secondary students? social awareness. Also, compare to public high school students, private high school students tend to show more of the social awareness form which pointed themselves as target. There was no relationship between identification to individualism and secondary students? social awareness. However, the results showed that individualistic students tend to show the form of social awareness included in autonomy-oriented motivational factor, where students who did not consider themselves as individualistic tend to show the form of social awareness included in control-oriented motivational factor.
Lastly, there was a significant relationship between school types and identification to individualisme on the level of social awareness where the effect of both variable was found only in private high school students. Both students from public and private high school tend to show the form of social awareness included in control-oriented motivational factor.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>