Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178241 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catarina Budyono
"ABSTRAK
Latar Belakang: Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tersering pada usia lanjut. Salah satu komplikasi DM adalah neuropati otonom, dimana hipotensi ortostatik merupakan tanda dari neuropati otonom yang berat. Adanya Hipotensi ortostatik pada pasien DM usia lanjut meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular dan kematian. Saat ini belum ada studi di Indonesia yang menggambarkan proporsi hipotensi ortostatik pada pasien DM usia lanjut. Selain itu studi tentang hubungan kadar HbA1c dengan kejadian hipotensi ortostatik pada subjek DM masih terbatas dan hasilnya masih kontroversial.
Tujuan: Mendapatkan proporsi hipotensi ortostatik pada pasien DM usia lanjut di RSCM Jakarta dan hubungannya dengan kadar HbA1c.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 350 penderita DM usia ≥60 tahun yang berobat di poliklinik Geriatri dan Diabetes RSCM periode Januari-Maret 2016. Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20mmHg dan atau tekanan diastolik ≥10mmHg dalam 3 menit setelah perubahan posisi dari berbaring ke berdiri. Pemeriksaan kadar HbA1c menggunakan alat Nycocard dari Axis Shield. Uji chi square digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logsitik digunakan untuk analisis multivariat terhadap variabel perancu.
Hasil Penelitian: Proporsi hipotensi ortostatik sebesar 27,4% pada subjek DM usia lanjut. Median HbA1c didapatkan lebih tinggi pada subjek dengan hipotensi ortostatik dibandingkan tanpa hipotensi ortostatik (7,6% vs 7,1%; p<0,05). Terdapat hubungan antara kadar HbA1c ≥7,35% dengan kejadian hipotensi ortostatik (OR 1,987, 95%IK 1,2-3,2). Lama DM merupakan variabel perancu dalam penelitian ini.
Kesimpulan: Hipotensi ortostatik banyak ditemukan pada subjek DM usia lanjut. Terdapat hubungan antara kejadian hipotensi ortostatik dengan peningkatan kadar HbA1c pada pasien DM usia lanjut di RSCM Jakarta.

ABSTRACT
Background: Diabetes mellitus (DM) is one of the commonest diseases in the elderly. One of its complications is autonomic neuropathy. Orthostatic hypotension is a sign of severe autonomic neuropathy. The presence of orthostatic hypotension in elderly patients with DM increases the risk of cardiovascular events and death. Currently there are no studies in Indonesia that describe the proportion of orthostatic hypotension in elderly patients with DM. Moreover, studies about the relationship between HbA1c level and incidence of orthostatic hypotension in subjects with DM are still limited and the results are controversial. Objective: This study aims to obtain the proportion of orthostatic hypotension in elderly diabetic patients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta and its relationship with HbA1c level.
Methods: This study was a cross-sectional study on 350 patients with DM aged ≥60 years old who seeked treatment at the Geriatry and Diabetes clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital from January to March 2016. Orthostatic hypotension was defined as a decrease in systolic blood pressure ≥ 20mmHg or diastolic pressure ≥10mmHg within 3 minutes after changing position from lying to standing. Level of HbA1c was measured using Nycocard from Axis Shield. Chi square test was used for bivariate analysis and logistical regression was used for multivariate analysis against confounding variables.
Results: The proportion of orthostatic hypotension in elderly subjects with DM was 27.4%. Median of HbA1c level was higher in subjects with orthostatic hypotension than subjects without (7.6% vs. 7.1%; p <0.05). There was a relationship between HbA1c level ≥7,35% and incidence of orthostatic hypotension (OR 1.987, 95% CI 1.2-3.2). Length of having DM was a confounding variable.
Conclusion: Orthostatic hypotension is more common in elderly subjects with DM. There is a relationship between the incidence of orthostatic hypotension with elevated level of HbA1c in diabetic elderly patients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu K
"Latar Belakang. Hipotensi ortostatik merupakan masalah yang sering ditemukan pada usia lanjut, dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penyakit penyerta pads usia lanjut diketahui berpotensi mengakibatkan timbulnya hipotensi ortostatik Mengacu pada hal tersebut maka deteksi awal adanya hipotensi ortostatik pada pasien usia lanjut dan pengendalian faktor-faktor risiko hipotensi ortostatik perlu dilakukan dalam upaya mencapai kualitas hidup yang optimal.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya hipotensi ortostatik pada usia lanjut yaitu usia, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, riwayat strok, dehidrasi dan obat antihipertensi.
Metodologi : Sembilan puluh tujuh subyek usia lanjut dengan usia 60 tahun atau lebih.yang berobat jalan di Poliklinik dan Instalasi Gawat Darurat RSCM diikutsertakan dalam penelitan. Data dikumpulkan dengan melakukan serangkaian anamnesis, pemeriksaan fisik, tekanan darah posisi berbaring, segera setelah 1-3 menit berdiri, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG dan foto torak. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional ..dengan variabel yang diteliti meliputi faktor usia, adanya hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, riwayat strok, dehidrasi dan penggunaan obat antihipertensi, dihubungkan dengan hipotensi ortostatik.
Hasil : Laki-laki 40 (41,2%), wanita 57 (58,8%) dan usia rerata 67,4 tahun, didapatkan subyek yang mengalami hipotensi ortostatik sebanyak 15 orang(15,5%). Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa variabel hipertensi dan dehidrasi menunjukkan hubungan bermakna dengan hipotensi ortostatik. Faktor risiko lainnya tidak terbukti secara bermakna dengan terjadinya hipotensi ortostatik.
Kesimpulan : Hipertensi dan dehidrasi merupakan faktor risiko terjadinya hipotensi ortostatik. Subyek usia lanjut dengan hipertensi memerlukan pengendalian tekanan darah lebih baik. Kondisi dehidrasi pada usia lanjut perlu dikenali sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan tatalaksana guna mencegah timbulnya hipotensi ortostatik.

Background: Orthostatic hypotension is widely known as a problem that. frequently found in elderly individuals and is associated with an increase of morbidity and mortality rate. Comorbidity in elderly have been recognized to potentially give rise to the development of orthostatic hypotension. Reffering to this matter, early detection of orthostatic hypotension in elderly and management of.risk factors need to be done in effort to achieve the optimal quality of life.
Objectives. To find out the prevalence and some risk factors for the development of orthostatic hypotension in elderly individuals such as age, hypertension, diabetes mellitus, heart failure, history of stroke,dehydration and anti-hypertension drug usage.
Methods: Ninety-seven elderly subjects with 60 years of age or more who had come to Outpatient clinic and Emergency Room of Cipto Mangunkusumo Hospital were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, blood pressure examination in lie down position, immediately after 1-3 minutes of standing. We also perfomed laboratory examination, ECG and thorax X-ray. This study had a cross-sectional design and the studied variables include age, hypertension, diabetes mellitus and heart failure, history of stroke, dehydration and anti-hypertension drug usage, which were correlated to orthostatic hypotension.
Result: The subjects consists of found 40 males (41.2%), 57 females (58.8%) and mean of age 67.4 years. We found 15 subjects with orthostatic hypotension (15.5%)_ Analysis bivariate and multivariate indicated that the variables of hypertension and dehydration had a significant correlation to orthostatic hypotension. Other risk factors were not proven to have significant correlation with the development of orthostatic hypotension.
Conclusion: Hypertension and dehydration were proven as risk factor of orthostatic hypotension. Elderly subject with hypertension needs a more careful management of blood pressure. Dehydration condition should be detected immediately in order to perform appropriate management to prevent the development of orthostatic hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Berbagai faktor yang berhubungan dengan hipotensi ortostatik, seperti umur, obat anti hipertensi, hipertensi, strok dan diabetes melitus masih diperdebatkan. Sampai saat ini belum ada data mengenai prevalensi hipotensi ortostatik di Indonesia. Sebagian besar penelitian hipotensi ortostatik yang ada di luar negeri dilakukan pada subjek berusia lanjut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan prevalensi hipotensi ortostatik di Indonesia dan faktor prediktor terjadinya hipotensi ortostatik pada orang berusia 40 tahun ke atas di Indonesia. Empat ribu empat ratus tiga puluh enam subjek berusia 40-94 tahun didapatkan secara random dari berbagai praktek dokter di berbagai kabupaten di Indonesia. Data dikumpulkan dengan melakukan serangkaian anamnesis (riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan strok serta penggunaan obat anti hipertensi) dan pemeriksaan tekanan darah pada posisi tidur dan duduk setelah 1-3 menit. Regresi logistik multipel dilakukan untuk mendapatkan prediktor hipotensi ortostatik yang paling bermakna. Subjek yang mengalami hipotensi ortostatik sebesar 561 subjek (12,65%). Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan antara riwayat diabetes melitus, riwayat strok, tekanan darah sistolik tinggi dan tekanan darah diastolik tinggi. Umur tidak berhubungan dengan hipotensi ortostatik. Hasil analisis multivariat mendapatkan tekanan darah sistolik tinggi dan tekanan darah diastolik tinggi sebagai prediktor hipotensi ortostatik. Penggunaan obat anti hipertensi merupakan faktor protektif terjadinya hipotensi ortostatik. Penelitian ini memastikan bahwa usia saja bukan merupakan prediktor terjadinya hipotensi ortostatik. Adanya komorbiditas seperti hipertensi (tekanan darah sistolik atau diastolik tinggi) merupakan prediktor terjadinya hipotensi ortostatik. Sedangkan obat anti hipertensi merupakan faktor protektif terjadinya hipotensi ortostatik. (Med J Indones 2004; 13: 180-9)

Factors associated with orthostatic hypotension such as age, drug induced hypotension, hypertension and diabetes mellitus have still been debatable. Most of previous studies were conducted in subjects 65 years or older, only a few were done in subjects from younger to older adults. The purpose of this study is to find the prevalence and predictor factors of orthostatic hypotension among adult population aged 40 years and above in Indonesia. This study is a part of Indonesian Hypertension Epidemiologic Survey. A random sample of 4436 subjects aged 40–94 years was obtained from various municipalities in every big island in Indonesia. Orthostatic testing, assesment of history of medical conditions (diabetes mellitus, stroke, and hypertension), blood pressure measurement and use of anti-hypertensive medications were performed. A stepwise logistic regression was used to determine the significant predictor of orthostatic hypotension. A total of 561 persons (12.6%) experienced orthostatic hypotension. Central a2-agonist and other centrally acting drug is the only anti hypertension medicine which influences orthostatic hypotension. Multivariate analysis showed that high systolic and diastolic blood pressures were predictor factors of orthostatic hypotension. The use of anti-hypertensive medicine was a protective factor for orthostatic hypotension. This study confirms the conclusion that age is not a predictor factor for orthostatic hypotension. In fact, the existence of comorbidities in the subjects such as hypertension (high systolic and diastolic blood pressure) is a predictor factor, while the use of anti-hypertensive medication is a protective factor. (Med J Indones 2004; 13: 180-9)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 180-189, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-180
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Misella Elvira Farida
"Kualitas tidur yang buruk pada pasien diabetes melitus tipe 2 akan berdampak pada kualitas hidupnya. Kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh tanda dan gejala serta komplikasi diabetes melitus yang diakibatkan oleh status kontrol gula darah yang buruk. Kadar HbA1c dapat menggambarkan status kontrol gula darah pasien dalam tiga bulan terakhir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kadar HbA1c dengan kualitas tidur pada pasien diabetes melitus tipe 2. Desain penelitian ini adalah analisis korelatif dengan pendekatan cross sectional, reponden pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 sebanyak 110 pasien di Poli Endokrin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan samel dengan teknik consecutive sampling. Data kadar HbA1c diambil dari hasil pemeriksaan HbA1c responden dalam tiga bulan terakhir dan kualitas tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kualitas tidur responden (p=0,000) dimana responden dengan kadar HbA1c pada kategori diabetes memiliki peluang 45 kali untuk memiliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan responden dengan kadar HbA1c pada kategori normal.
Penelitian ini merekomendasikan kepada perawat agar memberikan edukasi mengenai manajemen diabetes melitus sehingga pasien dapat mempertahankan status kontrol gula darah yang baik dan mendapatkan kualitas tidur yang baik.

Poor sleep quality in patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) will have an impact on their quality of life. Poor sleep quality is caused by signs and symptoms and complications of diabetes mellitus caused by poor glycemic control. HbA1c level describes the patient's glycemic control in the last three months.
This study aims to identify the relationship between HbA1c level and sleep quality in patients with T2DM. The study was using a cross sectional approach, 110 patients with T2DM at the Endocrine Polyclinic of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Referal Hospital Jakarta were recruited by consecutive sampling technique. HbA1c level was taken from the results of HbA1c examination of respondents in the last three months and sleep quality was measured by the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
The results of this study indicated that there was a significant correlation between HbA1c level and the sleep quality of respondents (p = 0,000). The respondents with HbA1c level in the diabetes category have a 45 times greater chance of experiencing poor sleep quality compared to respondents with levels HbA1c in the normal category.
This study recommends the nurses to provid education and encourage patients with T2DM to maintain their glycemic control to promote healthy sleep among diabetic.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia peringkat ke empat dunia. Betambahnya jumlah penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang terkait dengan bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempermudah timbulnya kaki diabetik.
Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbA1c dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrin Ilmu Penyakit Dalam dan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan corneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbA1c dan GDS.
Hasil: Didapatkan total 95 subjek dengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM ≥5 tahun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar HbA1c dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r = 0,224; p = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan analisis stratifikasi dan regresi linear stepwise.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot.
Objective: To determine the effect of HbA1c and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient.
Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to determine the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the corneometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbA1c and random blood glucose levels measurement.
Results: A total of 95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistically significant correlation between HbA1c levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; p = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jefferson
"Latar Belakang: Hipotensi dengan, segala efek buruknya adalah komplikasi yang paling sering ditemukan pada tindakan anestesia spinal sebagai teknik yang paling popular pada anestesia bedah sesar. Pemberian ringer laktat adalah salah satu usaha pencegahan dengan waktu pemberian sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi manlaat.
Tujuan: Mengetahui efek hipotensi dan efek samping hipotensi akibat anestesia spinal setelah pemberian ringer iaktat saat dilakukan anestesia spinal dan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 155 subjek yang menjalani bedah sesar. 5 subjek dikeluarkan dari penelitian, dan subjek dibagi dalam dua kelompok yang sama besar (75 orang) secara acak sederhana. Kelompok perlakuan mendapat ringer laktat saat dilakukan anestesia spinal dan kelompok kontrol mendapat ringer laktat 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal sebanyak 20 inl/KgBB maksimal 1000 ml.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok dengan perbedaan sebesar 17% (interval kepercayaan 95% 1,4;32,6, dengan risk ratio 0,67 dan Number Needed to Treat (NNT) 6 orang. Terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kejadian efek samping hipotensi pada kedua kelompok. Didapatkan penurunan angka kejadian efek samping hipotensi sebesar 24% (interval kepercayaan 95% 11,2;36,8), dengan risk ratio 0,31, dan NNT 4 orang. Terdapat hubungan yang bermakna antara hipotensi dan efek samping hipotensi. Didapatkan perbedaan angka kejadian efek samping hipotensi yang timbul sebesar 52,3 % (interval kepercayaan 95% 40,15;64,45) pada pasien yang mengalami hipotensi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah pernakaian efedrin dengan efek samping hipotensi, dengan korelasi yang sangat lemah.
Kesimpulan: Pemberian ringer laktat saat dilakukannya anestesia spinal lebih baik dalani menurunkan angka kejadian hipotensi dan angka kejadian efek samping hipotensi akibat anestesia spinal dibandingkan dengan pemberian ringer laktat 20 menit sebelum anestesia spinal."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Setiati
"Hipotensi ortostatik adalah turunnya tekanan darah sistolik (TDS) 20 mmHg atau turunnya tekanan darah diastolik (TDS) 10 mmHg pada saat perubahan posisi, dari posisi tidur ke posisi tegak. Berbagai faktor yang berhubungan dengan hipotensi ortostatik, seperti usia, obat anti hipertensi, hipertensi, strok dan diabetes melitus masih diperdebatkan. Sampai saat ini belum ada data mengenai prevalensi hipotensi ortostatik di Indonesia. Belum diketahui pula faktor prediktor hipotensi ortostatik. Sebagian besar penelitian hipotensi ortostatik yang ada di luar negeri dilakukan pada subjek berusia lanjut, Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan prevalensi hipotensi ortostatik di Indonesia dan faktor prediktor terjadinya hipotensi ortostatik pada orang berusia 40 tahun ke atas di Indonesia.
Penelitian ini merupakan bagian penelitian survei epidemiology hipertensi di Indonesia. Empat ribu empat ratus tiga puluh enam subjek berusia 40-94 tahun didapatkan secara random dari berbagai praktek dokter di berbagai kabupaten di Indonesia. Data dikumpulkan dengan melakukan serangkaian anamnesis (riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan strok serta penggunaan obat anti hipertensi) dan pemeriksaan tekanan darah pada posisi tidur dan duduk setelah 1-3 menit. Regresi logistik ganda dilakukan untuk mendapatkan faktor prediktor hipotensi ortostatik yang paling bermakna.
Subjek yang mengalami hipotensi ortostatik sebesar 561 subjek (12,65%). Analisis bivariat menunjukkan bahwa riwayat diabetes melitus, riwayat strok, tekanan darah sistolik tinggi dan tekanan darah diastolik tinggi mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik. Usia dan penggunaan obat anti hipertensi tidak mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik. Obat agonis alfa-2 sentral dan kerja sentral lain merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik.
Hasil analisis multivariat mendapatkan tekanan darah sistolik tinggi dan tekanan darah diastolik tinggi sebagai prediktor hipotensi ortostatik. Sedangkan riwayat diabetes melitus dan riwayat strok tidak mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik. Penggunaan obat anti hipertensi merupakan faktor protektif terjadinya hipotensi ortostatik.
Penelitian ini memastikan bahwa usia bukan merupakan prediktor terjadinya hipotensi ortostatik. Adanya komorbiditas seperti hipertensi (tekanan darah sistolik atau diastolik tinggi) merupakan prediktor terjadinya hipotensi ortostatik. Sedangkan obat anti hipertensi merupakan faktor protektif terjadinya hipotensi ortostatik. Penatalaksanaan hipertensi yang baik dan pemilihan obat anti hipertensi yang tepat amat diperlukan untuk mencegah terjadinya hipotensi ortostatik. Daftar bacaan : 32 (1978 - 2001)

The Prevalence And Predictor Of Orthostatic Hypotension Among 40 Years And Above Adult Population In Indonesia.Various factors associated with orthostatic hypotension such as age, drug induced hypotension, hypertension and diabetes mellitus have still been questioned and debatable with one another. No big scale population study done in this matter. Furthermore, most of previous studies were conducted in subjects 65 years or older, only a few were done in subjects from younger to older adults. The purpose of this study is to find the prevalence and predictor of orthostatic hypotension among 40 years and above adult population in Indonesia.
This study is a part of Indonesian hypertension epidemiologic survey. A random sample of 4436 subjects aged 40-94 years was obtain from various municipilities in every big island in Indonesia. Orthostatic testing, as well as assesment of history of medical conditions (diabetes mellitus, stroke, and hypertension), blood pressure measurement and use of anti-hypertensive medications were performed. Blood pressure measurements were obtained by trained doctors with the subjects in supine position and after they had been seated for 1-3 minute. A stepwise logistic regression was used to determine significant predictor of orthostatic hypotension.
A total of 561 persons (12.6%) experienced orthostatic hypotension. Bivariate analysis showed that orthostatic hypotension was influenced by history of diabetes mellitus, history of stroke, high systolic and diastolic blood pressure. Orthostatic hypotension was not influenced by age and the use of anti hypertension medicine. Central ccz-agonist and other centrally acting drug is the only anti hypertension medicine which influences orthostatic hypotension. Multivariate analysis showed that high systolic and diastolic blood pressure were predictor factors of ortostatic hypotension, while history of diabetes mellitus and stroke were not. The use of anti-hypertensive medicine was protective factor for orthostatic hypotension .
This study confirms the conclusion that age by itself is not a predictor for orthostatic hypotension. In fact, the existence of comorbidities in the subjects such as hypertension (high systolic and diastolic blood pressure) is a predictor factor, while the use of anti-hypertensive medication is a protective factor. Proper management of hypertension and preference of anti hypertension medicine is a must to prevent orthostatic hypotension.
References : 32 (1978 - 2001)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Putri Balqis Sarena
"Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang terjadi karena adanya kelainan pada sekresi insulin atau kerja insulin yang ditandai dengan adanya karakteristik hiperglikemia dan dapat berujung komplikasi berupa nefropati diabetik. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis Diabetes Melitus salah satunya adalah dengan menggunakan HbA1c, yang merupakan hasil dari proses glikosilasi nonenzimatis glukosa pada hemoglobin. Korelasi antara HbA1c dengan mikroalbumin dan laju filtrasi glomerulus sebagai penanda nefropati diabetik belum banyak diteliti di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan design penelitian cross-sectional dengan menggunakan 80 subjek yang memeriksakan kadar HbA1c, mikroalbuminuria dan laju filtrasi glomerulus ke Laboraturium RSCM. Data diolah dengan menggunakan uji spearman untuk HbA1c dan mikroalbumin dengan hasil r = 0.381 dan p < 0,001 serta uji pearson untuk HbA1c dengan laju filtrasi glomerulus dengan hasil p > 0,05. Pada penelitian didapatkan terdapat korelasi lemah antara HbA1c dan mikroalbumin serta tidak ada korelasi antara HbA1c dengan laju filtrasi glomerulus.

Diabetes Mellitus is metabolic disease with impairment of insulin secretion and insulin function which marked by hyperglycemia and could lead to diabetic nephropathy complication. Testing for HbA1c is one of the tests to diagnose diabetes mellitus. HbA1c itself is a substance that results from glucose nonenzimatic glycosylation process to hemoglobin. The correlation between HbA1c with microalbumin in urine and glomerular filtration rate is not fully known in Indonesia.
This study is using cross sectional study design on 80 subjects from RSCM laboratory. The data for HbA1c and microalbumin were analyzed using spearman test r 0.381 and p 0,001 and the for HbA1c and glomerular filtration rate were analyzed using pearson test p 0,05. The conclusion are there was a weak correlation between HbA1c and microalbumin in urine and no correlation between HbA1c and glomerular filtration rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Irene Hendrata
"Latar Belakang: Prevalensi Diabetes Melitus (DM) tipe 2 cenderung meningkat di seluruh dunia dan keteraturan pengobatan masih menjadi masalah hingga saat ini. Penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara temperamen dengan kontrol glukosa namun belum banyak penelitian yang membahas hal ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara temperamen dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling pada 110 penyandang DM tipe 2 di Poliklinik Metabolik Endokrin RSCM selama bulan Agustus-Desember 2015. Responden dikelompokkan menjadi penyandang DM terkontrol atau DM tidak terkontrol berdasarkan hasil laboratorium HbA1c terakhir. Responden mengisi kuesioner Modified-Temperament and Character Inventory versi bahasa Indonesia.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor temperamen harm avoidance, novelty seeking, dan reward dependence tidak berhubungan bermakna dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya DM tipe 2.
Simpulan: Tidak ada hubungan bermakna antara temperamen dengan pengendalian kadar HbA1c pada penyandang DM tipe 2.

Background: Prevalence on type 2 Diabetes Mellitus (DM) tend to increase across the world and regulating treatment still being one of the matters to be discussed until recently. Previous research had found that there are correlations between temperament with glucose control but with limited study on that area. This research aim to qualify the relationship between temperament to controllable or uncontrollable type 2 DM.
Method: This research is a cross sectional sampling method. Sampling conducted with consecutive sampling on 110 respondents with type 2 DM in RSCM Metabolism Endocrine Polyclinic, sampling was done between August to December 2015. Respondents are grouped to two different groups which is controllable DM and uncontrollable DM based on last HbA1c laboratory results. Respondents were requested to fill up Modified-Temperament and Character Inventory questionnaire in Bahasa Indonesia.
Results: Result on this research indicates that temperament score in harm avoidance, novelty seeking, and reward dependence are unrelated with whether Type 2 DM being controllable or uncontrollable.
Conclusion: Absent of significant relation between temperament and HbA1c level control in type 2 DM patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Reny Damayanti
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia sebagai karakteristik utama. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga komplikasi akibat DM tidak dapat dihindari. Pengendalian terjadinya komplikasi dilakukan dengan kontrol glikemik secara teratur. Pemeriksaan kontrol glikemik antara lain dengan glukosa darah puasa, HbA1c, dan fruktosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kadar fruktosamin dan HbA1c pada diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol, mengetahui perubahan kadar fruktosamin dan HbA1c setelah terapi 2 minggu dan 8 minggu, serta hubungan antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 33 subyek yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Subyek penelitian diikuti selama 2 minggu dan 8 minggu sejak dilakukan perubahan terapi. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai April 2015. Subyek yang termasuk dalam penelitian adalah diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan HbA1c>7%.
Hasil penelitian diperoleh nilai median dan rentang fruktosamin pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 berturut-turut 362 μmol/L (257-711), 327 μmol/L (234-616), dan 350 μmol/L (245-660). Kadar HbA1c memiliki nilai median dan rentang pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 yaitu 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7), dan 8.4% (5.9-14.2). Terdapat penurunan bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c dengan p<0.001. Adanya korelasi yang kuat dan arah korelasi yang positif antara fruktosamin dan HbA1c (minggu ke-0, r=0.86; minggu ke-2, r=0.82; minggu ke-8, r= 0.84).
Pada penelitian ini diperoleh penurunan yang bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c pada 2 minggu dan 8 minggu setelah terapi dengan korelasi yang kuat ( r > 0.8) dan arah korelasi positif. Fruktosamin lebih baik digunakan untuk kontrol glikemik jangka menengah (2 minggu) sedangkan HbA1c lebih baik dipakai untuk kontrol glikemik jangka panjang (8 minggu).

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with hyperglycemia as the main characteristics. Hyperglycemia occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Approximately 50% of people with diabetes in Indonesia have not been diagnosed, thus complications due to diabetes cannot be avoided. Taking control of diabetes mellitus can be done through glycemic control measurements on a regular basis. Fasting blood glucose, HbA1c, and fructosamine tests are lists of key features for glycemic control measurements.
The aims of this study was to overview the levels of fructosamine and HbA1c in uncontrolled type-2 diabetes mellitus, determine changes in fructosamine and HbA1c levels after two weeks and eight weeks of treatment, and analyze the relationship between the two.
This study used a prospective cohort design with 33 subjects consisted of 24 women and 9 men. Subjects were followed for two weeks and eight weeks after the initial therapy amendment. The study began in February and April 2015. The subjects included in the study were uncontrolled type-2 diabetes mellitus with HbA1c> 7%.
Fructosamine concentration, given as median and range values, at weeks 0, 2, and 8 were 362 μmol/L (257-711), 347 μmol/L (234-660), and 333 μmol/L (235-676), respectively. HbA1c levels (median and range) at weeks 0, 2, and 8 were 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7) and 8.4% (5.9-14.2). There was a significant reduction of fructosamine and HbA1c levels (p <0.001). A strong and positive correlation were found between fructosamine and HbA1c (week 0, r = 0.86; week 2, r = 0.82; week 8, r = 0.84).
From this study, it can be concluded that fructosamine and HbA1c levels were significantly reduced at weeks 2 and 8 after treatment, with a positive strong correlation (r> 0.8). Thus, fructosamine is preferable for medium-term (two weeks) glycemic control while the HbA1c is preferred for long-term (eight weeks) glycemic control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>