Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141042 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The leadership question o male and female in Islam often becomes controversial. It could not happen when Muslims understand the text of Al-Qur'an and Hadist comprehensively. Husband can be a leader in his family because of hos responsibility in searching family needs. The leadership in society is not determined by gender or sex by quality."
297 TURAS 12 (1-3) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fatima Mernissi
Surabaya: ALFIKR, 1997
297.43 MER b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurjannah Ismail
Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 2003
297.63 NUR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Fajar Febrianto
"Melalui studi kasus kepada Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru, tujuan penelitian ini adalah menganalisis posisi gerakan laki-laki pro-feminis dalam konstelasi gerakan perempuan. Pendekatan penelitian kualitatif dilakukan melalui teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan analisis data sekunder. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa aktivisme laki-laki yang tergabung dalam ALLB mengalami perdebatan karena dianggap berpotensi mendominasi agenda dan pesaing bagi gerakan perempuan. Strategi yang dibangun oleh ALLB, dengan mengalihkan tawaran pendanaan program kepada organisasi perempuan hingga menjadi forum komunikasi organisasi perempuan menunjukkan bentuk ALLB sebagai sistem pendukung. Politik refleksi atas maskulinitas hegemonik dilakukan untuk membangun citra baru laki-laki dan mengubah perilaku dan perspektif laki-laki.

Throughout case study on Aliansi Laki-Laki Baru Movement, the purpose of this study is to analyze pro-feminist movement's position in accordance to women's movement. The qualitative approach is applied through a detailed data collection which is in-depth interviewing and analyzing secondary data. This research shows that men's activism through ALLB is facing a deliberative situation where pro-feminism movement has been potentially seen as a threat to women's movement domination and as opposition of women's organization's funding. Certain strategies through diverting program funding offers to women's organizations until it becomes a communication forum for women's movements indicate ALLB's form as a supporting system. The politics of reflection of hegemonic masculinity is developed to build new images for men and changing men's attitude and perspective. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Eksistensi transgender Male to Female (MTF) atau yang secara umum sering kita dengar dengan istilah Waria lebih populer dibandingkan dengan transgender Female to Male (FTM). Eksistensi FTM atau seseorang yang terlahir secara biologis perempuan tetapi mendefinisikan dirinya sebagai laki-laki belum diangkat dan terdokumentasikan secara baik, sehingga eksistensi FTM sulit dikenali dalam diskursus publik. Pemilihan Jakarta sebagai area penelitian karena merupakan kota urban yang mempresentasikan Indonesia. Responden yang diinterview berjumlah 22 orang, dan di dalam perjalanan penelitian, 5 FTM dari luar Jakarta. Studi FTM ini menemukan bahwa seseorang tidak secara otomatis akan mendefinisikan gendernya sesuai dengan seks/jenis kelamin biologinya. Mereka membentuk identitas dirinya sendiri secara subjektif melalui proses pendefinisian diri. Dalam perjalanan menuju "diri", FTM mengalami banyak kekerasan baik dari negara, masyarakat, tempat kerja dan keluarga. "
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anik Maryunani
"Perawat merawat pasien tidak membedakan laki-laki maupun perempuan. Perawat laki-laki memiliki tantangan dan hambatan, khususnya dalam merawat pasien perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali pengalaman perawat laki-laki dalam merawat pasien perempuan. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif desriptif pendekatan fenomenologi, dengan 10 partisipan perawat laki-laki usia 26- 43 tahun, berpengalaman merawat pasien perempuan minimal 2 tahun. Penelitian menghasilkan 7 tema, yaitu perasaan tidak nyaman pasien perempuan dan perawat laki-laki; perawat menjaga kepercayaan dan privasi pasien; Identifikasi hal yang mengganggu citra tubuh, umur, area dan jenis tindakan sensitif; perhatian pada faktor agama, keyakinan, etika, dan budaya pasien; profesionalitas, peran dan kompetensi perawat; strategi komunikasi dan minta bantuan perawat perempuan berdasarkan metode tim; pandangan keterlibatan laki-laki dalam profesi perawat. Penelitian menyimpulkan dua tema utama, yaitu perhatian terhadap faktor agama, keyakinan, etika, dan budaya pasien; dan strategi komunikasi dan minta bantuan perawat berdasarkan metode tim. Pelayanan keperawatan disarankan meningkatkan pelayanan berfokus pasien dengan memperhatikan faktor agama, keyakinan, etika, budaya pasien, dan menggunakan strategi komunikasi dan meminta bantuan tim, sesuai standar akreditasi nasional rumah sakit.

The nurse caring for the patient does not differentiate between men and women. Male nurses have challenges and obstacles, especially in caring for female patients. This study aims to explore the experience of male nurses in caring for female patients. This study used descriptive qualitative design of phenomenology approach, with 10 male nurse participants aged 26 43 years, experienced in caring for female patients at least 2 years. The study produced 7 themes, namely the discomfort of female patients and male nurses nurses maintain patient trust and privacy Identification of things that disturb the body image, age, area and type of sensitive actions attention to religious factors, beliefs, ethics, and patient culture professionalism, roles and competence of nurses communication strategies and ask for female nurse assistance based on team method view of male involvement in the nursing profession. The study concludes two main themes, namely attention to religious factors, beliefs, ethics, and patient culture and communication strategies and seek nurse assistance based on team methods. Nursing services are advised to improve patient focused services with regard to religious, belief, ethical, and patient culture factors, and use communication strategies and seek team assistance, according to the national hospital 39 s accreditation standards.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T50551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hira Almubarokah
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi tenaga kerja perempuan perkotaan. Dalam hal ini partisipasi tenaga kerja perempuan perkotaan merupakan proporsi penduduk perempuan yang bekerja terhadap jumlah penduduk perempuan usia kerja. Selain itu pengaruh faktor-faktor ini juga akan dibandingkan pengaruhnya pada partisipasi tenaga kerja laki-laki. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apa yang mempengaruhi kesenjangan pastisipasi tenaga kerja perempuan dan laki-laki di pasar tenaga kerja. Data dalam penelitian ini berasal dari data kor gabungan individu dan rumah tangga yang berasal dari Susenas 2014. Estimasi dilakukan menggunakan analisis model logistik karena variabel dependennya adalah kategorik yaitu partisipasi perempuan perkotaan untuk bekerja atau tidak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik rumah tangga (status perkawinan, keberadaan balita dan jumlah anak) merupakan faktor-faktor dominan yang menurunkan probabilitas partisipasi tenaga kerja perempuan perkotaan di Indonesia. KUR, PNPM, umur dan tingkat pendidikan menjadi faktor yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap probabilitas partisipasi tenaga kerja perempuan perkotaan di Indonesia. Hasil berkebalikan karakteristik rumah tangga tersebut justru meningkatkan partisipasi tenaga kerja laki-laki perkotaan. Selain itu peningkatan pendapatan regional juga meningkatkan partisipasi tenaga kerja laki-laki perkotaan namun tidak terjadi peningkatan pada partisipasi tenaga kerja perempuan perkotaan. Sedangkan variabel upah justru menurunkan probabilitas partisipasi baik pada tenaga kerja laki-laki maupun perempuan, namun dampaknya lebih besar pada perempuan perkotaan.

This study aimed to analyze the factors that affect the urban female labor participation. In this case the urban female labor participation is the proportion of working female against the population of working age female. In addition the influence of these factors also are compared to the effect on the urban male labor participation. This is done to find out what affect labor participation gap among female and male in the labor market. The data in this study come from a combination of core data of individuals and households from Susenas 2014. Estimated done using logistic model analysis as dependent variables of the problems faced by urban categorical that female's participation to work or not.
The results showed that the household characteristics (marital status, presence of children under five years and the number of children) are the dominant factors that decrease the probability of urban female labor participation in Indonesia. KUR, PNPM, age and education level are also factors that significant and positive impact on the probability of urban female labor participation in Indonesia. Results contrasts characteristic variables such households actually increase the probability of urban male labor participation. In addition, increasing regional revenues also increase urban male labor participation but no increase in the urban female labor participation. While wages actually reduce the probability of participation in the labor both male and female, the greater impact is on urban female.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T48284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stebby Julionatan
"Hukum Kasih dalah ajaran utama Kekristenan. Dengan Hukum Kasih maka umat Kristiani diajar untuk bersikap inklusi dan memperjuangkan hak-hak orang-orang yang tertindas. Sayangnya, ketika Hukum Kasih diperhadapkan pada pemenuhan hak spiritualitas transpuan, maka “hukum” tersebut kehilangan sisi inklusinya. Wacana tentang heteronormatif dalam Kekristenan menjadi kontra narasi atas nilai inklusi Hukum Kasih. Bahkan, dalam konteks ini, Kekristenan justru menjadi hambatan terbesar terhadap penerimaan pada ketubuhan dan seksualitas kelompok transpuan. Namun, benarkah heteronormatif telah final dalam wacana Kristen? Bagaimana para pendeta menjembatani kontradiksi yang ada dalam amanat pelayanan spiritualitas jemaat, termasuk transpuan? Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan dan pemahaman 6 (enam) pendeta sekutu Protestan mengenai Hukum Kasih guna membangun landasan pemaknaan atau peta tafsir alternatif yang memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spritiualitas kelompok transpuan. Menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif feminis yang berpihak kepada kelompok transpuan, penelitian ini mewawancarai 2 (dua) pendeta perempuan cis-gender heteroseksual, 3 (tiga) pendeta laki-laki cis-gender heteroseksual dan seorang pendeta laki-laki non-heteroseksual yang memiliki keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual. Studi ini mengungkap tiga hal, yaitu upaya membangun kesadaran dan keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual, agensi pendeta sekutu dan makna pemberkatan perkawinan transpuan bagi pendeta sekutu. Upaya yang telah dilakukan dari studi ini menunjukkan: Pertama, sekadar pemaknaan akan “kasih” yang inklusi, ternyata tidak cukup dalam membangun kesadaran kritis dan keberpihakan, para pendeta sekutu membangunnya melalui refleksi kesadaran akan privilese, makna panggilan dan pengutusan gerejawi, adanya perjumpaan dengan kelompok minoritas seksual dan menyadari bahwa kelompok minoritas kebutuhan spiritualitas. Kedua, dalam upaya membangun agensi, para pendeta sekutu menggunakan identitas kependetaan mereka (paspor) sebagai strategi untuk membangun tafsir baru, mengubah wacana inklusi menjadi DNA gereja dan melakukan gerakan inklusif SOGIESC. Ketiga, dalam memaknai pemberkatan perkawinan transpuan, para pendeta masih dihadapkan pada ragam tafsir yang menjadi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas kelompok tranpuan. Pada akhirnya, penguatan wacana teologi feminis dan SOGIESC pada para pendeta dan pengambil kebijakan di gereja menjadi suatu yang niscaya untuk pengejawantahan nilai Hukum Kasih yang sebenarnya.

The Law of Love is the main teaching of Christianity. With the Law of Love, Christians are taught to be inclusive and fight for the rights of oppressed people. Unfortunately, when the Law of Love is confronted with fulfilling the spiritual rights of transgender women, the "law" loses its inclusion. Discourse about heteronormative in Christianity becomes a counter narrative on the inclusion value of the Law of Love. In fact, in this context, Christianity is actually the biggest obstacle to acceptance of the body and sexuality of transgender groups. However, is it true that heteronormative is final in Christian discourse? How do pastors bridge the contradictions that exist in the mandate of the church's spiritual ministry, including transwomen? This study aims to explore the views and understanding of 6 (six) allied Protestant pastors regarding the Law of Love in order to build a basis for interpretation or an alternative interpretation map that facilitates the fulfillment of the spiritual needs of the transgender group. Using a phenomenological approach with a feminist perspective that favors transgender groups, this study interviewed 2 (two) heterosexual cis-gender female priests, 3 (three) heterosexual cis-gender male priests and one non-heterosexual male priest who has a bias against sexual minorities. This study reveals three things, namely efforts to build awareness and alignment with sexual minority groups, the agency of allied priests and the meaning of the blessing of transgender marriages for allied priests. The efforts that have been made from this study show: First, the mere meaning of "love" which is inclusive, turns out to be insufficient in building critical awareness and partiality, the allied pastors build it through reflection on awareness of privilege, the meaning of ecclesiastical vocation and mission, the existence of encounters with groups sexual minorities and realize that minority groups need spirituality. Second, in an effort to build agency, allied pastors use their clerical identity (passport) as a strategy to build new interpretations, change the discourse of inclusion into the DNA of the church and carry out the SOGIESC inclusive movement. Third, in interpreting the blessing of transgender marriages, priests are still faced with various interpretations which are a challenge in meeting the spiritual needs of transgender groups. In the end, the strengthening of feminist theological discourse and SOGIESC among pastors and policy makers in the church is necessary for the realization of the true value of the Law of Love."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilbram Rahmansyah Bayusasi
"Penelitian ini membahas tantangan komunitas transpuan memperoleh pengakuan identitas hukum di Indonesia. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil belum sempurna menangani permasalahan tersebut. Tidak sempurnanya kedua pengaturan hukum tersebut karena pengajuan permohonan pengubahan identitas hukum kepada pengadilan negeri dapat ditolak. Dengan begitu, transpuan di Indonesia tidak mendapatkan salah satu hak dasarnya, yakni identitas hukum. Melalui metode sosio-legal, penelitian ini menganalisis kekurangan kedua pengaturan hukum yang ada dan mewawancarai transpuan di Jakarta Selatan tentang identitas hukum mereka. Hasil ditemukan bahwa para transpuan ini belum melakukan pengubahan identitas hukum karena terintimidasi dengan hukum yang ada. Hal tersebut mengakibatkan keseharian mereka terdapak, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan keamanan pribadi. Berdasarkan temuan ini, peneliti memberikan beberapa saran ke depan. Pertama, dicanangkan self-ID law yang memungkinkan transpuan untuk secara langsung mengajukan perubahan identitas tanpa hambatan pengadilan yang berlebihan. Kedua, perlunya kompensasi bagi mereka yang pernah ditolak, serta edukasi intensif bagi petugas pemerintah untuk menghindari diskriminasi. Ketiga, pentingnya dukungan sosial dan hukum yang lebih luas, termasuk layanan kesehatan yang sensitif terhadap transisi gender. Keempat, edukasi masyarakat luas untuk mengurangi stigma terhadap identitas gender yang beragam. Dengan menerapkan saran-saran ini, diharapkan bahwa transpuan di Indonesia dapat mengakses hak mereka untuk identitas hukum dengan lebih mudah dan adil, menjadikan perubahan identitas sebagai bagian normal dari proses transisi mereka.

This study discusses the challenges faced by trans women in obtaining legal recognition of their identity in Indonesia. Article 56 of Law Number 23 of 2006 on Population Administration and Article 58 of Presidential Regulation Number 96 of 2018 on Population Registration Requirements have not adequately addressed these issues. The imperfections in these legal provisions arise from the potential rejection of applications for legal identity change by district courts. Consequently, trans women in Indonesia are denied a fundamental right, namely legal identity. Using socio-legal methods, this research analyzes the shortcomings of existing legal frameworks and interviews trans women in South Jakarta about their legal identities. The findings reveal that these women have refrained from pursuing legal identity changes due to intimidation by existing laws, impacting their daily lives including social, economic, and personal security aspects. Based on these findings, the researcher proposes several recommendations. First, the implementation of a self-ID law that allows trans women to directly request identity changes without excessive judicial barriers. Second, the need for compensation for those previously denied, along with intensive education for government officials to prevent discrimination. Third, the importance of broader social and legal support, including healthcare services sensitive to gender transitions. Fourth, public education to reduce stigma against diverse gender identities. Implementing these recommendations is expected to facilitate easier and fairer access to legal identity rights for trans women in Indonesia, making identity changes a normal part of their transition process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>