Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131088 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara ide politik perbedaan berdasarkan perspektif feminisme dengan masalah konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia. Gagasan politik perbedaan dalam konteks feminis ini melihat masalah utama dalam masyarakat kita bukanlah untuk beradaptasi dengan persamaan, melainkan upaya beradaptasi dengan perbedaan.
Penelitian ini juga melihat bahwa saat terjadi konflik antar komunitas ini dengan perspektif perempuan karena dalam setiap konflik, perempuan selalu menjadi korban utama. Masalah lain adalah dikotomi ruang publik dengan ruang privat dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi, yang berdasarkan pada prinsip universalisme, yang tidak menerima perbedaan nilai, dan memaksa sistem hanya untuk mengenal nilai mayoritas.

This Research is to find the connection between the notion of politics of difference based on feminist perspective and the social conflict in the Indonesian society. The Notion of politics of difference in feminism context sees that the major problem in our society is not to adapt equality but rather how to adapt with difference in our society.
This research also argues that when there is conflicts between communities, women always become the first casualties. Another problem is the dichotomy of the public sphere and the private sphere in oursocial, political, and economical systems, which are based on universalism cannot accept differences of values and tent to force the system to only recognice the values of the majority."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara ide politik perbedaan berdasarkan perspektif feminisme dengan masalah konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia. Gagasan politik perbedaan dalam konteks feminis ini melihat masalah utama dalam masyarakat kita bukanlah untuk beradaptasi dengan persamaan, melainkan upaya beradaptasi dengan perbedaan. Penelitian ini juga melihat bahwa saat terjadi konflik antar komunitas ini dengan perspektif perempuan karena dalam setiap konflik, perempuan selalu menjadi korban utama. Masalah lain adalah dikotomi ruang publik dengan ruang privat dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi, yang berdasarkan pada prinsip universalisme, yang tidak menerima perbedaan nilai, dan memaksa sistem hanya untuk mengenal nilai mayoritas.

This Research is to find the connection between the notion of politics of difference based on feminist perspective and the social conflict in the Indonesian society. The Notion of politics of difference in feminism context sees that the major problem in our society is not to adapt equality but rather how to adapt with difference in our society. This research also argues that when there is conflicts between communities, women always become the first casualties. Another problem is the dichotomy of the public sphere and the private sphere in oursocial, political, and economical systems, which are based on universalism cannot accept differences of values and tent to force the system to only recognice the values of the majority."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Misiyah
"Realitas empirik di Indonesia, kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 memang mengakhiri era otoriterisme politik Soeharto, namun bukan berarti akhir dari eksistensi rejim Orde Baru. Ruang ekspresi politik menjadi relatif terbuka, namun kekuatan politik otoriterisme dan patriarkis juga masih tetap menjadi ancaman. Ruang politik yang terbuka menjadi ajang pertarungan kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi ancaman bagi demokrasi. Dalam perspektif perempuan, perubahan politik yang terjadi pada era rejim pasca Soeharto tidak membawa kemajuan yang berarti bagi perempuan Indonesia karena parameter perubahan sosial politik hanya mengedepankan perubahan di ranah publik. Dalam perspektif feminisme, perubahan sosial tidak hanya bersandar pada ranah publik, tetapi memperhitungkan transformasi yang terjadi pada tingkat individu sama pentingnya dengan perubahan kolektif. 'Masalah perempuan adalah masalah politik' sebagai ide dasar feminis poskolonial mempunyai sumbangan yang mampu menggugat ukuran-ukuran formal di ranah publik yang pada dasarnya ukuran-ukuran tersebut dirumuskan oleh semangat patriarki. Disinilah signifkansi penelitian ini, sebuah penelitian yang merespons sistem sosial politik Indonesia yang tunggal, yaitu sistem yang dikonstruksi berdasar cara Pandang patriarki dan mengakibatkan penindasan perempuan menjadi persoalan yang kasat mats tetapi belum mendapat perhatian.
Pengungkapan ketertindasan penting dilakukan dengan cara membangun kesadaran bahwa perempuan dikonstruksi menjadi kelompok tertindas. Melalui kesadaran ini, masalah ketidakadilan perempuan dianggap sebagai masalah penting yang perlu disikapi secara serius dan tidak ditinggalkan dalam proses-proses demokratisasi. Kesadaran kritis dan otonomi perempuan merupakan aspek penting dalam melakukan proses-proses pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Dalam masyarakat yang secara kultural maupun struktural mengalami ketimpangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, penindasan perempuan merupakan keniscayaan terjadi dalam segala aspek kehidupan. Sistem patriarki telah terintegrasi dalam kehidupan individu maupun institusi sosial menyebabkan perempuan tersubordinasi, mengalami kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan marginalisasi. Berangkat dari situasi tersebut, rumusan masalah yang diajukan adalah "seberapa efektif Pendidikan Feminis dapat mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan otonomi perempuan di Indonesia?"
Meskipun penelitian ini mengkaji sebuah program kerja tetapi tidak dimaksudkan untuk melakukan monitoring evaluasi. Oleh karena itu, teori yang digunakan bukan teori-teori monitoring evaluasi tetapi teori feminisme poskolonial. Adapun pendekatan penelitian ini adalah pendekatan penelitian feminis (feminist research).
Temuan-temuan penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama, adanya hubungan positif antara kesadaran kritis dengan aksi-aksi transformatif. Hal ini tercermin pada pengaruh Pendidikan Feminis dalam memperkuat kemampuan pemimpin lokal ('PL') mencakup tiga hal yaitu: (1) semakin menguatnya kesadaran kritis terhadap ketertindasan perempuan di wilayah Sulwesi Utara. Dalam konteks masyarakat Sulaweasi Utara yang plural, kesadaran atas ketertindasan perempuan dibarengi dengan kesadaran bahwa kelas, ras, etnis, dan agama. Berbagai sumber penindasan ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain (interlocking system). (2) Semakin menguatnya otonomi perempuan yang terwujud dalam sikap-sikap perlawanan dengan menolak sunat perempuan, poligami, jilbab, kewajiban melayani hubungan seks kepada suami dan pemaksaan untuk menggunakan alat-alat KB tertentu. (3) Tumbuhnya kemampuan melakukan aksi-aksi transformatif dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
Kedua, adanya kesadaran kritis yang dibarengi dengan tindakan transformatif merupakan satu pola aksi-refleksi dalam siklus Pendidikan Feminis. Aksi-refleksi ini dapat berlangsung jika didukung oleh support group. Salah satu contoh support group yang ditemukan dalam penelitian ini adalah berdirinya organisasi PILAR Perempuan. Melalui program-program kerja PILAR Perempuan, para 'PL' dapat melakukan aksi dan refleksi.
Ketiga, adanya perbedaan fokus perhatian antara 'PL' perempuan dan laki-laki dalam melakukan aksi-aksi tranformatif. Seksualitas atau memperkuat otonomi tubuh merupakan fokus perhatian perempuan dan laki-laki lebih pada upaya mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Latifa Soetrisno
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan sebuah analisa atas kasus-kasus kekerasan yang dilakukan suami tehadap istrinya. Pengangkatan tema kekerasan terhadap istri ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa meskipun kekerasan terhadap istri merupakan persoalan yang sangat kompleks, namun di kalangan masyarakat luas masih sedikit orang yang menaruh perhatian dan menganggap penting persoalan ini. Berdasarkan 171 kasus (dikumpulkan dari kasus-kasus, yang ditangani oleh sebuah Lembaga Konsultasi Perkawinan di Jakarta, tahun 1992 s.d. 1996) penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan (untuk kasus ini adalah para istri), yang ditelaah dengan perspektif feminis.
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini mencakup tiga hal, pertama bagaimana gambaran mengenai kekerasan yang dialami oleh para istri yang menjadi korban. Untuk mendapatkan gambaran tersebut informasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: a) Deskripsi tentang jenis-jenis kekerasan; b) Darnpak dari tindakan kekerasan tersebut; c) Frekuensi kekerasan; d) Diskripsi mengenai proses terjadinya tindak kekerasan. Penelitian ini juga mengangkat latar belakang terjadinya tindak kekerasan menurut sudut pandang korbanlistri dan pelaku kekerasan/suami serta mencoba meninjau masalah kekerasan dari perspektif feminis. Penjabaran masalah ini diangkat berdasarkan asumsi bahwa masih relatif sedikit studi yang mencoba mengungkapkan kuantitas dan kualitas kekerasan yang dihadapi perempuan dalam konteks keluarga.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut maka dilakukan analisis isi atas data yang telah dikumpulkan. Berdasarkan analisa atas kasus-kasus tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa kekerasan menimpa pasangan suami-istri dari berbagai lapisan sosial ekonomi. Karakteristik istri maupun suami juga sangat bervariasi. Baik suami maupun istri menjalankan berbagai profesi dan menduduki berbagai jabatan serta sebagian besar berpendidikan tinggi (tingkat SMA ke atas).
Berdasarkan kasus-kasus kekerasan ini terungkap berbagai jenis kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu tindak kekerasan fisik, verbal dan seksual. Tindakan suami tidak hanya berdampak secara fisik (seperti meninggalkan bekas memar, biru, berdarah, dan sebagainya) tetapi juga berdampak secara psikologis. Apabila ditinjau dari segi frekuensi, maka teridentifikasi dari 171 kasus terdapat 118 kasus yang mengungkapkan bahwa istri sering mengalami tindak kekerasan.
Berdasarkan hasil pengamatan lebih dalam terhadap kasus kekerasan ini maka diketahui bahwa sebagian besar tindak kekerasan sudah dimulai sejak awal perkawinan dan umumnya sebelum tindak kekerasan terjadi diawali terlebih dahulu dengan pertengkaran-pertengkaran. Menurut sudut pandang istri ada beberapa hal (yang menonjol) yang menjadi pemicu kekerasan, yaitu 1) adanya orang `ketiga' dalam perkawinan, 2) hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab suami, 3) istri tidak menuruti kehendak suami, 4) istri tidak menanggapi perkataan suami, 5) suami mempunyai `kepribadian aneh' dan karena sebab lainnya. Sementara menurut sudut pandang suami, hal yang memotivasi mereka untuk melakukan tindak kekerasan adalah: 1) istri "cerewet"; 2) ingin "mendidik" istri; 3) karena istri menyeleweng, 4) karena istri bersikap kasar pada suami, 5) istri diam saja bila ditanya suami; 6) suami mengaku `khilaf.
Apabila ditinjau dari sudut pandang feminis, maka dapat dikatakan bahwa berbagai tindak kekerasan terhadap istri merupakan cermin adanya ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Tindak kekerasan diyakini menjadi timbul bukan semata-mata karena adanya penyimpangan kepribadian akan tetapi karena adanya norma-norma atau nilai-nilai yang memberikan penghargaan lebih kepada kaum lelaki. Sehingga kaum laki-laki memiliki hak untuk mengontrol, termasuk mendominasi, segala hal yang berkaitan dengan hubungan antara laki dan perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak kekerasan merupakan bagian dari tatanan sosial yang mentoleransi dominasi/kontrol suami terhadap istri.
Dalam kenyataan, adanya nilai-nilai yang sangat merendahkan perempuan tersebut telah terinternalisasi sedemikian kuat dalam benak istri sebagai korban kekerasan tersebut. Tidak jarang para istri tersebut menampilkan sikap `rnendua' yaitu di satu sisi mereka merasa sangat menderita, takut dan terancam jiwanya tetapi di pihak lainnya mereka tampak berusaha untuk memaharni, menerima bahkan acapkali menyalahkan diri sendiri (self-blame) atas timbulnya kekerasan. Dengan mengadopsi sikap yang demikian dapatlah dipahami apabila korban kekerasan mengembangkan pemahaman yang keliru tentang banyak hal.
Dalam upaya mencegah sekaligus menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak kekerasan terhadap para istri, suatu pendekatan yang terintegrasi baik' dari segi pendidikan, hukum maupun dari segi jasa pelayanan/penanganan sangatlah diperlukan."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfia
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas resistensi yang dilakukan oleh perempuan bercerai terhadap stigma janda. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana resistensi perempuan bercerai terhadap stigma janda dengan melihat pada tiga ranah daerah berdasarkan pengalaman perempuan, yaitu pada saat proses pengambilan keputusan, persidangan cerai, dan pasca resmi menjadi janda dengan menggunakan teori feminis radikal. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang perempuan janda cerai yang mendapatkan stigma dan melakukan perlawanan atas opresinya. Penelitian ini menemukan bahwa i Faktor ekonomi, kultural, agama memberikan pengaruh terhadap keberadaan stigma janda yang menimpa perempuan bercerai hidup; ii Seksualitas perempuan janda merupakan konstruksi sosial patriarki; iii Bentuk perlawanan perempuan bercerai dalam penelitian ini adalah pelawanan tertutup; iv Keempat subyek penelitian memiliki kemampuan agensi yang berdasar pada refleksi, kesadaran diri, dan kekuatan ide-ide untuk menjadi survivor.

ABSTRACT
This research is explicating the resistance of divorced women towards the widow stigmatization. This research has a goal to discover the resistance that was done by divorced women towards the widow stigmatization by seeing it in three aspects decision making, divorce trial, and post widow official status, analyzed by radical feminism theory. The subjects of this research are four divorced women who got stigmatized and eventually did the resistance against the oppression. This research found that i Economic, cultural and religious factors have an effect on the existence of the widow stigmatization experienced by divorced woman ii Women sexuality of widows is a patriarchal social construction iii The form of divorced women resistance in this research is hidden resistance iv The subjects of this research have agency capabilities based on reflection, self awareness, and the power of ideas to be a survivor."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randie Ananda Agam
"Tesis ini bertujuan mengungkap praktek diskursus mengenai feminisme dalam internet, dengan meneliti internet meme, spesifiknya jenis image macro, di situs
meme repository 9GAG. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif terhadap teks meme dengan analisis multimodal dan analisis wacana Teun A. van Dijk. Sampel
data adalah subkategori meme yang secara konsisten menampilkan ide feminisme dalam tiap kemunculannya dan pernah muncul di 9GAG. Hasil peneltian menunjukkan bahwa diskursus feminisme tampil secara beragam sebagian merefleksikan diskursus humor yang merupakan diskursus utama 9GAG, sebagian lain tidak merefleksikan humor atau menampilkan humor dengan cara yang berbeda. Aktor-aktor sosial di balik meme yang diteliti juga beragam; sebagian dapat ditelusuri karena identitasnya tercatat dengan lengkap di internet, sebagian lain hanya bisa diduga berdasarkan karakteristik tertentu seperti penggunaan humor, posisi mengenai feminisme dan ketimpangan akses internet berdasar jenis kelamin. Ruang-ruang internet tempat meme yang membawa diskursus feminisme menyebar mengharuskan diskursus feminisme mengikuti diskursus humor yang sudah lebih dahulu berkuasa jika tidak mereka akan terpinggirkan dan hanya bisa mempertahankan status quo di situs orisinal mereka jika ada.

The thesis attempts to reveal discursive practices involved in construcing discourses on feminism in the internet. The research takes multiple subcategory of memes, that fall into image macro types, available on 9GAG. This is a qualitative research on
text and visual of memes, with analysis conducted using multimodal analysis and Teun A. van Dijk?s discourse analysis framework. Selected subcategories are the ones that consistently present ideas on feminism, and is available to access on 9GAG at least once. The result shows that discourse on feminism are various some reflects the humorous nature of 9GAG while others don?t or uses humor in a different direction than the ones found on 9GAG. Social actors are also different several are readily identifiable through the internet, while others are describable only based on several characteristics like the use of humor, stance on feminism and access gap of internet based on gender and sex difference. Social spaces where memes spread also require the memes to conform to preexisting discourse if they want to thrive in it; otherwise they will simply froze in an obscure corner of the space, while only barely maintaining the status quo of their original sites.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Redjeki Saptoro
"Latar Belakang
Seperti laki-laki sejak abad ketujuh belas perempuan Eropa juga bermigrasi ke Amerika Utara. Waktu perahu pemukim pertama berlabuh di Hampton Roads di dalam Domini Lama Virginia bulan Mei, 1607, penumpangnya terdiri atas lelaki saja. Mereka mendirikan benteng, gereja, gudang dan pondok-pondok di Jamestown dan mulai bercocok tanam. Wanita-wanita yang kemudian datang, bersama-sama suami harus bekerja keras untuk dapat bertahan hidup. Suami-istri melakukan semua kegiatan didalam maupun di luar rumah. Tetapi di luar rumah semua kedudukan dengan kekuasaan hanya terbuka bagi lelaki, seperti pengurusan gereja, sidang kolonial, rapat kota, hanya lelaki yang bisa berperan sebagai pemimpin. (M.P. Ryan : 1975 : 29)
Dengan makin bertambahnya kedatangan imigran, lahan pertanian lambat laun menjadi berkurang, maka pemukiman makin bergeser ke barat. Wanita golongan atas dan menengah kebanyakan tinggal di kota; mereka menjalani kehidupan jauh lebih baik dari pada wanita frontir. Gadis-gadis di kalangan atas dan menengah dipermulaan abad ke-18 telah mendapat pendidikan tidak formal untuk menunjang hari depannya sebagai istri dan ibu.
Abad ke-19 ditandai dengan terjadinya revolusi industri, pabrik-pabrik dan perusahaan bermunculan. Penduduk pedesaan mengalir ke kota industri untuk menjadi buruh pabrik. Dengan pindahnya orang desa ke kota, kehidupan keluarga petani mengalami perubahan. Mereka tidak bisa lagi hidup berswadaya dari kebun dan ternaknya. Setelah tinggal di kota para istri kehilangan daya ekonominya, karena di kota mereka tidak mempunyai kebun yang hasilnya bisa mencukupi keperluan rumah tangga dan malahan sisanya bisa dijual. Setelah di kota keperluan sehari-hari harus dibeli dengan upah kerja suami yang begitu rendah. Untuk sedikit meringankan beban keluarga harus merelakan anak yang sudah besar menjadi buruh murah di pabrik. Sebaliknya wanita kalangan menengah dan atas selain mengurus rumah tangga, diwaktu yang senggang giat mengurus usaha-usaha amal dan keagamaan.
Di pertengahan abad ke-19 para wanita yang selalu giat berusaha menegakkan keadilan di antara sesama, di Seneca Falls, di negara bagian New York, pada 19-20 Juli, 1848, pada suatu rapat besar, secara resmi mengajukan tuntutan akan perubahan kedudukan wanita. Pada pertemuan itu para wanita mengeluarkan revolusi meminta kesempatan bagi wanita dalam pendidikan, bisnis, profesi dan hak atas miliknya, kebebasan bicara dan perwalian atas anak. Tuntutan yang terakhir dan tak terbayangkan adalah hak pilih. Isu hak pilih wanita ini diumumkan untuk pertama kali di Amerika (G. G. Yates :.1940: 27-28). Setelah lebih dari 70 tahun, berhasil dengan diberlakukannya the XIX Amendment pada bulan November 1920. Dengan demikian wanita mempunyai hak pilih penuh. Ratifikasi Amandemen XIX merupakan puncak keberhasilan dari gerakan para feminis, karena dengan adanya ratifikasi tersebut dapat diartikan bahwa diskriminasi mendasar terhadap wanita telah dihilangkan.
Waktu Amerika Serikat terlibat dengan PD I, di tahun 1917 wanita dan anak didorong supaya bekerja di pabrik dan di tempat yang memerlukan tenaga kerja untuk membantu usaha nasional. Para feminis ikut aktif berperan di berbagai bidang yang bisa menunjang kemenangan Amerika, walaupun sebetulnya mereka tidak menyetujui keterlibatan Amerika dalam peperangan. Namun demi tercapainya tujuan mereka yaitu hak pilih, mereka menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan pemerintah. Ternyata tidak lama seusai perang wanita mendapatkan hak pilih di tahun 1920 seperti diterangkan di atas. Tetapi wanita setelah menerima hak pilih tidak aktif mengadakan kegiatan.
Selama PD II wanita diminta lagi menyumbangkan tenaganya di mana diperlukan. Wanita bisa menunjukkan kecakapannya di berbagai lapangan kerja yang ditinggalkan kaum lelaki yang ikut berperang."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini
"Kajian tentang femininitas masih relevan dalam kehidupan moderen. Karena konsepsi gender- bermanfaat bag i seseorang untuk menempatkan dirinya sesuai dengan tempatnya dalam kehidupan. Demikian kiranya "ideology? gender dapat bertahan mengatasi derasnya arus kebudayaan moderen yang telah menanamkan pengaruhnya hampir di seluruh belahan bumi.
Pendekatan folklor dalam penelitian ini didasari pada pemikiran bahwa folklor adalah Cermin Cara berpikir yang berisikan nilai-nilai dari masyarakat pendukungnya.
Bertolak dari konsep Clifford Geertr maka nilai? nilai berada dalam kehidupan seseorang melalui proses belajar secara turun menurun. Pembenaran terhadap nilai-nilai akan menjadi penggerak dalam batin yang mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menyebabkannya memiliki kekhususan yang membedakannya dengan orang lain. Karena kebudayaan bersifat universal, melainkan spesifik.
Dalam masyarakat Rusia, wanita ibarat motushk Ells yang rela berkorban untuk anak-anaknya yang tak terkira banyaknya. Dalam karya-karya sastra Rusia abad kesembilan belas sifat-sifat feminin ' terlukis dalam diri isteri--isteri setia yaitu pada tokoh Tatyana dan isteri-isteri Dekabris.
Studi ini dilakukan terhadap wanita-wanita Rusia yang tinggal di Jakarta yaitu dalam lingkungan budaya yang berbeda. Dengan demikian maka manfaat penelitian adalah Untuk mengetahui sampai sejauh mana sifat budaya masih melekat, sementars suatu etnik telah meninggalkan batas budaya dan geografisnya? Sehubungan dengan ini maka Barth berpendapat bahwa sifat budaya dapat berlanjut, meskipun terjadi pembauran karena adanya status terdikotomi yaitu hubungan yang bersifat saling ketergantungan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018
305.42 DAR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hearty, Free
"Penelitian ini melihat kontestasi pemikiran feminisme dan ideologi patriarki dalam tiga teks berbudaya Arab-Muslim, yakni: Women at Point Zero (WAPZ) karya Nawal El Saadawi (1976), A Wife for My Son (AWfMS) karya Ali Ghalem (1969), dan The Beginning and The End (TBTE) karya Naguib Mahfoudz (1949). Karena yang diamati adalah pertarungan ideologi, maka karya sastra di sini diperlakukan sebagai satu aspek budaya. Dengan begitu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan budaya. Pengkajian budaya lebih mengamati aspek politis dari kehadiran teks sastra. Dalam hal ini teks sastra dianggap bisa menyosialisasikan berbagai hal untuk membangun atau meruntuhkan suatu ideologi.
Pendekatan budaya feminis, khususnya feminis Muslim, digunakan untuk mengamati bagaimana gagasan feminis dimunculkan menghadapi dominasi laki-laki, dan bagaimana citra perempuan sebagai korban atau citra perempuan yang berpotensi memperjuangkan kesetaraan ditampilkan dalam teks-teks WaPZ, AWfMS dan TBTE. Pendekatan budaya post-feminis yang digagas Naomi Wolf digabungkan dengan pandangan Fatima Mernissi dari feminis Muslim, digunakan untuk mengamati ketiga teks. Naomi Wolf menggunakan pendekatan Feminis Korban dan Feminis Kekuasaan untuk melihat permasalahan yang dihadapi perempuan dalam memperjuangkan ideologi feminisme. Feminis Kekuasaan adalah cara yang melihat potensi perempuan dan menganggap perempuan sebagai manusia biasa, sama seperti laki-laki, untuk menjadi setara. Kesetaraan memang sudah menjadi hak perempuan tanpa harus dimohon dari orang lain. Sedangkan Feminis Korban adalah cara yang digunakan dengan membuat catatan penderitaan perempuan karena kejahatan lelaki di bawah budaya patriarki, sebagai jalan menuntut hak. Gagasan Wolf ini sejalan dengan pemikiran Fatima Mernissi yang melihat permasalahan dengan melakukan pendekatan yang mempraktekkan toleransi, menunjukkan potensi diri, dan bukannya pembenaran diri sendiri. Wolf dan Mernissi punya pandangan sama, bahwa perlu membangun citra baru perempuan yang mengemukakan potensi diri yang mampu dan berhak untuk setara dengan laki-laki.
Nawal El Saadawi yang terkenal sebagai feminis yang aktif menggugat kekuasaan lelaki, dalam teks WAPZ menggunakan cara Feminis Korban. Nawal menggambarkan "catatan daftar kehancuran hidup Firdaus" dalam usahanya menggugat kekuasaan lelaki. Dalam kata pengantar dan cerita narator, Nawal membangun citra Firdaus yang korban kejahatan lelaki, sebagai perempuan yang berani dan terhormat. Namun lewat Firdaus yang menarasikan kisah hidupnya, yang muncul adalah gambaran kelemahan perempuan yang dengan mudah dibodohi dan ditindas lelaki tanpa pemberontakan yang berani. Keberanian Firdaus yang dimunculkan dengan membunuh mucikari dan menolak mengajukan grasi, tidak membangun citra baru perempuan. Keputusan membunuh muncul karena keadaan terdesak, tidak menunjukkan keberanian.
Dalam AWfMS, Ghalem tidak setajam dan sekeras Nawal mengangkat perjuangan perempuan yang menuntut perubahan. Namun caranya yang terkesan hati-hati mengusung gagasan perubahan dan modernisasi, Ghalem lebih menunjukkan bentuk pembelaan terhadap laki-laki. Laki-laki dalam teks dimunculkan juga sebagai korban budaya. Apalagi Ghalem secara tegas membedakan pemikiran tentang perubahan dan modernisasi dengan gagasan feminisme yang diangkat tokoh Fatouma. Sama seperti Nawal, Ghalem juga tidak membangun citra baru perempuan. Perempuan masih dimunculkan sebagai korban dalam konsep "Feminis Korbrm", dengan sifat dan sikap yang telah dibentuk budaya patriarki. Fatiha, tokoh utama, berontak hanya dalam gagasan. Sedangkan sikap dan pilihan hidup bertentangan dengan pikiran-pikiran yang menolak dominasi laki-laki. Ia menolak kawin paksa, tapi tidak menolak ketika dipaksa kawin dengan lelaki yang tidak dia kenal. Ia ingin mandiri tapi menggantungkan hidup kepada suami. Pada akhir kisah, Fatiha berontak dengan meninggalkan suami dan rumah mertua, tapi ditolak oleh orang tuanya. Menunggu dan berharap, seperti inilah citra perempuan yang ditampilkan. Khas patriarkis.
Dalam TBTE, Mahfoudz memunculkan tokoh perempuan yang berbeda. Mahfoudz menyorot potensi perempuan tidak dengan perspektif feminisme. Namun ketika potensi tersebut disorotnya, gambaran ini meruntuhkan mitos-mitos yang membagi kerja laki-laki dan perempuan. Gambaran ini bahkan membangun citra baru perempuan yang kuat, tegas, dan mandiri dalam membuat keputusan-keputusan. Citra seperti ini memungkinkan perempuan menunjukkan kemampuan dan berjuang memperoleh hak secara setara dengan laki-laki. Cara yang menyorot potensi perempuan seperti ini disebut sebagai "Feminis Kekuasaan".
Ketiga teks menunjukkan cara yang berbeda memunculkan kontestasi pemikiran feminisme dan ideologi patriarki. Perbedaan ini menampakkan bahwa kepedulian tentang diskriminasi jender dan kehendak memperjuangkan kesetaraan, tidak serta merta membuat sesorang bisa mengatur langkah strategis untuk memperjuangkan kesetaraan tersebut. Hal ini menunjukkan pula bahwa seorang feminis yang memperjuangkan keberpihakkan terhadap perempuan, bisa pula terjebak dalam perilaku yang dikonstruksi budaya patriarki. Secara sadar atau tidak, mereka terjebak dalam sikap yang meminggirkan perempuan dan mengukuhkan kekuasaan laki-laki.

The Contestation of Feminist Ideas and Patriarchal Ideology: An Analysis on Three Arab-Muslim Culture Literary Texts from a Moslem Feminist PerceptionThis research explores the contestation of feminist ideas and patriarchal ideology in three Arab-Moslem culture literary texts: Women at Point Zero (WaPZ) by Nawal El Saadawi (1976), A Wife for My Son (AWfMS) by Ali Ghalem(1969), and The Beginning and The End(TBTE) by Naguib Mahfoudz (1949). Referring to ideology contestation the above, literary works are viewed from a cultural aspect. Thus, the approach used is cultural. Cultural study perceives political aspects of a literary text. In this case, the literary text is assumed as being able to include everything, to build, or to destroy an ideology.
A cultural approach of feminists, especially Moslem feminists, is used to view how feminists ideas develop when the domination of men, and how the image of women as victims, or those having the potential to fight for equality is presented in the texts of WaPZ, AWIMS and TBTE. The cultural approach of post-feminism initiated by Naomi Wolf coupled with the view of Moslem feminist, Fatima Mernissi, is used to analyze those three texts. Naomi Wolf uses a Victim Feminist and Power Feminist approach to see problems facing women in their fight for feminist ideology. A Power Feminist approach is one way of seeing women's potential and assuming women as ordinary human beings, to become equal to men. Equality is truly considered as a woman's right without having to wrench it from others. A Victim Feminist approach shows women's suffering caused by men's under the culture of patriarchy, as a vehicle to demand justify. Wolfs idea is in line with Fatima Mernissi's, i.e. addressing problems through tolerance, showing self-potentials rather than self-justification. Both Wolf and Mernissi express it is necessary to build a new image of women, showing their self-potentials and entitled to be equal to men.
Nawal El Saadawi, famous as an active feminist, attacks men's power in the WaPZ text in a Victim Feminist manner. Nawal depicts "notes on the list of Firdaus living destruction" in an effort to fight men's power. In the narrator's account and preface, Nawal builds Firdaus image as the victim of men. But through Firdaus account of her life story, shows woman's weakness, i.e. she is easily cheated and victimized by men without offering resistance. The bravery of Firdaus by killing a pimp and refusing clemency does not produce a new image of women. The decision to kill is based on reason rather than bravery.
In AWfMS, Ghalem is not as keen and hard as Nawal in raising the problem of women's struggle for change. However, by a seemingly careful way of introducing change and modern ideas, Ghalem defends men. Man in literary text is considered also a cultural victim. More than anything else, Ghalem expresses the idea of change and modernization by introducing feminist Fatouma. Like Nawal, Ghalem does not build a new image of women. Woman is still a victim in the "Victim Feminist" concept, in which character are formed by patriarchal culture. Fatiha, the leading character, opposes patriarchy only in her mind. Her attitude and choices to live are against men's domination. She refuses a forced marriage, but agrees to be married to man she's never seen before. She wishes to be self-supporting, but depends economically on her husband. The end of the story shows how Fatiha rebels by leaving her husband and parent's in-law's house, but her parents refused to take her back. She just waits and hopes, a woman's image, typically built by patriarchy.
In TBTE Mahfoudz presents a different woman figure. Mahfoudz highlights the potential of woman unlike that approved of feminism. However, when emphasizing such potential, this picture demolishes myths with respect to the labor division of men and women. In fact, this picture builds a new image of woman who is strong, coherent, and self-supporting in making decisions. This image enables women to show their ability and to struggle for rights equal to men's. Stressing woman's potential like this is perceived as "Power Feminist".
The three texts offer different points of view in contesting feminist ideas and patriarchal ideology. This difference shows that the concern for gender discrimination and the will of fighting for equality do not necessarily make someone able to plan strategic steps to fight for equality. It is also indicates that feminists fighting for women's preference can be trapped also in a patriarchal cultured behavior. Consciously or not, they are trapped in an attitude forcing out women and confirming men's power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D538
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>