Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162029 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emirhadi Suganda
"ABSTRAK
Sungai secara alamiah merupakan sebuah kesatuan, namun pada kenyataannya pengelolaannya terkotak-kotak ke dalam wilayah administratif. Selain itu, sungai juga memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat yang bertinggal di sekitarnya. Tulisan ini membahas permasalahan Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui pendekatan pembahasan isu pengelolaan, dan isu kondisi masyarakat khususnya dalam kerangka keterkaitan wilayah hulu dan hilir. Departemen Pekerjaan Umum sebagai pengelola dan penanggung jawab sumber daya air secara nasional, sering mengemukakan
semboyan ?one river one plan one management?. Namun pada kenyataannya hal ini masih sering bertentangan dengan produk perundangan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, terutama terkait dengan otonomi daerah. Tulisan ini juga mencoba untuk memberikan gambaran kondisi permukiman dan kondisi masyarakat di Bale Kambang dan
Kampung Pulo yang merupakan wilayah hilir sungai. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam praktek penataan ruang DAS diperlukan keterpaduan antara pengelolaan DAS di berbagai wilayah, serta pemahaman kondisi masyarakat di wilayah sekitar DAS. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi praktek penataan dan pengelolaan lingkungan perkotaan pada wilayah DAS yang tidak dapat berdiri sendiri, serta pentingnya melihat keterkaitan antara lingkungan fisik DAS dengan dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.
River by nature is a unity, but there is a tendency to separate river management based on administrative areas. River is also related to the community living in its surrounding area. This paper discusses watershed issues related to the management and community condition, especially within the framework of interrelationship between upstream and
downstream areas. Department of Public Works as the institution was responsible for the national water resource management has proposed the idea of "one river one plan one management." However, in reality this idea is not consistent with the regulations issued by the government, especially in the context of regional autonomy. This paper also attempts to illustrate the condition of settlement and community condition in Bale Kambang and Kampung Pulo as downstream areas. The findings of this study suggest the needs for an integrated management for various watershed areas, with the understanding of community condition in those areas. The findings provide inputs for planning and managing of urban areas by putting an emphasis on the interrelationship between various areas of wathershed, as well
as the physical environment of watershed and the community condition of the surrounding communities."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"Sungai secara alamiah merupakan sebuah kesatuan, namun pada kenyataannya pengelolaannya terkotak-kotak ke dalam wilayah administratif. Selain itu, sungai juga memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat yang bertinggal di sekitarnya. Tulisan ini membahas permasalahan Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui pendekatan pembahasan isu pengelolaan, dan isu kondisi masyarakat khususnya dalam kerangka keterkaitan wilayah hulu dan hilir. Departemen Pekerjaan Umum sebagai pengelola dan penanggung jawab sumber daya air secara nasional, sering mengemukakan semboyan ?one river one plan one management?. Namun pada kenyataannya hal ini masih sering bertentangan dengan produk perundangan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, terutama terkait dengan otonomi daerah.
Tulisan ini juga mencoba untuk memberikan gambaran kondisi permukiman dan kondisi masyarakat di Bale Kambang dan Kampung Pulo yang merupakan wilayah hilir sungai. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam praktek penataan ruang DAS diperlukan keterpaduan antara pengelolaan DAS di berbagai wilayah, serta pemahaman kondisi masyarakat di wilayah sekitar DAS. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi praktek penataan dan pengelolaan lingkungan perkotaan pada wilayah DAS yang tidak dapat berdiri sendiri, serta pentingnya melihat keterkaitan antara lingkungan fisik DAS dengan dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.

River by nature is a unity, but there is a tendency to separate river management based on administrative areas. River is also related to the community living in its surrounding area. This paper discusses watershed issues related to the management and community condition, especially with in the framework of interrelationship between upstream and downstream areas. Department of Public Works as the institution was responsible for the national water resource management has proposed the idea of "one river one plan one management." However, in reality this ide a is not consistent with the regulations issued by the government, especially in the context of regional autonomy.
This paper also attempts to illustrate the condition of settle ment and community condition in Bale Kambang and Kampung Pulo as downstream areas. The findings of this study sugges t the needs for an integrated management for various watershed areas, with the understanding of community condition in those areas. The findings provide inputs for planning and managing of urban areas by putting an emphasis on the interrelationship between various areas of wathershed, as well as the physical environment of watershed and the community condition of the surrounding communities.
"
Depok: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"Dalam praktek perancangan kota seringkali terjadi ketidaksesuaian antara upaya perancangan fisik yang direncanakan
secara makro dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam skala yang lebih mikro. Tulisan ini mencoba untuk
membahas permasalahan ini dengan mengangkat sebuah kasus permukiman padat yang menjadi pendukung kegiatan
pasar tradisional sebagai fasilitas umum perkotaan. Melalui kasus ini dapat terlihat sebuah dialog antara ruang fisik
yang dibentuk melalui perancangan makro dengan kondisi sosial keseharian masyarakat yang menghuninya.
Permukiman di sekitar pasar berperan sebagai tempat tinggal para pekerja pasar serta sebagai tempat berlangsungnya
berbagai kegiatan pendukung aktivitas pasar. Namun ada kecenderungan bahwa peranan permukiman sebagai sistem
pendukung ini tidak diperhatikan kelayakannya sebagai ruang bertinggal. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa dalam praktek perancangan perkotaan, khususnya dalam penyediaan fasilitas umum, diperlukan
keterpaduan antara skala perkotaan yang bersifat makro dengan skala keseharian masyarakat yang lebih bersifat mikro.
Praktek perancangan kota yang sensitif terhadap keberagaman lingkungan perkotaan dan keterkaitan antar elemen di
dalamnya diharapkan mampu menciptakan lingkungan kota yang memenuhi kebutuhan warganya secara berkelanjutan,
baik pada skala makro maupun skala mikro.
There have been some misfits between the practice of urban planning at a macro scale and the needs of the society at a
micro scale. This paper intends to discuss this issue by illustrating a case of high density urban housing as a supporting
system for the activities in a traditional market as urban public facilities. The case suggests a dialog between the
physical space determined by macro-scale planning and the everyday social life of the community living in the housing
surrounding the market. The housing plays an important role as a living space for the market workers and as a setting
for various activities that support the trading activities in the market. Unfortunately, there is a tendency that despite its
importance, the quality of the housing is still far from sufficient as a space for living. The findings in this study suggest
that the practice of urban design, especially in the provision of public facilities, needs to integrate macro urban scale
with more micro everyday life of the communities. The practice of urban design needs to be sensitive to the diversity in
urban environment and the interrelationships between urban elements. In this way, it would be possible to create urban
environment that caters for the needs of its inhabitants in a sustainable way, both at macro scale and micro scale."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Soerjani
Jakarta: Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, 2007
333.7 MOH l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Katili, Ekki Husein
"ABSTRAK
Pasal 19 UU No 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup.
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan Desa atau Kelurahan, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 28 Tahun 1980. Dengan demikian wujud partisipasi masyarakat berupa prakarsa dan swadaya gotong royong harus dapat terhimpun dalam wadah LKMD.
Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja LKMD, maka Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan No 27 1984 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja LKMD dimana ditetapkan seksiseksi dalam struktur organisasi dan tata kerja LKMD, antara lain seksi Lingkungan Hidup dan seksi PKK.
Salah satu tugas pokok LKMD adalah membantu Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari kegiatan Pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat serta menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat.
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga selain sebagai salah satu seksi dalam struktur organisasi dan tata kerja LKMD, adalah juga merupakan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif bergerak di wilayah Kelurahan, dan juga mengemban tugas pembinaan masyarakat di bidang lingkungan hidup di Kelurahan terutama pada kaum wanita. Keikutsertaan organisasi PKK dalam pengelolaan lingkungan hidup Kelurahan dapat disalurkan dan ditingkatkan melalui LKMD.
Selanjutnya dalam rangka Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, telah diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 1984, tentang PKK sebagai penggerak serta pembina gerakan masyarakat dari bawah, terutama pada kaum ibu. Dari sepuluh program PKK salah satunya adalah Kelestarian Lingkungan Hidup, dan tugas-tugas pembinaannya mencakup antara lain:
a. Melakukan usahalkegiatan di bidang peningkatan kebersihan, keindahan, kesehatan dan penghijauan serta kelestarian lingkungan hidup.
b. Menanamkan rasa keindahan kepada masyarakat dengan Sara selalu memelihara rumah, kerapihan pagar, memelihara tanaman hias di halaman rumah.
c. Menanam tanaman-tanaman (membuat taman-taman) pada tempat-tempat yang memungkinkan.
Dari tugas-tugas itu secara implicit LKMD diharapkan ikut berperanserta dalam pengelolaan Ruang Terbuka HijaulPertamanan (RTH) di wilayah administratifnya.
Namun dalam kenyataannya peranserta LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan, khususnya di Kecamatan Grogol petamburan masih perlu ditingkatan.
Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu keperluan mutlak masyarakat kota; ini akan semakin terasa apabila pertumbuhan dan perkembangan kota semakin meningkat. Di lain pihak, pertumbuhan jumlah penduduk kota di DKI Jakarta akan menuntut lebih banyak lahan untuk perumahan, perkantoran, perdagangan, dan fasilitas umum lainnya, sementara lahan kota relatif tidak bertambah. Pertumbuhan kota yang sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat menyebabkan timbulnya masalah dan manfaat di semua aspek ekonorni, social, dan fisik.
Hasil survai pendahuluan diperoleh informasi bahwa dari 50 buah RTH/Pertamanan yang ada di Kecamatan Grogol Petamburan terdapat 41 RTHIPertamanan yang beralih fungsi, sehingga RTH/Pertamanan (Taman Kota) itu sebahagian tidak lagi berfungsi sebagai taman kota melainkan sudah menjadi bangunan perkantoran, puskesmas, pemukiman liar, dan tempat beroperasinya pedagang kaki lima. Namun sesungguhnya peruntukan lahan sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Suku Dinas Tata Kota Jakarta Barat ternyata tetap peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau, sedangkan izin mendirikan bangunan tidak pernah dikeluarkan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota Jakarta Barat. Untuk mengatasi hal itu perlu ada upaya pengelolaan RTHlpertamanan yang mandiri dari mayarakat sekitarnya, sehingga RTH/Pertamanan dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya, baik dari segi estetika maupun dari segi fungsi RTH itu sendiri. Di samping sebagai mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan lahan dari praktek-praktek okupasi informal.
Berdasarkan keadaan itu, maka penelitian terhadap peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan menarik untuk dilakukan.
Dalam konteks Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah di tingkat Kelurahan mengharapkan partisipasi masyarakat secara optimal, khususnya dalam melaksanakan 10 program PKK, yang salah satu di antaranya adalah Pembangunan prasarana dan lingkungan hidup.
Peranserta masyarakat itu diharapkan dapat ditampung dalarn suatu wadah yang dibina oleh Pemerintah yaitu LKMD. Kemudian dalam UU No 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan yang baik dan sehat serta bahwa setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Selanjutnya dalam .pasal 19 menyebutkan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup. Di sisi lain, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa upaya pembangunan prasarana dan lingkungan hidup kota, terutama pengelolaan RTH/Pertamanan berubah dari fungsi semula.
Selain dari itu peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan masih perlu ditingkatkan, karena pada prakteknya selama ini RTH/Pertamanan kurang mendapatkan perhatian dari LKMD, sehingga banyak RTHlpertamanan yang beralih fungsi.
Berdasarkan masalah tersebut, maka persoalan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Seberapa jauh peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi partisipasi LKMD dalam pengelolaan RTHIPertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan
Keberadaan LKMD di tengah masyarakat pada dasarnya diharapkan dapat berfungsi sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di tingkat desa/kelurahan. Dleh karena itu dalam upaya pembangunan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau, keterlibatan LKMD diharapkan dapat meningkat aktif.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bila dilihat dari aktifitas LKMD selama ini, ternyata bahwa LKMD masih belum aktif melaksanakan program-program yang telah digariskan dalam Keputusan Presiden No 28 Tahun 1980. Dalam hal ini pengelolaan RTH/Pertamanan menemui hambatan-hambatan. Akan tetapi kondisi ini dapat ditingkatkan bila pengelolaan RTH dapat dilakukan bersama-sama dengan instansillembaga lainnya, seperti misalnya kerja sama antara Lembaga Swadaya Masyarakat, Karang Taruna, atau instansi Pemerintah yang terkait dengan RTH. Tingkat Pengetahuan responden terhadap peran LKMD dalam rangka pengelolaan RTHIPertamanan, pada pengumpulan data lapangan yang dilakukan di Kecamatan Grogol Petamburan menunjukkan hanya sebahagian kecil responden yang menjawab bahwa LKMD pernah mengadakan penyuluhan mengenai RTH/pertamanan. Terhadap kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh LKMD mengenai Jalur Hijau hanya 26 responden yang menyatakan LKMD pernah mengadakan penyuluhan dan 85 responden menyatakan bahwa LKMD tidak pernah mengadakan penyuluhan. Sedangkan untuk kegiatan LKMD lainnya, yaitu kerja bakti untuk membersihkan taman, dari 159 responden yang menjawab pernah dilakukan oleh LKMD hanya 68 responden, dan 53 responden menjawab pernah dilakukan kerja bakti membersihkan Jalur Hijau oleh LKMD. Dalam kaitan dengan aktifitas dari LKMD itu, hasil wawancara mendaiam dengan Kepala kelurahan dari Kelurahan Grogol, Kelurahan Tomang, Kelurahan Wijayakusurna, Kelurahan Jelarnbar, dan Kelurahan Tanjung Duren juga diperoleh gambaran yang sama, yaitu bahwa keberadaan LKMD di tengah masyarakat belumlah berjalan sesuai dengan fungsi yang telah digariskan dalam peraturan dan juga bahwa masyarakat sebahagian besar belum mengetahui fungsi dari LKMD yang sebenarnya.
Harapan bahwa pengelolaan RTH akan dapat dilakukan oleh LKMD dengan demikian dapat menemui hambatan-hambatan, karena dari pengumpulan data Iapangan dan basil wawancara diperoleh gambaran bahwa LKMD belum berperan aktif terhadap pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama apabila dikaitkan dengan pengelolaan RTH.
Hambatan-hambatan itu terutama disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:
1. Status keanggotaannya pada LKMD bukanlah pekerjaan utama dari anggota pengurus; sebahagian besar responden memiliki pekerjaan utama seperti misalnya: pegawai negeri, ABRI, pegawai swasta, wiraswasta, dan pekerjaan lainnya.
2. Pengetahuan anggota masyarakat mengenai LKMD masih sangat terbatas.
3. Kurang tepatnya penunjukkan kepengurusan LKMD, dapat menyebabkan program LKMD tidak berjalan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam peraturan.
4. Secara hierarkhis, keberadaan LKMD hanyalah sebagai lembaga sosial pada tingkat kelurahanldesa, sehingga apabila ada pembangunan yang dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi yang tidak sesuai dengan program LKMD, maka LKMD tidak punya wewenang untuk mengoreksi.
5. Masyarakat merasa keberatan apabila pengelolaan RTH/Pertamanan dilakukan oleh LKMD, apabila dana untuk pengelolaan RTH nantinya dibebankan kepada masyarakat, sebagai refleksi partisipasi.
Selain faktor yang dapat menghambat peranserta LKMD, keberadaan LKMD di tengah masyarakat juga dapat menunjang keberhasilan pengelolaan RTH.
Faktor-faktor yang dapat menunjang peran serta LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan adalah masih kuatnya rasa gotong royong masyarakat dan juga masyarakat menyadari akan pentingnya keberadaan RTH di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari tanggapan responden tentang apabila ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggunakan RTH untuk mebangun bangunan lain selain peruntukan RTH, masyarakat berkeberatan, dan melaporkan kepada pihak Pemerintah Daerah. Di samping itu masyarakat setuju sekali dengan keinginan Pemerintah Daerah untuk menatalmemulihkan kembali RTH yang telah berubah fungsi sehingga dapat dikembalikan pada fungsi semula."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilin Budiati
Bogor: Ghalia Indonesia, 2002
333.7 LIL g (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wibowo
"Ruang Terbuka Hijau (RTH) aktual tahun 1999 yang luasnya mencapai 41% dari Iuas wilayah Jakarta, mempunyai kandungan biomassa hijau 330.556 ton. Kondisi ini hanya mampu mendukung sekitar dua per tiga penduduknya. Berkurangnya ruang terbuka hijau maka daya dukung untuk memenuhi kebutuhan udara bersih bagi penduduk menurun pula. Hal ini akan memberikan dampak negatif yakni penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menginformasikan terjadinya penurunan Iuas RTH 13 DAS yang melalui Jakarta dari tahun 1970 - 2000 di seluruh wilayahnya, dari Iuas RTH tahun 1970 yakni 52.179.33 ha berubah menjadi 15.117.77 ha pada tahun 2000.
Dalam paparan di BPLHD DKI Jakarta dinyatakan bahwa meningkatnya luas bangunan beton, plesteran da aspal ± 18.798,5 ha atau + 28,7% Iuas daratan Jakarta, hingga menyebabkan tingginya laju limpasan air hujan dan laju tingkat erosi 152,7 ton/ha/tahun pada wilayah kikisan, serta meluasnya wilayah endapan sebagai akibat hasil sedimentasi yang berpengaruh, bahkan memberikan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman ± 5.640 ha atau 8,6% dari luas daratan Jakarta. Dengan meningkatnya bangunan berdinding kaca f 4.061 ha atau 6,25 % dari luas daratan Jakarta, menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota, yaitu dari suhu udara rata-rata dari 28°C menjadi 29,1°C. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, tampak bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan. Secara mendasar kondisi lingkungan hidup terus menurun di kawasan perkotaan, dikarenakan terus menurunnya luas daerah terbuka, sehingga menurunkan daya dukung lingkungan (fungsi ekologi vegetasi) Kota Jakarta. Berkaitan dengan permasalahan di atas, yaitu perubahan penggunaan tanah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, tujuan penelitian ini adalah Pertama, mengetahui hubungan antara jenis penggunaan tanah dan perubahannya dengan daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Kedua, mengetahui kapasitas daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Ketiga, mengetahui kaitan antara manusia dengan perubahan penggunaan tanah dan daya dukung di wilayah Kota Jakarta. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode expostfactoyang dibahas secara deskriptif analitis. Data yang digunakan berupa data table dan peta yang diambil dari instansi terkait. Daya dukung yang diteliti hanya fungsi ekologis vegetasi yakni memperbaiki suhu (ameliorasi iklim) dan penyerap air hujan (hidrologis). Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Pertama, suhu dan air larian dipengaruhi oleh jenis penggunaan tanah, yaitu: (a) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan suhu yang terjadi. Lokasi sekitar Kantor Walikota Jakarta Barat memiliki suhu paling rendah dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur tahun 2003 memiliki suhu paling rendah dari Jakarta Pusat dan Kota Jakarta Selatan. (b) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan air larian. Lokasi Kantor Walikota Jakarta Barat persentase air larian lebih sedikit dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur air larian lebih sedikit dari Wilayah Kota Jakarta Pusat dan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa luasan vegetasi punya peran dalam perbedaan suhu dan air larian sebagal daya dukung lingkungan hidup dalam hal fungsi ekologis, maka terlihat kaitan antara penggunaan tanah dengan daya dukung lingkungan hidup. Kedua, perubahan penggunanan tanah menyebabkan penurunan Iuasan vegetasi yang berakibat dengan berubahnya suhu dan kemampuan untuk meresapkan air, sehingga air larian menjadi meningkat. Tahun 1940 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 20 : 80, sedangkan tahun 2003 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 74 : 26, hal ini menyebabkan: (a) Jakarta pada tahun 1940 suhu masih dibawah angka 27°C (suhu nyaman) yakni 26,48°C, sedangkan pada tahun 2003 suhu sudah melebihi suhu nyaman yakni suhu mencapai angka 31,48°C. (b) Persentase air larian pada tahun 1940 adalah 22% dari volume hujan setahun, sedangkan tahun 2003 telah mencapal 60.38% dari volume ar hujan setahun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah menyebabkan penurunan luasan vegetasi, yang mengakibatkan perubahan daya dukung lingkungan hidup dalam hai fungsi ekologis, sehingga suhu dan air larian meningkat. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara perubahan penggunaan dan penurunan daya dukung Iingkurigan hidup di wilayah Jakarta.
Ketiga, kapasitas daya dukung Jakarta tahun 1940 masih melebihi 100% sedangkan tahun 2003 menurun 86,76% untuk memperbaiki suhu (ikiim), sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air hujan tahun 1940 masih 100% sedangkan tahun 2003 menurun menjadi 66,25% setahun, untuk proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 76 : 24 pada tahun 2003. Berdasarkan hal ini maka pada tahun 2010 sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 87 : 13 dapat diprediksikan suhu menjadi lebih panas dan air larian meningkat yang menjadi potensi banjir akan semakin meluas. Keempat, manusia tidak hanya jumiahnya yang mempengaruhi perubahan penggunaan tanah, melainkan aktivitas yang membutuhkan ruang. Tahun 1940 jenis pekerjaan adalah lebih banyak petani sehingga luasan lahan pertanian (sawah, ladang, kebun, tambak) masih luas. Tahun 2003 luasan permukiman lebih luas dari lahan pertanian. Hal ini menggambarkan profesi petani tergantikan dengan profesi non petani (pegawai, jasa, di!). (b) perubahan penggunaan tanah memberikan dampak pada penurunan daya dukung lingkungan yakni kenaikan suhu dan menyebabkan banjir yang berkibat timbuinya biaya perbaikan dan biaya pengobatan.
Berdasarkan hasii peneiitian ini maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah hares melakukan pemantauan perubahan penggunaan tanah dan mempertahankan luasan vegetasi yang masih ada serta meningkatkan kualitasnya, agar tercipta strata tajuk yang Iengkap dan rapat agar fungsi ekologinya meningkat. Kedua, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kuantitas luasan vegetasi dengan cara membuat tanaman rambat dengan jaring di dinding (rumah, perkantoran atau pertokoan) atau membuat pot tanaman yang diletakkan vertikal di sepanjang dinding, yang disesuaikan dengan jenis tanaman dan estetika. Ketiga, memperbesar kuantitas air hujan yang terserap ke dalam tanah dengan memberlakukan secara ketat pelaksanaan sumur resapan di rumah perkantoran dan pertokoan, sehingga dapat menjadi asupan air tanah agar tidak terjadi dampak banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Keempat, membangun sumur resapan dan saluran air di sepanjang jalan, baik jalan utama maupun jalan lokal, sebagai tempat limpasan air saat hujan, serta membuat saluran air tersebut juga berfungsi sebagai sarana resapan air dengan tidak membuat bagian dasamya kedap air.

In the year of 1999, existing green area in Jakarta reached 41% of the total area, and it contains 330.556 tons of green biomass. This condition only could support two-third of its population. With the lack of green area, it makes the carrying capacity to fulfill the need of clean air for the population also decreasing. This situation gives a negative impact on the environment, and it was strengthened by Tambunan's research in 2005 which described on decreasing green area of 13 watersheds which passed trough Jakarta from 52.179,33 hectares in the year 1970 becoming 15.117,77 hectares in 2000. The increasing area of concrete buildings, cements, and asphalt surface in Jakarta ± 18.798,5 Ha or ± 28,7% of Jakarta causes the high surface run off and erosion in the area or 152,7 tons/ha/year, also creating a vast sedimentation area and effecting on the wide spreading of inundation area ± 5.640 hectare or 8,6% of Jakarta. This meant the increasing number of glass buildings ± 4.061 hectare or 6,25 % of Jakarta causes the increasing of the city temperature from 28°C to 29,1°C. Based on the background, it looks like there has been an environmental damage. Basically, the conditions of the environment in the cities are always descending because of the decreasing of the open area and also causing the deteriorating of environment carrying capacity (vegetation ecological function). Related to the problems that certain land use changes cause the descending of environment carrying capacity, the purposes of this research are: (1) To observe the relationship between land use with its changes and the environment carrying capacity in Jakarta City. (2) To observe the environment carrying capacity in Jakarta City. (3) To observe the relationship between human being and land use change and the carrying capacity in Jakarta City.Quantitative approach of this research is carried out by using the ex post facto method and analyzed by descriptive analytic method. The data that being used are tabular data and spatial (maps) data taken from related institutions. Several conclusions of this research can be withdrawn: First, run off and temperature influenced by type of land use, that is: (a) the type of land use affecting the temperature condition of the area. Location around West Jakarta City Hall office has the lowest temperature than other location. Temperatures in East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. (b) Difference of type East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. (b) Difference of type land use cause difference run off. Location around West Jakarta City Hall has the lowest run off than other location. Run off in East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. This matter indicate that vegetation area have a role in run off differentiation and temperature as environmental carrying capacity in the case of ecological function, it shown that there is a relationship between land use and environmental carrying capacity.
Second, land use changes cause the decreasing of vegetation area and gives impact on the increasing temperature and run off. In 1940 the proportion of build up and open area was 20 : 80, while in 2003 the proportion of build up and open area are 74 : 26, this matter cause: (a) Jakarta in 1940 temperature still below 27°C (balmy temperature) which is 26,48°C, while in 2003 temperature have exceeded balmy temperature namely tired temperature of 31,48°C. (b) Percentage run off in 1940 is 22% of one year rain volume, while in 2003 has reached 60.38% of one year rain volume. This indicate that the changing of land use cause the changing of vegetation area, and environmental carrying capacity, resulting on the increasing of temperature and run off. It shown that there is a relationship between the changing of land use and carrying capacity. Third, In 1940 carrying capacity still over 100% and in 2003 carrying capacity become 86,76% to get the ideal temperature and carrying capacity for water absorption still 100% and in 2003 carrying capacity for water absorption become 66,25% to get the ideal water absorption, those condition for proportion of build up and open area of 74 : 26. Base on those conditions in 2010 the proportion of build up and open area are 87 : 13, this mean the temperature and run off will be higher. Fourth, the human being also can affect the environments by their occupation and quantities: (a) the occupation on 1940 most of the farmer's causes the agriculture area (paddy field, plantation, and fishpond) still vast. In 2003 the settlement area more than the agriculture area. (b) land use changes cause the decreasing carrying capacity which is the high temperatures and flood, causing the government and people's spent more money for healthy and maintenance cost.
Several recommendations are: First, the government has to conduct monitoring of usage of land use and maintain the green area and also upgrade the quality, to create a complete and closed vegetations canopy, so it will increase the ecological function. Second, Government and society should improve amount of green area in their homes and office. Third, to create a large amount of water that can be absorb by soil, by creating an absorption well in house and office in order to mitigate the effect of flood and a water supply in the dry season. Fourth, to create abso;ption well and aqueduct alongside the main road and also local road; as place for run off, and also make the aqueduct also function as a medium for absorption without making its base waterproof.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Simatupang, Metrini Geopani
"Tesis ini menganalisis kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil terluar Indonesia terkait dengan bagaimana proses sekuritisasi, strategi pengelolaan sumberdaya lingkungan hidup dan pengelolaan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ancaman kedaulatan negara. Metode analisis isi ( content analysis) terhadap kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil terluar Indonesia digunakan melalui tabulasi skema Barry Buzan, et al, indikator kinerja aspek pengelolaan lingkungan hidup dan pendekatan kesejahteraan pada 12 pulau kecil terluar Indonesia dengan pendekatan kualitatif. Variabel yang diamati adalah proses sekuritisasi, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat terhadap ancaman kedaulatan negara. Hasil penelitian memperlihatkan proses sekuritisasi 12 pulau kecil terluar untuk mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia hanya terjadi pada derajat politisasi dimana isu PKT hanya penting dibicarakan antar lembaga saja terutama Pulau Nipa dan Pulau Miangas. Sepuluh dari keduabelas PKT Indonesia justru mengalami desekuritisasi akibat kebijakan pengelolaan 12 PKT lebih menekankan aspek lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Strategi pengelolaan lingkungan hidup ( environment) 12 pulau kecil terluar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat sepenuhnya mampu mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia. Degradasi lingkungan baik secara alami maupun tekanan antropogenik pada 12 PKT Indonesia tidak menjamin keberlanjutan SDA. Strategi pengelolaan kesejahteraan ( prosperity approach) 12 pulau kecil terluar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah dapat mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia dengan segala keterbatasan pada lima pulau yang berpenduduk terkait dengan jarak, infrasruktur, ketimpangan ekonomi dengan negara tetangga. Hal ini berpengaruh pada kualitas hidup dalam pemenuhan kebutuhan dasar penduduk setempat yang pada akhirnya berdampak pada nasionalisme. Strategi pengelolaan 12 PKT Indonesia pada akhirnya memerlukan proses sekuritisasi, pendekatan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat untuk keberlanjutan kedaulatan negara."
2008
T25626
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Martono Thomas
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S26329
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>