Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200293 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamed Amshar
"ABSTRAK
Pubertas terlambat merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien thalassemia mayor. Penyebab utama pubertas terlambat pada pasien thalassemia mayor adalah penumpukan besi pada kelenjar hipofisis. Selain itu, anemia kronis pada pasien thalassemia mayor juga dapat menyebabkan pubertas terlambat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang melibatkan 47 pasien thalassemia mayor dengan rentang usia 13-18 tahun untuk pasien perempuan dan 14-18 tahun untuk pasien lelaki di Pusat Thalassemia RSCM. Profil besi subjek ditentukan dari kadar feritin serum dan saturasi transferin subjek. Status pubertas subjek ditentukan berdasarkan Tanner Staging. Hasil & Diksusi: Berdasarkan kadar feritin serum, terdapat 47 (100%) subjek yang mengalami kelebihan besi, dengan 35 (75%) diantaranya mengalami kelebihan besi berat. Nilai median feritin serum subjek adalah 3645 (1415-12636) ng/mL. Berdasarkan saturasi transferin, sebesar 36 (77%) subjek mengalami kelebihan besi, dengan nilai median saturasi transferin sebesar 85 (28-100)%. Terdapat 42 (89%) subjek yang mengalami anemia, dengan nilai median kadar hemoglobin pra-transfusi sebesar 8,0 (4,8-9,5) g/dL. Pubertas terlambat ditemukan pada delapan (17%) subjek. Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara feritin serum dengan status pubertas (p = 0,183), saturasi transferin dengan status pubertas (p = 0,650), dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas (p = 0,932). Berdasarkan hasil tersebut, profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi tidak berhubungan dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM.

ABSTRAK
Introduction Delayed puberty is a major complication in thalassemia major patients. Delayed puberty occurs due to accumulation of iron in the pituitary gland. In addition, chronic anemia in thalassemia major patients can cause delayed puberty.Objectives This study aims to find the association between iron profile and pre transfusion hemoglobin level with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM.Methods This was a cross sectional study that involved 47 thalassemia major patients aged 13 to 18 years for female patients and 14 to 18 years for male patients in Thalassemia Centre RSCM. Iron profile was determined from serum ferritin level and transferrin saturation. Pubertal status was determined by Tanner Staging.Results Discussion Based on serum ferritin level, 47 100 subjects had iron overload, in which 35 75 subjects had severe iron overload. The median of serum ferritin level was 3645 1415 12636 ng mL. Based on transferrin saturation, 36 77 subjects had iron overload. The median of transferrin saturation was 85 28 100 . Forty two 89 subjects were found anemic. The median of pre transfusion hemoglobin level was 8,0 4,8 9,5 g dL. Delayed puberty occurred in eight 17 subjects. Statistically, no significant associations were found between serum ferritin level and pubertal status p 0.183 , transferrin saturation and pubertal status p 0.650 and pre transfusion hemoglobin level and pubertal status p 0,932 . Based on the results, iron profile and pre transfusion hemoglobin level are not associated with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
" ABSTRAK
Latar Belakang: Thalassemia merupakan hemoglobinopati herediter yang menyebabkan anemia kronis, sehingga pasien membutuhkan transfusi darah secara rutin yang dapat menyebabkan kelebihan besi. Kelebihan besi dapat memicu beberapa komplikasi, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dan profil besi dengan gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia. Metode: Studi cross-sectional pada 102 pasien thalassemia di Pusat Thalassemia RSCM Jakarta. Hasil: Empat puluh lima 44,1 subjek adalah perempuan dan 57 55,9 subjek adalah lelaki dengan rentang usia 9-14 tahun. Tiga puluh sembilan 38,2 subjek memiliki perawakan pendek dan 63 61,8 subjek memiliki perawakan normal. Nilai median kadar feritin serum pada pasien perawakan pendek adalah 2062 318-8963 ng/mL dan pada pasien perawakan normal adalah 3315 422,9-12269 ng/mL p.

ABSTRACT
Background Thalassemia is a hereditary hemoglobinopathy which causes chronic anemia, thus the patients need regular blood transfusion which can cause iron overload. It leads to some complications, one of them is growth retardation. Aim To determine the association between hemoglobin level and iron profile with growth retardation on thalassemia patients. Methods cross sectional study on 102 patients in Thalassemia Center of RSCM Jakarta. Results Forty five 44.1 subjects are girls and 57 55.9 subjects are boys. Their age range was 9 14 years old. Thirty nine 38.2 subjects had short stature and 63 61.8 subjects had normal stature. Median of serum ferritin level in the short stature patients was 2062 318 8963 ng mL and normal stature was 3315 422.9 12269 ng mL p 0.001 . Median of transferrin saturation in the short stature patients was 88 19 100 and normal stature was 83 35 100 p 0.94 . Mean of pra transfusion hemoglobin level in the short stature patients was 8.14 SD 0.93 g dL and normal stature was 8.07 SD 0.86 g dL p 0.68 . Conclusion there is a significant association between serum ferritin level and growth retardation, but there is no significant association between transferrin saturation and pra transfusion hemoglobin level with growth retardation."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Yoanita Astriani
"Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan dan penyakit genetik yang paling sering didapati di dunia. Terapi dengan transfusi dan terapi kelasi pada pasien thalassemia memberikan angka survival yang lebih panjang. Salah satu komplikasi transfusi berkala adalah peningkatan kadar besi yang terakumulasi pada hipofisis. Hipogonadotropik hipogonadisme yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas merupakan abnormalitas utama pada sistem endokrin pasien thalassemia anak. Pencitraan MRI berguna menilai deposit besi hipofisis.
Tujuan: Mengetahui kemampuan sekuens T2 dan T2 relaksometri dalam menilai deposit besi di hipofisis yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas.
Metode: Menggunakan desain komparatif studi potong lintang (comparative cross sectional) dengan data primer, minimal sampel 28 pasien. Analisis data dalam penetuan titik potong menggunakan metode reciver operating curve (ROC) kemudian dihitung tingkan sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis pada kelompok pubertas terlambat lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok pubertas normal. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 78,15 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas masing-masing 92,9% dan 75,0%. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 20,19 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas keduanya adalah 100%.
Kesimpulan: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis dapat meningkatkan peran MRI dalam mendeteksi status laju pubertas pada pasien transfusion dependent thalassemia sehingga pasien thalassemia dengan deposit besi yang berat di hipofisis serta prediksi keterlambatan pubertas dapat mendapatkan terapi yang lebih optimal.

Thalassemia is an inherited hemolytic anemia disease and is a genetic disease most commonly found in the world. Treatment with transfusion and chelation therapy in thalassemia patients provides a longer survival rate. One of periodic transfusion complications is an increase in iron in the pituitary. Hypogonadotropic hypogonadism which has a clinical picture of delayed puberty is a major abnormality in the endocrine system in pediatric thalassemia patients. MRI imaging is useful in assessing iron deposits in the pituitary.
Purpose: To determine the ability of T2 and T2 relaxometry sequences of pituitary in assessing pituitary iron deposits which have a clinical picture of delayed puberty Methods: Using a comparative cross sectional design with primary data, with minimum sample of 28 patients. Analysis of data in determining the cut point was using the reciver operating curve (ROC) method and then calculated the sensitivity and specificity.
Result : T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit in the delayed puberty group were significantly lower than in the normal puberty group. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to differentiate delayed and normal puberty is 78.15 ms with estimated sensitivity and specificity of 92.9% and 75.0%, respectively. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to delayed and normal puberty is 20.19 ms with an estimated sensitivity and specificity of both is 100%. Conclutions: T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit can enhance the role of MRI in detecting the rate of puberty in patients with transfusion dependent thalassemia so patients with severe pituitary iron deposit and whom predicted with delayed puberty could have optimal therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Nanda Arshani Maryadi
"Remaja dengan thalassemia beta mayor mengalami anemia berat sehingga bergantung pada hipertranfusi. Dampak dari hipertranfusi dapat mengakibatkan gangguan pubertas yang menjadi sumber krisis dan menimbulkan berbagai reaksi adaptasi pertahanan diri dalam bentuk mekanisme koping.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara gangguan pubertas dengan mekanisme koping pada anak remaja penderita thalassemia beta mayor. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 44 pasien usia 15-20 tahun yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuisioner dan dianalisis dengan Chi Square dan regresi logistic untuk mengontrol variabel perancu.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara gangguan pubertas dengan mekanisme koping pada anak remaja penderita thalassemia beta mayor (p value = 0,005) serta terdapat pengaruh kontribusi jenis kelamin dan usia saat pertama mendapatkan terapi kelasi besi. Berdasarkan temuan ini disarankan agar perawat dan keluarga pasien dapat lebih dini membangun mekanisme koping adaptif dengan mempersiapkan anak penderita thalassemia beta mayor menghadapi pubertas.

Adolescence with beta thalassemia major suffered from severe anemia, that depend on hypertransfussion. The impact of hypertransfussion may result in disorders of puberty as the source of the crisis. It causes a variety of adaptation reaction of self-defense in the conformation of coping mechanism.
The research aimed to identify the relationship between of puberty disorders and coping mechanisms in adolescence with beta thalassemia major. This study design was employed a cross-sectional for 44 adolescence (15 to 20 years old) who were selected with a consecutive sampling technique. Data were collected using a questionnaire and analyzed with Chi Square and logistic regression to control for confounding variables.
The results shown a significant relationship between of puberty disorders and coping mechanisms in adolescence with beta thalassemia major (p value = 0.005), and there were significant contributions among gender and age at first time got iron chelation therapy. This research suggested that the nurse and the patient's family can develop an early adaptive coping mechanisms to prepare children with beta thalassemia major deal with puberty.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65529
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Dewi Sharon
"Latar belakang: Transfusi rutin merupakan terapi utama bagi pasien thalassemia mayor, namun transfusi berulang diikuti masalah baru yaitu beban kelebihan besi yang terakumulasi dalam jaringan. Pemberian terapi kelasi besi adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuka mengetahui hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif observasional dengan desain potong lintang, untuk menganalisis hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Luaran efektivitas dinilai dengan penurunan serum feritin ≥ 500 ng/mL.
Hasil: Setelah 6 atau 12 bulan terjadi penurunan serum feritin pada 16 (34,7%) subyek kelompok kombinasi, dan 22 (27,5%) subyek kelompok monoterapi (p = 0,391). Sembilan (19,5%) subyek kombinasi mengalami efek samping obat, dan 17 (21,2%) subjek pada kelompok monoterapi (p = 0,822). Analisis minimalisisasi biaya menunjukkan bahwa rerata biaya per pasien thalassemia-β mayor anak yang menggunakan rejimen monoterapi selama 6 dan 12 bulan lebih murah Rp 13.556.592,64 (30,46%) dan Rp 20.162.836,10 (25,56%) dari rejimen kombinasi.
Kesimpulan: Rejimen kombinasi sama efektifnya dengan rejimen monoterapi dalam menurunkan serum feritin. Tidak ada perbedaan efek samping obat yang bermakna diantara keduanya.

Background: Blood transfusion is the main therapy for thalassemia major patients, but repeated transfusions are followed by new problems namely the excess iron load accumulated in the body tissue. Iron chelation therapy is the only way to maintain iron balance in the body.
Aim: This study aimed to determine the efficacy, safety , and cost analysis of of combination iron chelation regimen with mono-therapy.
Method:This study was designed as a retrospective observational study with a cross-sectional design, to analyze the relationship between therapeutic effectiveness, drug side effects and the cost of combination iron chelation regimen (DFO+DFP and DFP+DFX) and DFP mono-therapy dose ≥ 90 mg/kg/day. Outcome effectiveness was assessed by decreasing serum ferritin ≥ 500 ng/mL.
Result: After 6 or 12 months there was serum ferritin decreased in 16 (34,7%) subjects in combination group and 22 (27,5%) subjects in mono-therapy group (p = 0,391). Nine (19,5%) subjects in combination group experienced adverse effect, and 17 (21,2%) subjects in the mono-therapy group (p = 0,822). Analysis cost of minimization shows that the average cost per major thalassemia-β patient for children using a mono-therapy regimen for 6 and 12 months is cheaper Rp 13.556.592,64 (30,46%) and Rp 20.162.836,10 (25,56%) compared to combination regimen.
Conclusion: Combination regimens are as effective as a mono therapy regimens in decreasing serum ferritin. There were no significant differences in adverse effect between the two.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Nelis
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai masalah dan kelainan berbagai organ tubuh, termasuk pada rongga mulut.
Tujuan: memperoleh gambaran mengenai kelainan yang terjadi pada rongga mulut pasien thalassemia mayor di Pusat Thalassemia RSCM.
Metode: Penelitian cross-sectional terhadap 76 pasien thalassemia mayor yang berusia diatas 12 tahun. Data didapat dengan melakukan pemeriksaan klinis dan wawancara terstruktur menggunakan panduan kuesioner.
Hasil: Keluhan subyektif dalam rongga mulut yang sering dialami adalah: serostomia, diikuti dengan sariawan berulang, bibir mengelupas dan pecah-pecah, serta gusi berdarah. Prevalensi kelainan klinis yang ditemukan meliputi: inkompetensi bibir (25,0%); malokusi: klas I (40,79%), klas II (51,32%) dan klas III (3,95%); higiene oral buruk (67,11%), dan gingivitis (82,89%). Nilai rata-rata DMF-T adalah 4,97. Kondisi dan lesi patologik mukosa mulut yang paling banyak ditemukan adalah pigmentasi mukosa (69,74%), diikuti dengan depapilasi lidah (56,58%), mukosa ikterik (52,63%), cheilosis/cheilitis (50,0%), mukosa pucat (44,74%), erosi/deskuamasi mukosa (44,74%), stomatitis aftosa rekuren (15,79%), glositis defisiensi (14,47%) dan perdarahan gingiva (11,84%).
Kesimpulan: Maloklusi, higiene oral buruk, gingivitis, serostomia, pigmentasi mukosa, depapilasi lidah, mukosa ikterik, dan cheilosis/cheilitis, merupakan masalah yang paling umum ditemukan pada pasien thalassemia mayor dalam penelitian ini, namun indeks karies gigi terlihat rendah.

Background: Thalassemia is the most common genetic disorders worldwide. The disease can cause various problems and disorders of various organs of the body, including in the oral cavity.
Objective: to describe the oral cavity disorders in patients with major thalassemia in Thalassemia Centre at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: cross-sectional study involved 76 patients with major thalassemia over 12 years of age. Data obtained by clinical examination and structured interviews using guidance from quistionnare.
Results: Oral subjective symptom which is often experienced is xerostomia, followed by recurrent aphthous stomatitis, cheilosis/cheilitis, and gingival bleeding. Prevalence of clinical findings consist of: incompetence of lips (25%); malocclusion: class I (40,79%), class II (51,32%) and class III (3,94%); poor oral hygiene (67,11), gingivitis (82,89%). DMF-T score was 4,97. Conditions and pathologic lesions more frequently seen are pigmentation of mucosa (69,74%), followed by depapillation of tongue (56,58%), icterus of mucosa (52,63%), cheilosis/cheilitis (50%), pallor of mucosa (44,74%), erosion/desquamation of mucosa (44,74%), recurrent aphthous stomatitis (15,79%), glossitis deficiency (14,47%), and gingival bleeding (11,84%).
Conclusion: Malocclusion, poor oral hygiene, gingivitis, xerostomia, pigmentation of mucosa, depapillation of tongue, icterus of mucosa, and cheilosis/cheilitis, were most prevalent problems in patients with major thalassemia in this study; nevertheless, dental caries show low index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King Hans Kurnia
"Latar belakang. Penelitian ini bertujuan menilai gambaran struktur dan fungsi retina serta menilai hubungan antara durasi terapi kelasi besi dan kadar feritin serum dengan abnormalitas struktur retina pada penyandang thalasemia-β mayor yang memperoleh terapi kelasi besi di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada penyandang thalasemia-β mayor berusia di atas 10 tahun yang memperoleh terapi kelasi besi dan menjalani kontrol di Pusat Thalasemia RSCM. Subjek dilakukan pemeriksaan oftalmologis, foto fundus, dan fundus autofluorescence. Selanjutnya dilakukan pengambilan subsampel dari subjek awal berdasarkan hasil fundus autofluorescence dan dilakukan pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan elektrookulografi. Hasil. Abnormalitas struktur retina didapatkan pada 46,2% subjek sedangkan abnormalitas pemeriksaan fundus autofluorescence didapatkan pada 41,9% subjek. Sebagian besar subjek memiliki tajam penglihatan dan sensitivitas kontras yang normal. Nilai tengah seluruh parameter elektroretinografi multifokal dan rasio amplitudo light peak terhadap dark trough elektrookulografi kedua kelompok subjek berada dalam rentang normal. Didapatkan penurunan sensitivitas kontras yang signifikan pada subjek dengan abnormalitas struktur retina dan makula, namun tidak untuk tajam penglihatan. Kadar feritin serum yang lebih tinggi berhubungan dengan abnormalitas struktur retina. Kesimpulan. Rerata kadar feritin serum dalam periode satu tahun dengan titik potong ≥6.000 ng/ml dapat digunakan sebagai panduan untuk memulai pemeriksaan struktur dan fungsi retina.

Introduction. This study aims to evaluate retinal structure and function and association between iron chelation treatment duration and serum ferritin level with retinal structure abnormality in β-thalassemia major patients treated with iron-chelating agent in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This cross-sectional study was performed on β-thalassemia major patients aged more than 10 years old in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo Hospital, who received iron-chelating agent for at least one year. Patients underwent ophthalmologic examination, fundus photography, and fundus autofluorescence imaging. Afterwards subsample was chosen based on fundus autofluorescence imaging result, and underwent multifocal electroretinography and electrooculography examination. Results. Retinal structure abnormality was found in 46.2% patients and fundus autofluorescence abnormality in 41.9% patients. The majority of patients had normal visual acuity and contrast sensitivity. Each multifocal electroretinography parameters and light peak to dark trough amplitude ratio in electrooculography had normal median values. Significant contrast sensitivity reduction was found on patients with retinal and macular structure abnormality, but not for visual acuity. Significant association between higher ferritin serum level and retinal structure abnormality was found. Conclusion. Mean ferritin serum level within one year with cutoff point of ≥6.000 ng/ml can be used as a guide to start retinal structure and function evaluation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Savero Vasya Jendriza
"Latar Belakang: Talasemia merupakan penyakit kelainan hemoglobin (Hb) dengan prevalensi tinggi di Indonesia maupun dunia. Komplikasi pada talasemia dapat terjadi akibat kadar Hb pre-transfusi yang rendah dan penumpukan feritin serum. Pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik terhadap suatu penyakit dibutuhkan untuk mencapai kesehatan yang diinginkan dan mencegah komplikasi. Studi ini bertujuan untuk mencari hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap talasemia, Hb pre-transfusi dan kadar feritin serum pada pasien remaja talasemia karena mereka memiliki prevalensi tertinggi. Metode: Kuesioner pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) melalui google form disebarkan untuk mendapatkan data dari pasien talasemia remaja yang memenuhi kriteria studi. Pengetahuan akan dibagi menjadi adekuat atau tidak adekuat, sikap dibagi menjadi positif atau negatif, perilaku dibagi menjadi baik atau buruk berdasarkan hasil skor kuesioner. Kadar Hb pre-transfusi dan feritin serum diambil dari rekam medik pasien, dan dikelompokkan menjadi Hb dan serum ferritin yang tinggi atau rendah. Hasil Penelitian: Dari 85 subjek, terdapat 49.4% pasien dengan pengetahuan adekuat, 91.8% pasien dengan sikap positif, dan 72.9% pasien dengan perilaku baik. Pasien masih kurang memahami fasilitas skrining dan pentingnya suplementasi vitamin. Pasien perlu meningkatkan sikap positif terhadap skrining thalassemia dan perilaku baik terhadap kepatuhan obat. Terdapat hubungan yang tidak bermakna secara statisik antara pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap kadar Hb pre-transfusi dan kadar ferritin (p >0.05) pada remaja dengan talasemia. Kesimpulan: Remaja talasemia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo memiliki pengetahuan yang tidak adekuat, namun dengan sikap dan perilaku yang baik. Perlu adanya edukasi berkala untuk meningkatkan pengetahuan.

Introduction: Thalassemia is a hemoglobin (Hb) disorder that has a high prevalence in Indonesia and the world. Complications in thalassemia can occur due to low pre-transfusion Hb and accumulation of serum ferritin. A good knowledge, attitude, and practice towards a disease are needed to achieve desired health outcomes and prevent complications. This study aims to find the relationship between knowledge, attitude, and practice towards thalassemia, pre-transfusion Hb, and serum ferritin levels in thalassemic adolescents as they have the highest prevalence. Methods: Knowledge, attitude, and practice (KAP) questionnaire through google form were distributed to adolescent thalassemic patients who met the criteria. Knowledge will be divided into adequate or inadequate; attitudes are divided into positive or negative; practice is divided into good or bad based on the questionnaire results. Level of Pre-transfusion Hb and serum ferritin were taken from the patient's medical record and grouped into high or low Hb and ferritin. Result: Out of 85 subjects, there were 49.4% patients with adequate knowledge, 91.8% patients with positive attitude, and 72.9% patients with good practice. Patients still lack understanding of screening facilities and the importance of vitamin supplementation. Patients need to increase positive attitude towards thalassemia screening and good behavior towards treatment adherence. There was a statistically insignificant relationship between knowledge, attitude, and practice on thalassemia with pre-transfusion Hb and serum ferritin (p > 0.05) in thalassemic adolescents. Conclusion: Thalassemic adolescents at Cipto Mangunkusumo Hospital have inadequate knowledge, but with good attitudes and behavior. Periodic education is needed to increase knowledge."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cece Alfalah
"Latar belakang. Kadar hemoglobin pre-transfusi dan feritin serum mempengaruhi pertumbuhan anak dengan thalassemia B-mayor. Penelitian tentang thalassemia sudah dilakukan di Indonesia, namun penelitian tentang hubungan thalassemia dengan pertumbuhan fisik masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui pengaruh kadar Hb pre-transfusi dan feritin serum berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik pasien thalassemia ?-mayor.
Metode. Dilakukan bulan Agustus-Oktober 2017 pada pasien anak dengan thalassemia B-mayor yang berobat ke Thalassemia-Centre RSUD Pekanbaru. Penelitian berupa analitik observasional potong lintang, menganalisis pengaruh kadar Hb pre-transfusi dan feritin serum terhadap parameter perawakan pendek dan sangat pendek, gizi kurang dan buruk, usia tulang yang terlambat.
Hasil. Subjek 41 orang, rentang usia 18-204 bulan. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan 53,7 vs 46,3. 40 subjek mengalami retardasi pertumbuhan. Terdapat korelasi bermakna antara kadar Hb pre-transfusi dengan Z-score TB/U r=0,507, p=0,001 dan LILA/U r=0,467, p=0,02. Hb pre-transfusi berpengaruh terhadap interpretasi duduk/umur p=0,007, IK95 -1,5 - -0,3, subischial leg length/umur p=0,002, namun tidak pada interpretasi rasio segmen atas/bawah dan usia tulang. Hasil berbeda pada kadar feritin yang tidak memiliki korelasi terhadap semua variabel.
Simpulan. Terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik antara kadar Hb pre-transfusi dengan parameter penelitian serta tidak terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik antara kadar feritin serum dengan parameter tersebut.

Background. The level of pre transfusion hemoglobin and ferritin serum affect physical growth on patient with thalassemic mayor. Study about thalassemia is mainly reported but its relationship with physical growth is limited.
Objective. The main objective of the present study was to evaluate the relationship of pre transfusion Hb and serum ferritin level in patient with thalassemic mayor.
Material and method. In this analytical cross sectional study, the growth parameters weight, standing height, sitting height, subischial leg length, nutritional status, bone age were measured in 41 patients attending Thalassemia Centre at RSUD in Pekanbaru from August October 2017.
Results. 41 patients with mean age 18 204 months. The results are boys dominated girls in sex criteria 53,7 vs 46,3. As much as 40 subjects have growth retardation. There rsquo s correlation in pre transfusion hemoglobin with Z score height for age r 0,507, p 0,001 and subischial length r 0,467, p 0,02. This study shows relationship in pre transfusion hemoglobin with sitting height p 0,007, IK95 1,5 0,3, subischial leg length p 0,002, but not in segment length and bone age. Serum ferritin level has no correlation to one of those parameters.
Conclusion. There is a significant relationship in physical growth based on parameters mentioned above with pre transfusion Hemoglobin, but not with serum ferritin level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Sasmita Rany
"Latar belakang. Pandemi COVID-19 dapat menyebabkan peningkatan masalah psikososial pada remaja dari populasi umum. Talasemia merupakan penyakit kronik yang banyak ditemukan pada anak dan remaja di Indonesia. Pasien dengan penyakit kronik rmerupakan kelompok yang rentan mengalami peningkatan masalah psikososial selama pandemi COVID-19. Peningkatan masalah psikososial menyebabkan risiko peningkatan morbiditas dan penurunan kualitas hidup. Pandemi juga dapat berdampak pada praktik transfusi darah pasien talasemia. Saat ini belum diketahui gambaran masalah psikososial dan praktik transfusi darah pada remaja talasemia mayor di Indonesia selama masa pandemi COVID-19.
Tujuan. Mengetahui gambaran masalah psikososial pada remaja dengan talasemia mayor selama pandemi COVID-19 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dan dampak pandemi COVID-19 pada praktik transfusi darah di RSCM.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 121 pasien talasemia mayor berusia 10 sampai <18 tahun di RSCM. Penilaian psikososial dilakukan melalui pengisian Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Penilaian depresi dilakukan melalui pengisian Children’s Depression Inventory (CDI). Analisis komparatif kategorikal berpasangan dilakukan untuk menilai perbedaan frekuensi transfusi dan nilai rerata Hb pretransfusi sebelum dan selama pandemi COVID-19.
Hasil. Sebanyak 11,6% remaja talasemia mayor memiliki total skor SDQ abnormal dengan gambaran masalah meliputi masalah emosi (18,2%), masalah conduct (9,9%), hiperaktivitas (5%), masalah hubungan dengan teman sebaya (8.3%), dan masalah perilaku prososial (1,7%). Sebanyak 19% remaja talasemia mayor mengalami peningkatan gejala depresi berdasarkan penilaian CDI. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi transfusi sebelum dan selama pandemi COVID-19, tetapi terdapat perbedaan bermakna pada pola interval transfusi pasien (p=0,017) dan nilai rerata Hb pretransfusi (p=0,043) sebelum dan selama pandemi COVID-19. Volume darah yang didapatkan oleh pasien talasemia mayor lebih rendah selama pandemi COVID-19 daripada volume darah yang dibutuhkan yang bermakna secara statistik (p<0,001).
Kesimpulan. Skrining masalah psikososial pada remaja talasemia mayor menunjukkan masalah yang paling banyak ditemukan selama masa pandemi COVID-19 adalah masalah emosi dan masalah conduct, dengan sejumlah pasien mengalami peningkatan gejala depresi. Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada pola interval transfusi darah oleh pasien talasemia mayor.

Background. The COVID-19 pandemic may increase the risk of psychosocial problems in adolescents from general population. Thallasemia is highly prevalent chronic disease in children and adolescents in Indonesia. Patients with chronic disease are vulnerable to have more psychosocial problems during the COVID-19 pandemic. An increase in psychosocial problems may lead to high morbidity and the risk of decreased quality of life. The pandemic can also have an impact on the transfusion practice of thalassemia patients. The psychosocial problems and its impact on transfusion practice in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic in Indonesia have not been established.
Objectives. To evaluate the magnitude of psychosocial problems in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic and the impact of the COVID-19 pandemic on the transfusion practice at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods. This is a cross-sectional study on 121 thalassemia mayor patients aged 10-<18 years old at Cipto Mangunkusumo Hospital. Psychosocial aspect was evaluated using the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) form. Depression was further assessed using the Children’s Depression Inventory (CDI) form. A comparative paired categorical analysis was performed to analyze the difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning transfusion frequency and average pretransfusion haemoglobin.
Results. There are 11,6% thalassemia major adolescents with abnormal total SDQ scores including emotional problems (18,2%), conduct problems (9,9%), hiperactivity (5%), peer problems (8.3%), dan prosocial behavior problems (1,7%).  Nineteen percents thalassemia major adolescents experienced elevated number of depressive symptoms. There was no significant difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning transfusion frequency, but there were significant difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning blood transfusion pattern (p=0,017) and average pretransfusion haemoglobin (p=0,043). The blood volume obtained by thalassemia major patients was also lower during the COVID-19 pandemic than the required blood volume that is statiscally significant(p<0,001).
Conclusion. Psychosocial screening in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic showed that the most common problems encountered were emotional problems and conduct problems, with a number of patients experiencing elevated symptoms of depression. The pandemic had an impact on the blood transfusion pattern for thalassemia major patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>