Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60715 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ricky Roosdiana Dewi
"LSTV merupakan variasi vertebra yang prevalensinya bervariasi di dunia. Menurut konsep Bertolotti rsquo;s syndrome, LSTV berhubungan dengan nyeri punggung bawah dan sebagian besar nyeri ini disebabkan oleh penyakit degenerasi diskus. Sayangnya, hubungan keduanya masih kontroversial. Pada penelitian ini dilakukan analisis hubungan LSTV dengan penyakit degenerasi diskus lumbosakral berdasarkan gambaran CT scan. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel 161 pasien. Data sampel diambil dari database sekunder CT scan abdomen di Departemen Radiologi RSUPNCM dengan berbagai indikasi klinis dan dianalisis menggunakan uji statistik chi-square. Hasilnya, sebanyak 25,5 individu yang diidentifikasi memiliki LSTV dan sebanyak 77,0 individu mengalami degenerasi diskus lumbosakral. Meskipun begitu, uji hipotesis menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara LSTV dengan penyakit degenerasi diskus lumbosakral p>0,05.

LSTV is one of vertebra variation which has variation prevalent in the world. Based on Bertolotti rsquo s syndrome concept, LSTV is suggested related to low back pain and most of this pain is come from degeneretaive disc disease. Unfortunately, Bertolotti rsquo s syndrome concept is still debated around the world. This research will analyze the relationship between LSTV and degenerative lumbosacral disc disease based on CT Scan imaging. The research use cross sectional design with 161 samples. The data used were collected from abdominal seconday CT scan database in Radiology Department in RSUPNCM with any clinical indications and analyzed using chi square test. The result shows 25,5 subject has LSTV and 77,0 subject has degenerative lumbosacral disc disease. Although, hypothesis test shows that there is no significant relationship between LSTV and degenerative disc disease p 0,05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thariqah Salamah
"Tujuan: Mengetahui korelasi morfometri sagital vertebra lumbosakral posisi berdiri dan berbaring.
Metode: Pada penelitian belah lintang analitik ini dilakukan pengukuran sudut-sudut morfometri sagital vertebra lumbosakral yaitu lordosis lumbal, lordosis lumbosakral, inklinasi sakral, sudut lombosakral, serta sudut diskus intervertebralis L1-2, L2-3, L3-4, L4-5, dan L5-S1 pada radiografi posisi berdiri dan berbaring pada 38 penderita penyakit diskus degeneratif lumbosakral yang terbukti dari Magnetic Resonance Imaging (MRI) lumbosakral. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan rerata antara sudut-sudut morfometri vertebra lumbosakral posisi berdiri dan berbaring yang kemudian dilanjutkan dengan uji korelasi dan uji regresi linear untuk mendapatkan formula regresi sudut-sudut morfometri sagital vertebra lumbosakral posisi berdiri.
Hasil: Didapatkan korelasi antara sudut lorodosis lumbal, lordosis lumbosakral, inklinasi sakral, sudut lumbosakral, serta sudut diskus intervertebralis L2-3, L3-4, L4-5, dan L5-S1. Didapatkan pula formula regresi sudut morfometri sagital vertebra lumbosakral yaitu LL berdiri = 14,51 + (0,78 x LL berbaring). LSL berdiri = 41,34 + (0,72 x LSL berbaring). IS berdiri = 10,29 + (0, 68 x IS berbaring). LSA berdiri = 11,64 + (0, 62 x LSA berbaring). Sudut diskus L2-3 berdiri = 5,66 + (0, 46 x L2-3 berbaring). Sudut diskus L3-4 berdiri = 5,34 + (0, 52 x L3-4 berbaring). Sudut diskus L4-5 berdiri = 3,94 + (0,66 x L4-5 berbaring). Sudut diskus L5-S1 berdiri = 7,69 + (0,42 x L5-S1 berbaring). Tidak didapatkan perbedaan antara sudut diskus intervertebralis L1-2 posisi berdiri dan berbaring.
Kesimpulan: Terdapat korelasi kuat yang bermakna secara statistik antara sudut-sudut lordosis lumbal, lordosis lumbosakral, inklinasi sakral, sudut lumbosakral, serta sudut diskus L2-3, L3-4, L4-5, dan L5-S1 posisi berdiri dan berbaring pada penyakit diskus degeneratif. Formula regresi yang ditemukan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk aproksimasi nilai morfometri sagital vertebra lumbosakral posisi berdiri bagi penderita yang hanya dapat diperiksa pada posisi berbaring.

Objectives: To determine correlation between sagittal morphometry of lumbosacral vertebrae in erect and supine position.
Methods: In this cross sectional analytic study, lumbosacral sagittal morphometry, consisting of lumbar lordosis, lumbosacral lordosis, sacral inclination, lumbosacral angle, intervertebral disc angles at L1-2, L2-3, L3-4, L4-5, and L5-S1 level, of 38 patients with MRI proven degenerative disc disease was determined in erect and supine lumbosacral radiography. Statistic tests were performed to determine mean difference, correlation, and linear regression between lumbosacral sagittal morphometry in erect and supine position.
Results: There were correlation between lumbar lordosis, lumbosacral lordosis, sacral inclination, lumbosacral angle, L2-3, L3-4, L4-5, and L5-S1 intervertebral disc angles in erect and supine position. Regression formulas for erect lumbosacral sagittal morphometry were found. LL erect = 14,51 + (0,78 x LL supine). LSL erect = 41,34 + (0,72 x LSL supine). IS erect = 10,29 + (0, 68 x IS supine). LSA erect = 11,64 + (0, 62 x LSA supine). L2-3 erect = 5,66 + (0, 46 x L2-3 supine). L3-4 erect = 5,34 + (0, 52 x L3-4 supine). L4-5 erect = 3,94 + (0,66 x L4-5 supine). L5-S1 erect = 7,69 + (0,42 x L5-S1 supine). There was no differecnce between L1-2 disc angle in erect and supine position.
Conclusions: There were statistically significant strong correlation between lumbar lordosis, lumbosacral lordosis, sacral inclination, lumbosacral angle, L2-3, L3-4, L4-5, and L5-S1 intervertebral disc angles in erect and supine position. Regression formulas found in this study could be used to approximate erect lumbosacral sagittal morphometry angles in patients who could only be examined in supine position.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Flowindy Bonauli
"Pendahuluan: LSTV merupakan anomali kongenital vertebra dengan karakteristik morfologi antara vertebra lumbal dan sakral, yang mencakup lumbalisasi dan sakralisasi. Prevalensi LSTV pada populasi umum yang dilaporkan bervariasi antara 4-37%. LSTV dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab LBP (Low Back Pain) namun masih terdapat kontroversi mengenai implikasi klinisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara LSTV dengan derajat nyeri pada individu dengan keluhan LBP di RSUPNCM sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan diagnosis dan tatalaksana pasien LBP.
Metode: Data berupa radiografi dan derajat nyeri dengan metode NRS dikumpulkan secara konsekutif dari 116 pasien dengan keluhan LBP yang datang untuk menjalani pemeriksaan radiografi lumbosakral. Penilaian radiografi mencakup ada tidaknya LSTV dan degenerasi diskus intervertebralis. Pasien terbagi menjadi dua grup: yang memiliki LSTV dan tidak memiliki LSTV. Derajat nyeri terbagi menjadi ringan, sedang dan berat. Hubungan antara kedua grup dengan derajat nyeri dilakukan dengan uji statistik Chi Square.
Hasil: Prevalensi LSTV pada individu dengan keluhan LBP adalah 48,2% dengan LSTV yang cenderung lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara LSTV dengan derajat nyeri pada individu yang memiliki keluhan LBP. Pada penelitian ini juga didapatkan individu dengan LBP yang memiliki LSTV subtipe II dan III cenderung mengalami keluhan nyeri yang lebih berat. Sebagai tambahan, pada penelitian ini juga tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara LSTV dan degenerasi diskus intervertebralis lumbal.
Kesimpulan: LSTV pada individu yang memiliki keluhan LBP tidak berhubungan dengan derajat nyeri yang dirasakan. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk menentukan hubungan antara berbagai subtipe LSTV dengan derajat nyeri LBP.

Introduction: LSTV is a congenital vertebrae anomaly with characteristic morphology intermediate between the lumbar and sacral vertebrae, which includes lumbalization and sacralization. LSTV prevalence in the general population is reported to vary between 4-37 %. LSTV is considered as one of the causes of LBP, but there is still controversy about its clinical implication. This study aims to investigate the relationship between LSTV and the degree of pain in individuals with LBP complaints in RSUPNCM which is expected to optimize the diagnosis and management of LBP patients.
Methods: The data consisted of radiography and degree of pain by NRS method collected consecutively from 116 patients with LBP complaints who come to undergo lumbosacral radiographs. Radiographic assessment includes the presence of LSTV and degenerative disc disease. Patients were divided into two groups: who has and does not have LSTV. The degree of pain is divided into mild, moderate and severe. Association between the two groups with the degree of pain is assessed with a Chi Square test.
Results: The prevalence of LSTV in individuals with LBP complaints was 48.2 % with LSTV tended to be more common in male. There was no significant correlation between the degrees of pain in individuals with LBP complaints with LSTV. This study also found that individuals with LBP having LSTV subtypes II and III are more likely to experience severe pain. In addition, this study also found no significant relationship between LSTV and lumbar degenerative disc disease.
Conclusion: LSTV in individuals with LBP complaints are not related to the degree of pain endured. However, further research can be conducted to determine the relationship between various subtypes of LSTV and degree of pain in LBP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Muhammad Alvin Shiddieqy
"Low back pain (LBP) seringkali menetap setelah fusi lumbosacral, dan diduga sendi
sakroiliaka merupakan penyebab dari LBP tersebut. Sampai saat ini, belum ada studi
mengenai hubungan antara fusi lumbosakral dan nyeri sendi sakroiliaka di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeinvestigasi hubungan antara fusi lumbosakral
dan nyeri sendi sakroiliaka. Kami juga menginvestigasi karakteristik dan prevalensi nyeri
sendi sakroiliaka pasca fusi lumbosacaral. Penelitian ini merupakan studi potong lintang
yang dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilakukan bulan Juni -
September 2019. Subyek adalah semua pasien yang menjalani fusi lumbosakral di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2015 hingga 2018. Terdapat 43 subyek
pada penelitian ini. Dua puluh enam (60,5%) subyek adalah perempuan, dengan usia
rerata 57,65 􀁲 9,7 tahun. Pada penelitian ini, didapatkan insidensi per tahun nyeri sendi
sakroiliaka pasca lumbosakral pada tahun 2015, 2016, 2017, 2018, masing-masing adalah
78,6%, 40%, 81,3% dan 87,5%. Median onset nyeri sendi sakroiliaka adalah 8 (4-14)
bulan, dan median skor skala analog visual adalah 4 (2-6). Pada penelitian ini, ditemukan
bahwa jenis kelamin (p = 0,002), indeks massa tubuh (IMT) (p = 0,001), dan level fusi (p
= 0,002) berhubungan signifikan dengan terjadinya nyeri sendi sakroiliaka. Jenis kelamin,
IMT, dan level fusi berhubungan signifikan dengan nyeri sendi sakroiliaka. Insidensi
nyeri sendi sakroiliaka pada pasien yang menjalani fusi lumbosakral di RSUPN Dr. Cipto
Mangukusumo tahun 2015-2018 adalah 76,7%, dengan median onset nyeri 8 (4-14)
bulan.

Low back pain (LBP) often persists after lumbosacral fusion, and sacroiliac joint (SIJ) is
hypothesized to be a source of pain. To date, there are no studies regarding the association
between lumbosacral fusion and SIJ pain in Indonesia. The objective of this study is to
investigate the association between lumbosacral fusion and SIJ pain. We also investigated
the characteristics and prevalence of post-lumbosacral fusion SIJ pain. This was a crosssectional
study. The study was conducted from June to September 2019. Subjects were
patients who underwent lumbosacral fusion at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta,
Indonesia during the period between January 2015 and December 2018. A total of 43
subjects were recruited for this study. Twenty-six (60.5%) subjects were female, and the
mean age was 57.65 􀁲 9,7years of age. In our study, the annual incidence of postlumbosacral
SIJ pain in 2015, 2016, 2017, 2017 was 78.6%, 40%, 81.3%, and 87.5%,
respectively. The median onset of SIJ pain 8 (4-14) months, and the median visual
analogue scale score was 4 (2-6). Gender, body mass index (BMI), and fusion level were
significantly associated with the development of SIJ pain (p = 0.002, p = 0.001, and p =
0.002, respectively). Gender, BMI, and fusion level were significantly associated with
SIJ pain. The incidence of SIJ pain in patients who underwent lumbosacral fusion at Cipto
Mangukusumo Hospital, Jakarta, Indonesia in 2015 to 2018 was 76.7%, with a median
onset of 8 (4-14) months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elia Soediatmoko
"Pemeriksaan CT scan kepala sudah menjadi pemeriksaan rutin untuk kasus sakit kepala. Namun informasi dosis radiasi pemeriksaan CT scan kepala belum banyak diketahui. Informasi akan dosis ini sangatlah penting karena adanya organ yang sensitif terhadap radiasi seperti kelenjar thyroid, kelenjar air ludah, lensa mata dan otak kepala. Untuk mengetahui estimasi nilai dosis di organ kepala tersebut digunakan software ImPACT CT patient Dosimetry Calculator yang mengunakan nilai nCTDIw yang diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan detektor bilik ionisasi pensil berukuran 100 mm dengan obyek phantom CTDI berukuran 160 mm sebagai salah satu faktor penghitungan. Dari 15 pasien diestimasi dosis ekivalen untuk dosis ekivalen thyroid 0.072 mSv - 0.33 mSv, Kelenjar air ludah berkisar 0.66 mSv - 0.8 mSv, otak kepala 0.66 mSv -0.8 mSv, Sedang untuk lensa mata dinyatakan dalam dosis organ karena alasan deterministik kemungkinan terjadinya katarak pada lensa mata karena radiasi, yakni sebesar 75 mGy - 91 mGy, serta total dosis efektif 3 mSv - 3.7 mSv, pada parameter uji 120 kV 300 mAs. Besar nilai dosis dipengaruhi oleh mAs, panjang scan dan pitch, sehingga proteksi radiasi terhadap organ thyroid harus dilakukan.

Head CT scan has become a rutin procedure to rule out headache symptoms, but dose radiation influences is yet to be known . Information dose of head CT scan is very important because there are organ at risk such thyroid, saliva glands,brain and eye lens. Using nCTDIw values obtained from the measurement of 100 mm pencil ionization chamber on 16 cm CTDI phantom, combined with 15 patient data obtained from DICOM data patient, and estimated dose using imPACT CT patient dose calculator, estimated equivalent dose are, for thyroid 0.072 mSv - 0.33 mSv, saliva glands 0.66 mSv - 0.8 mSv, brain 0.66 mSv-0.8 mSv and the eye lens are mention in organ dose because of deterministic reason of cataract formation rather than for effective dose calculation are 75 mGy - 91 mGy and estimated total dose effective are 3 mSv - 3.71 mSv at 120 kV 300mAs. The dose value is influenced by mAs, lenght of scan and pitch, for futher attention of radiation protection for thyroid gland area must be done."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S947
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Tatun
"Tujuan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran CT scan toraks kanker paru pasien yang merokok berdasarkan jenis sitologi / histologinya.
Metode. Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang atau cross sectional, menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan CT scan toraks. Sampel adalah pasien kanker paru yang merokok dan telah tegak diagnosis kanker paru secara sitologi/histopatologi serta memiliki hasil pemeriksaan CT scan toraks sebelum mendapatkan terapi.
Hasil dan diskusi. Kanker paru paling banyak ditemukan berbentuk massa, baik pada adenokarsinoma maupun KSS, sedemikian besar mengisi rongga toraks dengan lokasi terbanyak di daerah sentral paru paru sebelah kanan. Keterlibatan kelenjar getah bening N2, N3 dan efusi pleura paling banyak ditemukan namun tidak dapat dijelaskan keterkaitannya dengan jenis sitologi/histologi sel kanker.
Kesimpulan. Jumlah sampel tidak berimbang diantara adenokarsinoma dan KSS sehingga sulit mengetahui gambaran CT scan toraks kanker paru berdasarkan jenis sitologi/histologinya. Kanker paru yang paling banyak ditemukan pada pasien perokok berdasarkan index Brinkman dan sitologi / histologisnya adalah adenokarsinoma dengan gambaran radiologi berupa massa, lokasi di sentral paru paru sebelah kanan, keterlibatan kelenjar getah bening N2, N3 dan efusi pleura.

Aim. The study was conducted to describe CT scan of thorax lung cancer?s patients who smoke based on cytology / histology type.
Methode. Descriptive analytic research with cross sectional design, using secondary data from thorax CT scan. Sample are lung cancer patients who smoke, diagnosed as lung cancer based on cytology / histopathology and has a thoracic CT scan results before getting treatment.
Results and discussion. Lung cancer type most commonly found is mass, both in adenocarcinoma and SCC, filled the thoracic cavity with most commonly location in central area of the right lung. Involvement of lymph nodes N2, N3 and pleural effusion are most finding yet unexplained association with cytology / histology type. .
Conclusion. The number of samples are not balanced between adenocarcinoma and KSS so difficult to get an overview of thoracic CT scan for lung cancer based on cytology / histology type. Lung cancer most commonly found is adenocarcinoma which forming mass, central location in the right lung, involved N2, N3 lymph nodes and pleural effusion."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mananagka, Rumuat Semuel Wullul
"Latar belakang dan tujuan : Persiapan pada calon pasien yang akan menjadi pendonor ginjal memerlukan penilaian fungsi dan anatomi organ ginjal. Korelasi antara fungsi dan anatomi ginjal dapat membantu untuk prediksi fungsi dan anatomi ginjal, oleh karena itu dibutuhkan penilaian rerata volume parenkim ginjal dan pada stadium CKD 1, 2 dan 3 serta korelasi antara volume parenkim ginjal dengan rerata estimasi laju filtrasi glomerulus pada stadium CKD 1, 2 dan 3.
Metode : Penelitian cross sectional ini menggunakan data sekunder berupa nilai estimasi laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan rumus MDRD. Subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria dihitung volume parenkim ginjalnya menggunakan CT scan. Teknik pengukuran menggunakan cara disc summation. Korelasi dengan tes pearson digunakan untuk menilai hubungan antara estimasi laju filtrasi glomerulus dengan volume parenkim ginjal.
Hasil : Kelompok CKD stage 1 didapatkan volume rerata parenkim ginjal kanan 132,04 cc, ginjal kiri 134,71 cc dan ginjal total 266,75 cc. Kelompok CKD stage 2 didapatkan rerata parenkim ginjal kiri 112,83 cc, ginjal kanan 110,44 cc dan ginjal total 223,28 cc. Kelompok CKD stage 3 rerata parenkim ginjal kiri 100,21 cc, ginjal kanan 101,4 cc dan ginjal total 201,61 cc. Tes pearson memperlihatkan korelasi yang signifikan (p < 0,001) dan kekuatan sedang (r = 0,554) dengan persamaan: y = 0,326x + 16,13.
Kesimpulan : Korelasi antara nilai estimasi laju filtrasi glomerulus pada CKD stage 1, 2 dan 3 menunjukan signifikansi kuat dan korelasi sedang dengan persamaan: y = 0,32x + 16,13. Persamaan yang didapat berguna untuk estimasi nilai laju filtrasi glomerulus maupun estimasi volume parenkim ginjal total apabila nilai salah satunya diketahui.

Background and objective : Preparation to a kidney donor will need assessment of the kidney's function and anatomy. The correlation between the function and anatomy can help to predict the function and anatomy. That is why the measurement of kidney’s volume is needed (in average and in CKD stage 1, 2, and 3) and the correlation between kidneys parenchyme volume and the average estimated glomerulus filtration rate during CKD stage 1,2, and 3.
Method : Cross sectional research using secondary data of estimated glomerulus filtration rate, calculated by MDRD formula. Kidneys parenchyme volume of the subjects were measured using CT scan. Disc summation technique was applied for the measurement. Correlation with Pearson test was made to assesst the correlation between estimated glomerulus filtration rate and kidneys parenchyme volume.
Result : Group of CKD stage 1 had an average kidneys parenchyme volume 134,71 cc (left), 132,04 cc (right), and 266,75 cc (total). Group of CKD stage 2 had an average kidneys’ parenchyme volume 112,83 cc (left), 110,44 cc (right), and 223,28 cc (total). Group of CKD stage 3 had an average kidney's parenchyme volume 100,21 cc (left), 101,4 cc (right), 201,61 cc (total). Pearson test shows a significant correlation (p < 0,001) and moderate strength (r = 0,554) with the equation y = 0,326x + 16,13.
Conclusion : Correlation between estimated glomerulus filtration rate in CKD stage 1, 2, and 3 showed strong significancy and moderate correlation with the equation y = 0,326x + 16,13. This equation can be useful to estimate glomerulus filtration rate and total kidneys’ parenchyme volume if one of the number is known.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denie Kartono
"Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS.
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.

Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification.
Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record.
Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles.
Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2003
S28726
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>